Bonus 1 - Family Dinner

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

⚠️

"Apa kau gugup?"

Dia menatapku dengan mata yang mengerjap lucu. Genggaman tangannya pada tanganku mengerat. Ini bukan kali pertama aku membawanya ke rumah orang tuaku, tetapi gelagatnya seperti seseorang yang dipaksa untuk kuajak ke sini pertama kali. Kami baru memarkirkan mobil dan sekarang menyusuri jalan setapak untuk tiba di halaman belakang rumah. Orang tuaku dan Paula menunggu di sana.

"Aku takut mereka tidak menerimaku."

Omong kosong macam apa itu? Dahiku sudah berkerut karena merasa terganggu oleh pemikirannya.

"Bukankah terasa lucu kalau aku muncul lagi setelah sebelumnya mengumumkan kalau hubungan kita berakhir?"

Caranya menyugar rambut untuk menggambarkan rasa frustrasi justru memberi kesan yang seksi di mataku. Tidak, dia bahkan selalu seksi di mataku, tidak peduli jika memakai pakaian paling tertutup sekalipun. Aku takjub dengan betapa kuat diriku bertahan untuk tidak menyentuhnya. Namun, semenjak kami kembali bersama, rasanya keimananku makin diuji.

"Mereka tidak akan peduli soal itu. Paula bahkan mendukungmu penuh alih-alih menghiburku."

"Ah, aku juga tidak merasa nyaman bertemu lagi dengannya setelah pembicaraan terakhir kami."

Aku mengangkat tangannya yang kugandeng untuk dicium. Senyumku terukir untuk memberinya sedikit ketenangan, tetapi aku tahu itu tidak berhasil. Bahunya masih tegang dan urat-urat wajahnya kaku. Namun, aku takjub dia tidak berusaha untuk berbalik badan dan memintaku membawanya pulang.

"Mereka menantikan untuk bertemu denganmu lagi. Jadi singkirkan pemikiran itu dari kepala cantikmu, oke?" Aku melepas tangannya dan meremas pelan kedua bahunya, bermaksud membuatnya sedikit lebih tenang. Keinginan untuk menyentuhnya makin menjadi-jadi begitu aku menyelipkan rambut ke belakang telinganya dan menyentuh pipinya. "Sebenarnya aku tidak ingin memaksamu kalau memang belum siap, kita bisa pulang lagi."

"Tidak, tidak, aku sudah menunda dua minggu ini, jangan buat mereka menunggu lebih lama lagi." Kali ini dia menggamit lenganku dan kami meneruskan langkah. 

Butuh waktu satu minggu membujuk Ava untuk mau ikut pulang bersamaku ke New York. Selama itu pula, Peter membatasi pertemuan kami. Dia tidak mengizinkan aku menginap di rumahnya hingga aku harus menetap di kamar hotel. Selain itu, aku juga tidak diperbolehkan membawa Ava bersamaku. Kerinduan selama tiga tahun lamanya tidak akan terobati hanya dengan sebatas pelukan atau ciuman yang tidak lebih dari lima menit. Peter benar-benar mengawasiku, bahkan kami harus membawa putrinya jika ingin pergi hanya berdua. Lagi pula, aku tidak bisa protes karena sikapnya itu semata-mata hanya untuk melindungi Ava, apalagi dari pria yang dianggap berbahaya sepertiku ini.

Aku mencoba mengerti kalau New York tidak memberi kesan yang baik bagi Ava. Dia sudah banyak kehilangan di sana, terlebih lagi sosok Nate. Mendampingi Ava bukan berarti aku hanya menjadi partner hidup, tetapi juga rumah, keluarga. Sudah pasti berat baginya untuk kembali, dan aku tentu tidak akan menyia-nyiakan pengorbanannya. Tangan ini akan terus menggenggamnya, tidak akan kulepas apa pun yang terjadi.

"Mom, Dad, mereka sudah datang."

Itu suara Paula. Dia yang lebih dulu melihat kami karena posisi Mom dan Dad membelakangi kami. Ava menggamit lenganku makin erat begitu mereka berdua berdiri dan berbalik untuk menyambut kami.

"Ava sayangku, bagaimana kabarmu?" Seperti biasa, Mom akan menyambut Ava dengan hangat seolah-olah aku tidak pernah berada di sana. Padahal aku pun sama, sudah sangat lama tidak bertemu dengannya untuk mengurus perusahaan dan melakukan pencarian terbesar dalam hidupku; Ava bahkan lebih berharga dari seluruh pencapaian dalam hidupku.

"Baik ... Mom." Ava sempat melirikku untuk mempertanyakan bagaimana harus menyebutnya, dan dia mengerti maksud dari anggukanku.

Mom rupanya sangat senang mendengar itu darinya hingga memeluk kekasihku sangat erat. "Aku senang kau kembali ke sini, Sayang. Dan tentu saja kami sangat puas dengan caramu menyiksa anak nakal ini." Mom mencubit lenganku hingga aku berdesis. Dia menggunakan kukunya.

"Dia benar-benar seperti orang gila. Sungguh, aku terkejut dia punya sisi sekacau itu." Paula menimpali. Aku bisa saja membalasnya dengan membawa-bawa bagaimana kondisinya saat baru berpisah dengan Matthew, tetapi berakhir dengan hanya picingan mata. Kondisinya saat itu bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan lawakan.

"Aku akan pergi ke toilet sekarang agar kalian puas membicarakanku."

"Sudahlah. Ayo kita makan sekarang, malam semakin larut. Ava mungkin sudah lapar." Dad yang pemarah kini menjadi pria tua yang tenang.

Tahun lalu dia marah besar karena aku tidak kunjung pulang. Alasanku karena ingin urusan pekerjaan cepat selesai, tetapi tidak kusangka karena terlalu terburu-buru justru membuat beberapa hal berjalan tidak sesuai rencana. Kami nyaris mengalami kerugian besar dan itu membuat tekanan darahnya naik drastis saat itu juga. Dad kejang-kejang dan dilarikan ke rumah sakit. Sejak saat itu, Dokter memintanya untuk menjaga emosi agar tetap stabil.

Dad mempersilakan kami agar menempati kursi kosong. Berbagai hidangan sudah tersaji di atas meja dan masih mengeluarkan uap. Entah itu karena dipanaskan kembali atau memang baru disajikan. Kupikir kami datang sangat terlambat karena aku tidak bisa memaksa Ava.

"Kami turut berduka cita atas kematian adikmu, Ava." Aku tahu Dad hanya sedang mengekspresikan belasungkawa, bukan untuk membuatnya bersedih lagi. Untuk menenangkan Ava, aku langsung menarik pinggangnya mendekat dan mendaratkan kecupan di puncak kepalanya, tidak peduli yang lain sedang melihat. "Kalau kau butuh sesuatu, anak nakal itu tahu apa yang harus dilakukan, dan kau punya kami sekarang. Aku tidak akan biarkan menantuku menderita."

Sekarang Dad tahu cara agar aku tidak jadi merasa kesal. Dia mengataiku anak nakal, bahkan semuanya memanggilku begitu, tetapi caranya menyebut Ava membuatku tidak bisa tidak tersenyum. Wajahku terasa panas. Tidak aneh, kan, kalau aku tersipu seperti seorang wanita yang baru mendapat pujian?

"Terima kasih. Aku ... sudah jauh lebih baik sekarang. Anak nakal kalian sudah menjagaku dengan baik." Ava tersenyum padaku sebelum kembali menatap orang tuaku.

Astaga. Aku sungguh tidak tahan lagi. Ava terlalu manis sampai-sampai aku ingin membawanya pergi sekarang juga, di mana hanya ada kami berdua tanpa gangguan apa pun. Kami diminta menginap. Mom dan Dad sudah menyiapkan satu kamar untuk kami, sungguh sesuatu yang kunantikan. Selama tinggal bersamaku, Ava menolak untuk tidur sekamar denganku. Meski kami pernah tidur seranjang sebelumnya, tetapi kali ini dia benar-benar membatasi kontak fisik denganku. Dan itu membuatku jadi tidak sabar ingin segera menikahinya, menghapus semua batasan di antara kami.

"Baguslah. Aku sudah akan menggorok lehernya kalau tidak berhasil membawamu pulang, Ava." Seperti biasa, Paula tidak pernah absen menunjukkan kekesalannya padaku.

"Sudah, sudah. Kurangi bicara, perbanyak makan. Ava, buat dirimu nyaman, jika kau tidak suka hidangannya jangan ragu untuk meminta sesuatu yang lain."

Mom tersenyum manis sekali, dan aku tidak bisa tidak merasa senang karena mereka semua menerima Ava.

•••

Makan malam bersama keluargaku dilanjutkan dengan menyaksikan film dokumenter perjalanan Mate Inc. sampai sebesar sekarang. Itu adalah film favorit Dad. Dia tidak pernah bosan meski sudah menontonnya belasan kali. Sementara itu, aku dan Paula harus pura-pura tertarik menontonnya agar membuat Dad senang. Dan sebagai yang pertama kali menonton, Ava tampak begitu menikmatinya. Di beberapa bagian bahkan nyaris tidak berkedip saking takjubnya. Aku tidak pernah tahu kapan video-video itu diambil. Boleh kuakui kalau Dad sangat tampan dan gagah pada masanya. Aku akan merasa bangga seandainya seseorang berkata aku sangat mirip dengannya. Setelah film berakhir, kami mengobrol sebentar sebelum memutuskan untuk pergi ke kamar masing-masing.

Momen berdua dengan Ava adalah yang kutunggu-tunggu sejak tadi. Dia memakai kamar mandi di kamar untuk mandi sedangkan aku memakai kamar mandi di kamar yang lain. Waktu benar-benar berharga jika dipakai untuk saling menunggu satu sama lain selesai mandi. Padahal ada hal lain yang bisa dilakukan di waktu tersebut.

Aku memeluk Ava yang sedang mengeringkan rambut di pinggir kasur dari belakang, lalu dengan sengaja menggodanya dengan memberi kecupan-kecupan ringan di lehernya. Sambil membuatnya terlena, satu per satu kancing kemejanya kubuka demi mendapatkan bahunya. Ava tidak mengelak, tetapi menelengkan kepala demi memberiku akses lebih banyak untuk meninggalkan jejak di bahunya. Puas dengan bahu, bibirku lantas naik, menyusuri leher, rahang, hingga akhirnya kami saling menyesap bibir satu sama lain.

Hanya sebatas ini yang kami lakukan; berbaring sambil melahap bibir satu sama lain, atau menciptakan jejak di leher. Selalu ada hal lain yang membuatku tidak bisa melanjutkannya. Terkadang sebesar apa pun keinginanku, pada akhirnya akan tersadarkan oleh betapa Ava sangat menjaganya. Lalu aku berhenti dan memeluknya sampai tertidur. Aku masih takjub karena mampu bertahan sampai sekarang.

"Boleh kuteruskan?" Aku iseng bertanya di sela-sela kecupanku di lehernya meski sudah tahu apa jawabannya. Aku tidak bisa menghentikan diriku sendiri. Seperti yang kubilang, ciuman saja tidak cukup.

"Tidak. Begini saja." Seperti dugaanku. Ava tidak sedikit pun goyah meski aku yakin dia juga sudah merasakan hal yang sama denganku. Kami sama-sama menginginkannya, saling merengkuh satu sama lain dan bersatu dalam puncak kenikmatan. Namun, sekali lagi aku dibuatnya mengerang keras, frustrasi.

Aku membenamkan kepala ke bantal di sisi kanan kepalanya. Daguku menempel tepat di bahunya. Kuhirup kuat-kuat ceruk lehernya, aroma yang menguar di sana benar-benar membuatku kecanduan. "Aku mencintaimu, Ava."

"Hmm. Kau sudah mengatakannya dua belas kali hari ini."

Aku menciumnya sekali lagi. "Ayo segera menikah."

Dia mendorong dadaku dari atasnya hingga mau tidak mau aku berbaring di sebelahnya. Ava memandang langit-langit sembari tersenyum. Dia tampak sangat seksi dengan rambutnya yang berantakan. Peluh menghiasi pelipis dan sekitar lehernya, tidak peduli jika AC di kamar ini sudah lebih cukup untuk mendinginkan. Nyatanya permainan panas kami berhasil mengalahkan udara dingin yang berembus di ruangan ini.

"Kalau kau menikah hanya untuk bercinta denganku, sebaiknya pikirkan lagi." Bagaimana mungkin dia mengatakan itu dengan tenang sementara aku sungguh tersiksa.

"Tentu saja tidak." Aku meraih tangannya untuk dicium berkali-kali. Setelah itu aku memiringkan badan menghadapnya, hanya untuk mengancingkan kembali piamanya. "Itu hanya salah satu cara untuk menyampaikan perasaanku."

"Kalau begitu, gunakan cara yang lain," guraunya sembari menyingkirkan rambutku yang jatuh menutupi dahi.

"Apa yang sudah kau perbuat padaku, Ava? Aku sering bermimpi tentang kita, piknik di bawah pohon apel bersama empat anak kita, tunggu, sepertinya ada lima. Tiga laki-laki dan dua perempuan. Mereka semua sangat manis." Itu bukan bualan, itu benar-benar kumimpikan dan aku selalu mengingatnya dengan jelas. Senyumku sudah tersungging begitu lebar, seolah-olah mereka nyata di depanku.

"Lima? Itu terlalu banyak."

"Tapi itu akan membuat rumah jadi ramai. Pernahkah kaubayangkan?"

Ava menarik tangan dari genggamanku. Kukira aku sudah mengatakan sesuatu yang salah sampai dia merasa kesal, tetapi yang terjadi selanjutnya adalah dia memelukku, menyembunyikan wajahnya di dadaku yang tidak memakai apa pun. Dia bisa mendengarkan jantungku yang berdebar begitu kencang untuknya.

"Bahkan punya satu anak pun aku tidak berani membayangkannya." Dia diam cukup lama sementara aku masih memproses ucapannya. "Aku takut tidak bisa mengurusnya dengan benar, aku takut tidak mampu memenuhi ekspektasinya sebagai orang tua yang baik. Bagaimana kalau aku melakukan kesalahan?"

Aku balas memeluknya dengan erat. Telapak tanganku berada di pinggang dan punggungnya. "Kita akan membesarkan mereka bersama, Ava. Pada dasarnya kita tidak akan pernah bisa memenuhi ekspektasi seseorang, tapi aku percaya kita akan menjadi orang tua yang luar biasa. Kau tidak akan mengurusnya sendirian, Ava. Kita akan melakukannya bersama, menyaksikan bersama perkembangan mereka."

Ava menggumam cukup panjang, kupikir dia mulai mempertimbangkan usulanku. "Baiklah, aku mengerti. Jadi, bisa kita hentikan dulu pembicaraan tentang anak? Aku jadi membayangkannya padahal menikah saja belum."

"Bukankah itu bagus? Berarti kau juga menginginkannya, sama sepertiku."

"Astaga. Kau membuatku malu."

Aku tertawa karenanya. Saat-saat seperti ini menjadi momen favoritku. "Jadi bagaimana? Lima anak?" Aku suka sekali menggodanya. Ava tidak lagi menyembunyikan sisi lain dirinya yang imut dan manja. Dulu aku hanya mengenalnya sebagai wanita yang kuat, tetapi sekarang aku sudah melihat seluruh kepribadiannya.

"Terserah," sahutnya dan makin menyembunyikan diri di pelukanku.

"Bagaimana kalau kita cicil dari sekarang? Aw!"

Dia mencubit perutku dengan kuat.

"Dalam mimpimu, Alby!" 

•••

See you di bonus yang lain? Hehe
Lots of love, Tuteyoo
28 April 2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro