34 - Critical Time

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku tidak tahu sudah berjalan seberapa jauh. Pun tidak tahu berapa lama aku pergi. Alby bahkan tidak repot-repot mencariku, atau menyusul jika dia memang peduli. Memangnya apa yang kuharapkan? Dia akan muncul di hadapanku dan meminta maaf karena sudah bersikap kasar? Hal-hal seperti itu tidak akan pernah kudapatkan, apalagi dari pria seperti Alby.

Aku berhenti sebentar, kemudian memandang langit yang mulai sudah tidak secerah tadi. Bukan karena mendung, mungkin karena matahari sudah tidak menyorot ke sini. Tempat aku berpijak sekarang sudah sepi, takada lagi meja dan kursi yang disediakan untuk pengunjung bersantai atau berjemur. Yang kutemukan hanya beberapa kapal motor yang terparkir di sepanjang dok apung, bebatuan tinggi yang beberapa kali diterjang ombak, dan toko-toko suvenir yang tidak terlalu ramai.

Kurasa aku sudah tiba di tempat yang kuinginkan.

Aku mengeluarkan kain dari tasku dan menghamparnya di atas pasir, dekat dengan ombak. Tempat yang sepi, aku mengeluarkan iPad dan mulai menggambar laut di depanku.

Mom selalu mengajarkanku untuk menenangkan diri dengan menggambar. Dan kurasa bakat itu kudapatkan darinya. Mom adalah seorang pelukis, bahkan pernah menghasilkan uang dari hobinya itu untuk biaya sekolah. Dia benar-benar wanita yang hebat.

Ponselku berdering, nama Nate menyembul di layarnya dan itu berhasil membuat perasaanku membaik. Dia melakukan panggilan video. Saat kuterima, layarku langsung penuh dengan wajahnya yang sedang berbaring di kasurnya.

"Setelah berhari-hari, kau baru menelepon?"

Dia hanya tertawa setelah kuprotes. "Entahlah, aku hanya merasa ingin meneleponmu. Kau sedang apa?"

"Di pantai dan sendirian." Aku menekan ikon mode kamera agar menampilkan apa yang ada di belakang ponselku sebentar, ya, untuk memamerkan laut pada Nate. Kemudian kembali menampakkan wajahku padanya. "Aku tidak tahu ini di mana. Sepertinya aku berjalan terlalu jauh."

"Alby dan yang lainnya ke mana?"

"Aku meninggalkan mereka, Nate, perlu sedikit ketenangan." Setelah hampir seminggu, akhirnya aku bisa bersikap di mana aku tidak harus pura-pura. "I really need you to hug me."

"Aku juga rindu mengganggumu, Ava. Kuharap kau baik-baik saja di sana. Mungkin karena kita terkoneksi, tetapi aku agak waswas dan selalu memikirkanmu akhir-akhir ini."

Sekarang aku jadi berharap Nate ada di sini, satu-satunya pria yang kuizinkan untuk melihat titik terlemahku. Dan sekarang aku sedang merasakannya, situasi yang membuatku serba tidak nyaman; berada di tempat asing bersama orang asing pula.

Makin dekat aku dengan Alby, makin berbahaya saja rasanya.

"Hei, aku tidak percaya tentang koneksi antarsaudara, tapi melihatmu seperti itu, kurasa aku dapat jawaban kenapa terus memikirkanmu."

"Apa kau pernah jatuh cinta?

Nate terdiam cukup lama sampai akhirnya dia tampak kaget dan menatapku tidak percaya. "Jangan bilang kau jatuh cinta pada Alby?"

Aku merotasikan mataku dan menggeram rendah. Justru itu yang sangat kuhindari.

"Jangan berpikiran aneh. Aku hanya merasakan sesuatu yang aneh. Dia membuatku berdebar meski hanya tersenyum. Apa itu aneh?"

Nate tidak benar-benar membantu, bukannya memberi jawaban, dia justru tersenyum mesem-mesem. "Apa kau jatuh cinta padanya? Aku sudah menduga itu akan terjadi. Cepat atau lambat."

"Kau gila, Nate. Aku hanya ingin tahu, apa yang kaurasakan saat jatuh cinta. Lagi pula, aku tidak bodoh untuk menyukai pria yang belum melupakan mantannya." Dari banyaknya segala ketidakmungkinan dan keajaiban yang bisa terjadi, jatuh cinta dengan Alby adalah hal terakhir yang kuinginkan. Jangan sampai itu terjadi, semuanya akan sangat merepotkan kalau perasaan turut terlibat.

"Aku pernah menyukai seseorang saat SMA. Kau tahu, seperti ada rasa ingin selalu bersamanya. Itu hanya salah satu contoh, ada banyak sebenarnya. Dan kau jangan selalu mengelak, Alby tidak seburuk itu."

Alby tidak seburuk itu. Tanpa perlu diberi tahu pun aku sudah bisa menilai bagaimana dia. "Hm akan kucoba—maksudku, mencoba untuk tidak terlalu membencinya. Bagaimana skripsimu?"

Itu adalah pembuka yang bagus untuk mengalihkan topik pembicaraan. Kami membicarakan banyak hal dan ketika kulihat waktu telepon kami, sudah satu jam lebih. Kurasa ini adalah momen terbaik yang terjadi selama berada di Santorini. Andai aku tidak peduli akan mengganggu Nate karena perbedaan waktu, aku tentu sudah meneleponnya dari kemarin.

"Sudah hampir jam delapan di sini, Ava. Kurasa harus kuakhiri, aku masuk kerja."

Aku baru mau bertanya di sana jam berapa, tetapi dia sudah lebih dulu memberi tahu. Sepertinya kami benar-benar memiliki kontak batin.

"Alright, telepon aku lagi kalau sudah tidak sibuk, Nate."

Sambungan telepon diakhiri Nate. Aku menghela napas dan menatap laut, lagi. Tidak pernah kurasakan ketenangan seperti ini sebelumnya. Di mana hanya ada aku dan desiran ombak. Rasanya seperti self healing, aku tidak pernah tahu akan perlu melakukannya sampai ini terjadi.

Kenyamanan ini membuatku berbaring dengan berbantalkan tas. Tanpa peduli jika kain yang di bawahku sangat tipis, tetapi kerikil di bawahnya lagi tidak melukaiku. Lagi pula, sakitnya tidak akan sebanding dengan hidupku yang sudah kacau.

Aku bisa melihat wajah Mom sedang tersenyum di langit. Aku selalu percaya dia tidak benar-benar meninggalkanku. Mom selalu memperhatikanku dari jauh, dia juga yang selalu mengajariku agar tidak sering bergantung pada orang lain. Boleh sesekali minta tolong, tetapi jika bisa dilakukan sendiri, kenapa harus ditolong? Aku harus membuatnya bangga dengan menjadi wanita yang mandiri, 'kan?

Namun, kurasa Mom tidak cukup senang dengan cara yang kupakai untuk melunasi utang Dad. Walau pria itu berutang untuk membayar biaya rumah sakit Mom selama dua tahun. Aku makin membencinya setelah tahu dia tidak mengurus asuransi untukku dan Mom, tetapi justru asuransi ibu Nate—meski bagus karena asuransinya diturunkan pada Nate, jadi dia akan baik-baik saja jika sesuatu yang buruk terjadi di masa depan.

Aku tidak mengerti bagaimana Dad bisa setega itu pada kami. Jelas-jelas Mom adalah istrinya, tetapi dia lebih memedulikan kebutuhan Ashley yang jelas-jelas tidak dinikahinya.

Perselingkuhan Dad yang kedua pun tidak berakhir baik, meski sampai sekarang tidak ada yang tahu kecuali aku. Sekaligus menjadi hukuman untuknya, kurasa. Kali kedua aku bertemu dengannya di suatu tempat, dia masih bersama wanita itu. Mungkin mereka ingin menghindariku, jadi Dad melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Padahal aku enggan untuk menyapanya di tempat umum, ya, malu saja punya ayah sepertinya.

Hingga setengah jam kemudian, seseorang meneleponku kalau Dad mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat, bersama selingkuhannya.

Aku tahu, itu bukan potongan kenangan yang bagus untuk diingat. Namun, aku juga sadar, berusaha keras melupakannya tidak akan membuahkan hasil. Aku hanya perlu menahan diri agar semua kejadian itu tidak memengaruhiku. Alby benar, rasa jijik itu hanya terperangkap di kepalaku, padahal aku belum pernah melakukan apa-apa dengan seseorang. Aku hanya ... merasa jijik ketika pria-pria menyentuhku.

Namun, dengan Alby—aku tidak sedang menganggap kalau dia berbeda—rasa jijik itu tidak ada. Saat aku mendorongnya pada ciuman pertama kami, aku hanya merasa kecewa pada diriku sendiri karena sudah membiarkan itu terjadi. Seperti kata Mom, seharusnya aku melakukan itu dengan pria yang kucintai dan mencintaiku. Sayangnya, jika yang memberi cinta saja masih bisa memberi luka, kenapa berharap seseorang akan datang dengan cinta padaku?

Ya ... perasaan itu masih terasa rumit bagiku. Apakah justru sesederhana jantung yang berdebar lebih kencang?

Saat aku bertanya pada Nate, yang kuinginkan hanya memastikan apakah debar jantung yang mulai kurasakan saat bersama Alby adalah bentuk ketakutan, atau justru berarti sesuatu yang lain?

Pria itu, dengan segala pesonanya yang luar biasa, mampu membuatku sekacau ini. Kira-kira apa yang akan terjadi padaku setelah kesepakatan ini berakhir?

🎶

Aku memikirkan terlalu banyak hal sampai terlelap di sini. Saat aku bangun, langit sudah gelap. Kurasa aku melewatkan sunset. Sadar bahwa aku tidak datang ke sini sendirian, aku segera memeriksa ponsel. Oh. Aku bahkan harus menelan ludah kecewa karena tak satu pun dari keluarga Alby yang mencariku, atau sekadar bertanya aku ada di mana.

Aku menenggelamkan wajah di antara lutut, karena masih belum siap menghadapi mereka saat aku kembali ke vila. Alasan apa yang akan kukatakan ketika mereka bertanya. Lagi pula, berada di sini terasa lebih nyaman, di mana hanya ada aku, laut, dan langit yang bertabur bintang. Daripada di tempat yang hangat di tengah lingkaran orang-orang yang seharusnya tidak kumasuki.

Oh, mungkin saja Alby mengatakan sesuatu pada mereka agar tidak merasa cemas. Ya, aku ingat sudah berpesan padanya kalau mereka mencari, aku sedang jalan-jalan. Namun, kurasa cukup. Aku pergi terlalu lama. Demi dinginnya cuaca malam ini, aku tetap tidak bisa lama-lama di sini.

Aku beranjak dari kain yang membatasiku dengan pasir pantai. Mengibasnya beberapa kali, dan melipatnya sebelum kumasukkan kembali ke tas. Perutku berbunyi tepat saat aku berdiri. Lalu disusul rasa sakit yang melilit, seperti ada sesuatu yang mengikat di dalam sana sekaligus ditusuk-tusuk dengan sesuatu yang tajam. Aku lapar, tetapi kalau sakitnya sampai seperti ini, itu sangat keterlaluan. Atau jangan-jangan—

Detik berikutnya, aku jatuh terduduk di pantai. Lalu mulai menyesali keputusanku memisahkan diri dari yang lain. Di sini sepi, toko terdekat pun sudah tutup dan mustahil kalau aku berteriak minta tolong. Takkan ada yang mendengar. Aku mengeluarkan ponsel dan takada yang bisa kulakukan dengan itu karena baterainya habis. Aku tidak bisa terus berada di sini. Ayo, kuatlah, Ava. Kau harus kembali ke vila. Setelah sampai di sana, baru kau boleh istirahat.

Aku berusaha berdiri lagi, tetapi tak sampai kakiku tegak, aku terjatuh. Namun, aku tidak menyerah. Setelah berkali-kali terjatuh, aku juga berhasil berjalan beberapa meter dari posisiku tadi. Ugh, kalau sakit ini tidak kunjung berakhir, tidak ada pilihan lain selain bermalam di sini sampai seseorang datang menolongku.

Ah, aku menyerah. makin aku bergerak, makin dililit pula perutku. Aku meringkuk di atas pasir dan memeluk tubuhku. Baju pendek ini sama sekali tidak melindungiku dari serangan udara. Mungkin besok angin malam juga akan ikut andil mengobrak-abrik perutku.

Ketika mataku nyaris terpejam, aku mendengar suara langkah yang mendekat. Aku berusaha duduk, sekadar untuk memastikan siapa yang datang, dan apakah dia bisa kumintai tolong.

"Ava? Ava!"

Suara itu sangat familiar, tetapi mataku tidak bisa melihat dengan jelas. Dia mendekat dan berjongkok di depanku. Barulah aku bisa melihat dengan jelas kalau orang itu adalah Alby.

"Kenapa kau tidak kembali? Apa kau baik-baik saja? Mukamu pucat." Tangan Alby yang hangat menangkup rahang dan pipiku. Mustahil kalau dia sekhawatir ini padaku. "Apa kau bisa berdiri?"

"Ya." Aku berusaha berdiri sendiri. Berharap setelah berbaring aku punya sedikit tenaga agar tidak terjatuh lagi seperti tadi. Sayangnya, aku memang harus dibantunya berdiri.

Alby tidak bertanya dan mulai menggendongku di depan dadanya. Tangannya berada di bahu dan lipatan lututku. Jujur saja, daripada ingin berterima kasih dengannya, aku lebih membenci diriku sendiri yang lemah ini di depannya.

"Maaf merepotkanmu, aku hanya perlu minum dan kau bisa biarkan aku berjalan sendirian."

"Jangan mengada-ngada."

Alby tidak menurunkanku, sampai kami tiba di depan mobil milik kenalan Paula. Dia membantuku masuk lebih dulu dan dia menyusul kemudian. Aku tidak tahu apa yang dia katakan dengan pria kenalan Paula sebelum mobil ini melaju.

Alby tidak memberi jarak sedikit pun di antara kami dan membiarkanku tetap bersandar padanya. Bukan keinginanku, tetapi tangannya terus bertengger di bahuku, menjagaku agar tidak bergerak ke mana-mana.

"Bagaimana bisa kau sampai seperti tadi?"

Aku tersenyum lemah. "Aku lapar." Tiba-tiba perutku melilit lagi dan aku mencengkeramnya. Ugh, aku lupa tanggal berapa sekarang, padahal ingin memastikannya.

"Kau makan siang sedikit dan melewatkan makan malam. Aku tidak heran kalau kau sampai lemas. Tapi, asam lambung saja seharusnya tidak sampai membuatmu kesakitan seperti ini."

Alby menatapku dengan cemas, kata-katanya pun menyiratkan rasa peduli yang tulus. Lagi-lagi dia berhasil membuat jantungku bekerja ekstra di saat aku tidak memiliki tenaga seperti ini.

"Kurasa aku juga mendapat tamu bulanan. Bisakah mampir ke minimarket untuk membeli pembalut?" Wajahku memanas saat mengakuinya, tetapi aku harus melakukannya karena tidak membawa satu pun di tasku.

"Baiklah." Setelah itu Alby bicara lagi dengan pria yang mengemudi, taklama kemudian, mobil berhenti di depan sebuah minimarket.

Dia menahanku ketika aku bersiap untuk keluar dari mobil. "Kau tunggu di sini saja. Aku yang akan membelinya. Um, seperti apa model yang biasa kaupakai?"

Apa Alby benar-benar akan membantuku tanpa protes? Maksudku, Jeffrey saja masih menyuruh orang lain melakukannya saat aku meminta dia membantuku. Baru kali ini, aku melihat Alby sebagai pria yang baik.

"Terserah, jangan yang kecil. Yang itu kegunaannya beda lagi." Aku sudah tidak sanggup untuk bicara menjelaskan panjang lebar kalau dia berujung tidak mengerti.

Alby segera keluar mobil setelah memakaikan sabuk pengaman untukku. Aku mengkhawatirkan kesehatan jantungku sekarang. Bahkan ketika wajahnya berada di depan wajahku, aku sampai menahan napas hanya untuk mengagumi pahatannya yang indah.

Hampir dua puluh menit Alby berada di sana dan kembali dengan membawa satu kresek besar penuh dan satu kresek kecil lagi di tangan lainnya. Dia meletakkan itu semua di kursi penumpang depan dan dengan cepat melesat memasuki bagian belakang mobil.

"Aku membeli semua model yang berukuran besar. Terserah yang mana yang akan kaupakai."

Benar-benar tipikal Alby, tidak ingin berpikir lama dan dengan cepat memutuskan. Namun, bukannya tampak heroik, dia justru menambah beban untukku.

"Kau membuatku harus membayar mahal untuk mengganti semua yang kaubeli."

Tentu saja aku tidak akan membiarkan Alby membeli semua itu dengan uangnya. Memangnya dia siapaku? Menjadi kekasihnya dalam situasi yang mendesak bukan berarti aku punya akses atas dompetnya. Lagi pula, dia tidak akan senang jika itu sampai terjadi.

"Di saat seperti ini kau bahkan masih memikirkan tentang itu?"

Aku tidak tahu tatapan macam apa yang Alby tunjukkan padaku saat ini. Entah itu tatapan tidak percaya atau takjub.

"Aku tahu kau tidak ingin rugi, Alby."

"Membeli sesuatu untuk kekasihku tidak pernah membuatku merasa rugi."

Aku tertawa lemah. Apa yang baru saja diucapkannya terdengar menggelikan bagiku.

"Kau masih menganggapku kekasihmu setelah aku membuatmu kesal? Aku sudah berharap kau akan mengakhiri semuanya." Dan bukan mengkhawatirkanku seperti ini. Jantungku belum kembali berdetak dengan normal. Suaranya saja terdengar keras di telingaku.

"Belum saatnya aku melepaskanmu, Ava. Belum saatnya."

***

One more weird chapter I wrote here.
Aku ingin membangun sesuatu di antara mereka, dan kuharap ini berhasil. Huft.

Alrighty, see you on the next chapter
Lots of Love,
Tuteyoo
22 November 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro