BAB 8

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Eh, jangan-jangan malah dia disuruh beres-beres seperti ini setiap hari? Ish, kenapa dapatnya calon suami yang joroknya kebangetan ini sih?

Kaos kaki bekas pakai yang wanginya mengalahkan wangi durian Medan itu teronggok di salah satu sudut kamar. Hmm, sebenarnya mungkin nggak bau, secara warnanya juga masih putih seperti warna aslinya, belum berubah menjadi kuning atau kecokelatan. Tapi berhubung Hazel termasuk manusia fobia bau, stigma kaus kaki kotor yang bau pengap dan bisa bikin pingsan langsung menimbulkan efek horor di otaknya.

Arggh..

Disingkirkannya kaus kaki bekas pakai milik Marvin ke dalam keranjang dengan menggunakan alas tangan dari kaus bersih yang diambilnya di laci lemari. Lalu beralih ke onggokan pakaian di tepi tempat tidur. Ternyata ada juga pakaian kotor Marvin di atas sofa. Underwear milik cowok itu sih memang belum ditemukannya (syukurnya sih begitu). Mungkin Marvin malu juga kalau dalamannya berserakan di mana-mana. Iya kan? Iya kan?

*kedipkedipmata

Setelah semua pakaian kotor masuk keranjang, Hazel beralih ke lemari pakaian untuk menyiapkan pakaian yang diinginkan Marvin. Dia membuka-buka lemari pakaian Marvin yang besar dan lebarrr, yang menyimpan pakaian-pakaian bagus dan bermerek yang jelas tidak dibeli di Blok M atau Tanah Abang. Standar cowok itu soal pakaian pasti tinggi. Terbukti dari pemilihan merek-merek terkenal di semua elemen pakaian Marvin. Mulai dari kaus, dasi, sampai celana, dll dsb. Di lemari khusus gantungan, Hazel menemukan jas-jas yang dibungkus plastik laundry berlabel disainer-disainer luar yang meskipun dia tidak begitu paham, tapi melihat mereknya sekilas saja dia sudah tahu kalau harga-harga mahalnya pasti nggak manusiawi.

Kesimpulannya.

Butuh banyak uang untuk membeli pakaian satu lemari raksasa itu.

 Hazel mendesah dan kembali ke realita. Dia pusing sendiri kalau harus mengkalkulasi berapa banyak uang yang dihabiskan Marvin untuk stylenya. Pantas saja dia playboy abis. Banyak modal sih.

“Belum selesai?” Suara itu berasal dari Marvin yang sedang berdiri di depan pintu kamar mandi sambil menggosok-gosok rambutnya yang basah dengan handuk yang lebih kecil daripada handuk yang dililitkannya di bawah garis pinggangnya.

“Udah kok.” Hazel cepat-cepat menutup lemari parfum yang memuat koleksi parfum milik Marvin. “Baju lo di sana.” Hazel menunjuk ke lipatan jins dan kemeja di atas tempat tidur.

“Oke. Lo keluar deh. Gue mau pake baju.”

                                                            ***

Hazel berjalan menuruni tangga, sesekali melihat ke koridor, menyumpahi Marvin yang bertingkah menyebalkan. Sudah nyuruh-nyuruh kayak mandor, nggak bilang terimakasih, ujung-ujungnya malah ngusir. Lagian siapa juga yang mau ngintip dia lagi pake baju.

Sungguh ter-la-lu.

                                                            ***

Di balik pintu, Marvin berdiri di depan cermin dengan terpingkal-pingkal. Hazel…Hazel…muka lo jadi tambah gemesin kalo abis dikerjain.

“Woi, awas mata lo.”

Aaron membuyarkan pandangan Marvin yang sejak bergabung di acara barbekyu selalu memandang ke arah Hazel. Sialnya bukan membalas, Hazel malah cuek bebek. Tidak acuh, buang muka. Kalaupun senyum, pasti senyumnya kepada yang lain, sedangkan kalau ke Marvin, Hazel ngasih tampang jutek. Tapi bukannya menjengkelkan, sikap Hazel yang seperti itu malah membuat Marvin makin penasaran. Makin dug dug ser gimanaa gitu.

Tuh, dia jutek lagi.

Ni cewek minta digigit pipinya dan dicium bibirnya kali ya? Batin Marvin agak-agak frustrasi.

“Emangnya ada yang salah sama mata gue?” Marvin meneguk soda kaleng dinginnya dan cepat-cepat mengalihkan pandangan ke mamanya yang sedang mesra-mesraan dengan papanya di bawah gazebo. Sambil pegang-pegangan tangan pula. Jadi pengen juga kaan.

Aaron mulai meledek Marvin. “Deee yang mulai naksir nih yee..”

“Apaan sih lo?” Marvin meminum lagi sirup melon dinginnya dengan sikap sesantai mungkin.

“Samperin aja. Diliatin sampe mata lo bisulan juga nggak bakal tuh cewek nyamperin lo. Mesti lo yang jemput bola.”

“Jemput bola pale lo peyang?” Marvin menowel kepala Aaron sebagai penekanan. “Ngapain disamperin?”

“Yaaa…biar lo nggak penasaran.” Aaron menyenggol siku Marvin. “Buruan. Kan romantis ngobrol di bawah terang bulan.”

“Lo aja sana!”

“Huu…gengsi lo gede!”

“Gigi lo gendut!”

                                                            ***

Setelah menolak, akhirnya Marvin menghampiri Hazel juga. Sepupu-sepupunya kompak mengintip dari balik semak-semak di dekat kolam, sementara Marvin mendekati Hazel yang duduk di pinggir kolam. Membenamkan kakinya di dalam air kolam yang bening kebiruan.

Tidak berapa lama, Marvin sudah akan mengurungkan niatnya untuk mengajak Hazel mengobrol. Baru menyapa sekali, cewek itu langsung bergerak hendak bangkit dari duduknya dan pura-pura mencari Katrin.

“Santai aja. Gue nggak gigit kok.” Marvin meletakkan gelas kosong di lantai marmer di antara mereka dan ikut duduk di sampingnya.

Hazel kembali membenamkan kakinya ke dalam kolam. “Ngapain sih lo di sini?”

“Lo nggak liat gue lagi duduk?” Marvin menjawab.

“Iya, tapi kan lo bisa duduk di mana aja. Kenapa harus di sini?” Hazel kembali menatap kolam yang membuat wajahnya berkilat-kilat karena pantulan riak air.

“Ya karena gue maunya di sini.”

“Tapi kan gue yang duluan…”

“Sssh…udah. Jangan banyakan ngomel. Ntar lo tambah cantik.” Marvin menggoda Hazel. Hazel malah bergeming dan Marvin yang gemas langsung mencipratkan air ke wajah Hazel. “Senyuum.”

“Marvin! Jangan rese deh!” Hazel menggerutu dan balas mencipratkan air ke wajah Marvin dan menggeser-geser tubuhnya menjauh. Marvin mencipratkan air lebih banyak lagi. “Marviiin! Gue nggak bawa baju ganti! Arrghh lo kok usil banget sih?”

Marvin tertawa-tawa, sementara Hazel menatapnya dengan wajah cemberut. “Gue memang suka ngusilin orang. Apalagi cewek.”

“Dan pasti itu kebiasaan lo dari kecil. Ya kan?” Hazel memasang tampang masam.

“So true.” Marvin memercikkan air lagi ke arah Hazel. “Biasanya orang yang gue usilin nggak pernah bisa tahan lama-lama di dekat gue. Tapi lo betah-betah aja ya?”

Hazel mencibir. “Kalo lo pikir gue yang bakal ngalah, lo salah besar. Gue bakal tetap duduk di sini kok.”

“So, gue juga bakal tetap duduk di sini.”

Hazel terdengar menggerutu dan hal itu malah semakin menambahkan rasa senang di hati Marvin. Cewek pemarah adalah mainan terbaiknya.    

Marvin memalingkan wajahnya ke kanan, supaya bisa melihat wajah Hazel yang sejak  acara barbekyu dimulai tidak bisa dipandanginya dengan leluasa karena penerangan halaman belakang yang remang-remang. Tidak seperti sekarang, dia bisa menikmati sepasang mata Hazel yang bentuknya seperti namanya ; ah mungkin itu alasan orangtuanya menamainya Hazel. Nama yang tadinya dianggapnya aneh. Hidung milik Hazel jelas tidak  semancung hidungnya, namun cukup proporsional dengan wajahnya yang berbentuk hati. Bibirnya juga tidak begitu seksi, tapi sangat effortless ketika dia tersenyum atau cemberut seperti sekarang.

“Ngapain lo ngeliatin gue?”

“Gue nggak ngeliatin lo.” Marvin menyangkal tapi tidak berhenti memandangi Hazel.

“Tuh kan? Jelas-jelas lo ngeliatin gue!” Hazel berteriak gemas.

“So what? Mata, mata gue. Terserah dong mata gue mau lihat apa.”

Hazel balik badan, setengah memunggungi Marvin. Lalu mulai menggerak-gerakkan kakinya di dalam air. Ke dua tangannya yang dicelupkan ke dalam air bergerak-gerak tidak beraturan. Seperti anak kecil yang kegirangan ketemu air.

            Setelah keadaan cukup tenang, Marvin berbicara lagi.

            “Hazel.”

            Hazel meliriknya dan kembali setengah memunggungi Marvin. “Kenapa manggil gue?”

            “I’m talking to you. Ngapain lo munggungin gue?” Marvin menggeleng-geleng. “Fine. Kita ngobrolnya kayak orang normal aja gimana? Gue nggak bakal ngusilin lo.”

            Hazel memperbaiki letak duduknya dan bersikap normal seperti yang diinginkan Marvin. “Ya sudah. Ngomong deh.”

            Marvin langsung tersenyum.

“Menurut lo, gimana sepupu-sepupu gue?” Marvin kembali meneruskan pindaian matanya yang kali ini tertahan pada leher jenjang Hazel yang begitu pas dengan kerah Sabrina yang dikenakannya. Digesernya duduknya hingga semakin mendekati Hazel.

            “Baik.”

“Oh ya?” Marvin tersenyum. “Semuanya?”

“He eh.” Hazel menggeser duduknya dan balas tersenyum gugup kepada Marvin.

“…”

“Iya. Baik semua kok, mm yaaa…gitu deh,” Hazel menjawab lagi dengan terbata-bata.

            Oh, God. Cewek ini kenapa jadi grogi di depan gue? Gue cuma mau ngajak dia ngobrol, bukan buat bikin dia nggak nyaman sama gue.

            “Lo…nyaman sama mereka?” Marvin menurunkan pandangannya ke arah blus hitam yang dikenakan Hazel.

            “Iya, gue cukup nyaman sama mereka.”

            “Kalo sama gue?”

            “Eee…sebenarnya lo ngapain nanya-nanya melulu sih?”

            “Itu…” Ke dua mata Marvin langsung menemukan objek asing di baju Hazel.

            Itu ulat bulu, bukan? Kok kayak gerak-gerak di bajunya Hazel?

            Gue harus melihat lebih dekat buat tau itu apa.

            Bu…bulu?u..ulat? Ulat…bulu?

            Ow, shit! Ulat bulu! Gila tuh ulat bulu sialan yang iseng ngintip ke dalam blus tunangan gue? Gue sumpahin bintitan mata lo!

            Gila! Gue aja nggak pernah nyentuh dia di daerah situ dan lo udah ngeduluin gue? Sial!sial! Pergi lo dari situ, ulat bulu siaalaaaaan… 

                                                            ***

“Marvin?”

“Ada ulat bulu di baju lo.”

“Apa?” Hazel menunduk sambil menarik ujung blus hitamnya. “Aaaaa….tolooong…ada ulat buluuu.” Hazel menjerit-jerit begitu menyadari ada ulat bulu kecil berjalan di permukaan blusnya.

“SSSHH…lo tenang dulu, biar gue yang ambil tuh ulat bulu.” Marvin yang sebetulnya juga geli sama yang namanya ulat bulu, tapi gengsi juga kalau harus ikut-ikutan teriak seperti Hazel. Jadi, sambil menahan napas dia mengambil ulat bulu itu langsung menggunakan tangannya.

Hazel pasrah ketika Marvin menunduk di depan dadanya dan mengambil ulat bulu yang katanya setengah badannya sudah masuk ke dalam blusnya. Hazel bisa merasakan kulit tangan Marvin yang kasar dan sedikit panas menyentuh kulit dadanya.

Oh My Gossh…kalau bukan karena keadaan darurat, nggak sudi gue disentuh sama nih cowok. Di dada gue pula. Awas aja kalo dia minta lebih!

“Cepetan! Lama banget sih?” gerutu Hazel yang harus menahan napas sampai Marvin selesai dengan aksi penyelamatannya.

“Sabar dikit, kenapa sih? Ulatnya lincah banget.” Marvin tersenyum-senyum senang.

Ihiiiy…asyik kan bisa ngintip-ngintip dikit? Jadi penasaran dia pake bra warna apa? Hmmm… parfumnya wangiii

“Sudah beluuum?” Hazel berjengit ketika salah satu jari Marvin menekan kulitnya.

“Dikit lagi.” Marvin menyipitkan mata dan makin tersenyum senang. Whooaa bra hitam. Tema gothic niye…

*yee malah dia yang ngintip*

“Marvin!” Hazel membentak Marvin dan mendorong kepalanya yang malah makin condong ke lehernya. 

“Iiii…iya udah. Se…sekarang aman,” kata Marvin tergagap. Ngomel-ngomel suka-suka lo deh. Yang penting kalo ada games tebak-tebakan warna bra, gue udah tahu warna bra yang lo pake..hihi…

*mesummodeon*

“Syukur deh.” Diikuti desahan napas lega dari Hazel.

Hazel mendengar kalimat Marvin berada dekat dengan telinga kanannya. Dia berusaha tidak menghirup parfum Marvin lebih dalam tapi posisi mereka yang terlalu dekat membuat hidungnya bisa menyerap aroma maskulin yang efeknya seperti ekstasi yang walaupun tidak pernah coba dikonsumsinya, namun dia tahu efeknya sungguh memabukkan.

Hazel tahu bahwa seharusnya dia menjauh, tapi dia benar-benar menyukai aroma tubuh Marvin yang wangi. Dan dia ingin menghirupnya lebih lama seperti menghirup seprai yang baru kering trus langsung disetrika setelah disemprot sedikit pewangi pakaian.

“Thanks,” Hazel mengucapkannya dengan napas tertahan di ujung tenggorokannya.

“No problem.” Marvin menatapnya sambil tersenyum. “Cuma ulat bulu kok. Not a big thing.”

“Tapi gue tetap harus bilang makasih.” Hazel tertawa grogi.

“Ya, kalo mau lo begitu,” Marvin ikut tertawa.

Hazel diam. Mengutuk tawanya yang kedengaran jelek banget.

Marvin pun diam. Menunggu Hazel mau ngomong apalagi.

Dalam diam, Marvin masih menatapnya, terlalu intens dari tatapan-tatapan sebelumnya. Menciptakan gelombang keresahan di dalam jiwa Hazel yang seumur-umur tidak pernah ditatap seintens itu sama cowok. Apalagi tatapan Marvin yang semula mengarah ke kedua matanya kini sudah jatuh ke bibirnya. Hazel menggigit bibir dan menelan ludah, seolah sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Seharusnya dia segera pamit pergi. Tapi dia tidak bisa. Atau mungkin juga dia tidak ingin pergi dari situ dan mengabaikan Marvin yang baru saja menyelamatkan tubuhnya dari kemungkinan terserang gatal-gatal sekujur badan karena gigitan ulat bulu iseng dan genit tadi. Ulat bulu mana coba yang nongol tiba-tiba dan langsung mencari sasaran ke dalam blus cewek? Seperti kata Marvin tadi, yang dilakukannya bukan hal besar, namun Hazel sudah terlanjur menganggapnya sebagai pahlawan penyelamat. Ya, walaupun dia tidak yakin apakah Marvin melakukannya dengan niat menolong atau hanya modus saja supaya dia punya alasan menyentuhnya.

Lalu Marvin menundukkan wajahnya, menangkup pipi kanan Hazel dengan jari-jarinya yang hangat. Menahan wajah Hazel agar mengarah tepat ke wajahnya. Di sana dia dan Hazel sama-sama terpaku dalam diam seolah pandangan sudah cukup menjadi pengganti kata-kata yang tidak sempat terucap dari mulut mereka yang sudah sama-sama kaku.

Mereka dan suasana romantis di tepi kolam di bawah langit malam yang berbintang.

                                                            ***

Semua berjalan terlalu cepat dan yang dirasakan Hazel berikutnya ketika memejamkan mata adalah embusan napas hangat Marvin di wajahnya. Detik-detik menegangkan terus berlanjut.

God, apapun yang mau dia lakuin sekarang, gue mohonjangan sampai gue pingsan di depan dia.

 “Lo…lo mau…mau ngap…”

Aaahh…jangan pingsan, jangan pingsan. Jangan pingsan.

Dan…

It happened.

He kissed me. On my lips.

“…pain.”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro