1. Biru-1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

BIRU

Aku lega setidaknya satu kakiku selamat.

Titik cahaya di atas cukup jauh. Ada rerumputan di sekitar, berserakan bersama gundukan tanah. Longsor kerikil dan pasir terjadi ketika tangan kugerakkan walau sedikit, membuat napas sesak, terbatuk-batuk. Tentu aku tidak berharap batu-batu besar ikut menggelinding juga.

Untuk beberapa saat aku terdiam tak berkedip, melihat langit-langit gelap. Bukan beralas tilam hijau di bawah naungan pohon seperti saat berbaring menikmati alam.

Lagi-lagi fokusku terpusat pada titik cahaya di atas kepala. Jika meraihnya, mungkin aku bisa selamat dari tempat ini.

Ngomong-ngomong, aku baru saja terjatuh ke jurang--dalam, tentunya. Hanya luka kecil, tidak seberapa bagi laki-laki pemberani sepertiku. Ya, walau kaki kanan terjepit bongkah batu. Sehingga aku tak mampu bangkit dan berakhir rebah-rebah di atas tanah.

Menyedihkan sekali diriku.

Daripada itu, aku benar-benar terdesak. Kalau lama-lama di sini, mungkin aku bakal berubah status dari 'korban kecelakaan' ke 'mayat korban kecelakaan'. Bercanda. Belakangan aku sering melantur. Bahkan kejadian seperti ini tidak membuatku berpikir untuk mencari jalan keluar.

Tidak apa-apa, sekali-kali saja, tidak apa-apa.

Rambut berdebu, kulit dekil bercampur keringat, belum lagi lecet yang perih ketika tergesek. Pakaian bergelimang tanah, tasku yang entah ke mana--tadi sempat kutonton satu per satu bola-bola terhempas ke arah berlainan dan tidak terbuka isinya. Malang nian nasibku.

Lagi pula, mengapa ini bisa terjadi? Ah, gara-gara janji dengan Pak Tua itu. Aku harap dia belum tutup usia, meski pada pertemuan akhir bau tanahnya menyengat sekali.

Kau mengkhawatirkanku? Tentu tidak. Tenang saja, aku baik-baik saja. Ya, baik-baik saja.

***

Hawa udara terasa dingin. Aku terperanjat dan langsung berselonjor. Keringat membasahi dahi sampai muka baju. Saat turun dari kasur, refleks ruangan kamar terlihat berputar-putar hingga kepalaku berdenyut serta mata berkunang-kunang. Tubuhku terhuyung, lengan meraih sandaran. Jadilah punggung menumpu tembok, tersengal-sengal mengatur napas. Kuremas perut yang seolah teraduk-aduk. Mataku sayup-sayup celik, tampak jam dinding menunjukkan angka delapan pada jarum pendek.

Sudah sesiang ini?

Aku lantas beranjak ke kamar mandi, menyikat gigi malas, mengguyur badan di bawah pancuran air. Setelah itu, kukeringkan tubuh dan bersalin di depan cermin nakas.

Setelan hari ini lumayan. Kugaris kerah baju dari belakang dengan jepitan jemari. Kemeja hitam lengan pendek cocok berpadu dengan celana kargo ungu gelap. Di pergelangan tangan ada gelang kain warna lavendel. Tak lupa kalung bentuk koin perak di leher. Terakhir, sepatu bertali hitam guna menjejak di luar kamar. Sebelum pergi, aku memeriksa refleksi diri pada cermin. Rambut cokelat terang bentuk duri yang berantakan kuusap kasar.

Cukup keren, pikirku.

"Ada keperluan apa?"

Di atas ranjang sebuah ruangan luas, terbujur tubuh tua yang sibuk memandang panorama di luar jendela. Dia menoleh ketika aku menampakkan diri di ambang pintu.

"Biru ...," panggilnya, lalu mendekatkan kepalan tangan ketika keluar bunyi yang keras seperti menyalak berulang kali.

Aku hanya perlu membuang muka, pura-pura tidak tahu.

"Bagaimana kabarmu?" tanyanya.

"Tidak ada masalah."

"Bagaimana dengan Pokémon-mu?"

"Tidak ada masalah."

"Apa makan dan tidurmu teratur?"

Mulutku berdecak.

"Kubilang tidak ada masalah, Pak Tua. Cepat katakan ada urusan apa, karena aku sedang terburu-buru," tukasku, menepuk tas saku warna biru terang di pinggang. Berlagak sibuk, padahal tidak.

Pak Tua pun terdiam, bibirnya mengatup serta sorot mata mengandung hati.

Kulirik nasib tubuhnya, tampak lemah dengan daging yang kurus, rambut hampir botak, sedangkan Pak Tua yang kukenal bukan demikian. Sebagian besar badannya dibalut perban, beberapa sudah dilepas dan menampilkan luka yang kering. Pada dada dan perutnya jauh lebih parah, kain kasa memalut banyak, ada tato semacam bekas terbakar.

Aku tidak peduli, tetap memperhatikan tangan gemetarnya yang dari balik selimut mengeluarkan kotak warna hitam. Kutunggu tanpa minat Pak Tua angkat bicara sementara dia masih bungkam beberapa lama. Akhirnya tubuhnya bangkit ke selonjor, duduk menghadapku.

"Ini adalah kotak yang berguna untukmu, Biru." Wah, minatku mulai tertarik sedikit. "Kotak ini berisi informasi yang bisa menemukan orang itu."

Apa? Aku tidak salah dengar, kan?

Segera kudekati ranjang Pak Tua, sepatu menapak lantai tegel. Di sisi kasur, kuamati benda di tangannya, tampak aneh karena gelap absolut, aku hampir tidak menemukan rusuknya.

"Di dalam kotak ini ada informasi mengenai Pokémon yang bisa mencari keberadaan orang itu."

" 'Orang itu', berarti ... ?" Aku menatap tak berkedip. Pak Tua menganggut perlahan.

Mataku melebar, mungkin saat ini berbinar-binar, tertuju pada kotak. Dia agak memajukan benda itu, menawarkannya kepadaku. Aku menentang Pak Tua, bingung dan bimbang.

Lenganku ragu-ragu terulur, mengepal, tetapi akhirnya telapak terbuka menerimanya. Kuperhatikan kotak yang telah berpindah tangan, berlama-lama menerka-nerka.

Ini sungguhan, kan? Ini tidak bohong, bukan? Selama hidup dengan Pak Tua, dia tak pernah mengingkari ucapannya, apalagi sorot mata dan nada yang begitu serius. Informasi ini betul-betul tepercaya!

Namun, tunggu sebentar.

"Pak Tua, kau sudah tahu?"

Dia menoleh kepadaku, mengiakan.

Ah, kebiasaan lama. Aku merasa sesuatu yang tak kusuka mengubah ekspresiku, memburukkan suasana hatiku. Seharusnya diri ini hafal benar bahwa Pak Tua adalah manusia yang selalu menyimpan sendiri hal terpenting dan baru diberi tahu ketika semuanya berakhir, ketika segalanya hancur lebur.

"Pokémon itu dapat mengetahui posisi seseorang jika kau memberikan barang peninggalan orang yang ingin kau cari. Sayangnya Pokémon itu tidak berasal dari Wilayah Kanto. Ya, untuk menemukannya kau harus pergi ke tempat yang sangat jauh, yang belum pernah kau lihat sebelumnya, Biru."

Aku melongo. Namun, kembali menguasai diri, menyeringai remeh. "Huh, jangan risau, Pak Tua. Dengan partner Pokémon kuat yang kumiliki--yang katamu dan sudah kulakukan harus dirawat dengan kasih sayang dan pertemanan--aku pasti bisa menemukan Pokémon itu, kemudian mencari orang itu. Gampang, bukan?"

Pak Tua menentang kurang percaya, ekspresinya masih sama mengandung hati.

"Biru, kau tak akan bisa melakukannya."

Tersenyum bengal, tanganku membentuk pose centang, menempelkan pada pelipis, lalu melepaskannya ke udara. Aku pun tertawa kecil.

"Lihat saja nanti, Pak Tua! Akan kubuktikan bahwa aku adalah pelatih Pokémon terkuat! Aku pasti bisa menemukan orang itu!"

Kubawa kotak itu, kunikmati wajah kecewanya. Aku pun melangkah pergi, berpamitan dengan tidak patut.

"Smell ya later!"

Berengsek.

***

Sekarang apa?

Titik cahaya di atas makin redup. Barangkali di luar sana sudah hampir sore. Kucoba bangkit, tetapi aku meringis, mengusap-usap pinggang yang bergemeletuk, lebih-lebih barut di tangan amat mengganggu.

"Setidaknya hanya sebelah kakiku yang terkena."

Ingin kusingkirkan batu besar di bawah, tetapi kutendang berulang-ulang pun masih tidak bergerak satu senti. Berteriak meminta tolong tak terlalu membantu, karena jika iya telah kulakukan sedari tadi. Lantas aku memejam mata, memeluk tubuh, berharap sesuatu yang besar bakal terjadi.

Saat itulah titik cahaya meluas menjadi besar, ketika beberapa pasang tangan menggalinya hingga aku memekik bersyukur untuk pertama kali.

###

Klaten, 20 Desember 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro