第十三章 Bab 13

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Now playing: First Time 第一次 by Michael Wong

Chen Ai mengantar Zhao Nan sampai tiba di lobi BeLook. "Terima kasih untuk hari ini," ucap wanita itu sopan.

Angin musim panas yang berembus dari luar ruangan menerbangkan rambut selengan Chen Ai. Wanita itu merapikan rambut-rambut kecilnya yang tidak terkucir dan memasukkannya ke balik telinga.

Zhao Nan yang berdiri di hadapannya tersenyum dan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang menarik dari Chen Ai. Jiwa usilnya mulai muncul dan ia menggoda Chen Ai. "Sama-sama. Tapi ... terima kasih saja tidak cukup. Kau harus memberikan sesuatu yang 'nyata'," ujar Zhao Nan sambil menaik-naikkan sebelah alisnya.

Chen Ai mengernyitkan kening. "Sesuatu yang 'nyata' apa?" tanyanya ketus. Ia mengembuskan napas lelah.

Jawbannya tidak seru sekali. Zhao Nan agak kecewa. "Ah, sudah, sudah. Tidak usah dipikirkan. Aku hanya bercanda. Bye. Aku pulang dulu, ya," ucap pria itu cepat sambil melenggang ke arah jalan raya.

Chen Ai terdiam selama beberapa saat. Ia memandangi sosok Zhao Nan yang berjalan meninggalkannya. Tiba-tiba, wanita itu teringat sesuatu. Ia pun berjalan cepat untuk menyusul langkah Zhao Nan. "Zhao Nan, tunggu sebentar," cegatnya.

Zhao Nan menoleh, lalu memandang Chen Ai penasaran. Apakah ia berubah pikiran dan ingin membelikanku hadiah kecil untuk berterima kasih?

"Bolehkah aku meminta ID WeChat-mu? Jadi aku bisa langsung menghubungimu jika terjadi masalah baru mengenai website," sambung Chen Ai.

Zhao Nan menurunkan bahu lemas. Ia pikir apa, ternyata hanya hal kecil seperti itu. Namun, tiba-tiba ia mendapat ide dan langsung tersenyum lebar. "Begitu, ya? Mengapa kau tidak mencarinya sendiri di arsip kantor? Mereka pasti mempunyai data diriku karena aku partner perusahaan, kan?"

Chen Ai mendengkus. "Hanya ada nomor telepon di situ. Tidak praktis. Sekarang ini zaman revolusi industri keempat. Semua orang berkirim pesan pakai WeChat."

"Iya, iya. Tidak usah menggerutu begitu. Kau jadi tidak manis lagi," goda Zhao Nan sambil tertawa.

Chen Ai cemberut dan memukul lengan pria itu. "Tidak mau memberi ID, ya sudah. Tidak usah banyak omong kosong," ketusnya. Ia pun berbalik menuju lobi BeLook. Namun, tiba-tiba tangannya ditarik dalam satu gerakan cepat. Chen Ai tak sempat menjaga keseimbangan tubuh hingga akhirnya lengannya menabrak dada Zhao Nan.

Kejadian selanjutnya sama sekali tidak seperti bayangan Chen Ai berdasarkan drama-drama romantis yang ia tonton. Meskipun jarak antara wajahnya dan wajah Zhao Nan hanya dibatasi oleh udara selebar dua puluh senti, tetapi Zhao Nan sepertinya tidak bereaksi aneh sedikit pun. Pria itu langsung mengeluarkan handphone-nya di saku dan membuka aplikasi WeChat.

Chen Ai pun menegakkan tubuh dan mundur selangkah untuk menciptakan jarak normal dengan Zhao Nan. Ia melihat pria itu menyentuh banyak hal di handphone. Beberapa detik kemudian, Zhao Nan menyodorkan layar kode QR kepada Chen Ai.

Chen Ai menghela napas. Apakah aku meminta kode QR tadi? Ia berdecak pelan, lalu berkata, "Handphone-ku tertinggal di ruang kerja. Aku minta ID-mu saja."

Zhao Nan mencebik. "Ooo." Padahal ia berharap Chen Ai menyimpan kontaknya saat itu juga.

***

Chen Ai merebahkan diri di kasur setelah membersihkan diri sepulang kerja. Kemudian, ia meraih handphone-nya yang tergeletak di nakas di samping kasur. Ia membuka aplikasi WeChat dan menyentuh ikon 'tambah kontak'. Chen Ai mengetikkan ID WeChat Zhao Nan yang baru saja didapatkannya tadi siang. Begitu username Zhao Nan muncul di layar, Chen Ai langsung menyimpan kontaknya.

Chen Ai menyentuh profil Zhao Nan, lalu menyentuh type bar untuk memunculkan papan ketik. Wanita itu memikirkan kalimat pertamanya sejenak. Waktu sudah berlalu berapa lama sejak terakhir kali ia saling berkirim pesan dengan Zhao Nan? Sepertinya sekitar sembilan tahun lampau. Saat itu mereka masih menggunakan komputer. Kemudian, histori chat mereka berakhir sejak status di Weibo itu muncul dan menghantui hati Chen Ai.

Chen Ai menghela napas dan menggelengkan kepalanya beberapa kali untuk menghapus ingatan itu. Ia adalah orang yang dinamis dan—ia harap—bukan pendendam, karena ia percaya bahwa pikiran picik hanya akan menghancurkan diri sendiri. Ia juga percaya Zhao Nan bisa berubah menjadi orang yang lebih baik setelah sembilan tahun berlalu.

Chen Ai kembali menatap layar handphone-nya. Ia pun mengetik pesan pembuka dan mengirimkannya.

Chen Ai: Hai.

Setelah itu, Chen Ai merasa kehabisan ide percakapan. Aish ... untuk apa aku mengirimkan hal seperti ini? pikirnya sambil mengacak rambut.

Beberapa saat kemudian, ada balasan masuk dari Zhao Nan.

Zhao Nan: Hai, Chen Ai. Bagaimana? Sudah memikirkan tentang 'sesuatu yang nyata'?

Chen Ai menaikkan kedua alis ketika membaca pesan itu. Benar juga. Pria itu sudah membantunya. Ia wajib membalas budi itu. Chen Ai merenung sejenak, tetapi ia tidak mendapatkan ilham apa pun. Sebenarnya bagaimana cara berterima kasih?

Chen Ai beralih dari laman chat-nya dengan Zhao Nan, lalu mengetikkan pesan di grup persahabatannya dengan Yun Xiang dan Liu Nian.

Chen Ai: Kawan-kawan, bagaimana cara memberikan 'sesuatu yang nyata' untuk berterima kasih dengan seseorang? Aku mendadak menjadi lambat berpikir.

Yun Xiang sedang online saat itu, jadi ia segera membalas.

Yun Xiang: Kalau kau suka apa kesukaannya, belikan hadiah saja. Itu saran paling umum.

Chen Ai berpikir, Apa kesukaan Zhao Nan? Seorang web developer biasanya menyukai apa? Pulpen? Parfum? Dasi? Apa, ya? Setelah semenit berlalu, Chen Ai akhirnya menyerah.

Chen Ai: Aku tidak tahu kesukaannya.

Yun Xiang mengirimkan stiker seorang anak perempuan yang tertawa terbahak-bahak. Chen Ai memutar bola mata sebal.

Chen Ai: Kau punya saran lain tidak?

Yun Xiang: Traktir dia makan saja. Kalau kau cukup dekat dengannya, kau bisa mentraktir makan malam. Kalau hubunganmu dengannya hanya sebatas teman biasa, kau sebaiknya mentraktir makan siang. Kau tahu, maknanya beda.

Chen Ai: Oh, ya. Mengapa tidak terpikirkan olehku tadi? Baiklah. Terima kasih, Yun Xiang.

Yun Xiang: Hei, ternyata aku lebih pandai di bidang public relation daripada Chen Ai. Sepertinya besok aku akan menjadi ketua di tim ini, hahaha. Hei, Liu Nian. Menurutmu bagaimana?

Chen Ai tersenyum masam. Ia mengirimkan emoji muka datar, lalu meninggalkan percakapan grup. Ia kembali ke laman chat Zhao Nan. Setelah menyusun kalimat di otaknya matang-matang, Chen Ai pun mengirimkan pesan.

Chen Ai: Besok siang, maukah kau kutraktir makan? Kau yang pilih tempatnya.

Chen Ai mengembuskan napas begitu mengirimkan pesan itu. Beberapa detik kemudian, balasan dari Zhao Nan masuk.

Zhao Nan: Boleh! Tentu saja boleh! Tapi, kenapa tidak saat malam minggu saja? Waktunya lebih santai.

Chen Ai memajukan bibir bawahnya. Ia mengingat-ingat jadwalnya untuk akhir minggu ini. Oh, ya. Sudah terisi. Chen Ai pun mengetikkan balasan.

Chen Ai: Maaf, tidak bisa. Aku ada janji dengan rekan sekantor. (Kalau tidak dibatalkan, sih)

Zhao Nan: Baiklah. Tidak apa-apa.

Chen Ai tersenyum puas, lalu menarik selimut. Ia mengatur reed diffuser-nya supaya aroma essence bunga persik menguar di kamarnya. Tiba-tiba, entah mengapa ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia membaca ulang chat-nya dengan Zhao Nan dan memperhatikan reaksi pria itu. Ia pun mengirimkan pesan.

Chen Ai: Apakah jadwalmu sebenarnya agak padat besok?

Chen Ai menggigit bibir bawah sambil menunggu balasan Zhao Nan. Beberapa detik kemudian, pria itu sudah menjawab,

Zhao Nan: Jadwal siangku padat setiap hari, kecuali akhir minggu. Tapi kau ada acara di akhir minggu, jadi, ya sudah. Tapi terima kasih, lho sudah mengajakku makan siang.

Chen Ai: Maaf, malah jadinya merepotkanmu.

Zhao Nan: Hei, tidak masalah.

Chen Ai semakin merasa tidak enak. Ia tahu pekerjaan web developer memakan banyak waktu di luar jam kerja. Seharusnya ia tidak mengganggu pria itu sekarang. Jadi, ia mengirimkan pesan terakhirnya yang langsung to the point.

Chen Ai: Kalau begitu ... kau mau makan siang di mana?

Zhao Nan: Besok siang aku akan menjemputmu di depan kantor. Kita langsung pergi bersama saja.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro