第二十一章 Bab 21

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Now playing: 春风十里报新年

Ketika tidak sedang diperhatikan, waktu bisa bergulir begitu cepat. Bulan-bulan berlalu begitu saja, dan suhu udara perlahan-lahan meningkat. Musim dingin terlewati dan musim semi tiba. Menyambut festival musim semi ini, semua orang mulai bersiap-siap untuk pulang ke kampung halaman dan berkumpul dengan keluarga.

Chen Ai menyiapkan barang-barang yang akan dibawa untuk perjalanannya ke Wuhan. Saat itu, ia sedang membereskan barang-barangnya di ruang kerja ke dalam satu kardus besar untuk dibawa pulang sementara, karena ia akan mengambil cuti penuh selama dua minggu pada libur Imlek tahun ini. Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu ruang kerjanya dan melangkah memasuki ruangan.

"Selamat pagi, Manajer Luo," sapa Yun Xiang dan Liu Nian bersamaan.

Chen Ai yang sedang membereskan barang-barang di laci bawah meja sedikit terlambat memberi salam. "Pagi, Luo Wang," ucapnya sambil menyunggingkan senyum tipis.

Luo Wang mengangguk sambil membalas senyuman Chen Ai.

"Oh, ya. Luo Wang, aku tahun ini akan pulang kampung selama dua minggu. Apakah kau mau ikut ke Wuhan lagi? Seperti tahun kemarin," tawar Chen Ai. Ia sudah terbiasa dengan Luo Wang yang ikut pulang kampung dengannya selama beberapa tahun terakhir ini. Orang tua Chen Ai juga sangat menyukai pria itu. Mengajak Luo Wang sama sekali bukan hal buruk. Lagi pula, Luo Wang asli orang Shanghai, pria itu tidak pernah punya agenda pulang kampung. Jadi, daripada pria itu sendirian di kota superbesar ini, Chen Ai biasanya dengan senang hati mengajaknya.

Namun, sepertinya kali ini pria itu tidak seperti biasanya. "Oh, ya. Soal itu, maaf, Chen Ai. Aku tidak bisa ikut pulang kampung denganmu tahun ini. Aku ada tugas prospek seorang klien dari New York. Kau tahu, mereka tidak merayakan festival musim semi dan mereka sama sekali tidak mau toleransi. Jadi, aku terpaksa mengikuti jadwal mereka di hari libur Imlek ini," ujar Luo Wang sambil menghela napas.

Chen Ai memajukan bibir bawahnya, turut bersimpati dengan jadwal pekerjaan Luo Wang. "Yah ... ya, sudahlah. Semoga sukses, Luo Wang," ucapnya. Setelah itu, ia kembali membereskan barang-barangnya di laci meja.

"Oh, ya. Chen Ai, bisakah kau makan siang denganku nanti? Aku ingin menitipkan hadiah untuk orang tuamu sekalian," ujar Luo Wang.

"Eh ... ada titipan untuk orang tuaku juga? Kau terlalu baik, deh," tutur Chen Ai sambil menepuk bahu Luo Wang.

"Kupikir orang tuamu akan menyukainya. Hadiah ini juga tidak akan membuatmu repot membawanya, kok," sahut Luo Wang sambil tersenyum lebar. Lihat, kan? Aku memang baik. Selain memberikan hadiah untuk menjaga nama baikku di depan orang tuamu, aku juga memikirkan dirimu. Kapan kita akan kembali berpacaran?

"Terima kasih banyak. Pasti nanti akan kusampaikan pada orang tuaku. Soal makan siang, tunggu sebentar, ya." Chen Ai menyalakan handphone-nya yang diletakkan di meja. Ia membuka reminder kalender dan mengecek jadwal. Akhir-akhir ini Zhao Nan hampir setiap hari mengajaknya makan siang bersama. Mereka sedang berada tahap ambigu yang manis. Chen Ai merasa sedang menjalani proses pendekatan. Memikirkan hal itu sering membuat suasana hati Chen Ai menjadi cerah. Namun, entah apa yang dipikirkan Zhao Nan.

Seusai melihat kalender dan memastikan jadwalnya kosong, Chen Ai segera menjawab, "Bisa. Nanti bertemu di mana?"

"Rumah makan di samping kantor saja, ya," jawab Luo Wang.

"OK." Chen Ai menunjukkan jarinya yang membentuk angka tiga, lalu lanjut membereskan barang.

Luo Wang menyunggingkan senyum tipis, lalu melenggang keluar dari ruangan Public Relation. Tatapan mata yang ditunjukkan Chen Ai ketika berbicara denganku berbeda dengan tatapan yang ditujukannya untuk Zhao Nan. Pada kenyataannya, bagaimana perasaan Chen Ai padaku? Apakah seluruh hati dan waktu yang kuberikan untuknya selama ini tidak berarti apa-apa? batin Luo Wang. Ia memasuki ruang kerjanya, lalu duduk dan kembali menghadapi komputer. Namun, pikirannya kosong.

***

4 Februari 2019, Chen Ai berangkat pagi-pagi buta ke stasiun Shanghai. Orang-orang di kampungnya suka bangun pagi. Saat sudah agak siang, mereka cenderung sibuk memasak di dapur, apalagi menjelang hari raya seperti ini. Chen Ai berharap ia bisa tiba sebelum semua orang sibuk dengan masakan masing-masing.

Setelah menyerahkan boarding pass ke petugas, Chen Ai memasuki kereta kelas satu dan duduk di kursi menempel dinding yang sudah dipesannya. Ia menutup ritsleting jaketnya karena udara pagi itu dingin sekali. Setelah itu, Chen Ai menyandarkan tubuh dan memejamkan mata. Beberapa menit kemudian, ia merasa kursi penumpang di sebelahnya terisi. Ia pun membuka mata dan menoleh.

"Apakah ini kebetulan?" Chen Ai menaikkan sebelah alis begitu melihat Zhao Nan duduk di sebelahnya.

"Wah ... astaga. Iya, ini murni kebetulan." Zhao Nan menangkupkan kedua tangannya di pipi Chen Ai, lalu mengguncang-guncang wajah wanita itu dengan lembut.

Chen Ai tersenyum sekilas, lalu menyingkirkan tangan Zhao Nan. Ia menyipitkan mata sambil memiringkan bibir. "Jujur saja, apa yang kaulakukan?"

Zhao Nan melihat ke sekeliling, lalu seorang pramugari kereta lewat di sampingnya. "Ehm ... tidak baik dibicarakan di sini."

Chen Ai menutup mulut dengan kedua tangannya. "Kau meretas sistem pemesanan tiket?" bisiknya pelan.

"Itu bukan masalah besar. Aku tidak memberantakkan hal lain selain melihat nomor tempat dudukmu," jawab Zhao Nan pelan.

"Hei, kau tanya padaku saja, aku pasti akan menjawabnya." Chen Ai memukul lengan Zhao Nan pelan, lalu bersedekap. "Lain kali jangan melakukan hal seperti itu."

"Baiklah." Zhao Nan tersenyum, lalu mengusap puncak kepala Chen Ai.

Alhasil, pagi itu Chen Ai tidak jadi melanjutkan tidurnya. Ia terus mengobrol dengan Zhao Nan sampai mereka tiba di stasiun Wuhan.

Berbincang sepanjang perjalanan di kereta begini sebenarnya cukup romantis, pikir Chen Ai dengan hati berbunga-bunga.

Sesampainya di Wuhan, mereka bedua naik taksi bersama menuju rumah Chen Ai. Zhao Nan berkata ia ingin bertemu dengan keluarga Chen Ai dan sekalian memberikan hadiah tahun baru. Dalam hati, Chen Ai berharap hadiah yang diberikan Zhao Nan untuk orang tuanya lebih bagus daripada hadiah Luo Wang. Ia ingin orang tuanya memiliki kesan baik pada pria yang benar-benar disukainya.

Chen Ai sampai di rumahnya di pinggir kota Wuhan sekitar pukul 08.00 a.m. Keluarga besarnya sudah banyak yang berkumpul di situ. Halaman depan rumah Chen Ai terlihat sangat ramai.

Setelah turun dari taksi dan memandang rumah Chen Ai, Zhao Nan berkomentar, "Keluargamu penentang Kebijakan Satu Anak, ya?"

Chen Ai membelalakkan mata ketika mendengar pertanyaan itu. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, lalu memandang halaman rumahnya dengan sudut pandang objektif. Memang kesannya ramai sekali, sih. Chen Ai berdeham, lalu menjawab, "Ehm ... tidak. Kami sudah menjadi keluarga besar sejak Kebijakan Satu Anak diberlakukan."

"Ayo, masuk dulu." Tangan kanan Chen Ai menarik kopor, sementara tangan kirinya menarik pergelangan tangan Zhao Nan. Ia menyapa adik-adik sepupunya yang bermain di halaman, sebelum akhirnya sampai di ruang tamu rumah dan bertemu orang tuanya.

"Ma, Pa, aku pulaaang." Chen Ai meninggalkan kopornya di depan pintu, lalu segera memeluk orang tuanya yang masih duduk di sofa. Ayah dan ibu Chen Ai bergantian mengusap kepala wanita itu. Beberapa detik kemudian, Chen Ai melepaskan pelukan.

Chen Ai mundur beberapa langkah mendekati Zhao Nan, lalu berkata, "Ma, Pa, aku membawa teman baru lagi dari Shanghai. Kampung halamannya juga di Wuhan. Rumahnya tidak terlalu jauh dari kompleks kita."

"Wah ... selamat datang, selamat datang," sambut ibu Chen Ai ramah. Ia mengulurkan tangan dan menjabat tangan Zhao Nan.

"Shu Shu, A Yi, halo. Aku Zhao Nan," ujar Zhao Nan sopan.

"Ah, selamat datang kembali di Wuhan," sahut ayah Chen Ai sambil tersenyum lebar.

Beberapa detik kemudian, seorang Chen Lulu, bersama dua anak berumur delapan tahun lainnya datang mendekati Chen Ai. Anak-anak perempuan itu adalah adik sepupu Chen Ai.

"Jie Jie, selamat tahun baru. Minta angpau, dong," ujar tiga anak itu serempak.

"Chen Ai, aku tidak membawa angpau sekarang. Bagaimana ini?" bisik Zhao Nan pelan.

Chen Ai tersenyum santai. "Tidak apa-apa. Imleknya masih besok."

Kemudian, Chen Ai menatap anak-anak perempuan itu. "Hari ini belum tahun baru. Jie Jie belum menyiapkan angpau sekarang. Kalian minta lagi saja besok," ujarnya sambil mengibas-ngibaskan tangan supaya anak-anak itu pergi sebentar.

"Yah ...." Ketiga anak itu tertunduk lemas sambil berbalik kembali ke halaman untuk bergabung dengan anak-anak lain.

"Adik-adik sepupumu sangat menggemaskan," tutur Zhao Nan sambil tersenyum.

Chen Ai mengangguk mengakuinya.

Setelah acara ramah tamah pagi itu, semua orang berkumpul di meja makan bersama-sama untuk menyantap menu makan siang. Suasananya benar-benar ribut, apalagi dengan adanya sepupu-sepupu kecil Chen Ai. Namun, atmosfer inilah yang membuat Chen Ai selalu merindukan rumah.

Setelah makan siang bersama, beberapa sanak saudara pulang ke rumah atau penginapan masing-masing terlebih dahulu dan berjanji untuk bertemu lagi saat tahun baru Imlek besok. Setelah suasana lebih lengang, Zhao Nan memulai pendekatannya pada orang tua Chen Ai. Pria itu mengeluarkan set pijat elektrik dari kopor, memberikannya sebagai hadiah pada orang tua Chen Ai, dan mengajarkan cara memakainya.

Zhao Nan sudah bekerja keras. Ia perhatian sekali. Kuharap Papa dan Mama menyukainya. Chen Ai berharap dalam hati.

Respons orang tua Chen Ai atas hadiah Zhao Nan sangat baik. Mereka semua sangat senang dengan alat pijat baru itu dan langsung memakainya. Setelah mengobrol beberapa lama, Zhao Nan pun pamit untuk pulang.

Setelah Zhao Nan meninggalkan rumahnya, Chen Ai baru mengeluarkan hadiah yang dititipkan Luo Wang kepadanya. Orang tuanya membuka kotak kecil dari Luo Wang itu bersama. Di dalamnya ada beberapa sachet teh dari Taiwan, parfum laki-laki dari Prancis, dan gelang giok warna putih.

Chen Ai tersenyum dengan bangga, beranggapan bahwa hadiah Zhao Nan jauh lebih keren. Namun, ternyata ....

"Waw ... aku terkesan lebih eksklusif dengan parfum ini," ujar ayah Chen Ai.

"Astaga. Gelang giok ini cantik sekali. Sangat sesuai dengan warna kuliku," ujar ibu Chen Ai.

"Iya, benar, benar. Luo Wang sangat tahu apa yang cocok untuk kita."

Seketika itu juga, Chen Ai merasa pikirannya kosong.

Footnote:

Shū Shu 叔叔= [Bahasa Mandarin] Panggilan untuk Paman/Om.

Jiě Jiě 姐姐= [Bahasa Mandarin] Panggilan untuk kakak perempuan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro