BAB 9

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hazel merasakan tubuhnya merinding karena ciuman Marvin. Ciuman lembut yang hanya berdurasi sepersekian detik saking singkatnya, di bibirnya yang tidak lain dan tidak bukan dilakukan oleh Marvin. Di tepi sebuah kolam renang di acara barbekyu Minggu malam di halaman belakang rumah Marvin setelah insiden ulat bulu.

                                                            ***

“Auuwww so sweet…”

“Berantem-berantem ujung-ujungnya romantisan gitu.”

“Marvin beruntung ya?”

Enam kepala kepo mengintip dari balik semak-semak. Tidak lama kemudian mereka saling bertos-tosan dan ada juga yang langsung menagih janji taruhan.

“Udah gue bilang kan Marvin bakal nyium Hazel. Seratus ribuuuu…” seru Aaron girang.

                                                            ***

Marvin merasakan dadanya bergetar hebat sewaktu bibirnya bersentuhan dengan bibir Hazel yang lembut bersaput lipstick pink tipis. Gairahnya yang biasanya labil kalau ketemu bibir cewek langsung melonjak dan tergoda untuk mencium Hazel lebih dalam, tapi jika dia menuruti keinginannya, pengintip-pengintip yang sejak tadi memata-matainya dan Hazel akan semakin meledeknya. Dia selalu mengatakan kalau Hazel biasa saja dan dia sama sekali tidak tertarik. Ucapannya jelas bertolak belakang dengan perasaannya. Jelas-jelas, dia mulai menyukai cewek itu.  

Tapi dia mendapati Hazel syok, sama seperti dirinya. Cewek itu bahkan mendorong tubuh Marvin dan lekas berdiri dari tepi kolam.

“Hazel,” Marvin memanggil Hazel dengan penuh harap. Tapi Hazel tetap pergi.

                                                            ***

Hazel balik badan segera setelah yakin Marvin tidak akan menyusulnya. Jantungnya berdebar-debar untuk alasan yang tidak bisa dijelaskan. Ditenangkannya pikirannya yang mulai panik. Meyakinkan kalau kejadian tadi hanyalah sebuah kecelakaan yang tidak seharusnya terjadi.

Tapi kalau Hazel menganggapnya sebagai sebuah kecelakaan, insiden atau apalah yang tidak seharusnya terjadi, mengapa kini dia malah diam-diam mengakui kalau dia menyukainya?   

Hazel menghela napas. Jangan bilang gue mulai ada rasa sama dia.  

                                                            ***

Pagi itu, Marvin duduk bersandar di salah satu kursi di ruang meeting Prima Architecture,  menunggu kedatangan Pak Danar untuk membicarakan desain arsitektur proyek perumahan yang pembangunannya akan dimulai di awal tahun depan. Sebetulnya dia bisa saja mewakilkan hal tersebut kepada Fajar, asistennya yang sejak awal ikut menangani proyek tersebut karena jadwal hari itu hanya berupa pengecekan sudah sampai mana perkembangan gambar disain rumah yang dibuat. Tapi hari itu Marvin sedang ingin melakukan pengecekan sendiri, karena Minggu depan tugas itu akan dilimpahkan ke Fajar untuk sementara waktu sampai cuti bulan madunya berakhir.

Meeting hanya berlangsung sekitar setengah jam dan Marvin mengaku sangat puas dengan gambar yang dibuat oleh tim disain kantor tempat Hazel bekerja itu. Hazel sendiri termasuk anggota tim disain yang dibentuk Pak Danar. Tapi karena pekerjaan lainnya harus sudah selesai sebelum cuti bulan madu, jadi kata Pak Danar, Hazel sedang membereskan proyek lain yang sudah hampir selesai sebelum benar-benar fokus dengan proyek perumahan yang menjadi tanggungjawab Marvin itu.

            “Wah sebentar lagi Pak Marvin akan segera menikah dengan Bu Hazel ya,” kata pak Danar setelah meeting selesai.

            Marvin hanya tersenyum. “Iya, Pak. Sudah mulai sibuk di rumah ngurusin pesta. Bapak harus datang ya?”

            Pak Danar mengangguk. “Pasti, Pak. Saya pasti akan datang.”

            Saat tiba di depan lift, Marvin menghentikan langkahnya. “Pak Danar, nanti Bu Hazel akan ke sini sekitar jam sebelas kan?”

            “Iya, Pak Marvin. Sekarang dia sedang berada di lapangan. Bu Hazel memang suka melakukan sendiri pekerjaan yang sebetulnya bisa dilimpahkan ke asisten. Dia salah satu karyawan yang sangat saya andalkan.”

            Dari penjelasan pak Danar, sepertinya Pak Danar sangat menganakemaskan Hazel. Akan menjadi hal yang sulit jika mencoba menarik Hazel keluar dari perusahaan itu untuk proyek besar di Lembang. Nanti saja Marvin akan mencoba membicarakannya dengan Pak Danar.

            Hazel balik sekitar jam 11. Masih ada waktu setengah jam lagi. Marvin akan menunggunya.

            “Bisa antarkan saya ke ruangan Bu Hazel? Saya ada perlu sama dia. Nanti saya tunggu saja.”

                                                            ***

            “Pagi, Lisa. Fine, today? Ada pesan untuk saya?” Hazel menyapa asisten yang sudah setahun ini dipekerjakan Pak Danar untuk membantu pekerjaannya. Awalnya Hazel menolak, tapi karena pekerjaannya semakin banyak, dan Hazel mungkin akan keteteran, jadilah kini dia memiliki asisten sendiri. Pekerjaannya benar-benar diringankan dengan kehadiran Lisa.

            “Iya, Bu. Ada dua. Satu dari The Royal Apartment II untuk…cek terakhir. Satunya lagi dari The Sky…Liner. Cek ke dua. Laluuu…ada tamu juga, Bu.” Lisa senyum-senyum.

            Di depan meja Lisa, Hazel berhenti untuk mengintai ruang kerjanya.

            “Siapa?”

            “Pak Marvin dari… Prestige Triatomo?” Lisa menyebutkan detail di agendanya.

            Deg.

            Sejak insiden ciuman kilat mereka di malam barbekyu di rumah Marvin, praktis Hazel tidak pernah lagi berbicara dengan Marvin. Walaupun Marvin pernah menelepon dan mengirimkan SMS, Hazel tidak pernah mengangkat telepon atau membalas SMS dari Marvin. Dia tidak tahu bagaimana cara menghadapi Marvin setelah keadaan canggung seperti itu. Ya, walaupun Hazel berjuta-juta kali meyakinkan dirinya kalau itu hanya sebuah ciuman, dan mungkin bagi Marvin tidak berarti apa-apa, tapi…Hazel tidak bisa berhenti untuk memikirkannya. Bukan berarti dia sudah memberikan separuh hatinya untuk Marvin hanya karena Marvin adalah cowok pertama yang menciumnya selama 27 tahun usianya. Tapi…dia takut berekspektasi yang terlalu berlebihan. Selain itu, dia juga takut Marvin mungkin akan meledeknya.

            Dan ketakutan lainnya yang diakuinya benar-benar konyol adalah…mungkin dia tidak cukup pantas untuk menerima ciuman dari Marvin yang sepertinya sudah sangat berpengalaman dengan hal itu sementara dirinya benar-benar payah.

            Ya tentu saja Marvin pasti sudah mencium banyak perempuan sebelum dirinya. Dan mereka pasti sudah tahu apa yang bisa mereka lakukan untuk memberikan respon balik yang dibutuhkan Marvin  sedangkan yang bisa dilakukannya hanya bersikap seperti anak kecil. Menghindari Marvin karena bingung bagaimana menghadapinya.

            “Udah lama?” Hazel mendadak panik dan dia merasa perlu ke toilet untuk mengecek penampilannya.

            Oke seharusnya dia tidak perlu merisaukan penampilannya di depan Marvin. Marvin hanya akan mengajaknya mendiskusikan soal disain proyek perumahan yang ditanganinya. Mereka akan sangat sibuk mengobrol soal pekerjaan dan tidak akan ada waktu untuk mengobrolkan hal lainnya. Ya, termasuk soal ciuman itu.

            Hazel menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan tekanan pelan. Dia berjalan menuju pintu ruang kerja sambil berharap dia bisa bersikap biasa saja di dalam sana.

                                                                        ***

            “Hei.” Marvin menyapanya lebih dulu.

            “Haai!” Hazel menjawab dengan nada tinggi. Terlalu antusias untuk sebuah sapaan balik.  

“Kelihatannya sibuk sekali.” Marvin meletakkan majalah arsitektur yang dibacanya dan berjalan menuju meja kerja Hazel.

            Hazel mengitari meja kerjanya sebelum meletakkan tas dan map di atas meja. Suhu pendingin di ruang kerjanya terasa tidak begitu dingin, mungkin karena panas tubuhnya yang melonjak tiba-tiba. Membuatnya merasa gerah luar biasa.  Dilepaskannya blazer hitam yang dipakainya dan disampirkan di kursi kerja yang empuk.

             “Lo… nggak sibuk emangnya?” Hazel balas bertanya, berusaha menstabilkan debaran jantungnya. Sama seperti dirinya yang harus menuntaskan pekerjaan sebelum menumpuk setelah usai bulan madu, Marvin pasti juga super sibuk.

            “Sibuk juga.” Marvin yang tiba di depan meja memutar kursi dan mendudukinya. “Haah. Life is too busy.”

            Yeah, like I am now. Sibuk mikirin bagaimana menghadapi kamu.

“Lo udah minum teh atau kopi kan?” Hazel menatap meja tamu yang ditinggalkan Marvin di mana terhidang secangkir kopi buatan Lisa.

            “Udah. Gue udah minum tadi di rumah. Tapi asisten lo ngotot bikinin lagi. Nggak gue minum. Buat lo aja.”

            “Uhm. Gue udah minum tadi di rumah.” Hazel berdiri di depan jendela, menatap pemandangan kota Jakarta di pagi menjelang siang itu. Sebenarnya, mengatur irama jantungnya yang kacau hanya dengan keberadaan Marvin di sana.

            “…”

            “…”

            Marvin ingat kalau sebenarnya dia dan Hazel tidak boleh bertemu mulai Minggu depan karena Hazel sudah akan menjalani masa pingitan. Jadi dia menggunakan kesempatan beberapa hari itu untuk mendekatkan diri dengan Hazel. Selama nyaris tiga bulan belakangan ini mereka sangat jarang menghabiskan waktu bersama. Selain sama-sama sibuk, waktu kosongnya lebih banyak dihabiskan dengan Riana di apartemennya atau di apartemen Riana. Menjalani hubungan mereka seolah tidak terganggu dengan kenyataan bahwa sebentar lagi Marvin akan menikah dan Riana akan tetap jadi perempuan satu-satunya yang dicintainya.

            Hazel hanya…cewek yang akan dinikahinya dan hanya akan dianggapnya sebagai…teman?    

            “Makan siang bareng?” ajak Marvin kemudian.

            Hazel menimbang-nimbang, sebelum akhirnya mengiyakan.

                                                                        ***

            Hazel merasa harus membicarakan soal ciuman mereka tiga hari yang lalu. Bagi Marvin, ciuman itu mungkin tidak berarti apa-apa, tapi buat Hazel, dia cukup dibuat berpikir keras tentang ciuman mereka.

            “Marvin. Gue mau ngomongin soal kejadian di tepi kolam itu.” Hazel mengaduk spaghetti.

            “Oh.” Marvin langsung tanggap. “Kenapa emangnya?”

            “Sebenarnya kenapa lo nyium gue?”

            Marvin menatap Hazel kemudian memberi alasan yang dirasanya tidak membutuhkan penjelasan lanjutan. “Kadang, ada saat di mana manusia ngelakuin sesuatu di alam bawah sadarnya.”

            “Gue ngerti. Tapi gue cuma minta lo jangan ngulangin hal itu lagi tanpa persetujuan gue.”

            Marvin mengangkat alis. “Bukannya waktu itu lo setuju? Lo nggak nolak, jadi gue anggap lo mau gue cium.”

            “Gue…khilaf.”

            Wow.

            “Oke. Jadi kita sepakat buat ngelupain hal itu.”

                                                                        ***

            Mereka baru saja selesai makan dan menunggu pelayan datang membawakan bill ketika seorang perempuan menghampiri meja mereka. Tubuhnya yang tinggi berbalut blazer cokelat dan rok pendek berwarna senada.

            “Hai, Marvin.”

            “Hei, Ajeng.” Marvin berdiri dan menempelkan bibirnya di pipi kanan Ajeng sebagai tanda bahwa Ajeng itu cukup dekat dengannya. “Kenalin. Ini Hazel, tunangan gue.”

            “Oh, Hai… Hazel. Gue Ajeng. Aaw, finally ya, Marv?”

            “Hazel.”

            Marvin dan Ajeng saling bertukar senyum dan Ajeng terlihat seperti sedang berbisik di telinga kiri Marvin. Dan Marvin langsung mengarahkan kepalanya ke hamparan meja restoran yang lumayan penuh di waktu makan siang seperti sekarang. Seperti mencari sesuatu. Seseorang, tepatnya.

            “She’s there.”

            “Really? Sekarang kalian jadi penguntit ya?”

            “Kebetulan aja, tau.”

            Wajah Marvin terhalang oleh kepala Ajeng. Hazel hanya perlu menggeser badannya sedikit untuk melihat ekspresi wajah Marvin yang berubah sumringah hanya dalam waktu beberapa detik.

            She’s there.

            Jika Hazel tidak salah menangkap maksud Ajeng, seseorang yang membuat Marvin langsung mengalihkan pandangan darinya adalah seseorang yang disukai Marvin. Bahkan mungkin seseorang yang dicintainya.

                                                                        ***

            Ajeng yang jika diperhatikan wajahnya sangat eksotik seperti model, menepuk-nepuk bahu Marvin. “I gotta go. Senang kenal sama kamu, Hazel.”

            Hazel memaksakan diri tersenyum. Entah mengapa hatinya merasa tidak tenang. Dia berusaha tidak mempedulikan Marvin dan apapun yang ingin dilakukannya termasuk jika Marvin memiliki perempuan lain. Tapi, demi melihat Marvin yang begitu terlihat bahagia diam-diam Hazel merasa terpukul. Dia merasa berada di keadaan dan situasi yang salah dengan Marvin berada di dalamnya.

            “Gue anter lo ke kantor lo.” Marvin membuyarkan pikiran Hazel yang tidak lagi berada di sana.

            Hazel menggeleng cepat. “Nggak usah. Gue bisa balik sendiri kok.”

            “Lo nggak bawa kendaraan.”

            Hazel tersenyum. “Gue naik taksi aja. Lo pergi aja kalo ada urusan.”

            Marvin mengamat-amati wajah Hazel yang tampak murung. “Are you okay?”

            Hazel yang sudah akan menunjukkan airmata di ke dua matanya yang memanas, langsung menyambar tasnya dan berlari menuju toilet. “Gue ke toilet dulu deh kalo gitu.”

            “I’ll wait.” Marvin kembali menarik kursi dan dengan begitu Hazel bisa berlari secepatnya menuju toilet.

            Belum genap semenit, seseorang menghampiri kursinya. Riana tersenyum penuh harap.

            “I need to talk.” Riana sudah menariknya dari kursi dan berbalik untuk tersenyum.

            “I know what you want.” Marvin merangkul Riana dan balik menariknya ke toilet cowok yang sepertinya cukup lengang. “Because that I want too.”

                                                                        ***

            Oo this is not good.

            Hazel tidak tahu mengapa dia harus mengurung dirinya selama 10 menit di dalam toilet. Dia bahkan tidak menangis. Hampir menangis, iya tapi dia begitu lihai mengatur moodnya sebelum menjadi semakin buruk.

            Setelah yakin pikiran dan perasaannya sudah lebih baik, Hazel membuka pintu toilet.

            Ada bayangan hitam di bawah kelopak matanya yang didapatkannya dari begadang entah sudah berapa tahun ini. Wajahnya pun lelah luar biasa.

            “Gue baik-baik aja, oke?” Hazel tersenyum pada bayangannya di depan cermin. Butuh waktu lima menit lagi sebelum dia sudah merasa lebih baik.

                                                                        ***

            “Aku hebat kan bisa ngikutin kamu sampai sini?” Riana menengadahkan wajahnya ke langit-langit ketika bibir Marvin menjelajahi lehernya. “I miss you.”

            Marvin menghembuskan tawa di leher Riana. “Nggak bisa tahan ya nggak gue cium sehari aja?”

            “Ya gitu deh.” Riana menggigit bibir agar tidak mengeluarkan desahan yang lebih nyaring di dalam toilet ketika Marvin menciumnya lagi di rahangnya. “Sayang, cuma di toilet. We need bed, you know.”

            “Gue kira lo nggak pernah keberatan sama lokasinya.” Marvin mengerutkan kening dengan senyum polosnya.

            “I prefer car than toilet, Handsome.”

            “Oke. Kapan-kapan deh.” Marvin mengerling nakal.

            “In my car?”

            Marvin mengerutkan kening. “Honda Jazz? Nggak ada mobil yang lebih kecil lagi?”

            “Ada. Beetle.” Riana tertawa berderai. Bibirnya mengulum bibir Marvin yang kini kembali di depan bibirnya. “Aah Marv. Aku pengen makan kamu.”

              “Sayang sekali, lo harus sabar.” Marvin tertawa. Dan tawanya itu semakin menambahkan gairah di dalam diri Riana. Dibiarkannya cewek itu sampai puas menjelajahi bibir dan lidahnya. Ke dua tangan Riana menyisir rambutnya, sesekali menjambaknya tergantung seberapa kuat tekanan dan ritme ciuman mereka. Marvin menyerahkan kendali sepenuhnya pada Riana yang harus diakuinya punya banyak trik dalam berciuman, walaupun kalau Marvin mau mengambil kendali, bisa dipastikannya Riana akan sangat mengakui kehebatannya.

             Marvin merasakan pergerakan Riana yang duduk di pangkuannya semakin liar. Dia sampai harus menahan ke dua paha Riana yang melebar di atas toilet tetap aman mendudukinya. Paha mulus Riana itu bahkan sudah lembab oleh keringat. Sweaty sweet…

            “Wow, hotter.”

            “Yeah, aku kegerahan gara-gara kamu.”

            “Masa sih?”

            “Iih sok polos.” Riana tertawa dengan suaranya yang sensual.     

Marvin berusaha menarik napas. “Done, Baby?”

            Riana menggeleng, masih menguasai bibir Marvin dengan posesif. Dia kadang tidak mengerti dengan Marvin yang begitu kasual dan cool dengan make out super panas mereka, sementara Riana sudah meledak-ledak karena ledakan gairah yang membuatnya ingin memakan cowok itu sekarang juga.  

            Jadi bukan salahnya, kalau Marvin selalu bisa membuatnya beringas seperti sekarang.

“Nggak pernah bisa done kalo udah ketemu bibir kamu.”

            “…”

            “…”

            “…”

            “Udahan ya.” Marvin menjauhkan bibirnya dari bibir Riana dengan kalem.

            “No, no.” Riana membuka mata. “Ugh, Baby. Kenapa sih?”

            “Nanti gue dicariin.”

            “Uuh.” Riana melepaskan jari-jarinya di sela-sela rambut Marvin. ”Mmh…iya deh.” Riana lalu menarik telunjuk kanan Marvin dan memasukkan ke mulutnya dan mengulum-ngulumnya dengan gaya sensual. “For dessert.” Lalu bergerak turun dari pangkuan Marvin.

Marvin mencium cuping telinga kanan Riana dan berdiri dari dudukan toilet untuk membuka kait pintu toilet, dengan Riana yang memeluk punggungnya dan mencium-cium tengkuknya.

            Riana ikut keluar dari toilet dan berdiri di samping Marvin yang sedang mencuci tangan. Tidak ada laki-laki yang lalu lalang di sekitar situ. Kalaupun ada, mereka sepertinya tidak terlalu peduli.

            “Gue harus nganterin Hazel balik ke kantornya, soalnya.” Setelah mengeringkan tangan dengan tissue, Marvin merapikan dasinya.

            “Okeeee. Aku ngerti.” Riana memilin-milin ujung rambut curlynya sambil mengulum-ngulum bibirnya sensualnya. “Dia cantik juga ya?”

            “You’re more beautiful.” Marvin mengecup lembut bibir Riana. “Gue duluan ya?”

            Walau belum rela, Riana harus melepaskan Marvin untuk beberapa waktu. “Ok. Nginap sama aku kan bentar malam?” tanya Riana was-was.

            “Gue liat nanti.”

            “Nyesel lho kalo kamu nggak dateng.” Riana menggigit-gigit bibir bawahnya. “Kamu boleh request apapun yang kamu mau dari aku.”

            Marvin pura-pura tidak tertarik, tapi kemudian mengiyakan. “Oke. Give me the best show.”

“I’d love to do that. Clue?”

“Borgol.” Marvin menyeringai.

“Sure, Baby.”

                                                                        ***

            Ajeng hanya menggeleng-geleng melihat Riana yang keluar dari toilet cowok sesaat setelah Marvin keluar dari sana.

            “Lo gila ya? Ada tunangannya pula di toilet cewek.”

            Riana memeletkan lidah di permukaan bibirnya yang sedikit bengkak setelah keluar dari toilet. Dikeluarkannya lipstick dari dalam handbagnya. “Dia nggak bakal tau, kok.”

            “Are you serious with this, Riana?”

            “Serious about what?”

            “Tetap berhubungan sama Marvin sekalipun dia udah mau nikah?”

            “Even Marvin udah nikah, gue tetap sama dia dong.”

            Ajeng mengerang. “Ooh, criminal. Perselingkuhan nggak akan termaafkan.”

            “For God’s sake. I love him to death. He’s mine. Dan gue sama Marvin udah sepakat buat tetap ngejalanin hubungan ini.”

            “Tapi dia tunangan orang, Ri.”

            “I even don’t care about that fact.”

            “So you’re stupid.” Ajeng mengejek Riana. Dia lalu teringat Reno, salah satu kenalannya yang ganteng, tajir tapi alim naksir Riana tapi diabaikan mentah-mentah oleh sahabatnya itu.

            “Ah, lo. Kalo udah ngomongin cinta, manusia nggak cuma stupid tapi idiot, malah.”

            Ajeng memandangi kepergian Hazel dan Marvin. Marvin terlihat protektif dengan merangkul pinggang Hazel ketika mereka berjalan menuju pintu restoran. “I feel sorry for that woman.”

            Riana kembali memulas lipgloss di bibir seksinya. “Semoga Tuhan melindunginya. Pray for her.”

            Ajeng menatap Riana serius. Menanyakan pertanyaan yang sudah entah berapa kali ditanyakan kepada Riana tapi tidak pernah dijawab Riana. “Kenapa lo nggak pernah minta Marvin nikahin lo?”

            Riana mendesah. “I did. Tapi, terhalang restu orangtuanya. Gue pernah diajak Marvin ketemu mamanya. And she said I’m  a bitch.”

            “Itu karena dandanan lo.” Ajeng mengerutkan kening. Sahabatnya itu punya badan sempurna dan she likes to wearing all the sexy things. Dandanan yang disukai cowok-cowok  penggemar cewek seksi dan sebaliknya dibenci ibu-ibu yang mendambakan calon menantu yang keibuan dan berpakaian sopan.

            “Nooo. Gue pake kebaya waktu nemenin Marvin ke kawinan tantenya.”

            Ajeng mengangkat bahu. “Kenapa sih nyokapnya langsung benci banget gitu sama lo? Nggak mungkin kan dia langsung benci sama lo?”

            “Gue nggak tau. Mungkin karena nyokapnya tau latar belakang keluarga gue yang nggak jelas?”

            Ajeng meraih tangan Riana. “Lo deserves to be happy, Darling. Kalo nggak sama Marvin, lo bisa cari cowok lain yang bisa bahagiain lo. Reno, misalnya.”

            Riana menggeleng. “Ah Reno lagi. Nggak. Gue udah nyaman begini. Dan please, Jeng. Jangan hakimin gue soal ini.”

            Ajeng mendesahkan napas pasrah. “Gue cuma bisa doain aja deh biar lo cepat sadar.”

            “Shut up, Jeng.”

                                                            ***  

           

            “Thanks ya buat makan siangnya.” Hazel tersenyum setelah melepaskan seatbeltnya. “Jadi, lo balik ke kantor sekarang?”

            Marvin mengangguk. “Ya. Masih ada meeting.”

“Oke. Good luck.” Hazel meraih handbag yang diletakkan di dekat persneling yang kini sedang diseberangi Marvin yang mencondongkan tubuh ke arahnya.

“Hazel.”

            “Ya?”

            Sebuah ciuman mendarat di pipi kanan Hazel. Hazel berbalik menatap Marvin yang baru saja mencium pipinya dan meninggalkan bekas hangat di sana.

            “Gue turun dulu.” Hazel membuka pintu di sampingnya.

            “Jangan terlalu capek.”

            Hazel hanya bisa mengangguk pelan. “O…oke. You’re too.”

            Marvin kembali duduk sambil memegang setir. Menyalakan mesin setelah Hazel menutup pintu penumpang. Hazel memandangi sampai mobil SUV Marvin meninggalkan halaman parkir kantornya.

            Hazel tersenyum sambil mengelus pipi kanannya. “And thanks for this, Marvin.”

            Hazel balik badan dan berjalan penuh semangat menuju pintu lobi. Tanpa sadar dia bersenandung riang. Suasana hatinya langsung berubah ceria, dan dia tahu siapa penyebabnya.

                                                            ***

            Marvin memukul setir yang dikemudikannya.

            Holy cow! Kenapa gue bisa semanis itu di depan dia? Nyium dia lagi?

Gue nggak pernah bermaksud begitu. Gue refleks doang. Salahnya sendiri kenapa punya pipi blushing menggemaskan seperti itu.

            Marvin mengacak-acak rambutnya. Tertegun dalam beberapa saat.

            Dia hanya tidak mau membuat Hazel berharap banyak padanya. Tapi berada di dekat Hazel selalu membuatnya merasa nyaman. Dan entah mengapa dia ingin selalu melakukan sesuatu untuk menyenangkan hati Hazel. Membahagiakannya.

            Damn. This is not good.

“Gue harus jaga jarak sama dia.”

                                                            ***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro