4. Pain

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

He's Alga

4. Pain

.

.

Alga menghentikan mobilnya pada garasi rumah. Ia diam sebentar, menarik napas panjang sebelum akhirnya memutuskan untuk membuka pintu mobil. Alga baru terpikir, Algun pulang menaiki apa dari sekolah tadi? Algun mengendarai motor yang tak pernah Alga lihat di garasi. Entahlah, itu bukan hal yang penting sekarang.

Alga mendorong pintu rumahnya pelan, menimbulkan deritan kecil. Ruangan luas yang kerap disebut sebagai ruang tamu itu lenggang, tak ada satupun disana. Bahkan Bibi Elena maupun pembantu lainnya pun tak ada yang terlihat. Alga tak mau memusingkan hal itu, ia memilih menaiki tangga menuju kamarnya secepat mungkin.

Alga terhenti sebentar setelah nyeri terasa di mata kaki kanannya. Ia menggerutu geram, berdecak dan memaksakan diri untuk tetap berjalan tegap menuju kamarnya. Ia segera memutar knop pintu dengan cat abu-abu gelap itu. Namun, yang ia rasakan setelahnya mengejutkan setiap syaraf di tubuhnya hingga ia bahkan tak bisa memberikan reaksi akan hal itu.

Dingin. Ia bisa merasakan dingin air di pucuk kepalanya yang perlahan turun ke leher hingga kerah dan bagian atas seragamnya. Pecahan kaca berserakan dilantai, beberapa mengenai tangannya yang tidak terbalut lengan seragam karena sengaja ia lipat. Darah lalu mengucur dengan cepat dan deras dari lengan, begitu juga dengan kepala Alga.

Cairan kental itu mengalir pada wajah Alga yang masih menunduk dalam. Telinganya berdengung kencang, ia tak bisa mendengarkan teriakan dari wanita bergaun hitam sempit didepannya.

Lalu hening.

Hening yang menyeramkan.

Hening yang menyuruhnya untuk lari.

Hening yang memintanya untuk tetap tinggal.

Hening yang memuakkan.

"ALGA!"

Alga merasa seolah rohnya sempat pergi dari tubuhnya, lalu kembali dalam hitungan detik oleh tamparan yang ia dapatkan barusan. Rasa panas menjalari pipi kirinya. Lagi, Alga tak bisa merespon. Lidahnya tak bisa mengucapkan sepatah katapun. Pandangannya kabur, bukan karena air mata maupun cairan kental berwarna merah yang mengenai kelopak matanya. Melainkan karena pusing yang disebabkan oleg sebuah vas bunga yang ia simpan di kamar, baru saja dilempar oleh Ibundanya tepat di kepala Alga.

"Sekarang jelasin, kenapa Algun bisa terlibat perkelahian. Bahkan kamu juga terlibat!" Teriakan itu menghenyakkan Alga. Ia diam, dengan kedua tangannya yang sudah bergetar. "Jawab, Alga! Kamu masih punya mulut untuk bicara, kan? Apa perlu Saya robek biar tidak bisa bicara sekalian?"

Lidah Alga kelu, ia tak tahu harus berbicara apa. Semuanya berputar-putar dan pikirannya kosong. Ia takut, ia takut berbicara, ia takut menjawab pertanyaan dari sang bunda, ia takut. "Itu ... itu ... bukan-" ucapannya tersendat, ia hampir saja merasa tercekik karena tekanan yang menghimpit dadanya.

Sunyi, hanya ada suara tetesan darah yang turun dan deru napas marah dari sang ibu. Lalu, setelahnya, hanya ada kekalahan yang menyerbu raga Alga. Gumaman pasrah akhirnya meluncur dari bibirnya.

"Maaf, Alga salah."

Alga menarik napas lelah, mengompres kepalanya dengan bungkusan es selama setengah jam terakhir. Ia menyandarkan berat tubuhnya pada kepala kasur, menghembuskan napas berat. Pandangannya kosong, hanya tertuju pada jendela kamar yang gordennya terbuka, menampakkan pemandangan bangunan-bangunan tinggi dan langit mendung yang sudah menerjunkan air.

Alga tak suka hujan.

Entah sejak kapan, setiap kali tubuhnya mendapat kekerasan dari ayah dan ibunya, hujan akan selalu turun mau itu sebelum, ketika sedang dipukul, atau setelahnya. Ia merasa dikasihani, dan jujur, ia membenci hal itu. Seolah hujan tahu bahwa dirinya sedang hancur, seolah hujan tahu betapa menyedihkan dan sangat rapuh dirinya. Seolah hujan tahu bahwa ia sedang sendiri, meratapi buruknya hidup.

Namun, disisi lain, ia lega. Ia lega masih ada yang sadar dengan kondisinya. Tak akan bohong, ia paham betapa inginnya ia menghilang. Betapa inginnya ia kabur dari dunia kejam ini. Tetapi, ia juga menyadari seberapa besar harapannya akan seseorang mengetahui tentang kacaunya hidup Alga. Dan hujan selalu datang, disaat yang tepat.

"Alga." suara cukup berat itu mendominasi ruangan meskipun dari luar kamar. Alga menoleh pelan pada pintu kamarnya, tak minat untuk bergerak dan beranjak dari kasur untuk membuka pintu kamar. "Alga, lo di dalam?" suara laki-laki di luar sedikit bergetar, seolah sedang menahan isakan. "Ngga, lo pasti di dalam," lanjutnya.

Alga masih setia diam, tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Namun, dengan sisa tenaga yang ia punya sekarang, ia beranjak dari kasur dan berjalan menuju pintu sembari menghembuskan napas lelah. Tangannya menyentuh knop pintu, tetapi tak memutarnya ataupun berbicara.

"Bunda mukul lo pakai vas, kan?" Suara Algun terdengar lumayan besar, seakan membentak. "Kepala lo ngga apa-apa?" kali ini, suaranya mengecil dan lebih pelan. "Kata pembantu, luka lo parah-

"Pergi." Alga berbalik, berjalan lumayan tergesa-gesa menuju kasurnya kembali. Menarik selimut dan menggulung tubuhnya di dalam selimut hangat, menutup kedua telinganya dengan erat-erat agar tak ada suara yang bisa masuk.

Ia muak dengan kepedulian yang terasa pura-pura ini. Hal seperti ini juga pernah terjadi ketika kecil, Algun menjenguk Alga yang habis dihajar oleh sang ayah karena nilainya yang turun drastis. Awalnya, ia kira Algun tahu bahwa ia dipukuli habis-habisan oleh sang Ayah, tetapi anak itu datang dengan senyum lebar dan mengajak Algun untuk main bahkan ketika Algun tahu bahwa Alga sedang sakit.

Ia tak suka dengan Algun yang berusaha tidak tahu bahwa ia sedang sakit. Tetap memaksanya untuk main dan menghiraukan dirinya yang untuk berdiri saja rasanya tak kuat. Tak selang lama, Alga akhirnya mendengar dari Bibi Elena bahwa Bundanya mengatakan pada Algun dirinya hanya mendapat demam kecil. Bukan dipukuli. Bukan dihabisi oleh sang ayah.

Alga benci dengan kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Algun, mempertanyakan kondisinya lalu mengabaikannya bagai ia hanyalah kerikil kecil.

Tak ada suara yang terdengar lagi dari pintu.

Hanya Alga sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro