14. Childhood-1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hitung mundur dimulai dari sepuluh. Si anak berambut cokelat madu bersembunyi mencari tempat potensial di dalam rumah.

Si anak yang selesai mengira memundurkan kepala dan mata terbuka. Keseruan petak umpat pun tiba. Posisi topi merah-putih dia putar ke depan selagi memikirkan letak bilik yang kiranya dijadikan lokasi berlikut kawannya. Mata menyapu kiri kanan, didapatlah pilihan. Yakni ke suatu arah, yang langsung dihampiri sambil berlari sedikit.

Dia meluncur melalui lorong-lorong rumah, berbelok setelah ada pintu. Dari ambang, kepalanya melongok, menoleh seraya mata mencari-cari, tetapi nihil. Maka anak itu berpindah ke ruangan lain. Celingak-celinguk seperti sebelumnya, dan masih belum menjumpai si kawan.

Kemudian pada lorong yang terdapat pintu kamar berbeda, insting pun berkata ada seseorang di situ, seakan merasakan aura tertentu. Anak tersebut berlari lagi bagai tertarik ke arahnya.

Namun, ketika hampir sampai, langkahnya terhenti. Lagunya mematung bak tersihir, tatapan terpaku pada ambang pintu laksana melihat sesuatu. Selama beberapa waktu dia hanya diam di tempat.

Hingga anak berambut cokelat madu muncul dari belakang, terheran mendekati. "Redo ... ?" panggilnya. "Aku sudah lama bersembunyi, tapi kau tidak kunjung menemukanku."

Anak itu pun mengusik, ironis karena justru malah dia yang jadi mencari.

Si anak bertopi akhirnya berbalik. Mukanya tampak agak lesi. Namun, dia cuma geleng-geleng. Tidak ada apa-apa, tampaknya, jadi tidak usah khawatir. Lagi pula, kawannya pun tak mempermasalahkan.

"Aku yang menang, ya!" Anak berambut cokelat madu tertawa kecil sambil mengerising.

Saat ini, di sanalah Redo berada. Pada kesadaran penuh, berdiri di ambang pintu kamar yang familier. Tatapannya bingung menyaksikan dirinya dalam wujud anak-anak tengah bermain bersama Biru.

Terlalu banyak pertanyaan berkerumun di kepala lantaran semuanya terjadi dalam sekejap.

Keesokan hari tiba, bagai waktu melompat begitu saja. Redo remaja mematung di sisi Biru anak-anak yang sedang duduk di teras, memasang sepatu. Pakaian kemeja ungu gelapnya rapi, tas disampirkan di punggung. Redo menoleh ke arah jendela, bagai sudah tahu apa yang dilakukan dirinya yang lain.

Biru anak-anak pun berpamitan kepada sang ibu, penuh semangat membuka pintu. Setengah berlari, dia menuju rumah di samping. Setelah nama 'Redo' diserukan, si empunya bergegas keluar. Topi dipasang dan posisi tas diluruskan. Saling angguk, kedua anak itu pun berangkat bersama dengan tujuan yang telah diketahui.

Momen ini mendadak membangkitkan memori. Redo mengembangkan bibir sedikit. Pernah suatu ketika, ibu Redo menanyainya dengan lembut saat dia menunggu anak itu bersiap.

"Biru, mengapa kamu mau berteman dengan Redo?"

Hanya butuh waktu singkat untuk menjawab mantap seraya tersenyum lebar. "Karena aku suka berteman dengannya!"

Tunggu, bukankah ini ingatan Biru?

Redo menggeleng berharap otaknya tidak diretas lebih jauh. Sekarang yang perlu dilakukan ialah berpikir mendalam tentang situasi yang terjadi, seiring mengikuti duo anak menyusuri jalur.

Sesampai di gedung besar berkedok sarana pendidikan, mereka memasuki gerbang yang sudah didatangi gerombolan anak sebaya dan yang lebih tua. Meski berangkat berbarengan, di lorong kelas keduanya memasuki ruang beda. Redo anak-anak berkial salam berpisah, sementara Biru masih terus melangkah.

Setelah itu, Biru dihampiri tiga anak seumuran. Mereka menyapa lalu jalan beriringan. Biru terlihat curi-curi pandang pada tangan si perempuan rambut sebahu yang berlenggang lembut.

"Kenapa lihat-lihat?"

"Biru menaksir kamu, itu!" ejek laki-laki yang mengenakan kupluk, menyadari perilaku Biru. Lantas perempuan kucir kuda ikut penasaran.

"Eh? Bukan!" Biru menyangkal cepat. Tingkahnya jadi kikuk mendadak.

Mereka berempat terlihat akrab sekali dalam interaksinya. Kemudian anak-anak itu masuk kelas, duduk di bangku masing-masing, mengikuti kegiatan belajar dengan khidmat dibimbing oleh seorang guru.

Sepulang sekolah, setibanya di rumah, Biru langsung menuju kamar. Tas diletakkan di bawah meja. Anak itu melepas kain gelang pada pergelangan tangan kiri.

Tampak beberapa gurat merah yang telah mengering, ada satu-dua masih agak basah. Biru mengambil pisau pemotong dan mendorong mata silet keluar.

Datanglah kilas balik saat di sekolah tadi. Mata beriris cokelat madunya fokus ke pergelangan yang putih mulus. "Kenapa di tangannya tidak ada kode bar, ya?"

Biru bergumam, tangan kanannya bergerak ke kotak di atas meja, merogoh isi yang banyak barang.

"Padahal enak. Kenapa dia tidak melakukannya? Kan, kita sama-sama ada masalah."

Pisau itu dia gunakan untuk membuka plastik pembungkusnya. Sebuah spidol papan tulis tinta merah yang tampak baru. Mulut spidol diorat-oret ke pergelangan tangan kiri, lalu tangan kanan. Setelah dirasa cukup, dia pasang lagi kain penutup.

Redo sempat syok, kemudian ekspresinya heran. Ya, setidaknya ini menjelaskan selama berangkat sekolah pagi tadi, alasan Biru beberapa kali melirik tangan Redo.

Puas melakukan hal yang aneh, Biru pun membereskan barang-barang, lalu beranjak dari kamar. Dia berjalan menuju lorong ruang tamu, kemudian membuka pintu. Seperti biasa, anak itu langsung ke depan rumah tetangga, memanggil namanya dari luar. Tak menunggu waktu lama, Redo anak-anak keluar dengan ekspresi senang. Biru pun cukup puas dan lega bisa bermain petak umpat bersamanya.

Lagi-lagi waktu seakan melompat. Latar pagi, adegan masih berupa berangkat sekolah. Namun, seperti ada jeda beberapa hari, terlihat dari perubahan visual penampilan Biru dan dia yang hanya berjalan sendirian.

Di rumah Redo, anak itu duduk termenung di kursi ruang tamu. Tas juga pakaian telah siap dan rapi, tetapi serasa ada yang kurang.

"Kamu tidak sekolah?"

Ibunya bertanya ketika menyadari si anak tampak bosan menunggu, sementara jam dinding menyatakan kesiangan. Ibu pun mendekatinya.

"Pasti karena Biru, ya? Kasihan sekali anak itu. Aku tahu kamu khawatir, tapi pendidikan itu penting. Besok masuk, ya, Nak?"

Redo sontak duduk tegak, menatap dengan bingung lagi heran. Namun, penjelasan itu tidak dilanjutkan.

Redo remaja mengeratkan kepalan tangan. Hatinya penuh rasa sesal. Mengapa saat itu dia tidak bertanya lebih lanjut tentang Biru?

Biru yang telah di lorong sekolah melambatkan langkah serupa mengendap-endap. Suasana sepi, tetapi bisa diketahui ada banyak orang di tiap-tiap kelas. Dia yang terlambat hanya bisa memasang wajah murung, badan lesu, semangatnya menguap.

Sesampai di ruangan, teman sekelas sama-sama melihat Biru dengan tatapan baru, seraya berbisik-bisik. Biru berjalan menuju bangku, lalu tampak gemetar menyiapkan buku serta alat tulis. Guru yang menghentikan sementara pelajaran tak ingin kelasnya terganggu, karena para murid terus terusik akibat keberadaan seseorang.

Guru itu pun menyuruh Biru keluar, atas kedok diperbolehkan izin. Lagi pula, ibunya dikatakan sudah akan menjemput.

Si anak dengan enggan kembali merapikan barang-barang, mencangklong tas lalu berdiri, jalan menuju pintu kelas. Gurunya tetap memperhatikan sampai Biru benar-benar keluar, memastikan dia pergi setelah pintu ditutup.

Namun, Biru masih di balik pintu. Guru seakan melanjutkan pelajaran, tetapi dia tahu apa yang didengar dari sana.

Kabar ayah Biru.

Katanya, ayah Biru dipenjara karena terbukti melakukan kejahatan, terlibat dalam organisasi kriminal yang diburu pihak keamanan.

Guru menjelaskan dengan suara lemah lembut, mengajak para muridnya untuk menghormati sesama, tidak saling memusuhi. Akan tetapi, respons yang dilontarkan mereka justru berlainan.

"Memalukan!"

"Ternyata ayahnya Biru ... !"

"Selama ini kukira dia anak baik?"

"Aku tidak mau berteman lagi dengannya!"

"Mending dia keluar saja!"

Redo membelalakkan mata. Terkejut saja tidak cukup. Mematung di tempat di sebelah Biru, membenamkan mukanya ke dalam telapak tangan, turun perlahan hingga terduduk.

Sementara, anak itu masih tampak tegar. Dia dijemput ibunya yang berwajah buram, melangkah bersama mendatangi ruangan dengan plakat 'Kepala Sekolah'.

"Mulai hari ini, kamu akan berhenti sekolah, dan menjadi pelatih Pokémon. Kakekmu yang akan mengajarimu. Mengerti, kan?" Pria paruh baya berdiri di hadapan, agak merundukkan badan menatapnya.

Ada jeda sebentar sebelum Biru menjawab, "Aku mengerti."

Pria itu mengangguk. "Anak baik," pujinya tidak sungguh-sungguh, mencetak senyum culas pada air mukanya.

###

Kudus, 13 Januari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro