3. lelah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

He's Alga

3. Lelah

.

.

.

Di sana, Algun memuntahkan darah yang terkumpul dimulut selepas tinjuan mendarat dirahangnya. Beberapa murid ketakutan, menjauh secara buru-buru dari 3 murid laki-laki yang menyudutkan Algun sendirian. Algun terlihat menanggapi ketiga murid didepannya dengan santai, tak nampak ketakutan maupun merasa dalam bahaya.

"Waw, adik lo berantem, tuh." Derick berseru dari tempat duduknya, melirik Alga yang masih seperti biasanya, tak menampilkan raut yang signifikan. Kantin menjadi hening untuk sebentar tatkala yang ditengah diantara tiga orang itu mendekat menuju Algun.

Terlihat bahwa laki-laki dengan nametag "Juna Renada" itu menggunakan telunjuknya untuk mendorong dada Algun mundur. Berteriak dan memekik didepan wajah Algun. Mengapa Algun membiarkan laki-laki itu mempermalukan Algun begitu saja? Alga tak mengerti. Ia tak suka, mengapa hanya diam? Kau sedang dipermalukan, Algun! Lawan!

Suara-suara liar mulai menggerogoti kepala Alga. Menyuruhnya untuk mendekat dan membantu Alga, tetapi dilain sisi memerintahkan tubuhnya untuk tetap diam ditempat. Memberinya ajakan dan saran, motivasi untuk membantu Algun yang sedang terpojok. Dan juga membisikkan risiko, konsekuensi yang akan terjadi jika Alga membantu Algun. Kepalanya berisik.

"Lo itu ngga usah belagu. Disini gue yang berkuasa!" Juna berteriak dengan sangat kencang didepan wajah Algun, dua teman dibelakangnya bersorak menyemangati Juna seolah Juna baru saja memenangkan hadiah besar. Algun masih diam, memandang Juna dengan raut kesal dan amarah. Alisnya bertaut dan ekspresinya semakin masam. Algun akhirnya mulai marah.

Algun menghela napas gusar. Semua pertengkaran ini terpicu hanya karena Algun tak sengaja menabrak bahu Juna karena laki-laki itu menghalangi jalan masuk kantin. Juna dengan hebohnya langsung meninju rahang Algun hingga menciptakan keributan.

"Berani banget, lo, ya. Perlu dikasih pelajaran?" tanya Juna yang mulai menyadari Algun menatapnya dengan tatapan berani dan tak takut sama sekali. Ia melirik pada murid-murid dikantin yang terlihat tertarik dan mengeluarkan handphone masing-masing. Jiwa kesombongan dan ingin lebih itu semakin merajai Juna. Ia dengan lantang mengangkat tangan kanannya hendak memberi satu bogeman lagi pada Algun, sebelum tangan yang ramping itu menahannya dengan sekuat tenaga.

Bola mata berwarna coklat tua itu membulat lebar, tercenung ketika mendapati punggung seseorang menghalangi pemandangan didepannya. Mulutnya sedikit terbuka, dengan rasa tak percaya yang mulai membanjiri dada. Suara yang lembut, tetapi terkesan mendominasi itu memasuki telinganya dengan cepat. Suara yang Algun kenal.

"Juna Renada, lebih baik lo berhenti sekarang," suruh Alga memberi saran. Namun, Juna bukannya berhenti malahan memberi senyuman miring dan menepis tangan Alga yang mencengkeram pergelangannya. Juna lalu terkekeh kecil, memandang sinis pada Alga, yang tak memberi raut selain datar.

"Dunia lagi lucu-lucunya, ya?" kelakar Juna yang disambut dengan beberapa tawa murid disana. Beberapa mulai semakin tertarik pada pertengkaran yang terjadi tiba-tiba ini, semua mata memandang mereka. "Alga, Alga. Kalau mau lindungi adik lo, jangan dengan badan kurus ngga ada otot itu. Lo mending ngegym dulu, deh, gue saranin." Kini, bukan hanya beberapa lagi yang tertawa melainkan hampir seluruh orang dikantin tertawa pada ejekan Juna.

"Gue baru tahu anjing bisa ngasih saran. Selama ini ngiranya cuma bisa koar-koar ngga jelas karena rabies."

Hening. Semua orang seketika terdiam mendengar jawaban dari Alga yang sangat menusuk sekaligus mempermalukan Juna. Dalam sekejap, murid-murid bertukar pihak menjadi pihak Alga. Menyorakkan jawaban Alga hingga Juna melangkah mundur sedikit, melotot tajam pada kerumunan murid-murid. Rasa malu kini berdenging dikepala Juna, ia merasa begitu dihina.

Alga menoleh sedikit kebelakang, pada Algun yang membulatkan bola matanya. Memberi raut yang seolah mengatakan, 'lo ngapain?!'. Bola mata berwarna coklat tua itu bertubrukan dengan hitam pekat, Algun terkesiap. Alga lalu kembali menghadap pada Juna yang merasa malu karena ucapan Alga barusan.

"Gue ngga butuh otot, Juna Renada. Beberapa perintah dari mulut gue udah cukup ngebuat hidup lo hancur." Alga menyentuh bahu Juna, membuat sang empu terlonjak kaget. Bulu kuduk Juna seketika merinding, kedua temannya juga sudah kabur terbirit-birit agar tidak terikat masalah. Tinggallah Juna yang semakin terpojok oleh Alga dan murid-murid dikantin yang menyoraki. "Renada, ayah lo kerja di rumah sakit bokap gue, bukan? Asisten, ya?" tanya Alga menebak-nebak. Ia merasa puas melihat ekspresi ketakutan dan ngeri diwajah Juna.

Juna menggertakkan giginya geram, amarahnya memuncak karena dipermalukan didepan banyak orang oleh Alga. Dan tentu, itulah yang diinginkan oleh Alga. Alga mengintip dari ujung mata, tangan Juna sudah terkepal erat bersedia kapan saja meninju wajahnya. Namun, Alga tidak merasa bahaya sama sekali. Derick sudah berada dibelakang Alga dan bisa menghalangi bogeman itu agar Alga tak terluka, beruntung Alga mempunyai Derick yang bisa dimintai tolong apa saja.

"Bangsat!" Persetan! Juna tidak peduli lagi dengan keluarga Hartigan! Ia hanya ingin melampiaskan amarahnya dengan memberi tinjuan keras pada rahang laki-laki didepannya. Membuat laki-laki itu merasakan malu yang sama dengannya. Namun, pergelangan tangannya segera dicengkeram oleh sosok dibelakang Alga. Algun.

BRUAGHH!

Seluruh kantin menjadi sangat senyap setelah suara yang sangat keras. Juna terpelanting jauh, memegang hidung dan pipinya sembari terpekik kuat. Meraung kesakitan dilantai. Tak ada yang bergerak untuk membantu. Alga dan Derick bahkan hanya bisa membuka mulutnya lebar, tercengang.

"Gue diam bukan berarti gua sabar," desis Algun dengan napas yang terengah-engah. Buku-buku jarinya sedikit terluka akibat meninju wajah Juna dengan sangat keras. Murid perempuan disana lalu berteriak dan berseru, mengalihkan atensi Alga pada pintu masuk kantin. Alga seketika mengutuk dirinya sendiri melihat siapa orang yang kini menatap dirinya bagai tersangka utama.

...

"Bapak tidak habis pikir dengan kamu, Alga."

Alga setia untuk diam. Jika saja guru didepannya ini bisa tahu, Alga sendiri juga tidak habis pikir dengan pikirannya. Mengapa pula ia harus mencampuri urusan Algun dan Juna? Mengapa ia tak membiarkan Algun bertengkar seperti biasa? Apa karena pertengkaran itu terjadi tepat didepan matanya? Apa hanya karena sekedar sesak didada melihat sang adik dipermalukan didepan ramai?

Pak Jovanda, guru Bimbingan Konseling itu menatap Alga dengan tatapan begitu kecewa. Alga, Algun dan Juna dikumpulkan diruangan Pak Jovanda karena pertengkaran yang terjadi dikantin barusan. Algun hanya membuang muka kesamping, Juna yang menunduk dan Alga yang berusaha sekuat tenaga untuk tetap berkontak mata dengan Pak Jovanda.

"Kalau Alga dan Juna, bapak tidak terlalu terkejut karena mereka memang anak yang ngga bisa diatur. Tapi, kamu? Alga, kamu itu menjadi teladan bagi murid lain. Mengapa harus ikut bertengkar seperti ini? Apa yang harus bapak katakan dengan ayah kamu, Alga?" Pak Jovanda memijit pelipisnya, mengerang frustrasi.

Penyesalan sekarang mengisi seluruh tubuh Alga. Lututnya terasa lemas, dengan pergelangan tangan yang terasa nyeri. Napasnya mulai pendek meskipun ia sebisa mungkin menutupinya dengan bersikap tenang. Suara-suara dibenaknya mulai saling sahut menyahut berteriak, memarahi dan memaki keputusan gegabah Alga. Ia kesulitan meneguk ludah, jantungnya mulai berdetak lebih cepat dan lebih cepat. Keringat dingin membasahi kening dan pelipisnya, ia gelisah.

"Apa bapak berpikir saya akan diam saja melihat adik saya dipermalukan?" ketiga orang diruangan itu serempak menoleh pada Alga ketika suaranya terdengar. "Saya memang bukan seorang kakak yang baik, tapi jika pertengkaran Algun terjadi didepan mata saya, saya tidak akan diam begitu saja," lanjut Alga dengan suara yang percaya diri. Namun percayalah, jauh didalam sana, Alga merasa begitu tidak percaya diri dan ketakutan dengan apakah jawaban ini adalah jawaban dan keputusan yang benar untuk ia katakan.

Pak Jovanda tak menjawab, ia diam seribu kata tak menanggapi perkataan Alga. Sepertinya guru itu mengerti setelah ketiganya disuruh keluar dari ruangan bimbingan konseling. Alga hanya bisa membuang napas panjang dan lega, mencoba mengosongkan pikirannya setelah badai baru saja mengobrak-abrik. Bisa ia lihat dari ujung matanya bahwa Algun sudah lebih dulu berjalan menjauh dan menghilang di belokan. Alga tak punya pilihan lain selain menghela napas kembali.

"Maaf, gue salah." Alga menolehkan kepalanya pada suara barusan. Alisnya terajut bingung tentang mengapa Juna tiba-tiba saja meminta maaf padanya.

 "Minta maaf sama Algun, jangan sama gue." Alga memilih untuk membawa kedua tungkainya kembali menuju ruang kelas, meninggalkan Juna dengan kepala yang tertunduk lemas.

Terhitung sudah hampir 2 jam Alga duduk dikursi halte setelah menyelesaikan les malamnya. Pikirannya begitu berisik. Ada banyak penyesalan tentang yang terjadi dikantin siang hari tadi, dan ketakutan dengan bagaimana reaksi sang ayah ketika ia sampai dirumah nanti. Alga tak berani, ia tak berani menggerakkan kakinya untuk berjalan menuju perhentian bus terakhir. Ia takut dengan hal yang tak pasti tetapi disaat yang bersamaan ia sangat yakin akan terjadi. Ia penakut, memang.

Detak jantungnya berdetak lebih kencang dengan hanya memikirkan kata-kata yang akan terlontar dari mulut sang ayah. Jari jemarinya mulai bergetar, lebih hebat dari biasanya. Ia menjatuhkan kepala pada kedua lutut, menjambak rambut hitam lebatnya dengan tarikan yang kuat. Ia frustrasi. Tuhan, beri ia ruang sebentar.

Suara sepeda motor yang berhenti didepannya membuat Alga tepaksa untuk menegakkan punggungnya, mendongak hanya untuk menemukan sang adik membuka helm dan memandanginya dengan tatapan tak suka. Luka di pipinya tampak sudah diberi salep, tetapi raut datar itu tak kunjung menghilang dari sana.

"Gue benci sama lo, Alga."

Alga tak menjawab. 5 kata itu menjatuhkan jantungnya, menyerap seluruh darahnya. Ia tak berkutik, bergeming ditempatnya seraya berusaha untuk tetap tenang. Ia mengambil napas pendek, dadanya terasa nyeri.

"Ngga usah bersikap seperti abang, ngga guna. Udah telat. Gue udah lupa kalau gua punya abang sejak dulu, jadi stop. Yang lo lakuin sekarang bukannya bikin gue terharu, yang ada risih, ngerti?" Algun menekan starter motornya, lalu segera melajukan motor dan menghilang digelapnya jalanan. Kini hanya tersisa Alga, dengan kesunyian.

Jalanan yang sepi tak membuat kepala Alga berhenti berisik. Malah menjadi semakin berisik. Alga membuang muka, memukul kepalanya dengan keras. Ia tak bisa, ia tak kuat. Apakah selama ini dia salah? Selama ini, semua hal yang membuatnya menderita adalah kesalahannya sendiri? Ia sudah sejak lama menjauhkan dirinya dari Algun karena merasa cemburu dengan kasih sayang yang tak pernah dicurahkan padanya lagi. Ia sudah sejak lama membunuh rasa peduli pada Algun karena merasa bahwa sang adik bisa menjaga diri sendiri. Ia sudah sejak lama tak menganggap dirinya sebagai anggota keluarga Hartigan lagi karena tak pernah merasakan kehangatan keluarga lagi.

Alga juga bisa lelah, Tuhan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro