第二十九章 Bab 29

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Now playing: Little Dimples 小酒窝 by JJ Lin ft. Charlene Choi

Setelah kepergian Zhao Nan, Chen Ai merasakan kehilangan yang mendalam di hatinya. Ia merasa hidupnya begitu kosong. Orang yang menyukai dan memberikan kebahagiaan dalam dirinya kini telah pergi, entah untuk berapa lama.

Demi mempertahankan hidup dan tidak membuat orang-orang di sekitarnya khawatir, Chen Ai berusaha terlihat baik-baik saja di tempat kerja. Namun, begitu selesai bekerja dan pulang ke apartemen, Chen Ai terus merenung, mengenang masa-masanya dengan Zhao Nan. Ia sesekali membuka laman Weibo Zhao Nan, mencari-cari foto, dan melihat apa yang Zhao Nan lakukan di Beijing. Ketika melakukan hal tersebut, Chen Ai menyadari bahwa ia tak punya satu pun foto berdua dengan Zhao Nan. Ia mengembuskan napas berat.

Malam itu, Chen Ai menyalakan laptopnya dan menyambungkan kabel printer. Ia mennge-print salah satu foto Zhao Nan, lalu menyimpannya di dompet.

Zhao Nan, kuharap kau tidak membiarkanku menunggu terlalu lama. Cepatlah kembali. Chen Ai mengusap foto itu dengan lembut, lalu menghela napas sambil memejamkan mata. Air mata perlahan mengalir membasahi pipinya.

***

Sore itu, Chen Ai baru saja selesai bekerja di kantor BeLook. Ia menyimpan teks copy writing yang baru selesai diketik sebagian, lalu mematikan komputer. Ia mengambil tasnya, lalu berjalan ke luar ruangan.

Beberapa langkah sebelum mencapai lift, handphone di tas Chen Ai berdering. Suara lagu Those Years milik Hu Xia yang akhir-akhir ini dijadikannya sebagai ringtone terdengar. Chen Ai berjalan ke pinggir koridor, lalu mengeluarkan handphone dari tas.

Napas Chen Ai tertahan begitu melihat nama kontak di layarnya. Zhao Nan meneleponnya.

Chen Ai segera menyentuh ikon 'jawab panggilan', lalu mendekatkan handphone ke telinga. "Halo," ucapnya pelan, masih bingung dengan penglihatannya barusan.

"Halo, Chen Ai. Apa kau sudah selesai bekerja sekarang? Sedang sibuk?" tanya Zhao Nan.

"Apa?" Suara riuh-rendah kerumunan orang terdengar dari seberang telepon membuat Chen Ai tidak bisa mendengar dengan jelas. Namun, beberapa saat kemudian, ucapan Zhao Nan tercerna di otaknya. "Oh, tidak, tidak. Aku baru saja selesai bekerja," jawabnya bersemangat. Ia senang Zhao Nan menanyakan kabarnya lagi, setelah dua minggu lebih tidak saling berhubungan.

"Pesawatku baru saja tiba Shanghai International Airport. Masih ada beberapa waktu untuk mengurus ini itu dan terbebas dari bandara. Apakah kau mau menjemputku?"

Chen Ai menaikkan kedua alis tinggi-tingi. "Kau sudah pulang?"

"Iya. Mengapa? Kau kelihatannya tidak bersemangat mendengar berita kepulanganku. Bukankah terakhir kali kau bilang kau menungguku?"

"Zhao Nan, tolong serius sedikit. Kau benar-benar sampai di Shanghai sebentar lagi?" Chen Ai mengentak-entakkan kaki pelan ke lantai kantor. Ia setengah senang, setengah tak percaya.

"Iya. Tapi kau kedengarannya tidak percaya, ya? Ya, sudah. Aku pulang sendiri saja tidak apa-apa."

"B–bukan begitu," bantah Chen Ai cepat. "Zhao Nan, kau mengapa tidak memberitahuku bahwa kau hanya pergi dua minggu?"

"Aku pada awalnya memang belum ada rencana mau pergi berapa lama. Ternyata proyek ini cepat selesai, jadi aku langsung pulang, karena Beijing ternyata penat sekali. Aku lebih suka di Shanghai. Lagi pula, katanya ada yang sedang menungguku di sana," jelas Zhao Nan.

"Zhao Nan, aku sekarang juga berangkat ke bandara." Chen Ai buru-buru menutup telepon, memencet tombol untuk membuka pintu lift, dan turun ke lantai dasar. Sesampainya di lantai dasar BeLook, Chen Ai segera berlari ke serambi dan menghentikan taksi kosong yang pertama kali lewat.

Dua orang rekan hendak masuk ke taksi yang baru saja dihentikan Chen Ai, karena sebenarnya mereka lebih dulu menunggu di serambi. Namun, dengan tergesa-gesa, Chen Ai segera menyalip dan masuk duluan ke taksi tersebut. "Maaf, aku buru-buru," ucapnya sekilas ke dua rekan tersebut.

"Shi Fu, tolong ke Shanghai International Airport," ujar Chen Ai pada sopir taksi.

"Baik."

Chen Ai mengirimkan pesan singkat pada Zhao Nan.

Chen Ai: Tunggu sebentar. Aku sedang dalam perjalanan.

Chen Ai sebelumnya tidak pernah menyangka bahwa cinta dapat membuat hidupnya seperti cerita-cerita di film lepas yang alurnya supercepat dan dapat mengubah kepribadiannya begitu saja. Ia sekarang menjadi sering tergesa-gesa, mudah gugup, tiba-tiba senang, dan sebagainya. Namun, jujur saja, Chen Ai menyukai sekelumit perasaan sejak ia jatuh cinta pada Zhao Nan.

***

Chen Ai langsung mengunjungi pintu keluar penumpang pesawat A1067. Di tempat tunggu dekat pintu tersebut, Chen Ai melihat Zhao Nan sedang mengecek handphone. Pria itu sesekali menaikkan kacamata di hidungnya. Chen Ai baru berpisah dengan Zhao Nan selama dua minggu, tetapi penampilan pria itu sekarang terlihat seolah-olah mereka sudah berpisah dua tahun.

Chen Ai mengembuskan napas, lalu berjalan mendekati Zhao Nan.

"Zhao Nan, aku datang," ujar Chen Ai sambil menyunggingkan senyum.

Zhao Nan mendongak dan menatap Chen Ai. Ia pun berdiri, lalu berjalan ke dekat sisi koridor bandara yang tidak terlalu ramai supaya mereka bisa berbincang. Chen Ai pun mengikuti dari belakang.

"Sejak kapan kau pakai kacamata?" tanya Chen Ai penasaran.

"Ini hanya kacamata anti radiasi. Aku sudah sering memakainya sejak sering bekerja lembur beberapa waktu lalu," jawab Zhao Nan ringan.

Zhao Nan melepas kacamatanya. Pria itu kembali terlihat seperti Zhao Nan yang semula. Chen Ai menyunggingkan senyum tipis.

"Chen Ai."

"Hmm?"

"Boleh tolong bukakan tasmu?"

Chen Ai membuka ritsleting tas tangannya, lalu memandang Zhao Nan dengan tatapan bingung. "Untuk apa?"

"Titip, ya." Zhao Nan memasukkan kacamatanya ke kantong kecil di dalam tas Chen Ai, lalu menutup tas wanita itu kembali.

Chen Ai menggigit bibir, berusaha supaya tidak menyunggingkan senyum bodoh. Namun, sejujurnya ia bahagia sekali. Seorang pria menitipkan barangnya di tas wanita, bukankah itu sinyal yang sangat jelas?

Chen Ai mengembuskan napas perlahan, lalu menatap Zhao Nan dengan yakin. "Zhao Nan, mengenai jawaban atas pernyataanmu saat di Wuhan beberapa minggu lalu, maaf aku sempat berbelit-belit dan menimbulkan masalah saat itu. Tapi sekarang aku sudah yakin, dan aku ingin menjawabnya sekarang. Zhao Nan, aku—"

Zhao Nan cepat-cepat meletakkan telunjuknya di depan bibir Chen Ai. "Aku sudah mengucapkannya lama sekali. Kalau kau tiba-tiba mengucapkan hal seperti itu sekarang, kesannya seperti kau yang menyatakannya duluan padaku," ucapnya sambil menatap Chen Ai dengan lembut.

Chen Ai menggigit pipi bagian dalamnya, menahan diri untuk tidak tersenyum terlalu lebar. Hatinya berdegup-degup girang.

"Chen Ai, aku menyukaimu. Aku menyukai senyummu, semangatmu, perhatianmu, dan sikap-sikapmu yang selalu membuat aku tak sabar. Namun, tak peduli apa pun itu, semua kekuranganmu adalah kelebihan di mataku," ujar Zhao Nan penuh perasaan.

Chen Ai merasakan suatu kehangatan yang sempurna mengaliri hatinya. "Zhao Nan, aku juga menyukaimu." Ia tersenyum tulus. Setelah itu, ia memutuskan untuk mengungkapkan sesuatu yang dulunya selalu mengganjal di hatinya selama sembilan tahun belakangan. "Terlepas dari waktu masa SMA kau pernah menolakku secara tidak sopan," ucapnya, "tapi aku sudah memaafkanmu. Pokoknya, sekarang kau membuatku jatuh cinta lagi padamu."

Zhao Nan menaikkan alisnya. "Benarkah? Aku? Aku menolakmu secara tidak sopan?"

"Iya. Tapi kalau kau tidak ingat, tidak apa-apa. Lagi pula itu sudah sembilan tahun yang lalu," ucap Chen Ai ringan. Hatinya beribu-ribu kali lipat lebih baik setelah mengatakan semuanya pada Zhao Nan.

"Chen Ai, tunggu sebentar. Sepertinya aku benar-benar tidak pernah menolakmu saat SMA, apalagi dengan cara tidak sopan. Memangnya apa yang kulakukan?"

"Kau benar-benar pernah melakukannya. Kau men-upload status di Weibo yang isinya 'tolong bantu aku', lalu kau menyebut akun teman-temanmu. Saat itu kau baru saja putus dari Liu Xia. Setelah itu, Xing Rui meng-upload status di akunnya sendiri, yang isinya mengatakan bahwa aku pengganggu hubunganmu dengan Liu Xia. Sepertinya kau yang meminta tolong Xing Rui untuk meng-upload status itu." Chen Ai tersenyum sambil menggeleng-geleng. "Kalau sekarang diingat-ingat lagi, rasanya hanya seperti tindakan berlebihan anak sekolah saja."

"Aku ingat pernah meng-upload status singkat tersebut, karena saat itu aku baru saja mendengar kabar burung bahwa kau menyukaiku, lalu aku sangat terkejut dengan kabar itu. Aku ...." Zhao Nan menggaruk tengkuknya canggung. "Aku tidak menyangka bahwa temanku akan suka padaku, jadi aku curhat pada teman-teman sepermainanku mengenai perihal itu. Saat itu aku kekanak-kanakan. Setelah bertambah besar, aku mulai menyadari bahwa menyukai teman sendiri adalah hal paling logis yang bisa dilakukan orang dewasa." Zhao Nan memejamkan mata sambil menunduk.

Chen Ai mengangguk setuju. Saat sudah dewasa, menyukai teman sendiri adalah pilihan yang logis dan menjanjikan, karena dua orang itu pasti sudah sering bersama, mengetahui kebiasaan masing-masing, mengetahui cara meredakan emosi satu sama lain, sudah pernah bertengkar dan berbaikan, dan sebagainya.

"Tapi Chen Ai, yang perlu kauketahui, aku tidak pernah menyuruh Xing Rui meng-upload status seperti yang kaukatakan itu," tambah Zhao Nan. "Aku juga ... entahlah, status itu tidak pernah muncul di beranda Weibo-ku. Mungkin ia menghapusnya beberapa saat kemudian. Oh, ya. Tidak lama setelah itu, kau mengirim pesan permintaan maaf padaku lewat MSN bukan? Apakah karena kau membaca status itu?"

"Iya. Kalau tidak untuk apa aku tiba-tiba meminta maaf padamu?"

Zhao Nan mengusap wajah. "Aku seharusnya mengetahui ada situasi yang tidak beres saat itu, tapi aku malah membalas 'tidak apa-apa, santai saja'." Ia menelan ludah, lalu berkata, "Chen Ai, aku bersalah besar padamu di masa lalu."

"Kau sudah lunas membayarnya sekarang. Lagi pula, ternyata bukan kau yang menyuruh Xing Rui melakukannya. Meskipun itu tidak dapat memperbaiki masa laluku, tetapi itu membuatku semakin yakin bahwa kau adalah orang baik," ungkap Chen Ai yakin.

Zhao Nan menghela napas, lalu menyunggingkan senyum. "Aku bersalah padamu. Tapi terima kasih sudah memaafkanku, Chen Ai." Zhao Nan mengusap puncak kepala Chen Ai, lalu menarik kepala wanita itu mendekatinya, dan mendaratkan ciuman di kening.

Chen Ai merasa jantungnya berdetak sangat cepat. Ia memejamkan mata, menikmati perasaan nyaman dan aman yang diberikan Zhao Nan.

Aku dan Zhao Nan sama-sama pernah melakukan kesalahan di masa muda kami. Namun, tanpa kesalahan-kesalahan itu, mungkin perasaan yang timbul di antara kami tidak akan sedalam ini. Terima kasih, masa muda. Semoga bunga mawar terus bersemi di duniamu dan memberikan kebahagiaan ke pasangan-pasangan lain.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro