111 - [Alby] Missed Call

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Hei, Pria Patah Hati."

Aku mendelik karena panggilan itu. Tidak ada satu orang pun yang punya keberanian sebesar itu, kecuali Paula, sampai memanggilku dengan julukan yang konyol. Jacob adalah satu-satunya. Aku membayarnya untuk bekerja, sumber penghasilan untuk menghidupi keluarganya adalah aku, tetapi dia juga yang bersikap tidak sopan. Dia tahu saja seburuk apa pun kelakuannya, aku tidak akan memberhentikannya.

"Mau sampai kapan memandang ponsel itu? Kau harus ke ruang pertemuan sekarang, mereka sudah menunggu. Jangan sampai kolegamu berubah pikiran dan memutuskan pulang."

Ah, benar. Jacob sudah beberapa langkah di depanku. Sementara langkahku terhenti karena ponsel yang berdering. Kami sedang berjalan menuju ruang pertemuan sampai Ava tiba-tiba menelepon nomor pribadiku, bukan nomor cadangan yang sebelumnya kupakai untuk menghubunginya. Itu sebuah kemajuan meski dia memintaku memberinya waktu untuk sendiri. Catat, itu berarti dia sudah tidak memblokir nomorku.

Bukannya segera menerima telepon, aku justru termenung memandang nama kontaknya. Apa dia benar-benar menelepon, atau hanya tidak sengaja melakukannya? Ava dengan keteguhannya dalam memutuskan sesuatu tidak akan semudah itu berubah, dengan begitu rasanya opsi kedua lebih tepat. Masih jelas di ingatan kata-kata Ava waktu itu yang memintaku untuk memberinya waktu, yang sebenarnya tidak jauh berbeda dari sebuah penolakan.

"Aku bukan orang yang suka mengambil kembali sampah yang sudah kubuang."

Kata-kata iconic Ava yang tidak pernah kulupakan sampai sekarang. Dulu aku mengabaikan maknanya, karena percaya bahwa tidak akan ada hal serius di antara kami. Namun, sekarang kata-kata itu justru terdengar menyakitkan. Siapa sangka itu juga akan terjadi padaku. Kami benar-benar berkencan, tetapi dia sudah menganggap kami berakhir meski aku tidak menginginkannya.

Panggilan pertama kubiarkan sampai berstatus panggilan tidak terjawab. Panggilan masuk kedua Ava masih kupandangi. Sayangnya Jacob terus mendesakku untuk segera menyusul. Andai kolega kali ini tidak begitu penting, aku mungkin akan menundanya sebentar dan bicara dengan Ava. Namun, daripada mendengar kata-kata menyakitkan darinya sekarang dan mengacaukan presentasi karena tidak berhenti memikirkannya, aku menolak panggilan tersebut dan menitipkan ponsel itu pada Jacob.

"Tolong singkirkan sampai pertemuan selesai."

Jacob kebingungan meski tetap menyimpan ponselku di saku celananya, tetapi aku mengabaikannya. Sambil mengancing jasku dan membenahi kerahnya agar lebih rapi, aku berusaha mengembalikan rasa percaya diri sekaligus menyingkirkan kegelisahan yang muncul karena telepon dari Ava. Demi masa depan, aku tidak boleh menggagalkan yang satu ini.

Setelah mengabaikan beberapa pertemuan saat aku berusaha menemui Ava tiga minggu lalu, Dad mengancam akan mencabut posisiku di Mate Inc.. Walau sebenarnya tidak masalah mengingat aku punya usaha yang lain, tetapi dia akan memengaruhi Paula dan menghancurkanku. Dad punya kekuasaan sebesar itu dan aku tidak bisa mengabaikannya lagi kali ini. Meski masa depan yang kuinginkan adalah bahagia bersama Ava, tetapi aku cukup realistis ingin tetap punya uang banyak agar dapat memenuhi semua kebutuhannya. Begitu aku memikirkannya, sebuah batu besar rasanya menghantam dadaku begitu kuat. Sesak sekali jika mengingat penolakan Ava.

Begitu melewati pintu ruang pertemuan, saat itu pula aku harus membuang sebentar semua pemikiran tentang Ava. Aku perlu benar-benar fokus kali ini, meski itu adalah sesuatu yang sulit kudapat semenjak kembali ke Inggris. Jacob bahkan tidak bisa kupulangkan, aku perlu dia di sini lebih lama agar tetap waras.

"Ada beberapa pertimbangan yang menjadi alasan kami mengajukan kerja sama dengan perusahaan Anda. Pertama, seperti yang kita ketahui, Virtulife memiliki banyak peminat, dan tentunya untuk penjualan base game terus meningkat dari waktu ke waktu. Ini bisa menjadi jaminan bahwa perusahaan Anda akan mendapat keuntungan besar. Penjualan di dalam game belum pernah mengalami penurunan karena kami punya tim kreatif dengan ide-idenya yang luar biasa. Paket-paket pelengkap base game selalu disesuaikan dengan tren masa kini."

Aku beristirahat sebentar, memastikan bahwa orang-orang masih memperhatikan presentasiku. Di ruangan ini ada tujuh orang tim dari perusahaan dan tiga orang dari kami, termasuk aku dan Jacob. Aku memberi kode pada Jacob untuk mengganti tayangan slide.

"Kedua, Virtulife 1 dan 2 sudah dirilis di seluruh dunia meski harga game kami terbilang cukup mahal. Virtulife 3 rencananya akan dirilis lebih dulu di server Eropa mengingat banyaknya permintaan dari Eropa daripada Amerika. Asia akan segera menyusul setelah server Amerika dirilis. Virtulife 3 diharapkan menghadirkan grafis yang lebih sempurna dan kami mempercayakan perusahaan Anda untuk mengerjakannya."

Presentasi ini membuatku haus karena terlalu banyak bicara. Namun, tidak hanya itu, kurang minum mulai membuatku pusing. Sayangnya, aku tidak mungkin minum di tengah-tengah presentasi meski sudah disediakan di setiap meja. Aku hanya perlu mempersingkat materi, menyampaikan hanya poin-poin yang penting, dan segera mengakhirinya.

•••

"Apa dia menelepon lagi?" Aku sedang menarik lepas dasiku ketika Jacob memasuki ruanganku. Jas yang sebelumnya kukenakan sudah tanggal. Ukurannya pas, tetapi saat di dalam ruang rapat jas itu terasa sesak.

Ada secuil harapan yang muncul kalau Ava menelepon lagi, atau setidaknya mengirim pesan untuk menyampaikan apa maksudnya meneleponku. Namun, keduanya tidak ada. Gelengan kepala Jacob seolah-olah menjadi puncak dari penderitaan yang akan kuhadapi dalam waktu panjang. Dia adalah saksi hidup dari kehancuran seorang Alby Mateo.

Aku segera meraih ponsel yang baru diletakkannya di atas meja dan buru-buru mencari kontak Ava. Apa pun alasannya, pasti adalah sesuatu yang penting. Aku mencoba meneleponnya, tetapi selalu terhubung pada suara operator yang menyatakan bahwa nomornya tidak dapat dihubungi, langsung tanpa ada nada sambung terlebih dahulu. Nomorku diblokir lagi.

Tawa yang rendah kukeluarkan. Bersamaan itu, tubuhku ambruk ke kursi. Lama-lama ini akan membuatku gila. Jacob saja sudah menatapku seolah-olah aku membutuhkan pertolongan secara mental. Bisa dibilang Jacob sedikit berlebihan menghadapiku yang seperti ini.

"Aku kacau," kataku padanya. Meski itu terlihat dengan jelas tanpa aku harus mengatakannya.

"Kau sudah seperti itu sejak dua bulan yang lalu. Dan makin parah setelah bertemu Ava." Dia menaruh berkas notulen hasil pertemuan tadi di depanku, yang sebelumnya dia dapatkan dari sekretarisku. Aku memandang setumpuk kertas itu tanpa berminat.

"Aku ditolak. Benar-benar ditolak."

"Aku sudah mendengarnya tiga belas kali, empat belas dengan ini, selama dua minggu terakhir." Jacob tampak tidak senang dengan itu.

Aku meringis. Foto Ava yang masih menjadi gambar wallpaper ponsel kupandangi cukup lama. Kisah di balik diambilnya foto ini adalah ketika kami menonton kartun bersama. Tawanya yang begitu renyah menggodaku untuk mengalihkan pandangan dari TV. Itu adalah saat-saat yang menyenangkan. Sederhana, tetapi berkesan. Saat itu aku sedang memegang ponsel dan diam-diam memotretnya. Dia bahkan tidak menyadari itu karena terlalu tenggelam dengan tayangan kartun.

Aku benar-benar merindukannya.

"Apa yang dia lakukan sekarang? Apa dia sudah berhasil bangkit dari duka? Aku menyesal tidak bisa mendampinginya saat ini." Sebenarnya aku bicara pada diriku sendiri, tetapi aku tidak peduli kalau Jacob mendengarnya. Dia mengenalku terlalu dalam.

"Kau tidak membayar seseorang untuk memantaunya lagi?"

Tatapanku terangkat hanya untuk melihat Jacob menduduki kursi di hadapanku bersama laptop di pangkuannya.

"Ya. Aku bisa melakukan itu. Tapi itu akan membuatnya marah padaku. Aku tidak siap dengan dia membenciku lebih-lebih lagi."

"Kau bisa melakukannya tanpa diketahuinya, 'kan? Seperti sebelumnya."

Dulu mungkin aku tidak akan pikir panjang membuang uang untuk hal-hal seperti itu. Namun, tidak lagi setelah menemukan betapa dia murka dan sangat kecewa padaku. Dia membutuhkan privasi. Aku tidak ingin melakukannya lagi. Kegelisahan ini memberi sensasi yang lebih mendebarkan daripada aku selalu tahu kabarnya tanpa terkecuali.

"Tidak. Mungkin dia memang ingin mengakhiri semuanya denganku." Aku tertawa hambar di ujung kalimat. "Lagi pula, ini sangat pantas kuterima. Dibenci oleh orang yang kucintai mungkin lebih bisa ditoleransi daripada dibuat patah hati oleh orang yang sangat kau percaya."

Jacob hanya mendengarkan dengan kening yang berkerut. Tidak ada yang ingin dia katakan, jadi aku bicara lagi.

"Aku membuatnya percaya padaku, tapi pada akhirnya kukecewakan. Kalau kau mau tahu, aku sudah memanfaatkannya, menjadikannya umpan dalam rencana jahatku. Aku lupa pernah berencana untuk membuatnya percaya kalau aku mencintainya, tapi jatuh cinta sungguhan padanya. Sayangnya, dia telanjur membaca rencana itu dan tidak lagi percaya pada apa pun yang kukatakan padanya."

Aku baru saja menceritakan apa yang terjadi dan reaksi Jacob persis seperti yang kuperkirakan. Pria penyayang sepertinya tentu akan menentang keras rencanaku jika dia kulibatkan sejak awal. Aku sudah tahu itu, makanya aku mengurus semuanya sendiri, termasuk membayar orang-orang tertentu.

"Aku sudah tidak heran lagi kalau Ava benar-benar membencimu. Kau pantas menerimanya." Jacob berdiri dan memindahkan laptop di pangkuannya tadi ke atas mejaku dengan layarnya menghadapku. "Sebenarnya aku pun merasa ada kejanggalan dengan hubungan kalian. Kau baru putus dari Claudia dan uring-uringan seperti ini, tapi tiba-tiba memperkenalkan Nona Clairine sebagai kekasihmu. Lihat itu, apa yang kudapat dari internet."

Aku membacanya. Claudia Avery memutuskan berhenti dari dunia permodelan dan berencana untuk meneruskan bisnis orangtuanya. Aku bahkan tidak mengerti kenapa Jacob menunjukkan berita tidak penting itu. Aku tidak perlu untuk tahu semua tentangnya.

"Apa inti dari semua ini?" Aku mendelik padanya. Di saat-saat seperti ini dia justru memperburuk suasana hatiku dengan membawa-bawa namanya. "Aku harap kau tidak lupa kalau aku tidak ingin berurusan dengannya lagi."

"Justru dengan dia merambah dunia bisnis akan membuatmu jadi lebih sering bertemu dengannya." Jacob mengerang frustrasi, padahal aku tidak sedang melakukan kesalahan apa pun. "Biasanya kau selalu berpikir lebih maju, terdepan, lebih siaga terhadap kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, padahal orang lain belum memikirkannya. Serius, kau harus bertemu Ava. Segera. Perbaiki hubungan kalian."

Jacob menutup laptop tadi dan menyingkirkannya dari hadapanku. Dan aku baru saja benar-benar memproses ucapannya. Kekacauan baru, kalau boleh kubilang. Untuk kata-katanya yang terakhir, berada di urutan pertama dalam daftar hal-hal yang sangat ingin aku lakukan. Namun, aku yakin Ava tidak akan senang.

"Aku tidak peduli soal itu. Dia memblokirku lagi, kau dengar, kan, suara operator?" Aku sengaja mengaktifkan pelantang suara agar Jacob turut mendengarnya.

"Minimal itu akan membuatnya tersentuh kalau tahu kau berjuang untuknya." Wajahnya mengerucut sebentar sebelum matanya yang sedikit lebih sipit dariku itu tiba-tiba membola. "Pria sepertimu, mana mengerti betapa berartinya sebuah perjuangan bagi seseorang. Kau selalu mendapatkan semuanya dengan mudah, seolah-olah dunia ini berpusat padamu. Setidaknya berpisah dengan Ava memberimu satu atau dua pelajaran hidup."

Kata-kata Jacob sukses menamparku begitu keras.

•••

"Hei, Adik Bodoh."

Julukan baru untukku. Aku mendapat beberapa dalam tiga minggu terakhir. 'Adik Bodoh' hanya satu dari belasan julukan yang Paula berikan padaku. Aku nyaris tidak pernah lagi mendengarnya menyebut namaku dengan benar. Di antara semua orang, Paula adalah yang paling murka dengan berpisahnya aku dan Ava. Terkadang itu membuatku merasa dia lebih menyayangi Ava daripadaku, tetapi tentu bukan sesuatu yang kupermasalahkan.

Aku menatapnya di layar laptop dengan wajah malas dan mata yang lesu. Di akhir pekan tidak banyak yang kukerjakan, bahkan nyaris tidak beranjak dari kasur kecuali jika perlu, seperti mandi, buang air, mengisi perut, atau mengambil bir jika yang sedang kuminum sudah habis. Aku sempat berpikir ingin tidur lagi sampai akhirnya Paula mengirim pesan kalau dia ingin bicara denganku melalui Facetime.

"Katakan sesuatu yang penting, atau kumatikan." Aku tidak mengancam, bahkan itu adalah respons paling sopan yang bisa kuberikan padanya setelah memanggilku begitu.

"Proyek di sana lancar, 'kan? Kau akan pulang? Dad berencana memberi kejutan ulang tahun untukmu, sekaligus merayakan pencapaian terbesarmu tahun ini."

Sial. Bukan kejutan lagi kalau sudah diberi tahu seperti itu. Melibatkan Paula ketika merencanakan sesuatu adalah sebuah kesalahan. Itu akan menyuntikkan semangat yang besar padanya hingga tidak sanggup menampungnya sendirian. Dad sangat tahu soal itu dan tidak pernah melibatkannya. Untuk rencana yang satu itu, pasti karena Paula tidak sengaja mendengarnya, atau Dad tidak sengaja memberitahunya.

Pernah satu kali mulutnya yang bocor membuatku tidak jadi pulang. Aku menginap di rumah temanku beberapa hari sampai tanggal ulang tahunku terlewati. Sehari sebelum ulang tahunku, Mom sakit dan mau tidak mau aku harus pulang. Awalnya aku percaya dan sudah tiba di rumah, tetapi Paula yang menyambutku berkata aku harus tetap tinggal sampai besok karena Mom sudah memesan kue. Aku benci ulang tahunku sendiri dan setelahnya pergi sebelum memastikan apakah Mom sungguh sakit atau hanya berpura-pura.

Sekarang itu terjadi lagi.

"Tidak. Aku akan menyelesaikan yang ada di sini lebih cepat baru melakukan sesuatu yang harus kulakukan sejak lama."

Setelah mendengar kata-kata Jacob tiga hari lalu, aku tidak berhenti memikirkannya. Sebuah perjuangan untuk membuat Ava tersentuh. Aku bahkan tidak tahu harus memulainya dari mana. Paula sempat kuminta menemui Ava, tetapi dia tidak berhasil. Apartemennya kosong, tetangga yang waktu itu kutitipi pesan berkata kalau Ava pindah dan tidak mengatakan ke mana perginya. Paula berusaha menghubunginya, tetapi tidak ada respons, sama sepertiku.

"Kau tidak mau merayakannya lagi kali ini?" Paula tampak menyayangkan keputusanku. "Aku tahu kau sedang kacau setelah perpisahan kalian, tapi dia tidak benar-benar meninggalkanmu, Idiot."

"Dengar, dia pindah, menjauh dariku, kata apa yang bisa mendefinisikan itu selain meninggalkanku?"

Paula hanya memandang miris diriku yang baru saja mengacak rambut seperti orang putus asa. Tidak, tetapi aku memang benar-benar putus asa sekarang.

"Kau akan mencarinya? Tolong katakan iya, aku pasti akan membantumu."

Kupikir itu bisa disebut sebagai sebuah usaha, sebuah perjuangan, dan meyakinkan Ava kalau hanya aku yang bisa membahagiakannya.

"Aku tidak tahu harus memulainya dari mana. Tidak ada satu pun clue tentang kepergiannya."

Di seberang sana, Paula turut frustrasi sepertiku. Aku tahu dia sedang berada di ruang kerjanya dan saat ini sedang bertopang dagu kala menatap layar laptopnya.

"Hei, aku akan mengambil alih seluruh aktivitas Aleo Group selama kau mencarinya. Jadi, selesaikan proyek itu di sana dan mulailah mencari. Aku melakukan ini karena peduli padamu. Aku lebih senang kau berulah dengan mengencani model-model itu daripada melihatmu seperti ini. Kau tidak lebih baik dari zombi yang dipaksa untuk tetap berjuang bertahan hidup."

Aku tertawa dengan wajah datar. Setidaknya zombi itu masih berjuang.

Dengan Paula mengurus semua yang ada di Aleo Group, aku juga tidak akan banyak diundang dalam acara-acara para pebisnis. Paula menyelamatkanku dari bertemu mantan pacar yang terobsesi.

"Aku akan berterima kasih setelah berhasil bertemu dengannya."

"Ya, ya, ya. Aku tidak tahu ini penting atau tidak, tapi saat kami bertemu; ketika dia menolak untuk menerima lembar cek itu, Ava masih memakai kalungmu. Dia masih mencintaimu, dan aku tidak ingin kau terlambat menemukannya, atau seseorang akan menuangkan air yang banyak hingga perasaan itu jadi hambar."

Itu sungguh kabar yang membahagiakan. Kami belum benar-benar berakhir. Ava mengatakan itu karena dia memang membutuhkan waktu. Aku hanya perlu menemukannya.

Dari mana aku harus memulainya? Jeffrey yang posesif mungkin tahu sesuatu tentang kepergian Ava.

•••

Kemarin repot, nggak jadi dipublish. Maafin.

See you on the next chapter? That's gonna be the last tho :")
Lots of Love, Tuteyoo
9 April 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro