112 - Ever After [End]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tiga tahun kemudian.

'Hidup itu seperti permainan catur. Kita tidak bisa mengembalikan pergerakan bidak, tetapi kita bisa memperbaiki pergerakan selanjutnya.'

Aku menutup buku di tangan setelah membaca halaman yang terakhir. Tidak, sebenarnya masih ada beberapa lembar lagi, tetapi itu bukan isi lagi isi dari tulisannya, melainkan biodata dari sang penulis dan lembar promosi untuk membaca karyanya yang lain. Aku tidak perlu membaca itu karena sudah sangat mengenal si penulis, dan buku yang kubaca ini adalah karya terbarunya yang ketujuh, enam lainnya sudah kumiliki meski bukan membelinya. Troy si penulis akan mengirimkan cetakan kedua disertai tanda tangannya.

Sedikit banyaknya, kata-kata di sana cukup membuatku lega. Apa yang terjadi kemarin, memang akan selalu menyisakan sesal. Kenapa aku kemarin malah begini dan bukan begitu? Seolah-olah semua orang sedang melayangkan tuduhan, menghilangkan kepercayaan diri dalam mengambil tindakan kembali. Ketika menghadapi sesuatu yang belum sepenuhnya kita bisa proses, anggap saja situasi yang sulit, secara naluriah kita akan menekan memori tersebut untuk melindungi diri sendiri. Namun, aku juga terus mengingat kalau seandainya hari ini gagal, aku akan memperbaikinya besok. Aku terus mencoba, meski selalu ada percobaan yang gagal. Setidaknya tiga tahun di Anchorage, Alaska, aku tidak benar-benar merasa kesulitan. Hanya saja di sini jauh lebih dingin.

Alaska memberiku kehidupan yang cukup baik, sesuai rencanaku, meski beberapa kali akan ada kejadian yang tidak mengenakkan. Seperti yang kita tahu, jalan tidak selalu lurus dan mulus. Beberapa bulan pertama aku aktif sebagai freelancer, penghasilanku cukup untuk membayar sewa bulanan, membeli apa-apa yang kubutuhkan, dan sedikit untuk ditabung. Aku terus percaya kalau saat ini tidak ada target khusus yang ingin kucapai, yang juga memerlukan uang banyak, tetapi aku perlu punya pegangan jika sesuatu yang buruk terjadi padaku. Kemudian Troy ingat janjinya dan menawarkan pekerjaan secara remote sebagai ilustrator untuk kover buku-buku terbitannya, sekaligus untuk desain halaman-halaman buku sesuai permintaan. Boleh kubilang Ander's Publishing House terus menunjukkan progres yang baik meski tidak terlalu signifikan. Yang pasti jumlah karyawan yang bekerja di sana sudah naik dua kali lipat.

Buku tadi kuselipkan di antara buku-buku yang lain di rak yang menempel pada dinding di atas mejaku. iPad kembali kunyalakan, aku harus mengerjakan beberapa ilustrasi dengan tenggat waktu besok pagi. Tinggal sedikit lagi, jika bisa selesai sore ini, aku akan tidur lelap malamnya. Kali ini untuk sebuah cerita fantasi. Imajinasiku dipaksa untuk bekerja keras demi memenuhi kebutuhan cerita. Stylus Pen-ku sudah di tangan, tetapi tidak jadi menggambar ketika kuterima panggilan masuk dari Facetime. Hyunjoo meneleponku. Aku tanpa pikir panjang langsung menerimanya.

"Hai, Tante sibuk, apa kabar?"

Suara Hyunjoo dibuat-buat imut seperti suara anak-anak, agar seolah-olah putrinya yang sedang bicara. Dua tahun beberapa bulan yang lalu dia melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik. Davina Kim Rivers, dengan menggabungkan kedua nama belakang orangtuanya. Wajahnya sangat mirip Dave, tetapi dengan kulit sebagus Hyunjoo. Rambut dan alisnya tidak terlalu lebat, tetapi dari fotonya aku tahu warna aslinya adalah hitam. Lahir dengan berat 2,9 kilogram dan sekarang sudah sangat berisi, dia seperti boneka yang menggemaskan. Hyunjoo memangku putrinya yang tampak baru selesai mandi. Rambut tipisnya lembap dan wajah bayi itu tampak begitu segar. Sayangnya, Hyunjoo masih terlihat kacau dengan rambut yang diikat asal-asalan--mungkin itu yang menjadi alasan kenapa wajah putrinya memenuhi separuh layar. Dengan perbedaan waktu empat jam lebih lambat di sini, di sana tentu sudah sore.

"Halo, Sayang. Kabar Tante baik di sini. Eomma menjagamu dengan baik, 'kan?" Aku tidak biasa mengobrol dengan anak-anak, jadi yang tadi itu pasti terdengar kaku dan canggung. Belum lagi dengan sebutan ibu yang Hyunjoo pakai untuk putrinya, terasa aneh saat keluar dari mulutku. Davina tidak merespons tentunya, tetapi hanya memandangku penuh rasa ingin tahu dengan mata kecilnya yang bulat dan berkilau.

"Tentu saja. Aku menghujani Davina dengan perhatian dan banyak kasih sayang. Ngomong-ngomong, pipimu makin tembam." Celetukan Hyunjoo membuatku refleks menyentuh wajah. Dia berkata seperti itu seolah-olah kami tidak lama bertemu, padahal baru menelepon minggu lalu. "Tapi itu bagus, kau sangat bahagia di sana."

"Kupikir juga begitu, aku merasa bahagia di sini. New York selalu mengingatkanku pada hal-hal buruk, sampai untuk tersenyum saja sulit sekali."

Hyunjoo tertawa begitu renyah. Aku cukup paham kalau tidak ada unsur mengejek di sana, jadi aku tidak begitu serius menanggapinya.

"Sungguh? Kau benar-benar merasa bahagia di sana?"

Aku mengangkat bahu, tiba-tiba muncul keraguan setelah dia memintaku memastikannya. Ada beberapa hal yang membuatku menyesal sebelum pergi ke sini, tetapi aku mulai terbiasa dengan itu. Kupikir aku masih bisa menunggu datangnya kesempatan untuk memperbaikinya, tetapi seperti yang tertulis di buku Troy, kita tidak bisa menarik kembali apa yang kita putuskan kemarin. Kupikir waktu itu aku sudah cukup jelas mengatakannya, sisanya terserah bagaimana dia menanggapinya. Itu adalah situasi di luar kapasitasku untuk mengendalikannya.

"Aku akan mencoba untuk merasa demikian." Aku takut terlalu cepat menyimpulkan kalau sudah bahagia, meski saat ini banyak hal sudah tercukupi.

"Aku tidak akan bosan mengingatkanmu untuk tidak menahan diri lagi, Ava. Yah ... kupikir kau juga mendengar itu dari yang lain. Sudah cukup pengorbananmu, sekarang saatnya mendapatkan apa yang seharusnya menjadi milikmu."

"Terima kasih atas dorongannya. Jadi, apa kau menelepon hanya untuk menyerangku dengan ceramah lagi?" Masih segar di ingatanku apa yang dia katakan minggu lalu. Nyaris sama.

"Tidak, tidak. Aku hanya ingin menyapa dan menunjukkan perkembangan Davina minggu ini. Dia sudah bisa menggenggam pensil. Tapi Dave tiba-tiba ingin membawanya pergi, jadi aku tidak bisa mendemokannya."

Aku tertawa keras bercampur gemas. Tergambar di benakku ketika jari-jarinya yang bulat menggenggam pensil. Anak-anak biasanya tampak menggemaskan, tetapi putri Hyunjoo dan Dave lebih-lebih menggemaskan lagi. Aku baru melihatnya melalui panggilan video, melihat secara langsung mungkin akan lebih-lebih menggemaskan lagi.

"Kalau begitu lain kali pastikan suamimu tidak menculiknya. Tunggu, Joo, ada tamu di luar, dia menekan bel sejak tadi."

"Oke, oke. Kalau begitu sudahi saja. Aku perlu mandi. Daah."

Hyunjoo mematikan sambungan panggilan lebih dulu. Aku meninggalkan kamar untuk membukakan pintu. Orang itu tidak berhenti menekan bel, meski sebenarnya aku sengaja tidak ingin menerima tamu dulu.

"Ya? Ada perlu a--pa?"

"Halo, Ava."

Suara tamu ini nyaris bergetar dan itu sampai ke dadaku. Aku masih memandangnya dengan takjub, antara percaya dan tidak percaya. Aku pernah membayangkan hal ini terjadi, tetapi itu sudah lama sekali, ketika kebimbangan dan penyesalan masih menghantui perjalanan kepindahanku ke sini. Bernapas saja terasa begitu menyesakkan. Berkali-kali aku terus meyakinkan diri bahwa keputusanku benar mengingat rasanya selalu ada yang salah. Setiap kali aku memikirkan dia akan datang seperti ini di hadapanku, aku terus disadarkan oleh dugaan kalau dia sudah menyerah padaku.

Aku tidak kunjung beralih dari wajahnya. Tatapannya begitu hangat, tidak ada beda dari caranya menatapku dulu. Di saat seperti ini aku justru baru benar-benar percaya kalau perasaannya tulus padaku. Di samping senyumnya yang merekah dan mata bagai samudera yang berkaca-kaca, wajah itu dipenuhi oleh gurat-gurat kelelahan. Pipinya sangat tirus dan rahangnya dibiarkan ditumbuhi rambut-rambut halus, aku tergoda untuk menyentuhnya meski akan terasa kasar, tetapi aku tetap memaksa tanganku untuk tetap diam dan terkepal di kedua sisi tubuh.

Pria ini, cinta pertamaku, aku melihatnya kembali setelah sekian lama. Aku yang tidak benar-benar siap oleh situasi ini lantas bersandar pada daun pintu karena nyaris limbung. Seluruh tenagaku terkuras habis demi berusaha untuk percaya bahwa ini bukanlah mimpi. Bahkan rasanya dunia begitu kejam jika menjadikan ini hanyalah mimpi, ini terlalu nyata.

"Alby ...." Suaraku getir, takut salah mengira.

"Akhirnya aku menemukanmu," katanya sambil menyeka air mata di sudut mata kanannya.

"Si-silakan masuk." Sial, aku terbata-bata. Alby sudah datang dari jauh, mempersilakan dia untuk masuk adalah hak yang harus dia dapatkan. Aku menepi dari pintu, membiarkan dia masuk meski aku tidak tahu apa yang harus kukatakan padanya. Tiga tahun bukan tanpa interaksi bukanlah waktu yang singkat, apalagi perpisahan kami tidak bisa dibilang cukup baik.

"Terima kasih." Dia mendekat, lalu berhenti tepat di hadapanku. Aku hanya menunduk, tidak berani menatap wajahnya demi menekan keinginan untuk memeluknya. Betapa aku merindukan pria ini. "Boleh aku memelukmu?"

"Ya." Jawaban itu terucap begitu saja tanpa aku sempat memikirkannya, atau mempertimbangkannya, atau memikirkan risiko kalau pelukannya bisa saja membuatku melebur.

Aku meleleh dalam pelukannya. Kedua tangannya bertaut erat di punggungku. Lehernya melekat erat pada bahu kiriku. Tubuhnya hangat untuk Alaska yang sangat dingin, dan aku benar-benar tergoda untuk bersandar padanya. Bahkan jika waktu berhenti sekarang, aku akan menerimanya dengan senang hati. Aku ingin berbalas memeluknya, tetapi keraguan masih menguasaiku.

"Kau masih memakai kalung dariku." Suaranya sangat lirih, nyaris tidak terdengar. Kali ini Alby mencium bahuku, yang sebelumnya tidak kusadari kalau aku akan sangat menyukainya.

"Kau memintaku menjadikannya bagian dari hidupku, sedang kulakukan."

Aku refleks menaruh tangan di pinggangnya ketika pelukannya makin erat. Andai saja ... waktu benar-benar berhenti sekarang. Aku rela menghabiskan seumur hidupku dalam posisi seperti ini.

"Aku merindukanmu, Ava. Sangat-sangat merindukanmu. Aku tidak tahu kata apa yang sesuai untuk mengungkapkannya."

"Aku--"

"Ma-ma."

Aku lantas mendorong tubuh Alby hingga pelukan kami terlepas, lalu buru-buru menyeka air mata demi menyambut kehadiran gadis kecil dengan seulas senyum yang hangat. Tidak boleh ada air mata di depannya.

Gadis kecil yang memanggilku 'mama' ini melakukan peregangan kecil yang biasa dilakukan oleh seseorang yang baru bangun tidur sekaligus mengangkat tangan meminta untuk digendong. Aku menurutinya dan mencium pipinya yang tembam--dia akan menagih jika aku tidak melakukannya. Aku mengusap rambut ikalnya yang acak-acakan. Mata bulat yang berwarna keabuan dikucek dengan tangan berisinya yang terkepal. Fitur wajahnya didominasi oleh wajah ayahnya, mulai dari hidung, bentuk garis rambut, sampai bentuk alisnya. Untung saja kulitnya tidak segelap ayahnya. Gadis yang akan berusia dua tahun bulan depan ini sudah tidur sejak tadi pagi, tepat setelah ayahnya pergi memancing bersama teman-temannya. Sudah waktunya untuk makan siang dan menemaninya bermain. Namun, aku masih ingat sedang punya tamu.

Alby memandangku penuh rasa tidak percaya, takjub bercampur kecewa. Aku tidak bermaksud membiarkan dia tahu soal ini, dengan cara yang seperti ini pula, tetapi aku tidak mengira Lily akan bangun secepat ini. Padahal biasanya aku harus membangunkannya dulu untuk makan siang. Bagian terburuknya adalah aku terlena dalam pelukan Alby. Benar-benar tidak pantas setelah apa yang aku perbuat.

Aku berdeham sebentar mengingat situasi ini pastilah berubah canggung. "Silakan duduk, Alby. Mau minum apa?" Aku menawarkan itu padanya setelah dia duduk di sofa. Kali ini tatapannya tertuju pada Lily si gadis kecil. Aku tidak tahu apa yang sekarang dia sedang pikirkan sampai-sampai tidak menjawab pertanyaanku.

"Alby?" Aku menegurnya lagi setelah menyusul duduk di hadapannya sambil memangku Lily. Kali ini aku juga menyentuh tangannya, tetapi Alby buru-buru menarik tangannya seolah-olah tanganku menghantarkan arus listrik.

"Apa aku sangat terlambat?" Dia tersenyum, tetapi air matanya mengalir. "Pertanyaan yang bodoh. Tentu saja sangat terlambat. Lihatlah dirimu."

Hatiku terasa nyeri, turut merasakan kesakitan itu dari suaranya. "Benar. Kau terlalu lama." Namun, kali ini kuputuskan untuk mengungkapkan apa yang sebenar-benarnya kurasakan. "Sampai-sampai aku mengira kita tidak akan pernah bertemu lagi."

"Semua orang yang mengenalmu tutup mulut, Ava. Tidak ada satu pun yang memberi tahu di mana kau berada. Jeffrey bahkan sangat membenciku seperti dia tidak pernah merebut kekasihku--sungguh, aku tidak mengerti apa yang ada di jalan pikirannya. Aku bisa membayar mahal untuk melacak keberadaanmu dan segera menyusul seperti yang pernah kulakukan dulu, tapi aku tidak ingin melakukannya karena itu akan membuatmu tidak nyaman. Kau bahkan mengganti username di semua situs freelance." Alby diam sebentar untuk menyeka air matanya lagi. "Kukira aku bisa melakukan sesuatu yang berarti, untukku dan untukmu. Tapi sekarang aku merasa seperti orang bodoh."

"Alby ...."

Tangannya terangkat untuk menahanku bicara. "Kau tahu dari siapa aku mengetahui keberadaanmu? Troye, adik dari seorang pria yang tidak pernah ingin kuingat eksistensinya di dunia ini. Dia juga tutup mulut, tapi akhirnya memberitahu tanpa kuminta. Karena apa? Karena dia menemukanku nyaris kehilangan kesadaran di bar. Bahkan aku akan bersyukur kalau mati saat itu juga."

"Jangan pernah katakan sesuatu tentang kematian." Kematian membuatku kehilangan orang-orang yang begitu berarti di hidupku. "Kumohon jangan."

"Lalu apa, Ava? Aku senang bertemu denganku, tapi aku juga sangat kecewa pada diriku sendiri. Kenapa aku tidak datang lebih awal? Dan kenapa saat itu aku tidak menjawab teleponmu saja? Pertemuan penting sialan." Alby mengacak rambutnya dengan rasa putus asa.

Aku ingin sekali bicara, tetapi semua itu tertahan dalam dada. Lidahku terasa kelu. Situasi ini salah, sungguh. Aku ingin meluruskannya, tetapi tidak dengan Lily berada di pangkuanku. Hatiku lemah hanya dengan dia menyentuh wajahku.

"Maaf. Kukira kau sangat kecewa padaku." Akhirnya hanya itu yang bisa kukatakan.

"Tidak, Ava. Aku yang seharusnya minta maaf padamu. Terlalu banyak kesalahan yang kulakukan dan kupikir wajar kalau kau membenciku." Alby berusaha untuk tersenyum meski dengan wajahnya yang basah. "Seharusnya aku mengucapkan selamat untukmu, seharusnya aku turut bahagia dengan hidupmu yang jauh lebih baik sekarang. Kau ... akan menjadi ibu yang luar biasa untuk anak itu."

"Anak mana yang kau maksud itu?"

Kami berdua sama-sama menoleh ke pintu, di mana Pete datang dengan membawa alat pancing dan ember yang tampak berat. Sepertinya dia mendapat ikan yang banyak kali ini jika dibandingkan saat dia pergi memancing minggu lalu.

"Pa-pa!" Lily berseru dan berusaha melepaskan diri dariku. Dia bisa saja terjatuh karena itu, jadi aku menurunkan badannya pelan-pelan. Dengan kaki-kakinya yang kecil, dia berlari kecil menghampiri Pete dan pria itu segera menggendongnya, tentu setelah meletakkan alat pancing dan ember itu di luar.

"Sepeduli apa pun aku pada Ava, tapi aku tidak terima kalau kau menganggap Lily adalah anaknya." Pete mencium pipi Lily agak lama hingga membuat gadis kecil itu tertawa. "Ava, kau harus memberitahunya, walau aku tidak menyukainya, tapi dia sudah berhasil menemukanmu. Sudah saatnya kau berhenti berkorban." Pete berlalu pergi setelah berkata begitu. Sikapnya benar-benar tidak berubah, masih saja ada kesan tidak menyukai Alby.

Aku menatap Alby dan tersenyum kecil. Entah dari mana aku memulainya. Kesalahpahaman ini harus segera diakhiri. Sementara itu, Alby memandangku dengan wajah kebingungan, dia benar-benar menantikan sesuatu dariku.

"Pertama, Alby, Lily bukan anakku. Aku belum menikah, kalau saja itu bisa membuatmu sedikit tenang." Aku menunduk, menatap jari-jariku yang saling bertaut. Sejak dia menangis, aku sudah tidak sanggup menatap wajahnya. "Pete berencana menikahi kekasihnya saat Lily lahir. Tapi kekasihnya mengalami perdarahan saat melahirkan dan tidak bisa terselamatkan. Aku adalah satu-satunya yang bisa Pete andalkan di sini, sekaligus untuk berterima kasih padanya, aku memerankan sosok ibu untuk gadis kecil itu. Aku tinggal bersama Pete sejak Lily dilahirkan." Air mataku mengalir tanpa bisa ditahan-tahan lagi. "Kehilangan ibu sangat menyakitkan, dan gadis itu bahkan belum sempat menyusu pada ibunya. Aku masih lebih beruntung darinya."

Alby berpindah posisi menjadi duduk di sebelahku. Dia memelukku lagi, dan itu membuatku makin terisak. Aku tidak bermaksud ingin menangis keras seperti ini, tetapi aku tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana nasib Lily.

"Sudah, jangan menangis. Dia punya ayah yang luar biasa, dan kau tidak harus menjadi ibu untuk memberinya kasih sayang yang begitu besar. Kau akan menjadi tante yang luar biasa untuknya." Alby menyapu air mataku dengan kedua jempolnya. Dia tersenyum begitu hangat. Kelegaan tersorot jelas di matanya yang indah. "Aku hampir jantungan begitu memikirkan kau sudah menikah dan punya anak."

Aku meninju perutnya cukup keras sampai dia mengaduh. Itu bahkan tidak cukup untuk membalas penantianku selama tiga tahun. Dia juga tidak berusaha menghubungiku padahal nomor ponselku masih sama. Setelah dipikir-pikir, pria ini juga sangat bodoh. Dan aku mungkin juga bodoh karena mencintainya begitu dalam.

"Kau lupa apa yang kukatakan saat itu? Saat kau bertanya berapa lama harus menungguku?"

Dahi Alby berkerut, tampak sedang berusaha mengingatnya. "Sampai aku menemukanmu?"

Aku hanya mengangguk dan tertawa begitu mengingat betapa lugunya dia mengira aku sudah menikah. Dia pikir aku bisa semudah itu jatuh cinta dengan pria lain? Apalagi pria ini adalah Pete, seseorang yang tidak mungkin kunikahi atau menikahiku. Kami sudah seperti saudara, dan tidak sepantasnya dua orang bersaudara menikah. Membayangkannya saja sudah membuatku bergidik.

"Aku menelepon balik setelah pertemuan selesai, tapi tidak tersambung. Aku mengira kau memblokirku lagi."

Membicarakan tentang memblokir nomor ponsel membuatku malu. Aku langsung membantingkan kepala ke dadanya, tanpa ragu. Karena entah bagaimana, aku merasa tidak perlu menahan diri lagi. Aku ingin mengekspresikan apa yang kurasakan padanya tanpa ragu. Begitu juga dengan Alby yang dengan senang hati menerimanya.

"Mungkin kau menelepon saat aku masih di pesawat. Lalu ponselku rusak, sempat diservis hampir seminggu, karena saat memindahkan barang, benda itu jatuh dari kantong jaketku."

"Ponselmu sudah tua, aku akan membelikan yang baru nanti." Alby mengecup punggung tangan kananku cukup lama. "Sekarang kita apa?"

Aku menatapnya agak lama dan tersenyum. Betapa aku sangat menginginkan pria ini. Namun, apa dia juga merasakan hal yang sama? Kedatangannya ke sini bisa berarti banyak hal, tetapi aku takut memikirkan yang baik-baik. Aku takut kecewa kalau pada kenyataannya tidak seperti bayanganku.

"Aku sudah memenuhi janjiku untuk menunggu sampai kau menemukanku. Sekarang terserah padamu, Alby, apa kau masih berkenan mendampingi wanita yang penuh kekurangan ini. Aku terlalu rendah untuk levelmu yang berada jauh di atas."

Alby menangkup wajahku pelan-pelan, seperti aku adalah tembikar yang belum kering sepenuhnya, dan akan rusak jika ditekan sedikit saja. Dengan mata yang memerah habis menangis, dia tersenyum begitu lebar. Bagaimana mungkin aku tidak meleleh karena perlakuannya yang selembut ini?

"Kau sempurna di mataku. Tidak hanya penampilanmu, tapi juga hatimu. Aku tidak peduli bagaimana masa lalumu, karena dengan menjadikanmu di sisiku, aku juga harus menerima seluruh aspek dalam hidupmu. Aku mencintaimu, Ava, dan itu tidak pernah berubah sampai sekarang."

Alby turun dari sofa dan berlutut di lantai tanpa melepaskan tanganku. Dia tampak kesusahan karena sempitnya jarak sofa dengan meja. Sampai-sampai meja yang tidak berdosa itu didorong agak kuat menggunakan tubuhnya. Alby sempat menatap kesal pada meja itu, tetapi kembali menatapku dengan lembut.

"Maaf, ada sedikit kendala teknis."

Dia menghela napas sebentar. Dan aku hanya bisa ikhlas menerima debar jantung yang menggila ketika menantikan dirinya sedang merogoh kantong bagian dalam jaketnya. Aku tentu paham betul apa yang akan dia lakukan begitu sebuah kotak beludru kecil berada di tangannya. Di dalam benda itu terdapat sebuah cincin putih yang berkilau, yang aku sendiri tidak merasa percaya diri memakainya.

Alby meraih tanganku lagi, kali ini sebelah kiri. "Ava, maukah kau menghabiskan sisa hidup kita bersama-sama? Aku tidak bisa berjanji kau akan bahagia bersamaku, tapi aku akan berusaha untuk itu."

Adakah sesuatu yang lebih membahagiakan dari ini?

Mungkinkah ini alasan Tuhan membiarkan aku tetap hidup?

Ledakan euforia dalam perutku menjelma menjadi sebuah tangisan. Aku tidak bisa menahan air mataku terus mengalir. Namun, satu hal yang aku tahu pasti, ini bukan kesedihan. Aku ingin meledak saking bahagianya. Meski sebenarnya aku tidak betul-betul mengerti apa alasanku merasa bahagia. Yang kutahu hanya, ini bisa berarti sebagai bentuk keseriusannya.

"Kau tahu, hidup bersamaku berarti kau harus menerima semua kebiasaan burukku. Seperti mengomel, bangun tidur dengan wajah kacau, tidak bisa merias diri, kau mungkin akan bosan denganku, tapi kau tidak boleh pergi." Aku diam sebentar, menelan ludah karena kerongkonganku jadi kering karena kebanyakan bicara. "Kau tidak boleh pergi." Kali ini aku memberi penekanan pada setiap kata.

"Aku terima semuanya, Ava. Dan risiko menerimaku adalah, setelah menikah kau harus siap menggosok punggungku saat mandi." Dia tersenyum geli saat mengatakannya. Namun, aku justru terpaku pada dua kata yang diucapkannya.

"Setelah menikah?"

"Ini permintaan untuk menikah denganku, Ava. Apa kau sungguh tidak sepeka itu?" Wajahnya jatuh di pangkuanku dan dia masih tertawa.

Aku tidak bernapas selama sepersekian detik. Kehidupan pernikahan itu akan seperti apa?

"Keraguanmu terlihat jelas." Dia mendongak dan menyisipkan rambutku ke belakang telinga. "Aku pun tidak tahu akan seperti apa kehidupan pernikahan itu, tapi aku ingin menjalaninya bersamamu. Aku tidak akan menuntut apa pun darimu. Aku ingin melakukan banyak hal bersamamu, tapi aku tahu kau punya batasan-batasan tertentu dan aku ingin menghapus batasan di antara kita. Bagaimana? Apa kau bersedia ... menikah denganku?"

Apa lagi yang membuatmu ragu, Ava? Dia mencintaimu dan perasaanmu padanya tidak pernah luntur meski sudah terpisah lama. Tanpa melihatnya saja kau mampu mempertahankan perasaan itu, bagaimana setelah bertemu dengannya seperti ini?

Aku mendongak, bermaksud untuk menghindari tatapannya dan menggagalkan air mata yang ingin mengalir. Namun, tidak sengaja bertemu tatap dengan Pete yang aku tidak sadar ikut mendengarkan di ambang jalan menuju ruang tengah bersama Lily dalam gendongannya. Pria itu mengangguk, seperti sedang memberi restu untuk aku menerimanya. Setelah cukup lama memendam kebencian terhadap Alby, Pete akhirnya luluh. Mungkin dia frustrasi karena aku terus menolak setiap pria yang dia kenalkan padaku. Dia pikir aku perlu belajar membuka hati lagi, dan dia mempertemukan aku dengan beberapa kenalannya yang mengaku tertarik padaku.

Aku tersenyum padanya sebelum kembali menatap Alby. Situasi ini terlalu dramatis, tidak pernah kubayangkan sekali pun.

"Kalau begitu bersiaplah tato di punggungmu rusak."

Alby langsung menubrukku dengan pelukan. Kali ini tidak ada keraguan untuk membalasnya. Untuk yang pertama kalinya, hati dan akal sehatku sejalan. Aku menginginkannya, menghabiskan sisa hidupku bersamanya. Aku ingin percaya padanya.

"Aku mencintaimu, Ava. Sangat-sangat mencintaimu."

Kurasa ini adalah waktu yang tepat untuk membalasnya. "Aku juga sangat mencintaimu, Alby."

[FIN]

•••

:")

Halo, teman-teman.
Terima kasih sudah mengikuti kisah mereka sampai di titik di mana mereka kutamatkan. Mungkin ini akhir yang mengecewakan, jadi maaf atas segala kekurangan di cerita ini.
Sebenere kepikiran mau buat part bonus dengan POV Alby, tapi lihat nanti :")
Sekali lagi, terima kasih banyak 💚💚💚

2 tahun kurang 2 minggu sebenarnya waktu yang lama banget buat menamatkan sebuah tulisan. Dan aku masih merasa takjub sama kalian yang berkenan dan bertahan membacanya. Tulisan ini nggak berarti apa-apa tanpa kalian. Much love from Tuteyoo :*

Di cerita ini sebenernya ada beberapa hal nekat yang kulakuin, yang mana bikin aku sadar betapa banyaknya kekurangan di naskah ini.

Pertama, gaya menulisku berubah total di cerita ini, banting setir, bisa dilihat bedanya di tulisanku sebelumnya. Intertwined, atau Before (I Love You). Mungkin pembaca dua cerita itu yang juga membaca kisah Ava dan Alby bakal menyadari perbedaannya. Di cerita ini juga aku menemukan gaya menulis yang nyaman. Tuteyoo adalah penganut aku-kau atau aku-kamu, dan jarang betah kalau baca gue-elo :")

Dan kalau tulisan ini cocok sama kalian, jangan lupa mampir ke cerita yang lain juga yea. Hehe.

Kedua, latar luar negeri. Selama ini Tuteyoo sangat buruk buat penggambaran latar. Jadi nggak pernah mencantumkan nama tempat, entah itu kota, wilayah, negara, dll. Ide ini rasanya kurang cocok kalau pakai latar lokal. Daripada gak sebut merek dan bikin pembaca mengira kalau ini latar lokal dan di sini agak mustahil terjadi apa-apa yang ada di cerita ini, so, banting setir part dua.

Tuteyoo berusaha nggak berlindung di balik kata fiksi kalau seandainya ada banyak hal nggak masuk akal yang tertulis di cerita ini.

Ketiga, awalnya cuma iseng bikin cover dengan judul-judul lagu kesukaan dan diposting di SW, terus dilihat sama teman-teman yang nulis kisah Song Series ini juga. Ide ini akhirnya muncul setelah rekan-rekan proyek Girl Series di tahun 2020 setuju buat menjadikan Song Series sebagai proyek nulis bersama, hitung-hitung reuni gitulah. So, thanks to Kak VitaSavidapius, Tasyayouth, NeissLyn, tokohfiksi_. Tanpa kalian cerita ini gak ada. Hehe.

Terakhir, selamat sudah tamat, Tuteyoo. 🙃

Lots of Love, Tuteyoo
16 April 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro