[22] Si Gadis Bodoh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jika dipikirkan kembali, rasanya ada yang janggal dengan perasaan Winter saat ini. Setelah puas membeberkan masalahnya pada Sunghoon, hatinya terasa aneh. Ada perasaan lega, dan yang lebih membuatnya aneh adalah tidak lagi ada rasa canggung yang selalu menahannya untuk terus menjaga jarak.

Debaran di dadanya saat berdekatan dengan Sunghoon, sudah tidak seperti dulu lagi. Mungkinkah dia sudah mulai merelakan pemuda itu dijamah yang lain? Winter masih belum tahu pasti.

Jam malam sudah lewat beberapa menit, namun Winter sepertinya enggan untuk kembali ke asrama.

Ia masih betah melihat kilauan bintang-bintang yang tersenyum di atas sana. Sungguh kontras dengan hidupnya saat ini.

Air matanya masih saja mengucur. Dia belum bisa memaafkan dirinya sendiri atas apa yang sudah terjadi pada adik kembarnya. Rasa penyesalan itu yang terus menerus menghalangi oksigen untuk masuk ke dalam paru-parunya.

Sesak.

Senyum masam dia paksakan. "Mianhae, Summer-ah! Andai aku tahu itu sejak awal. Jinjja mianhae!"

Permasalahan dia dan keluarganya memang tak seenteng sehelai kertas. Kelihatannya simpel, tetapi jika diteliti lebih jauh, itu sungguh rumit. Membuat kepala sakit, seperti memecahkan soal matematika saat tidak tahu rumus yang tepat.

Andai saja dulu keluarganya lebih terbuka soal permasalahan penyakit Summer dan alasan kenapa mereka lebih memedulikan gadis itu ketimbang dirinya, mungkin semuanya akan berbeda. Tidak ada yang namanya Winter si pembangkang. Gadis yang begitu dibenci oleh keluarga besarnya.

Winter berontak hanya karena butuh perhatian. Itu saja.

Dan detik ini, dia menyesali sikapnya. Bertahun-tahun hidup seperti musuh di tengah keluarganya, telah membentuk pribadi Winter menjadi gadis yang keras kepala dan menyebalkan. Namun, itu tak menutup mata hati Summer untuk selalu memedulikan sang kakak, seburuk apa pun tabiatnya.

Summer paham, jika sang kakak juga butuh perhatian. Namun, keluarga besarnya lebih memilih untuk fokus menyembuhkan penyakitnya yang tak kunjung membaik.

"Bodoh! Kenapa aku masih saja menangis?! Cih, gadis lemah!" rutuknya. Memaki dirinya sendiri karena tidak biasanya dia hancur seperti ini. Winter adalah gadis yang tegar. Bukan pecundang. Namun, saat memikirkan bagaimana nasib sang adik yang di ujung tanduk, membuat Winter semakin tertekan.

Ia mencondongkan tubuhnya di depan pagar pembatas. Menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Tubuhnya gemetar hebat. Dia kembali kalut.

Khawatir yang terlalu berlebihan semakin membutakan pikirannya. Rasa takut, jika memikirkan kemungkinan adiknya itu tak bisa diselamatkan dan seumur hidup akan dilalui dengan penuh penyesalan.

Tanpa pikir panjang, dia melangkah kembali ke asrama. Niatnya untuk lompat dari atap, sepertinya tidak akan cukup untuk menghilangkan rasa sakit pada perasaannya. Dia butuh sesuatu yang lebih menyiksa dan menyakitkan, agar sakit di hatinya bisa berpindah.

Seruan keras penjaga asrama putri dia abaikan begitu saja. Masa bodoh jika keesokan paginya dia akan dihukum. Mungkin saja esok hari dia sudah berubah menjadi seonggok mayat.

Winter bahkan tak takut memikirkannya. Setidaknya, itu lebih baik dari pada lompat dari atas gedung. Jika dia jatuh, kemungkinan rasa sakitnya akan kecil, karena dia pasti akan cepat mati.

Otaknya kembali mencari alternatif lain untuk menyiksa tubuhnya sendiri.

Memasuki kamar, Winter buru-buru menguncinya, begitu mendapati kamar tersebut sudah kosong. Entah ke mana perginya si Nona Perfect itu. Winter tak mau ambil pusing. Masalahnya saja sudah cukup membuat kepalanya sakit bukan main.

Kepalanya menengadah ke atas plafon. "Gantung diri?!" Keningnya mengernyit. Menimang-nimang apakah menggantung dirinya akan cukup untuk menyiksa dirinya sendiri.

"Ani, ani! Kalau talinya tidak kuat, aku akan jatuh ke lantai. Sia-sia saja!" Dia menggeleng cepat. Mengenyahkan niatannya untuk gantung diri.

Atensinya kini berpindah pada sebilah pisau buah yang berada di atas meja belajar Karina. Tepat berada di atas piring berisi dua butir apel yang maha menggiurkan.

Senyum tipisnya mengembang. Dia buru-buru mengambil pisau tersebut, lalu membawanya masuk ke dalam kamar mandi. Tidak lucu, saat dia tengah sekarat, Karina mengetahuinya dan segera menyelamatkannya. Gadis itu terlalu ikut campur, hanya karena dia sepupu dari Yoon Sooji.

Pintu kamar mandi dia kunci. Membuang kuncinya asal, lalu mendudukkan tubuhnya di atas toilet.

Segurat garis horizontal berhasil dia lukis di pergelangan tangannya. Rasa perih perlahan menjalari seluruh tubuhnya. Lemas.

Merangsek naik menuju kepalanya. Urat-urat kehijauan mulai menonjol, menandakan Winter mulai merasakan sakit yang luar biasa. Begitu perih, namun itu belum cukup untuk menyingkirkan perih pada batinnya.

Dua guratan kembali dia torehkan. Membuat cairan merah kental itu semakin mengucur deras.

Peluh ikut membasahi tubuh Winter. Pun dengan air mata.

"Jika ini akhir dari hidupku, aku harap kau sudah memaafkanku, Summer-ah. Mianhae!"

Kedua matanya terpejam. Menikmati rasa sakit yang semakin menghalangi tingkat kesadarannya. Pisau itu jatuh membentur lantai kamar mandi yang sudah dibanjiri dengan darah Winter. Tangannya tak lagi mampu menahan pisau tersebut agar aman dalam genggamannya.

Matanya mulai tertutup saat mulutnya hanya bisa meringis menahan perih. Berharap aksinya ini akan membuat hidupnya tenang, karena rasa perih di hatinya akhirnya teralihkan dengan rasa sakit di sekujur tubuh karena goresan-goresan di nadinya.

"Jake-ya, gomawo. Geurigo, saranghae!" Winter sempat tersenyum mengucapkan kata terakhir itu, karena saat kesakitan itu semakin memborbardir sekujur tubuhnya, dia baru sadar, jika perasaannya memang sudah beralih pada sosok Jake. Dia menyesali keterlambatan itu, karena Jake tidak tahu yang sebenarnya. Tapi, biarlah. Semoga pemuda baik hati itu mendapatkan pasangan yang lebih baik lagi.

Sedetik kemudian, kesadarannya hilang sepenuhnya.

Terbang bersama rasa sakit yang ikut hilang, karena dia sudah mati rasa.

***

***

Jake masih terus berusaha menghubungi ponsel Winter. Dia sama sekali tak mau berhenti bolak-balik di depan ranjangnya.

Miran baru saja menghubunginya, terkait kondisi Saeron yang sudah mulai membaik. Gadis itu akhirnya mau membuka kedua matanya, meski tubuhnya masih terasa lemah. Setidaknya, itu berita yang cukup baik untuk menenangkan hati Winter yang tak beraturan.

Nomornya aktif, namun Jake kebingungan, karena gadis itu masih saja tak mengangkatnya.

Puluhan pesan singkat sudah dia kirimkan, meski sama sekali tak dibaca satu pun.

Perasaan Jake mulai was-was. Dia tahu betul siapa Winter. Teriakan Sunghoon tidak akan cukup mengurungkan niat gadis itu untuk bunuh diri.

Ia beralih untuk menghubungi Sunghoon. Mungkin saja pemuda itu tahu keberadaan Winter, karena Sunghoon masih belum kembali ke kamarnya, setelah tadi bertemu di atap.

Panggilannya ikut terabaikan. Entah apa yang terjadi saat ini. Apakah ponselnya rusak? Hingga tak ada seorang pun yang mau menjawab panggilannya?

"Aishhh, sial!"

Dengan langkah cepat, dia berlari keluar asrama. Ketua asrama sampai syok melihat Jake berlarian di lorong asrama. Teriakan kerasnya bahkan tak digubris sama sekali. Jake sudah hilang kendali.

Kepalanya menoleh ke sekitar. Mencari keberadaan sang sahabat.

Sepi.

Tak ada siapa pun di sana, selain teriakan Heesung yang masih menggema menyerukan nama lengkap Jake.

Jake beralih menuju gerbang pembatas asrama putri, mungkin saja Sunghoon masih sibuk mengintip Karina dari sana.

Dugaannya tepat. Ada Sunghoon dan Karina di sana. Keduanya tampak canggung. Entah masalah apa yang terjadi pada keduanya.

Ragu untuk mengganggu, tetapi akhirnya Jake lebih memilih mengganggu mereka. Masalahnya lebih urgent.

"Sunghoon-ah, apa kau lihat Winter? Sejak dia turun dari atap, aku sama sekali tak bisa menghubunginya!" tanya Jake terbata. Dia sungguh kepayahan. Napasnya seolah ikut tertinggal di belakang. Dia akhirnya duduk berselonjor di atas tanah. Menghirup oksigen sepuasnya.

Sunghoon menggeleng, sedang Karina mencelos kaget. "Jadi, gadis yang ada di atap itu, Winter?" tanya Karina tak percaya.

Bodoh sekali, jika dia berpikir Sunghoon berselingkuh. Dalam hati dia menertawakan kebodohannya, tetapi dia tetap bersikap acuh tak acuh. Gadis itu pandai menyembunyikan perasaannya.

"Ne, kau tidak melihatnya?" Jake kembali bertanya.

Sunghoon dan Karina saling pandang, lalu menggeleng serempak.

"Ya! Kalian sedang apa di sana? Ini sudah lewat tengah malam!" Ketua asrama melangkah penuh amarah menghampiri mereka bertiga.

Ketiganya tak bisa berkelit, mengingat memang mereka telah melakukan kesalahan fatal.

"Ya! Karina-ya! Apa yang terjadi dengan Winter? Kenapa gadis itu terburu-buru masuk ke dalam kamar tanpa memedulikan omelanku? Kamarnya bahkan dikunci. Apa ada masalah?" tanya Heesung ketus.

Jake langsung membolakan kedua matanya, lalu berlari menuju kamar Karina dan Winter. Diikuti Karina, Sunghoon dan Heesung di belakangnya.

"Jake-ah, waegeurae?!" Sunghoon yang tak mengerti situasi tersebut, mulai kebingungan dengan sikap Jake. Pun dengan Karina yang ikut kebingungan.

"Sial! Pintunya benar-benar terkunci!" umpatnya kasar tanpa mengindahkan pertanyaan Sunghoon.

Jake mencoba mendobrak pintu tersebut. Rasanya sulit. Seperti sebuah tusuk gigi yang berusaha menghancurkan dinding beton. Sangat kontras.

"Menyingkirlah, biar aku saja!" Sunghoon menarik lengan kaos Jake. Membuat Jake menyingkir dari depan pintu.

Sebagai gantinya, Sunghoon mencoba untuk membuka paksa pintu tersebut. Hanya dengan tiga kali dobrakan, pintu itu akhirnya terbuka.

Jake buru-buru masuk. "Winter-ah!" teriaknya keras. Mencari-cari keberadaan sang kekasih yang tak terendus keberadaannya.

"Winter-ah!" Sunghoon dan Karina ikut berteriak. Padahal, ukuran kamar itu tidak terlalu luas. Hanya cukup untuk dua buah ranjang, dua buah lemari dan dua buah meja belajar. Di pinggirnya hanya ada kamar mandi. Mereka tidak berteriak pun, bisa menyisir keberadaan gadis itu di dalam dengan mudah.

Kekalutan sudah membutakan logika mereka.

Luar biasa, bukan?

"Sunghoon-ah, pintu kamar mandi terkunci. Cepat kau dobrak lagi!" usul Jake. Dia tak mau mempermalukan dirinya untuk yang kedua kalinya. Membiarkan Sunghoon dengan tubuh berototnya mengambil alih.

Brak...

"Winter-ah!"

Ketika pintu berhasil terbuka, keempatnya sangat terkejut melihat tubuh Winter sudah terkapar di atas toilet dengan darah menggenangi sekelilingnya.

Itu pemandangan yang sangat mengerikan, hingga membuat batin Jake mencelos.

"Gadis bodoh!" rutuknya kesal.

***

TBC

Tangerang, 25 Mei 2018
Repost: 14 November 2021
Aurelia_nwh91 storyline

Makin serius kan ini? Kelanjutannya ditunggu saja ya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro