Bab 28 : Before He Left (1)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebenarnya mau dipost hari Rabu, sebenarnya mau disambungin lagi, tapi berhubung kalo disambung di bab ini jadinya kepanjangan lagi. Dan sebenarnya, aku jadi baik mood nulisnya.

Sebenarnya....

Ah, baca aja deh yaa :)))

Btw, thanks buat read, vote and comment. Love you All *tebarkiss

                                                           Bab 28

            “Hazel…Andriana Triatomo?”

            Hazel menoleh ke belakangnya. Ternyata laki-laki tadi.  

“Ya?” jawabnya kemudian.

            “I guess we are partner now.” Laki-laki itu melemparkan senyum. “Sampai ketemu di ruang meeting,”

            Hazel hanya mengangguk setelah laki-laki itu berlalu dan menyusuri lorong. Cukup tersanjung karena namanya disebutkan dengan lengkap dan jelas, sementara Hazel belum tahu siapa nama laki-laki yang dari kesan pertama tampak sopan dan ramah. Senyumnya terlihat begitu tulus.

            Setelah menyiapkan bahan-bahan untuk meeting seperti gambar dan informasi tentang disain bangunan, Hazel memasuki ruangan Pak Danar untuk menanyakan apakah persiapannya sudah cukup untuk dipresentasikan.

            “Nggak perlu tegang begitu, Bu. Consultant yang satu ini orangnya nggak suka presentasi yang terlalu formal.”

            Hazel mengangguk, walau dia tetap akan melakukan presentasi seperti yang biasa dilakukannya bila bertemu klien.

            “Oh, ya Pak. Ngomong-ngomong, saya nggak tau nama consultant yang baru ini.”

            Pak Danar menepuk dahi. “Ah ya. Saya hampir lupa. Namanya Aldric Alveandra. Dan sebagai informasi penting, sebelum pindah ke Indonesia, dia termasuk arsitek yang sangat berpengalaman. Ya walau masih muda, dia sudah banyak terlibat dalam disain apartemen di Massachusette. Kita beruntung dia memilih kantor kita sebagai tempatnya bekerja.”

            Dengan informasi yang singkat namun padat dari Pak Danar, Hazel tahu apa yang harus dilakukannya ketika bertemu dengan konsultan itu. Salah satunya, mencoba mengubah cara presentasinya.

Mudah-mudahan semuanya berjalan lancar.

                                                            ***

Hazel meregangkan otot-otot tangannya yang kaku setelah beberapa jam mengetik hasil presentasi pagi tadi. Memang benar kata Pak Danar, Aldric tidak menyukai presentasi yang formal. Tapi hal itu juga tidak menjamin Aldric akan dengan mudah menyukai presentasinya.

Sepanjang presentasi, Hazel menerangkan dengan runut segala sesuatu yang berhubungan dengan proyek yang sedang dikerjakan oleh timnya di Prima Architecture. Memang tidak ada yang salah, akan tetapi dari tanggapan yang diberikan, sepertinya Aldric tidak begitu suka dengan beberapa konsep yang diterapkan dalam disain tiap apartemen. Mulai dari Royal Apartment I, II, dan II, selalu saja ada hal yang dikritiknya.

“Kita membutuhkan detil-detil yang lebih menarik lagi. Saya perhatikan dari disain yang ada, tidak ada ciri khas yang bisa membedakan apartemen itu dari apartemen lainnya. Semuanya tampak sama. Saya tidak mengatakan disainnya jelek, tapi hanya kurang unik saja.”

Saat itu, Hazel langsung mengemukakan pendapatnya.

“Saya rasa, konsep disainnya sesuai dengan permintaan klien, Pak. Mereka hanya ingin konsep yang minimalis dan ramah lingkungan.”

“Tapi bukan berarti tidak kreatif kan?”

“Bagaimana mungkin Anda mengatakan disain tim saya nggak kreatif?”

“Minimalis bukan berarti sepenuhnya meninggalkan sentuhan seni kan?”

Hazel mengangguk. “Memang benar. Tapi…”

“Perbaiki saja pra disainnya. Nanti saya sendiri yang akan berbicara dengan pihak Royal Property.”

“Baik, Pak.”

Ok. Setelah selesai dengan hasil presentasi, Hazel akan mulai menggambar disain yang baru.

Tapi, bukankah lebih baik dia memperjelas keunikan seperti apa yang diinginkan konsultan baru itu? Jangan-jangan gambar yang dibuatnya akan dikritik habis-habisan lagi?

Hazel mendesah. Sudahlah kerjakan saja sebaik mungkin. Toh selama ini dia selalu berusaha menyelesaikan kerumitan apapun yang dihadapinya selama bekerja di Prima Architecture. Mana mungkin hanya dengan kedatangan seseorang di kantornya sanggup membuatnya terintimidasi?

Hazel terpikir untuk beristirahat sejenak. Air putih dan keripik jagung yang menemaninya begadang sudah habis.

Ketika tiba ke pantry untuk mengambil air minum dan mengisi stoples dengan camilan di rak penyimpanan makanan, Hazel menemukan Marvin sedang duduk menyantap sereal.

“Begadang juga?” tanya Marvin sebelum menyendokkan sereal cokelat ke mulutnya.

“As usual.”

Dengan langkah cepat, Hazel melangkah menuju lemari es. Membukanya dan mengambil botol kaca berisi air putih dingin. Diletakkannya botol bening polos itu di atas meja, lalu beralih ke rak bahan makanan.

“Need help?”

Hazel menggeleng sambil berjinjit ketika membuka sebuah rak di bagian atas.

“Tadi sore mama telepon. Nyuruh kita menghadiri acara amal. Aku belum mengiyakan sebelum nanya kamu.”

Hazel hanya mengangguk. “Terserah kamu.”

“Aku nanya siapa tau kamu nggak bisa. Acaranya Sabtu malam. Dua hari lagi.”

“Ok.”

Hazel menurunkan dua kemasan kripik kentang rasa barbekyu dan meletakkannya di dekat botol air putih.

Sebelum sempat menyeret langkahnya meninggalkan pantry, Hazel berbalik memandangi Marvin yang memakan sereal dengan lahap. Beberapa hari ini Marvin selalu pulang sebelum jam makan malam. Selain itu, Marvin tidak pernah keluar malam. Setiap selesai makan malam, Marvin selalu duduk di depan TV dengan laptopnya. Sibuk mengerjakan entah apa.

Hazel pun melakukan hal yang sama. Selesai makan malam dan membereskan dapur dan peralatan makan, Hazel langsung mengurung diri di ruang kerja. Mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan. Disain, review, bahkan tertidur di sofa sampai Subuh jika dia benar-benar kelelahan.

Hazel bersyukur karena dia bisa melupakan sejenak permasalahan rumahtangganya. Dengan menyibukkan diri, segala kecemasannya tentang masa depan menguap sedikit demi sedikit. Tidak hilang sepenuhnya, karena akar dari kecemasan itu masih bercokol di pikiran dan perasaannya.

“Oh, ya. Aku mau ngasih tau sesuatu,” ucap Marvin masih menundukkan kepalanya, mengaduk-aduk sereal.

Hazel masih mendekap kripik kentangnya. Menunggu.

“Mungkin kamu nggak bakal peduli, tapi aku harus tetap ngasih tau.” Marvin masih mengaduk serealnya. “Aku sudah resmi mundur dari jabatanku di Prestige.”

Hazel tidak berniat mengomentarinya. Lagipula apapun yang dilakukan Marvin sudah bukan menjadi urusannya lagi. Mereka sudah berada di jalan hidup masing-masing.

“Aku mau lebih fokus dengan pembangunan resor di Lembang,” lanjut Marvin, akhirnya mengangkat wajahnya.

Apapun, terserah, batin Hazel.

“Aku berangkat minggu depan. It’s a good news for you. Kamu nggak perlu lagi susah payah menghindari aku setiap hari.” Marvin kembali mengunyah sereal.

Ada kepedihan dalam setiap kalimat yang diucapkan Marvin. Hazel bisa merasakannya.

“You can go.” Marvin menambahkan. Artinya percakapan mereka sudah selesai.

Hazel berbalik sekali lagi. Seharusnya dia yang mengucapkan kalimat itu, bukan Marvin. He can go. He can leave. Kapanpun Marvin menginginkannya.

                                                            ***

Hazel menutup pintu setelah meletakkan air putih dan keripik di atas meja tepat di dekat meja gambarnya. Bukannya melanjutkan pekerjaan, Hazel mendapati dirinya terduduk lesu di atas sofa di ruang kerjanya.

Marvin belum lagi pergi, namun mengapa dia sudah merasakan sesuatu yang membuatnya seketika sulit bernapas?

Sesuatu itu seperti sebuah perasaan kehilangan.

Ke-hi-la-ngan?

Hazel tertawa getir. Dia sudah kehilangan Marvin bahkan sebelum menikah dengannya. Dia bahkan tidak pernah memilikinya. Dia menikah dengan seorang laki-laki yang hanya ingin mempermainkannya. Dan bodohnya, dia malah mencintainya. Sekalipun perasaan itu sudah semakin berkurang, tapi Hazel tidak dapat memungkiri bahwa Hazel masih mencintainya.

Batinnya tidak tenang. Ah, mengapa begini? 

Marvin hanya akan pergi untuk sebuah proyek resor. Seharusnya tidak ada yang perlu dicemaskan. Justru kabar itu adalah kabar yang baik. Benar kata Marvin, bahwa Hazel tidak perlu repot-repot menghindarinya setiap hari. Hazel bisa dengan leluasa menjalani kehidupannya sendiri tanpa susah payah mencari cara untuk meminimalkan kebersamaannya dengan Marvin. Tidak ada yang namanya makan hati, karena jika Marvin pergi, Hazel terhindar dari kemungkinan mendengar lebih banyak tentang Riana.

Jika Marvin pergi, dia akan…

Hazel membaringkan tubuhnya di atas sofa.

Mengapa semua tentang Marvin selalu membuatnya lelah?

                                                            ***

Hampir Subuh ketika Marvin masuk ke dalam kamar. Hazel sudah tidur dengan posisi membelakanginya.

Yang dilakukan Marvin hanya berdiri di sisi sebelah kanan, memandangi punggung Hazel. Dan hanya Tuhan yang tahu, betapa inginnya dia berbaring di samping Hazel, memeluknya seerat-eratnya, kemudian mengatakan segala apa yang ada di pikiran dan perasaannya.

Segala maaf dan segala permohonan agar mereka tetap bersama. Walau Marvin tahu, hal itu mendekati kemustahilan.

Marvin tersenyum getir pada dirinya sendiri.

Hazel.

Marvin pasti akan merindukannya.

                                                            ***

Sambil mencepol rambutnya, Hazel berjalan menuruni tangga. Didengarnya bunyi-bunyian dari dapur. Di atas meja makan, dia menemukan dua buah piring dengan pisau, garpu dan dua buah cangkir yang masing-masing berisi teh dan kopi. Botol-botol selai aneka rasa tersusun di tengah meja.

Good morning,” Marvin menyapa.

Sebuah piring berisi roti panggang berwarna keemasan masih mengeluarkan aroma panggang berpadu aroma butter yang sangat wangi.          

Marvin menyiapkan sarapan?

“Please,” Marvin menawarkan sarapan.

Hazel menarik kursi dan mendudukinya dengan perasaan tidak nyaman bercampur terkejut. Benar-benar kejutan. Marvin tidak pernah menyiapkan sarapan untuk mereka sebelumnya. Tapi pagi ini berbeda.

“Gimana tidur kamu? Nyenyak?” tanya Marvin ketika mereka sudah duduk bersama.

“Cuma dapat dua jam.” Hazel mengambil selembar roti dan meletakkannya di atas piring untuk dioles selai Blueberry. “Kamu?”

“Nggak bisa tidur,” jawab Marvin.

Hazel merapikan tumpukan dua buah roti yang kedua sisinya sudah beroles selai. Memotongnya dengan pisau sampai terbentuk potongan-potongan kecil, jadi bisa langsung dimakannya dengan cepat.

“Kamu ngantor?” tanya Marvin lagi.

“Aku cuma berhak libur di hari Minggu.” Hazel memperhatikan Marvin yang sedang mengaduk kopi setelah memasukkan dua sendok gula ke dalam cangkir.

“Kamu nggak pernah kepikiran buat resign?”

Marvin sudah sering menanyakan pertanyaan itu, bahkan sebelum mereka menikah. Menurutnya, beban pekerjaan Hazel di kantor terlalu berat. Sudah saatnya Hazel mencari pekerjaan yang lebih santai namun tetap mengakomodir minatnya terhadap arsitektur.

“Pernah. Tapi aku enjoy kerja di sana.”

Marvin menatapnya. Menanyakan pertanyaan basa-basi, tapi berharap Hazel menanggapi. “Mungkin kamu bisa bergabung dengan proyek resor di Lembang?”

Hazel menggeleng. “No, thanks.”

“Sudah kuduga,” Marvin tersenyum tipis dan mengangkat cangkir kopi.

                                                            ***

“Papa sama mama nggak ngerti alasan kamu mundur dari jabatan utama di Prestige. Posisi kamu sudah bagus di sana. Soal resor di Lembang kan bisa kamu serahkan ke Fajar?”

Hazel menoleh ke arah Marvin yang lebih banyak diam. Mereka tengah berada di ruang tengah rumah orangtua Marvin. Mendengarkan omelan mertua laki-lakinya sejak setengah jam yang lalu. Dua bulan menjadi isteri Marvin, baru kali ini Hazel mendengar mertuanya marah kepada Marvin.

“Aku mau nyari suasana baru.”

“Suasana baru? Dengar. Papa nggak ngasih ijin kamu ke Lembang. Kamu ini gimana? Fokus dulu dengan residen di daerah Jakarta, baru mikirin proyek di luar daerah. Papa tau prospek di Lembang sangat bagus, tapi prioritas kita tetap di dalam Jakarta. Pemegang saham bisa-bisa langsung menarik diri kalau proyek yang ada berhenti di tengah jalan.”

“Aku sudah mikirin semuanya sejak beberapa bulan, Pa. Dan nggak ada proyek yang berhenti di tengah jalan. Sesekali juga bakal tetap aku kontrol kok walau aku nggak di posisi CEO lagi.”

Papa Marvin ingin tetap memarahi Marvin, tapi mama Marvin mencegah.

“Udahlah, Pa. Kita hargai keputusan Marvin. Anak kita pasti udah mikirin matang-matang tentang keputusannya. Marvin nggak mungkin lepas tanggungjawab gitu aja. Ya, kan Marvin?”

Marvin mengangguk.

“Ya sudah. Jangan marahin Marvin melulu. Nanti Hazelnya yang jadi nggak enak hati.” Mama Marvin menepuk bahu suaminya. “Zel. Papi memang suka gini kalo ngomongin pekerjaan. Galaknya bukan main.”

Hazel tersenyum. “Aku juga kaget waktu Marvin bilang udah resign.”

“Ya, Mami juga kaget. Harusnya Marvin bisa diskusiin hal ini dulu baru ngambil keputusan.” Mamanya menatap Marvin. “Tapi, kalau itu memang sudah keputusan kamu, Mama cuma bisa merestui. Mudah-mudahan proyeknya lancar.”

Marvin kali ini sudah bisa tersenyum lega.

“Jadi mulainya kapan?”

“Minggu depan, Ma. Tapi, aku sudah harus berangkat sebelum proyek dimulai,” jawab Marvin.

“Hazel nggak dibawa?” tanya Mami.

“Ya nggak bisa, Ma. Hazel kan kerja.”

“Lho, jadi kamu mau ninggalin Hazel sendirian?” Mami terdengar tidak nyaman mengucapkannya. “Kalian baru dua bulan nikah. Masak udah mau pisah?”

“Mm, sebenarnya Marvin udah ngajak aku untuk ikut. Cuma, aku nggak bisa, Mi. Pekerjaan di kantor banyak banget.”

Mami menaikkan alis.

“Kamu sih, nggak mau dengerin saran Mama. Berhenti kerja dan fokus jadi ibu rumahtangga. Kalau ada kejadian begini kan,  kamu bisa ikut.” Nada suara Mami terdengar sedikit ketus.

“Pekerjaan Hazel kan udah bagus, Ma. Jadi nggak mungkin dia berhenti kerja.” Marvin sedikit menentang mamanya.

“Ngambil kerjanya kan bisa yang nggak terlalu sibuk?”

Papi langsung memberikan kode kedipan mata ke Mami. “Ma. Kenapa jadi membahas pekerjaan Hazel. Papa justru senang liat menantu Papa adalah wanita mandiri. Sudah menjadi haknya untuk memilih mau tetap kerja atau jadi ibu rumahtangga. Jangan gitu ah, Ma.”

Mami langsung menyadari keketusannya. “Maafin Mami ya, Zel. Sebenarnya Mami cuma ingin kamu nggak terlalu capek kerja. Biar Mami juga ada yang nemenin ngurusin yayasan.”

“Tapi kan udah ada Natasha, Ma?” Papi menyebutkan menantunya, isteri Rindra.

“Natasha kelihatannya nggak begitu suka ngurusin yayasan, Pa. Orangnya nggak sabaran. Pernah Mama minta nemenin, eh malah dia pulang duluan. Alasannya, ada urusan mendadak.” Beliau tersenyum kepada Hazel. “Kalau Hazel, Mama yakin bisa ngurus yayasan dengan baik.”

Tanpa terasa percakapan sore hari itu sudah berlangsung lebih dari dua jam. Sebelum pulang, mereka diingatkan lagi tentang acara yang berlangsung nanti malam.

“Bentar malam jadi kan ke acara amal?”

Marvin mengangguk. “Iya, Ma.”

                                                            ***

Sepanjang acara berlangsung Hazel merasakan perutnya semakin tidak nyaman. Beberapa kali dia menutup mulut ketika rasa mual mendesaknya untuk muntah. Sejak berpakaian tadi, dia sudah ingin membatalkan rencana menemani Marvin. Tapi, dia sudah berjanji kepada mertuanya untuk pergi ke acara amal tersebut.

Setelah memuntahkan puding mangga yang tadi dimakannya di saat table dinner, Hazel keluar dari toilet untuk merapikan penampilannya di depan cermin. Rasa mual masih ada, tapi sudah bisa diatasi.

“Isterinya Marvin ya?” tanya perempuan yang berdiri di sampingnya sambil memulas lipstick. Perempuan itu mengenakan gaun hitam ketat yang menunjukkan lekuk tubuhnya yang langsing.

“Iya,” jawab Hazel pelan. Dikeluarkannya compact powder dan mulai merapikan dandanannya.

“Kenalin. Gue, Marsha.”

“Hazel.”

Marsha melipat menopangkan bokong dan ke dua tangannya di meja wastafel, memandang Hazel dengan penuh selidik.

Hmm, pilihan Marvin boleh juga. Tapi Marvin bego banget masih ke Riana.

Riana, Riana. Kejalangan lo udah benar-benar kelewatan. Lo mau ngancurin rumahtangga Marvin? Liat aja, kalo sampe lo lakuin hal itu, gue bakal hancurin lo lebih dulu.

“Kamu temannya Marvin?”

Marsha tersenyum. “Teman lama. He’s one of my bestfriend.”

Great. Udah ketemu Marvin?”

“Udah kok.” Marsha mengamati wajah pucat Hazel. “Lo sakit? Muka lo pucat.”

“Cuma masuk angin. Abis ini kayaknya aku mau langsung pulang aja.” Hazel menutup kembali clutchnya setelah memasukkan kemasan tissue yang tadi dipakai menyeka wajahnya yang tiba-tiba berkeringat dingin.

“Aku duluan ya.”

“Oke. Take care.”

                                                            ***

Hanya butuh waktu beberapa detik bagi Marvin untuk mengetahui bahwa Hazel sedang sakit. Setelah kembali dari toilet, Hazel langsung memintanya untuk pulang. Sepanjang acara pun Hazel terlihat lesu dan lemah.

“Kamu lagi sakit?”

            Hazel menggeleng sambil memasang seatbelt. “Cuma masuk angin.”

            “Aku anter ke dokter ya?”

            “Nggak. Aku cuma butuh istirahat.”

            Tapi dalam perjalanan pulang, Marvin menghentikan mobil di sebuah apotik untuk membeli obat mual dan masuk angin.

            Ada dorongan kuat dari dalam dirinya ketika memberanikan diri menanyakan sesuatu kepada penjaga apotik.

            “Mbak. Ada test pack?”

           

Huffft bab 28 is complicated. Votes and comments ya bebeb2 :* :* 

 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro