第十六章 Bab 16

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Now playing我多喜欢你,你会知道 by 深月

Chen Ai baru saja menekan mesin presensi kehadiran ketika seorang resepsionis berbicara kepadanya.

"Nona Chen, tunggu sebentar. Ada titipan untukmu," ujar resepsionis itu sambil mencari-cari sesuatu di bawah mejanya.

"Baiklah," sahut Chen Ai singkat. Di pertengahan musim gugur ini, banyak rekan-rekannya yang mendapat buket bunga. Musim gugur memang selalu romantis. Ia jadi penasaran, titipan macam apa yang akan didapatkannya kali ini.

Resepsionis mengeluarkan sebuah amplop cokelat dan menyodorkannya pada Chen Ai. Chen Ai menaikkan alis. Sepertinya hanya paket biasa. Mengapa dikirim ke kantor? pikirnya bingung. Chen Ai pun menerima amplop itu dan berkata, "Terima kasih, Nona." Setelah itu, ia memasuki ruang kerjanya.

Chen Ai duduk di kursi, kemudian meletakkan tas dan membuka amplop cokelat tersebut. Di dalam, rupanya ada sebuah undangan pernikahan bernuansa putih elegan. Chen Ai membaca undangan itu sekilas.

Pengirim: Yang Mo dan Liu Xia

Penerima: Nona Chen Ai

Kisah cinta di masa SMA tidak selalu berakhir saat kelulusan. Kami membuktikannya dengan mempertahankan hubungan itu hingga sekarang dan memilih untuk melanjutkan ke tahap ini.

Kami mengundang Saudara/i untuk menghadiri pesta pernikahan kami yang akan dilaksanakan pada:

Hari/tanggal: Minggu, 10 September 2017

Waktu: 06.00 p.m. sampai selesai

Lokasi: Aula 03 New Beacon Jiulong Hotel, Hubei, Wuhan

Kehadiran Anda adalah kehormatan bagi kami.

Chen Ai mengingat-ingat nama pengirim surat itu. Setelah setengah menit berlalu, ia tak kunjung mengingat nama tersebut. Akhirnya, Chen Ai hanya dapat mengambil kesimpulan bahwa pengirim undangan itu adalah teman SMA-nya. Mungkin tidak akrab. Pantas saja dikirim ke alamat kantor, pikirnya praktis. Ia meraih handphone dan memasang pengingat di kalender pada hari pernikahan teman SMA-nya tersebut, lalu melipat undangan itu kembali dan memasukkannya ke laci meja.

***

Zhao Nan memakai jas kerjanya dengan terburu-buru sambil keluar dari mobil. Ia segera mengunci mobilnya, lalu melangkah lebar-lebar memasuki lobi PickUs. Begitu pintu otomatis terbuka, ia melirik arlojinya sekilas. Tinggal tersisa beberapa detik sebelum jam 09.00 a.m. Pria itu berlari menuju meja konter untuk menekan mesin presensi. Namun, belum sampai ia menekan tombol di mesin itu, arlojinya sudah berbunyi pelan, menandakan jam 09.00 a.m. baru saja terlewat.

Zhao Nan mengembuskan napas sambil memperlambat langkah. Ia mendekati mesin presensi, lalu menekan tombol di mesin itu dengan malas.

"Potongan gaji lagi, Zhao Nan?" tanya seorang resepsionis berwajah tirus.

"Iya. Ya, sudahlah. Nanti juga ada reward dari job lain," jawab Zhao Nan santai.

"Eh ... tunggu sebentar. Ada titipan untukmu," cegah resepsionis itu.

"Hmm." Zhao Nan bergumam pelan, lalu menerima sebuah amplop cokelat. "Apa ini?"

Resepsionis itu mengedikkan bahu. "Tidak tahu. Paketnya masih tersegel. Aku tidak membukanya."

"Baiklah. Terima kasih." Zhao Nan pun melenggang meninggalkan meja konter resepsionis.

Sesampainya di ruangan kerja, Zhao Nan segera merobek amplop cokelat itu dan mengeluarkan isinya. Rupanya undangan pesta pernikahan. Zhao Nan membaca nama pengirim surat itu sekilas.

Yang Mo dan Liu Xia. Oh ... jadi Liu Xia berpacaran dengan Yang Mo setelah putus denganku, pikir Zhao Nan santai. Ia melihat tanggal dan waktu pesta pernikahan itu berlangsung, lalu melipat undangan itu kembali dan memasukkannya ke laci meja. Baiklah. Datang ke acara pernikahan mantan juga tidak terlalu buruk.

Zhao Nan yang dulu tidak pernah mengambil sesuatu sebagai hal yang terlalu serius. Ia menjalaninya dengan santai, termasuk ketika ia memilih jurusan, mengambil pelatihan militer saat kuliah, dan berpacaran dengan Liu Xia. Liu Xia adalah pacar pertamanya, tentu saja rasanya menyakitkan saat pertama kali putus. Namun, ia sudah memperbaiki suasana hati dalam sebulan dan mengikhlaskan putus cintanya. Cinta monyet memang biasanya tidak bisa bertahan lama, kan? Yang Mo hanya beruntung.

Lagi pula, sekarang Zhao Nan sepertinya sudah memiliki wanita yang menempati hatinya.

***

Chen Ai berangkat dengan kereta kelas satu dari Shanghai hari Minggu pukul 10.00 a.m. dan sampai di stasiun Wuhan pukul 02.30 p.m. Ia makan siang di rumah orang tuanya, kemudian beristirahat sebentar.

Mendekati jam 06.00 p.m., Chen Ai berangkat dengan taxi menuju New Beacon Jiulong Hotel. Ia mengenakan gaun putih selutut sambil memasuki area pesta pernikahan bernuansa putih elegan yang diterangi lampu-lampu kuning temaram. Tamu undangannya lumayan banyak. Chen Ai mengenal sebagian besar orang di sana, karena mereka adalah teman SMA-nya. Mungkin karena Liu Xia dan Yang Mo bertemu di masa SMA, jadi teman-teman SMA adalah saksi dari kisah mereka. Meskipun Chen Ai sebenarnya tidak tahu bahwa dua orang itu pernah berpacaran saat SMA.

Ruang aula itu diisi dengan meja-meja bulat besar yang dikelilingi kursi putih ala restoran. Chen Ai melihat-lihat sekeliling untuk mencari meja bulat yang dikerumuni teman-teman SMA-nya. Beberapa detik kemudian, ia menemukan Xiao Qing, sahabatnya saat SMA dulu.

Chen Ai menghampiri Xiao Qing dan menepuk bahu wanita yang sedang mengambil jajanan di meja prasmanan itu dari samping. "Hai," sapanya. Mereka sudah hampir tujuh tahun tak bertemu, jadi sudah tidak begitu akrab. Chen Ai tidak tahu harus membuka pembicaraan dengan cara bagaimana.

Xiao Qing menoleh setelah meletakkan jajanan yang dipilihnya di atas piring kecil. "Hai, kau adalah ...." Ia berusaha mengingat-ingat wanita di hadapannya selama beberapa detik.

"Aku Chen Ai. Kau masih ingat aku?" tanya Chen Ai ramah, tetapi sebenarnya ia agak canggung memulai pembicaraan. Jujur saja, ia sudah lama putus kontak dengan teman-teman SMA-nya dan lebih sering berhubungan dengan teman-teman universitas, karena ada grup di WeChat dan mereka sering membagikan lowongan-lowongan pekerjaan yang sangat membantu Chen Ai dulu.

Chen Ai mengembuskan napas pelan sambil menunggu jawaban Xiao Qing. Baiklah. Kalau ia tidak ingat aku, berarti aku harus mencari satu-satunya teman SMA yang sering berhubungan denganku akhir-akhir ini.

"..."

Chen Ai menaikkan sebelah alis. Sepertinya Xiao Qing benar-benar tidak ingat. "Kalau kau tidak mengingatku, sebenarnya tidak masalah, sih. Tidak perlu merasa bersalah juga," ujar Chen Ai untuk menetralkan suasana.

"Eh ... bukan, bukan. Aku hanya .... Waw ... Chen Ai, perubahanmu drastis sekali," ujar Xiao Qing kagum.

Chen Ai menyunggingkan senyum, lalu meraih gelas kecil dan mengisinya dengan air lemon. "Mana ada? Aku masih tidak beda jauh dengan dulu, kok," ucapnya rendah hati. Ia pun menenggak air lemon untuk menyegarkan tenggorokan.

Sebenarnya, kalau diingat-ingat, Chen Ai yang sekarang memang sudah berbeda jauh dengan dulu. Sembilan tahun lalu, ia hanya siswa SMA yang berpenampilan biasa dengan rambut sepinggang yang selalu dikucir ekor kuda. Namun, setelah pindah ke Shanghai, ia memutuskan untuk memotong rambutnya sebahu karena menurutnya itu lebih praktis dan terlihat modern. Terlebih setelah bekerja sebagai tim public relation di perusahaan make-up, ia jadi lebih pandai menata diri.

"Aish ... aku bicara sungguhan. Kau seperti wanita elit sekarang. Kau mendapat suami kaya, ya?" tanya Xiao Qing langsung.

Chen Ai yang baru saja menenggak air lemon tersedak sekali. Uhuk ... wanita tidak bisa tampil cantik dengan dompetnya sendiri, ya? Ia menelan saliva dan meletakkan gelas lemonnya. "Bukan begitu. Aku belum punya suami, kok. Mungkin karena aku bekerja di Shanghai, jadi gayaku ikut terpengaruh."

Baiklah. Gaya bicara Chen Ai sekarang sedikit bertolak belakang dengan sebelumnya. Tapi jujur saja, ia tidak suka orang-orang beranggapan wanita bisa bertransformasi menjadi cantik hanya dengan dompet pacarnya. OK. Pada dasarnya, Chen Ai tidak terlalu nyaman berkumpul dengan teman lama untuk membicarakan perubahan masing-masing, apalagi sampai menyangkut suami.

"Ah, benarkah? Kalau begitu, apakah kau sekarang sudah punya pacar?" tanya Xiao Qing lagi.

Ehm ... Xiao Qing berubah menjadi agak materialistis sekarang. Baiklah, sejak dulu kondisi keluarga Chen Ai memang lebih baik dari keluarga Xiao Qing. Wajar saja jika Xiao Qing tertarik dengan sesuatu yang "kaya". Namun, menanyakan hal tersebut secara langsung rasanya kurang nyaman.

Chen Ai hendak tersenyum sungkan dan mengabaikan pertanyaan itu. Namun, tiba-tiba empat orang teman SMA-nya yang lain datang mendekati Xiao Qing. Chen Ai tidak mengingat nama mereka satu persatu, tetapi ia ingat mereka adalah temannya di kelas satu.

"Wah ... Xiao Qing menanyakan pertanyaan yang sangat menarik ke teman lama," timpal seorang wanita yang mengenakan gaun kuning setumit. "Kau ... Chen Ai, ya? Kau sudah berubah banyak."

Chen Ai mengangguk sambil tersenyum miris.

"Aish ... siapa, sih yang tidak penasaran dengan pacar Chen Ai, ranking satu kelas Humaniora seangkatan?" tambah seorang wanita bergaun merah.

Chen Ai menggigit bibir, masih tidak menjawab. Sebenarnya apa salahnya, sih belum punya pacar di usia 25 tahun? Umur 25 itu masih muda, wajah masih bersinar cantik, perjalanan karier masih panjang. Tidak harus buru-buru berpacaran dan menikah, kan?

"Apa jangan-jangan Chen Ai belum pacaran? Tapi masa, sih? Aneh sekali kalau begitu, seperti jual mahal saja," timpal wanita lainnya lagi.

Mendengar pertanyaan itu, pendirian Chen Ai terguncang. Ia berkata, "Sebenarnya aku sedang dekat dengan seorang pria, sih."

"Wah ... siapa? Siapa?" cecar mereka.

"Ia manajer pemasaran di BeLook, tempatku bekerja."

"Wah ... keren juga. Itu merek terkenal, kan?" ungkap mereka.

Chen Ai tersenyum canggung, lalu menelan saliva. Ia tidak tahu apa kerennya berpacaran dengan manajer pemasaran. Ia buru-buru mencari cara untuk keluar dari topik pembicaraan ini. "Eh ... aku ingin mencoba makanan di meja sana. Kalian mengobrol saja, aku pergi dulu," ujar Chen Ai. Setelah itu, ia melarikan diri dari wanita-wanita itu.

Chen Ai mendekati sebuah meja putih besar yang menyajikan berbagai menu makan malam. Ia mengambil mangkuk, lalu menyendok sup ayam hangat dari panci superbesar. Setelah itu, ia meniup sup tersebut dan menikmatinya dengan damai. Ternyata, makan sendirian begini juga bukan hal buruk. Berbicara dengan teman-teman SMA yang salah fokus dengan penampilannya jauh lebih buruk.

Ketika Chen Ai hendak menyendok sesuap sup lagi, tiba-tiba ia merasa bahunya ditepuk. Chen Ai meletakkan sendoknya kembali sambil menggerutu dalam hati. Gangguan datang lagi. Ia pun menoleh.

Ternyata Zhao Nan.

"Eh ... kau juga datang, ya?" tanya Chen Ai basa-basi.

"Iya. Sepertinya semua teman SMA diundang." Zhao Nan memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Malam itu, ia terlihat sangat berkelas dengan setelan jas mahalnya. "Sepertinya kau masih akrab dengan teman-teman SMA-mu, ya? Aku tadi melihatmu berkumpul bersama mereka," ujarnya sambil menunjuk kerumunan wanita-wanita dengan dagunya.

Chen Ai ikut menoleh, lalu meringis. "Ya, begitulah."

"Omong-omong, kita sudah berbulan-bulan bertemu lagi setelah kelulusan SMA, tapi sepertinya aku tidak mengetahui banyak hal tentangmu," ucap Zhao Nan sambil menyesap Chinese Tea-nya. "Maaf, aku menanyakan hal ini. Tapi jujur saja aku penasaran sekali. Pria yang sering menjemputmu setelah kau pulang dari PickUs dulu ... itu pacarmu, ya?"

Chen Ai menaikkan kedua alis tinggi-tinggi. "Bukan! Tentu saja bukan! Luo Wang hanya manajerku. Ia temanku sejak di universitas, jadi kami bisa terbilang dekat," bantahnya cepat. "Lalu, kalau maksudmu soal pertanyaan teman-temanku tadi ... mereka sedikit mendesakku, jadi aku terpaksa bilang begitu. Tapi sebenarnya aku sama sekali tidak berpacaran dengannya."

Zhao Nan menahan tawa melihat Chen Ai yang kelihatan panik ketika menjelaskan. Namun, di sisi lain ia cukup lega karena jawaban Chen Ai sesuai dengan keinginannya. "Baiklah, baiklah. Aku bukan menuduhmu melakukan tindak kriminal. Tidak perlu panik ketika menjelaskan," ujarnya sambil menepuk punggung tangan Chen Ai. Kemudian, pria itu meremas tangan Chen Ai dengan lembut, lalu melepaskannya.

Jantung Chen Ai berdebar-debar saat itu juga, seperti merasakan jatuh cinta pertama kali. Chen Ai menghela napas berat. Ia sadar ia sebenarnya tidak perlu berlagak seperti buru-buru menjelaskan saat Zhao Nan bertanya mengenai Luo Wang, tetapi entah mengapa otaknya refleks ingin membuktikan pada pria itu bahwa hatinya saat ini belum menjadi milik orang lain.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro