第二十五章 Bab 20

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Now playing: Ling Ting 聆听 by Xu Yiyang 徐艺洋

Zhao Nan menyetir mobil sambil mengembuskan napas berkali-kali. Pria itu terlihat sangat gelisah. Tangannya berkeringat dingin. Ia terus menggerutu ketika lampu lalu lintas berubah merah.

"Kau jangan terlalu terburu-buru, Zhao Nan. Yang terpenting bisa sampai di rumah sakit dengan selamat," ucap Chen Ai menenangkan. Tangannya terulur sedikit, berniat mengusap lengan Zhao Nan. Namun, melihat pria itu masih fokus pada jalanan, ia mengurungkan niat. Mungkin malah akan mengganggu.

"Kau ada di mobil ini bersamaku, aku pasti tidak akan mencelakakanmu," canda Zhao Nan sambil terkekeh kering. Chen Ai menanggapinya dengan senyuman tipis. Kemudian, pria itu menghela napas tegang. "Aku sebenarnya sedang berusaha tenang." Zhao Nan terus menatap ke jalanan.

"Pelan-pelan saja. Hati-hati," sahut Chen Ai.

Zhao Nan melepaskan tangan kanannya dari stir kemudi, lalu meremas tangan Chen Ai di sebelahnya. Chen Ai yang sedang memandang ke jalanan tersentak kaget begitu merasakan aliran kegugupan menguasai seluruh tubuhnya. Ia menoleh ke Zhao Nan dengan skeptis sambil berusaha menarik tangannya. Namun, pria itu malah memperkuat genggaman, lalu mengusap punggung jari-jari Chen Ai dengan ibu jarinya.

Chen Ai memandang ke arah jendela sambil menggigit bibir. Ia awalnya menggigit bibir untuk menelan kegugupan, tetapi akhirnya ia menggigit bibir untuk menahan senyum. Andaikan waktu bisa berhenti saat ini juga. Kalau kau bersedia, aku ingin selalu menemanimu seperti sekarang.

***

Zhao Nan memarkirkan mobil di lapangan parkir Shanghai Jiahui Hospital. Kemudian, ia menelepon perawat dari Wuhan Changqing Hospital tempat ibunya dirawat sebelumnya untuk mengecek kondisi.

"Halo, ini Zhao Nan, putra dari Nyonya Chao Luo. Hu Shi, bagaimana kondisi mama saya? Lokasi Anda di mana sekarang? Oh, begitu. Apakah kamar rawat sudah disiapkan? Hah? Lalu saya harus bagaimana? Baiklah. Terima kasih bantuannya, Hu Shi." Zhao Nan mengembuskan napas kasar, lalu memijat tulang hidungnya sambil memejamkan mata.

"Kenapa?" tanya Chen Ai.

"Hu Shi bilang jika status pasien 'dipindahkan' seperti ini, harus masuk IGD dulu. Namun, IGD di Jiahui sedang penuh. Mereka sekarang masih sekitar 13 kilometer jauhnya dari sini. Jika ketika mereka sampai di sini IGD masih penuh, maka mamaku tidak bisa mendapat kamar dan harus dirawat di kursi koridor," jelas Zhao Nan cepat. Dari pelipis pria itu, keringat dingin mulai menetes-netes.

Chen Ai tahu prosedur pemindahan pasien dari rumah sakit satu ke rumah sakit lain sangat rumit. Ia pernah merasakannya saat mengurus ayahnya dulu. Saat itu, ayahnya mempunyai batu ginjal yang sangat besar. Rumah sakit di Wuhan tidak mempunyai alat untuk memecahkan batu ginjal sebesar itu. Lalu ayahnya dirujukkan ke Shenzhen dan dirawat di rumah sakit sana. Jika tidak memiliki banyak uang, prosedurnya juga akan merepotkan seperti ini. Jadi, Chen Ai sangat memahami kegelisahan Zhao Nan sekarang.

"Zhao Nan, kau rileks sedikit. Kita duduk di lobi rumah sakit sambil menunggu ambulans dari rumah sakit Wuhan saja bagaimana?"

"Baiklah." Zhao Nan membuka mata, lalu melepas sabuk pengamannya dan keluar dari mobil.

Kemudian, mereka berdua pun duduk di lobi rumah sakit sambil menunggu kedatangan ambulans Wuhan Changqing Hospital.

"Omong-omong, mamamu mengapa tiba-tiba bisa sesak napas?" tanya Chen Ai di sela-sela mereka menunggu.

"Ia punya asma, tetapi aku tidak menyangka asma itu akan kambuh saat aku sedang bekerja di luar kota. Biasanya hanya akan kambuh bila kelelahan, tapi mamaku itu sering lupa membawa inhaler."

"Oh, begitu. Apakah A Yi masih bekerja?"

Zhao Nan mengangguk lemas.

"Eh ... apa kau mengirim sebagian uang bulananmu ke mamamu?"

"Aku tentu saja mengirim uang. Tapi mamaku tidak mau menggunakannya. Ia hanya menabung uang itu." Zhao Nan duduk di salah satu kursi tunggu rumah sakit sambil mengusap wajah lelah. "Aku ingin istirahat sebentar. Aku tidak mau terlihat stres ketika mamaku tiba nanti." Ia menyandarkan tubuh sambil memejamkan mata.

Chen Ai menelan saliva. Sepertinya ia sudah terlalu banyak bertanya. "Maaf, Zhao Nan," ucapnya sambil menundukkan kepala.

Zhao Nan spontan membuka mata. Ia tersenyum tipis melihat Chen Ai yang merasa bersalah. Sepertinya ia salah menangkap maksud perkataanku tadi. Zhao Nan menegakkan punggung dan menarik tangan Chen Ai. "Aku tidak sedang menyalahkanmu, Chen Ai. Sini, duduk," ajaknya sambil menepuk kursi di sebelahnya.

"Pertanyaanku terlalu banyak, dan terkesan seperti ingin mencecarmu."

"Tidak masalah. Kalau mau saling memahami satu sama lain, memang harus banyak bertanya." Zhao Nan tersenyum sambil mengusap puncak kepala Chen Ai sekilas. Kemudian, ia kembali duduk bersandar sambil memejamkan mata.

"Chen Ai, apa kau bawa minum?"

"Hanya air mineral."

"Bolehkah aku minta sedikit? Aku sangat haus."

"Boleh." Chen Ai mengeluarkan botol dari tas dan menyodorkannya pada Zhao Nan. Kemudian, pria itu segera menenggaknya sampai tinggal tersisa sepertiga. Zhao Nan pun mengembalikan botol Chen Ai kembali. "Terima kasih."

"Tidak masalah," sahut Chen Ai sambil tersenyum tipis. Ia mengembuskan napas senang, lalu duduk menyandar di samping Zhao Nan.

Beberapa puluh menit setelah percakapan itu, ambulans dari Wuhan datang. Beberapa perawat berbondong-bondong memindahkan ibu Zhao Nan ke brankar rumah sakit, lalu mendorong kasur itu dengan cepat memasuki lift menuju tempat penanganan penyakit pernapasan di lantai tujuh.

Chen Ai dan Zhao Nan bergegas menyusul melalui lift lain. Ternyata, ruang IGD memang masih penuh. Para perawat langsung mengarahkan untuk memasang selang bantu pernapasan. Zhao Nan langsung menyetujui arahan itu. Begitu perawat-perawat itu selesai memasangkan selang bantu pernapasan, ibu Zhao Nan terlihat agak membaik.

"Volume udara dalam paru-paru pasien terlalu rendah. Setelah memakai alat ini, seharusnya akan semakin membaik perlahan," terang seorang perawat. Zhao Nan mengangguk singkat. Kemudian, perawat itu berjalan meninggalkan mereka.

Zhao Nan duduk di samping ibunya. "Mama, kau sekarang bagaimana?"

"Sudah jauh lebih baik," ucap ibunya dengan tenang.

Zhao Nan menghela napas, lalu memeluk wanita paruh baya itu. "Ma, maaf aku tidak ada saat Mama kelelahan. Aku payah, tidak bisa mengurus Mama." Ibu Zhao Nan mengusap puncak kepala anaknya, sementara Zhao Nan menenggelamkan wajah sambil terisak tertahan.

Chen Ai tersenyum hangat. Ia pun mundur perlahan dan duduk di kursi yang agak jauh, memberi ruang bagi Zhao Nan dan ibunya untuk berinteraksi.

Beberapa menit kemudian, Zhao Nan datang mendekati Chen Ai. "Chen Ai, apa aku bisa meminta bantuanmu?"

"Tentu," jawab Chen Ai, "apa yang bisa kubantu?"

"Bisakah kau menemani mamaku sebentar? Ia biasanya tidak suka ditinggal sendirian. Kau boleh menemaninya mengobrol, tapi tolong jangan biarkan mamaku melepas selangnya. Aku akan mengurus masalah kamar dengan bagian administrasi sebentar."

Chen Ai menoleh ke arah ibu Zhao Nan sebentar. "Tidak masalah," jawabnya yakin.

"Terima kasih." Zhao Nan menepuk lengan Chen Ai, lalu berjalan cepat menuju lift.

Chen Ai mendekati ibu Zhao Nan dan duduk di samping wanita itu. Begitu ibu Zhao Nan menoleh dan melihat Chen Ai, ia langsung berbicara. "Eh, hai. Siapa namamu? Kau sepertinya dekat dengan Xiao Nan, ya?"

"Hai, A Yi. Namaku Chen Ai. Bisa dibilang begitu. Kami ... berteman baik," ujar Chen Ai sambil tersenyum ramah. Rasanya agak aneh, mengingat bagaimana ia dulu menolak mentah-mentah disebut teman SMA Zhao Nan. Namun, sekarang ia malah memperkenalkan diri sebagai teman baik Zhao Nan di hadapan ibu pria itu.

"Ah, Chen Ai, ya? Kenapa aku sepertinya pernah mendengar nama ini?" Ibu Zhao Nan berusaha mengingat-ingat.

"Benarkah?" Benarkah Zhao Nan pernah menceritakan aku di depan mamanya? Jantung Chen Ai berdebar-debar menunggu jawaban ibu Zhao Nan.

"Iya. Kapan, ya? Sepertinya sudah lama sekali. Bertahun-tahun yang lalu. Ia sering berkata kau cerdas, pintar, tapi polos. Kapan, ya Xiao Nan menceritakannya?"

Bertahun-tahum yang lalu. Cerdas, pintar, tapi polos. Frasa itu terus berputar-putar di kepala Chen Ai. Itu seperti ... gambaran Chen Ai saat SMA. Pria itu bercerita tentangnya sejak SMA di depan ibunya. Namun, pria itu malah menyuruh teman-temannya membuat status sindiran karena telah menyukainya. Pikiran Chen Ai kacau saat itu juga. Ia memilin ujung kaus olahraganya dengan tak nyaman.

"Kau kenapa?" tanya wanita paruh baya itu perhatian.

Chen Ai spontan menegakkan kepala. Ia kembali menyunggingkan senyum ramah. "Ah, aku tidak apa-apa, A Yi. Ehm ... mungkin Zhao Nan menceritakannya saat SMA? Kami pernah sekelas saat itu."

"Oh, iya! Benar. Sepertinya begitu," sahut ibu Zhao Nan bersemangat, seolah-olah baru saja mendapat petunjuk hebat.

Chen Ai tersenyum, lalu berusaha menyingkirkan kesan negatifnya tentang Zhao Nan dulu. Selanjutnya, ia mengganti topik dan berbicara dengan wanita paruh baya itu sampai lama sekali. Ketika seorang perawat datang mengantarkan infus, Chen Ai ikut membantu memasangkannya pada ibu Zhao Nan. Perlahan-lahan, terbentuk keterikatan khusus di antara mereka berdua.

***

Saat itu sudah malam dan ibu Zhao Nan telah dipindahkan ke kamar rawat inap biasa karena kondisinya sudah jauh membaik. Setelah memastikan ibunya tidur dengan pulas, Zhao Nan keluar dari kamar dan menemui Chen Ai yang sedang menunggu di koridor.

Chen Ai langsung berdiri begitu Zhao Nan muncul. "A Yi bagaimana?" tanyanya.

"Sudah jauh lebih baik," jawab Zhao Nan.

Chen Ai mengembuskan napas lega. "Syukurlah."

"Maaf merepotkanmu, Chen Ai. Omong-omong, apa kau sudah lapar?"

"Sedikit," jawab Chen Ai jujur.

"Bagaimana jika kita makan malam dulu di rumah makan seberang?"

"Boleh juga."

Chen Ai pun mengikuti Zhao Nan turun ke lobi rumah sakit. Saat hendak menyeberang jalan, pria itu menyuruhnya berjalan agak di depan. Sesampainya di rumah makan itu, Zhao Nan langsung memesan makanan. Pria itu yang mentraktir kali ini.

Mereka membicarakan banyak hal sambil menunggu makanan pesanan datang. Begitu menu-menu yang dipesan tiba, Zhao Nan langsung mengambilkan daging-daging yang empuk dan meletakkannya ke mangkuk Chen Ai dengan bersemangat.

"Ini ucapan terima kasihku karena kau masih menemaniku di saat seperti ini."

"Jangan sungkan. Kau dulu juga pernah memberiku bantuan yang sangat berarti untuk karierku. Sekarang kita impas, bukan?" Chen Ai tersenyum.

Zhao Nan membalas senyuman itu. Namun, dalam hati, ia takut jika 'impas' yang disebut Chen Ai berarti mereka berdua tidak saling terikat lagi. Ia ingin terikat dengan Chen Ai. Ia ingin hubungan mereka melangkah ke tahap yang lebih serius. Tapi kelihatannya Chen Ai tidak terlalu tertarik mengenai hubungan 'serius' dengannya.

Footnote:

A Yí 阿姨= [Bahasa Mandarin] panggilan untuk Bibi/Tante.

Kata 'Xiǎo' (Hanzi: 小, arti: kecil) diikuti nama belakang biasa digunakan untuk memanggil orang akrab yang lebih muda.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro