[14] TERABAIKAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hadir lagi bawain part terbaru gaes.... Silahkan dibaca uwuwuwu. Dont forget to vote our story 😳

💖||💖

Ruangan luas berdinding kaca itu terasa sesak. Padahal hanya ada dua manusia yang mengisi ruangan itu. Udara pengap mengisi tempat yang menjadi ruang latihan pribadi Karina. Tak ada latihan hari ini. Suara musik pun telah dimatikan sejak pertengahan siang.

Karina yang datang tepat waktu untuk latihan sore, malah disambut oleh tatapan dingin Pelatih Shin. Setelah interogasi yang menohok, Karina akhirnya mengiyakan kebenaran yang dia ingin sembunyikan dari Pelatih Shin. Entah dari mana pelatih beraura dingin tahu. Kabar kunjungan Karina ke rumah sakit seketika membangkitkan atensi Shin Boa. Terlebih lagi Karina tidak menyanggah soal pemeriksaan sikunya.

Kini hukuman push up seratus kali harus dia lakukan berbonus omelan Pelatih Shin yang berulang kali.

“Lagi!” Pelatih Shin membentak keras.

Napas muridnya terengah, tetapi dia menurunkan badannya ke lantai. Ambruk sejenak selama beberapa detik, lalu terangkat kembali. Ini push up ke-81 yang Karina lakukan.

“Sudah kubilang, kesempatan emas itu lenyap kalau kau cedera!” dumel Pelatih Shin berdiri tegak di depan Karina. Ujung sepatu nyaris menempel di dahi murid kesayangannya.

“Tidak cukup luka di lututmu, kau menambah kekhawatiran dengan cedera. Ada apa denganmu, Karina-ya? Kau tak boleh sakit sekarang. Lagi!”

Karina bergerak kembali menuruti perintah pelatihnya. Keras bukan main didikan Boa. Hukuman tak pernah kenal kompromi. Karina harus menahan rasa nyeri yang menjerat sikunya lagi. Dia tak boleh mengeluh, atau Pelatih Shin memberi hukuman double lainnya.

Setiap kali membentur lantai, Pelatih Shin akan mengomel, lalu terdiam saat Karina mengangkat tubuh. Selalu berulang sampai genap seratus. Tak ada kekuatan untuk mendebat wanita berusia 39 tahun itu. Karina hanya menurut, membuktikan bahwa dia sanggup menjalani hukuman.

“Kemarin latihanmu tidak maksimal. Jadi mari lakukan gerakan seperti biasanya.”

Karina langsung berdiri. Dia bersiap melakukan pemanasan ringan. Kembali menggunakan pita. Keadaannya memang tidak sebaik yang diharapkan Pelatih Shin, tetapi ucapan dokter memberi sugesti positif untuk Karina. Berusaha keras untuk menyamai irama yang berdentam memenuhi ruangan kedap suara itu.

“Aku harus menggabungkan latihanmu dengan latihan anak-anak lainnya. Jika kau tak berusaha keras besok, terpaksa aku akan memilih orang lain,” ucap Pelatih Shin menepuk pundak Karina.

Senyuman Pelatih Shin penuh kekesalan. Alih-alih menghibur, tekanan terus membebani Karina. Hatinya terkoyak. Tidak. Dia tidak mau menyerah. Lagi-lagi di ruang latihan, Karina sendirian. Berlatih lagi sampai dadanya meledak kelelahan.

Segala sakit, lelah dan air mata, dia tasbihkan pada esok hari. Dia tak mau berlarut-larut dalam keputusasaan. Bertahan menggapai apa yang dia impikan. Seraut wajah ayahnya membangkitkan gairahnya. Senyuman meledak penuh kepuasan. Mana kala Karina berhasil menyelesaikan tariannya.

“Aneh, kenapa saat ada Pelatih Shin, aku tak bisa bergerak?” gumamnya kembali melentingkan tongkat pitanya. Lalu tangannya kembali menggenggam tongkat dengan sempurna setelah terlontar satu meter ke atas seusai berputar dua kali.

Langkah Karina terseok. Seluruh sendi terasa sakit. Dia menyusuri jalan setapak yang mengarah ke gedung asrama. Hiruk pikuk atlet perempuan berbagai jurusan menyambut Karina di ruang santai. Seluruh canda tawa menghiasi asrama putri. Karina memutuskan tidak ikut bercengkerama. Terlalu lelah dan dehidrasi menjadi alasan Karina lekas masuk ke kamar.

Di kamar itu, terdapat Winter yang duduk melipat kaki di ranjang. Hampir seluruh tubuhnya berbalut selimut. Dia kelihatan jauh lebih murung dibandingkan kemarin.

Mengingat keadaan Winter yang mudah meledak, Karina memilih tidak menyapa. Keheningan semakin terasa kala keduanya sudah berada di ranjang masing-masing. Si penghuni lama tidak biasa dengan kosongnya tanpa percakapan. Tangannya sibuk merogoh headset yang tak kunjung ditemukan. Padahal seingat Karina, benda itu ada di sisi bantal semalam. Dia mengaktifkan pengeras suara akhirnya. Tak peduli penghuni kamar satunya terganggu dengan aktivitas Karina.

Melalui video call, dia bisa melihat wajah Yoon Sooji yang kusut masai. Sooji senasib dengan Karina. Sama-sama kelelahan dan berbaring di kasur.

“Sooji-ya, kau kelihatan berantakan,” kicau Karina mengeryitkan dahi.

Eo. Aku baru sampai. Ini masih jet lag,” balas Sooji menunjukkan suasana kamar. Mata Karina menemukan koper Sooji yang belum selesai dibongkar. Isi tas kosmetik dan paspor menyatu bersama Sooji di kasur.

“Syukurlah.” Karina tersenyum lega. Dari kemarin dia khawatir dengan penerbangan Sooji yang tertunda karena masalah teknis.

“Oh ya, kalian berdua serasi sekali. Kompak menghubungiku. Baru saja Sunghoon selesai menelponiu. Katanya, dia kesal kau kencan dengan saudara kembarmu, eoh?” tanya Sooji mendadak mengalihkan topik.

Mendengar kata saudara kembar, telinga Winter bagai ditarik ke arah sumber suara. Dia tak pernah menduga Karina memiliki seorang saudara kembar. Giselle diam, merenung. Betapa beruntungnya Karina. Gadis itu kelihatan bahagia bersama saudara kembarnya. Tak pernah merasakan pilih kasih yang dilakukan orang tua.

“Hash. Sunghoon memang selalu seperti itu. Kau tahu sendiri rencanamu menjodohkan aku dengan laki-laki kesayanganmu gagal. Hah? Tidak akan bisa terwujud dan dari pada aku memakan hati sahabat sendiri, kuputuskan mengencani Sunghoon, tapi tolol sekali. Aku menyesal sekarang.”

Wae? Karena kau masih belum bisa melupakan Sunoo?”

Anigoteun!” tepis Karina tak sengaja meninggikan suaranya. “Tidak ada kaitannya. Ugh. Sikap Sunghoon semakin menjadi. Mesum bukan main. Hash. Aku benar-benar ingin putus, jadi bisa mengencani pria yang lebih baik.”

“Hei, bagaimana pun juga, Sunghoon sangat mencintaimu.” Sooji menyangkal.

“Kalau dia mencintaiku, dia harus berhenti menyentuh anggota tubuhku,” keluh Karina mengipasi dirinya.

Derai tawa memecah ruangan itu. Memang begitulah Sunghoon. Playboy yang hobi tebar pesona. Selalu bermain-main dengan perempuan mana pun.

“Tapi, apa kau mulai ada perasaan untuk Sunghoon?” kejar Sooji penasaran.

“Aku tak begitu yakin. Sunghoon sama tahunya denganku, aku tak bisa memaksakan perasaan. Dia masih kuanggap sebagai sahabat dan aku sadar, aku sering menyakiti hatinya. Kadang aku kasihan setiap melihat Sunghoon. Hanya dia yang jatuh cinta, tetapi aku tidak,” balas Karina disusul helaan napas keras.

“Lalu dengan Jungwoon?” tanya Sooji ragu-ragu.

“Jangankan Sunghoon, dengan Jungwoon saja, aku merasa muak. Memang sulit melupakan masalah lama. Seperti Sunghoon, aku masih sulit untuk tidak benci pada saudara sendiri. Kau tahu bagaimana pilih kasihnya ibuku di antara kami. Ibu tidak menyukaiku, tetapi sangat menyukai Jungwoon. Sungguh ketimpangan yang sial, karena aku memihak ayahku,” beber Karina tak sengaja membongkar rahasia sendiri. Dia terlalu larut ngobrol bersama Sooji.

“Sudahlah, membicarakan mereka membuatku kesal lagi. Jalja!” Karina memutuskan sambungan video. Dia mematikan ponsel, lalu bersiap untuk tidur.

“Karina Eonni,” panggil seseorang.

Karina terkesiap. Dia tak salah dengar. Diturunkan kepalanya, hendak mengintip ke ranjang bawah.

“Apa kau memanggilku?”

Eoh,” jawab Winter bak robot. Matanya menerawang kosong. Penuh beban pikiran.

“Kau punya saudara kembar?”

Eoh.”

“Bagaimana kau bisa akur dengan saudaramu?”

Pertanyaan itu tak pelak membuat Karina bingung. Untuk apa Winter ingin tahu? Toh Winter selama ini sulit didekati. Dia sering bersikap dingin dan tak peduli pada Karina.

Mengapa sekarang ingin tahu masalah pribadi Karina, gadis yang dibenci Winter?

“Itu kisah yang panjang. Wae?” balas Karina yang bertanya, hati-hati bicara. Dia khawatir kalau-kalau Winter mengamuk lagi.

Akhirnya, air mata Winter pecah lagi. Dalam isakan diam itu, Karina turun dari ranjang. Dia duduk di sisi Winter, tangannya mengatup tangan gemetar Winter.

“Ceritalah. Aku siap mendengarnya kalau kau ada masalah,” bujuk Karina mencoba berempati.

Mata mereka saling memindai sesaat. Winter akhirnya menyerah untuk melakukan kontak mata lebih lama lagi.

“Kau punya masalah dengan saudaramu?” terka Karina.

Winter mengangguk. Dia menenangkan dentuman jantung yang menggila. Sakitnya menghimpit dada. Dia meremas dadanya sendiri, berusaha menghilangkan emosi.

“Kenapa kami harus dilahirkan sebagai sepasang kembar? Kenapa orang tuaku pilih kasih? Sampai akhir hayat ayahku, ayahku hanya memilih saudaraku. Kenapa hanya dia yang diistimewakan? Kenapa tidak membunuhku saja daripada membuatku menderita. Aku tak punya siapa-siapa saat melihat semua perhatian ditujukan untuk orang yang kubenci sejak lahir.”

Segala uneg-uneg akhirnya terlontar di kamar yang remang.

Karina masih diam. Dia sangat memahami mengapa Winter putus asa. Mengapa dia labil selama ini. Karina sangat tahu rasanya terpinggirkan.

Arra,” ucap Karina pelan. “Inilah yang kulakukan, Winter-ah. Aku sangat, sangat dan sangat ingin melihat saudaraku mati. Kalau saja bukan karena dia, semestinya aku bahagia memiliki keluarga yang sempurna.”

Winter menatap Karina, sangsi pada perkataan itu. Dia menggelengkan kepala. Tak mau percaya. Terlihat bagaimana senyuman Karina yang terasa penuh kebohongan.

Karina Eonni sangat bahagia. Tidak mungkin tidak membenci saudaranya, begitu yang Winter pikirkan.

“Tetapi ayahku memaafkan Oppa-ku. Aku tak punya pilihan lain selain mengikuti kemauan ayahku. Padahal saudaraku sudah menjebloskan ayah kami ke penjara.”

"Heesung?"

"Bukan. Ada saudaraku lagi."

Hati Karina semakin getir mengingat hal terkelam itu. Sepuluh tahunnya disesaki keheningan. Melihat bagaimana ibunya memanjakan Jungwoon, sementara rasa tak adil dipikul Karina sampai hari ini.

“Setidaknya orang tuamu punya alasan untuk menyukai salah satu dari kalian. Kau punya salah satu yang bisa memihakmu. Aku bahkan tak punya,” sangkal Winter terus melarungkan semua kesal di hadapan Karina.

“Kenapa aku tak punya alasan yang sesungguhnya kalau orang tuaku pilih kasih? Aku tak mengerti hal itu. Dan tiba-tiba saja, saudariku muncul di hadapanku, mengemis perhatian. Kalau memang sakit, kenapa harus datang padaku? Kenapa tidak di eomma saja yang memanjakannya. Kenapa harus aku? Aku saja tak pernah merasakan perhatian keluarga. Kenapa harus ikut memberi perhatian untuk Summer!”

Winter jatuh dalam keputusasaan. Sakitnya tak tertahankan. Dia jauh-jauh datang ke Korea. Nekat untuk mendalami senam ritmik yang tak pernah disukai keluarganya. Melarikan diri dari rasa kecewa yang menghujam.

Nyatanya Summer terus mengusik kedamaian hati Winter.

“Kau tak sendirian. Aku bernasib sepertimu,” ucap Karina berhasil memberi efek. Winter berjengit, tak suka gagasan mereka mengalami hal yang sama.

Sungguh lucu sekali takdir mereka dan Winter masih tak suka Karina hanya karena status kekasih Sunghoon.

“Bagaimana caranya kau akur dengan saudaramu?”

“Begitu saja. Aku menyerah pada keputusasaan. Aku lelah membencinya. Dari pada menunggu orang lain mengulurkan tangan untukku, lebih baik aku yang mengulurkan tangan untuk memaafkan segala hal yang membuatku kecewa.”

“Kau berhasil?”

“Pikirmu itu berhasil? Tak akan mudah. Sampai aku bisa tinggal dengan ayahku seutuhnya, aku akan memaafkan Jaehwan.. Aish.. memikirkan hal ini membuatku kecewa lagi pada nasib. Sudahlah. Kau harus tidur sekarang. Jangan terlalu larut pada kesedihan. Lupakan hari ini.”

Karina memeluk sekilas Winter. Dia tak pandai untuk bersikap manis. Dia bahkan benci melihat orang lain menangis di depannya.

Uljima. Kau hanya perlu mengenal sudut pandang Summer. Dengan begitu, kau akan mengenal prespektif lain. Kau pasti bisa mendapatkan pengakuan keluargamu, Winter-ah. Bersemangatlah. Aku yakin, dari pengalamanku, bila kau tak memiliki perhatian orang tuamu, setidaknya saudaramu yang akan memberimu semangat. Sekeras apapun penolakanmu, adikmu sedang berjuang mendapatkan maafmu.”

Karina memanjat ranjang. Dia ingin menyudahi percakapan setelah Winter tenang. Sayangnya mimpi buruk kembali menghantui Karina. Hanya sesal yang menghadang. Karina tak punya pilihan lain kecuali menerima luka yang kembali menggores.

Dia tahu rasanya terbuang dan Winter tak boleh merasakan hal yang sama.

Karina memejamkan mata. Tenggelam bersama kenangan di rumah, menyaksikan derai keluarga yang bahagia. Ada ibu dan Jungwoon sedang tertawa di meja makan. Di kursi kepala, seorang pria sedang melontarkan lelucon. Tak ada yang menyadari keberadaan Karina. Sejak kemarin pagi, ibunya bahkan tidak memberi makan untuk anak perempuan berusia sepuluh tahun yang kelaparan.

Diabaikan itu sangat menyakitkan.

Fighting Winter,” gumam Karina lantas menepuk tangan. Seketika lampu utama padam, menyisakan lampu tidur yang Seohyun sengaja letakkan di sebelahnya.

Sunyi tak ada yang bersua. Sekali pun mata mereka terjaga.

***
Banyuwangi, 27 April 2018
2

1:06 WIB
Repost 14 September 2021
14:23 WIB

Gyuberry Hojae Storyline

Baper beud ngetik part ini. Walau tanggal diketik sudah berbulan-bulan lalu dan hampir setahun lamanya, deep story mulai membekas. Makasih buat yang menunggu selanjutnya.

Ditunggu saja part dari Aurelia_nwh91 nanti ya. Salam sayang dari Jake, si ganteng yang melarang kita nangis² melulu. Eaaaaaa~~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro