第二十八章 Bab 28

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Now playing: Sun 太阳

Chen Ai masih belum beranjak dari kursi kerja saat jam istirahat. Yun Xiang dan Liu Nian sudah turun ke kantin untuk makan, tetapi Chen Ai tidak ingin makan di kantin. Ia ingin makan siang bersama Zhao Nan lagi.

Chen Ai memandangi bunga di ujung mejanya yang masih segar berseri-seri karena selalu disiram setiap pagi. Namun, seperti bunga vas pada umumnya, lama kelamaan ia akan layu, seperti hati Chen Ai saat ini.

Chen Ai menggelengkan kepala beberapa kali, mencoba membuang filosofi konyol itu dari kepalanya. Ia pun membuka WeChat, lalu melihat kontak Zhao Nan yang masih kosong tanpa notifikasi apa pun. Ia memberanikan diri untuk mengirim pesan lagi.

Chen Ai: Zhao Nan ....

Beberapa detik kemudian, tidak seperti akhir-akhir ini, Zhao Nan langsung mengirim balasan.

Zhao Nan: ?

Hanya tanda tanya, tapi ini sudah kemajuan bagus. Setidaknya Zhao Nan mau membalas pesannya.

Chen Ai: Apa kau sedang sibuk?

Zhao Nan: Aku sudah mau melakukan perjalanan. Kalau tidak ada penundaan, sebentar lagi mungkin aku harus offline.

Chen Ai berusaha mencerna jawaban Zhao Nan selama beberapa saat. Perjalanan, penundaan, offline. Kalau 'penundaan' yang dimaksud di sini adalah delay bandara, apakah mungkin Zhao Nan hendak naik pesawat terbang? Chen Ai buru-buru mengetikkan balasan sebelum pria itu benar-benar offline.

Chen Ai: Kau mau pergi ke mana?

Zhao Nan: Beijing.

Chen Ai menggigit bibir. Pria itu benar-benar ingin pergi. Namun, berapa lama? Untuk apa? Kapan akan kembali?

Chen Ai: Kau sekarang di mana?

Zhao Nan: Shanghai International Airport.

Chen Ai: Aku ingin membicarkan banyak hal yang sangat penting denganmu. Kau berangkat dengan pesawat jam berapa? Bisakah aku menemuimu sekarang?

Zhao Nan: Aku berangkat dengan pesawat jam 01.45 siang, sekarang masih menunggu di dekat Starbucks bandara lantai dua.

Chen Ai: OK.

Chen Ai melirik jam di pojok atas layar handphone. Sudah jam 12.35 siang. Waktunya tidak banyak. Perjalanan dari kantor ke bandara membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit dengan taksi, kalau tidak macet. Namun, pada jam makan siang seperti ini, lalu lintas di Shangahai biasanya sangat ramai.

Chen Ai segera menyambar tas tangan di samping mejanya, memasukkan handphone, lalu ke luar ruangan. Ia segera menyeberangi koridor BeLook yang luas, kemudian berhenti di depan lift. Ia memencet tombol down beberapa kali sampai akhirnya pintu terbuka, lalu masuk ke lift itu dan menekan tombol lantai dasar.

Sesampainya di lantai dasar, Chen Ai segera berjalan cepat melewati mall BeLook yang cukup ramai. Setibanya di serambi kantor, Chen Ai segera mencegat taksi pertama yang melalui jalanan itu.

"Shi Fu, tolong ke Shanghai International Airport. Butuh buru-buru," ujar Chen Ai cepat.

Supir taksi mengangguk, lalu menginjak pedal gas. Jalanan Shanghai benar-benar ramai siang itu. Supir taksi untungnya memahami Shanghai dengan baik. Ia mengemudikan mobilnya melalui jalan-jalan kecil di Shanghai yang tidak terlalu ramai, lalu mengantarkan Chen Ai di Shanghai International Airport setengah jam kemudian. Meskipun perjalanan tetap tersendat sebelum memasuki area parkir bandara, tetapi setidaknya Chen Ai tidak terlambat terlalu lama.

Chen Ai buru-buru memindai kode QR di dasbor taksi dan membayar dengan WeChat Pay. Saking terburu-burunya, ia sampai tidak sempat memberikan bintang. Pikiran Chen Ai terlalu kacau saat itu.

Sesampainya di gedung bandara, Chen Ai menghampiri sebuah meja besi, lalu melihat denah bandara yang terpampang di layar. Ia segera mencari tulisan Starbucks. Setelah menemukan lokasi kafe itu, Chen Ai segera berjalan cepat menuju eskalator ke lantai dua.

Setibanya di lantai dua, Chen Ai berlari kecil menghampiri kafe Starbucks. Ia mendapati Zhao Nan sedang bersandar di dinding kaca sambil mengecek handphone.

"Zhao Nan," panggil Chen Ai. Ia mendekati Zhao Nan perlahan.

Zhao Nan berpaling dari handphone-nya. Sudut bibirnya sempat terangkat sedikit, tetapi kemudian ia kembali memasang wajah datar. "Tak disangka, kau benar-benar datang ke sini. Kau mau apa?"

Chen Ai mendekat selangkah lagi. "Zhao Nan, mengapa kau tiba-tiba pergi ke Beijing? Apa ini ada hubungannya denganku? Apa kau masih marah padaku? Tolong jangan marah lagi. Aku sudah tahu salah."

Zhao Nan menunduk. Ia memasukkan tangan kanan ke saku celana, sementara tangan kirinya menggenggam pegangan kopor. "Kepergianku kali ini ... tidak ada hubungannya denganmu. Tapi kupikir kau tidak perlu lagi menanyakan hal ini. Bukankah kau sudah bersama dengan rekanmu itu?"

Chen Ai membelalak. Rekan? Aku bersama dengan rekan? Rekan siapa? Ia memutar otak, memikirkan arah pembicaraan Zhao Nan, karena sesadarnya ia tidak sedang berpacaran dengan seorang rekan. Tunggu. Apa Luo Wang yang dimaksud?

"Jika maksudmu adalah Luo Wang, biar kuperjelas. Aku dengan Luo Wang sudah tidak mempunyai hubungan apa pun. Ia bahkan sudah tidak mau berteman denganku," ujar Chen Ai cepat.

"Apa kau menyesalinya?"

Chen Ai menggeleng mantap. "Tidak. Aku sama sekali tidak menyesal, karena aku sekarang benar-benar yakin bahwa orang yang kuinginkan hanya kau." Ia memberanikan diri untuk mendekati Zhao Nan selangkah lagi dan memegang ujung lengan baju pria itu.

"Zhao Nan, apa kau masih marah? Tolong jangan terus seperti itu," rajuk Chen Ai. "Aku sebelumnya tidak pernah merajuk pada pria seperti ini, kau adalah yang pertama kali. Aku benar-benar ingin kau memaafkanku. Aku sangat sibuk waktu itu, dan aku bersalah karena telah melupakanmu. Kau boleh menghukumku, tapi tolong jangan mengabaikanku seperti ini." Chen Ai menggigit bibir kuat-kuat, berusaha menahan tangisnya supaya tidak pecah. Zhao Nan sudah hadir di hatinya sejak sembilan tahun yang lalu. Kalau kali ini ia benar-benar tidak bisa mendapatkan pria itu, ia tak mampu membayangkan seberapa sakitnya.

"Tapi aku masih harus pergi ke Beijing," ujar Zhao Nan.

"Aku tahu." Chen Ai mengangguk pelan, lalu menunduk.

"Ini salah satu proyek besarku. Apa kau tidak bisa terlihat senang karena aku berhasil mendapatkannya?"

"Bukan begitu, Zhao Nan. Aku tentu saja turut senang, tapi—"

"Tapi apa?"

"Kau mau pergi berapa lama?"

"Masih tidak tahu."

"Kira-kira akan lama atau tidak?"

"Aku juga belum tahu. Jika pekerjaan di sana bagus, aku akan mempertimbangkan untuk tidak kembali ke Shanghai."

Chen Ai menggigit bibirnya semakin kuat. Air matanya perlahan mengumpul di pelupuk mata. Aku tidak tahu bagaimana nasibku nanti jika kau benar-benar pergi, isaknya dalam hati.

Chen Ai menghela napas, lalu berusaha berbicara meskipun bibirnya bergetar. "Aku tahu karier sangat penting untukmu, dan untukku juga. Tapi Zhao Nan, aku menunggumu."

"Penumpang pesawat terbang A1067 diharap segera menyerahkan tiket masuk dan menunggu di depan lapangan bandar."

Chen Ai mengabaikan suara speaker itu. Ia masih menatap Zhao Nan lekat-lekat dengan tatapan memohon.

Zhao Nan menyingkirkan tangan Chen Ai dari ujung lengan bajunya dengan lembut. "Aku pergi dulu." Ia menarik kopornya dan berjalan ke loket masuk.

Chen Ai memandang punggung Zhao Nan yang menjauh dan perlahan tak terlihat. Zhao Nan, apa kau benar-benar meninggalkanku? Kali ini kau mau pergi berapa lama?

Saatmasih remaja dulu, dunia jauh lebih mudah. Yang mereka lakukan tidak ada yangbenar atau salah, karena semuanya adalah bagian dari proses bertumbuh. Namun,ketika sudah dewasa, mereka harus mengambil setiap keputusan dengan cermat,sama sekali tidak boleh ada kesalahan. Karena semua pilihan-pilihan itu akanberdampak pada hidup jangka panjang. Chen Ai ingin menunggu sampai Zhao Nankembali, tetapi apakah itu pilihan yang tepat? Masalahnya, ia bahkan tidak tahuharus menunggu sampai kapan.

Footnote:

Sh­ī Fù 师傅= [Bahasa Mandarin] Panggilan untuk supir kendaraan umum.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro