35 - Birthday Party

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Happy birthday, happy birthday, happy birthday to you ... ."

Senandung lagu ulang tahun yang dinyanyikan dua bersaudara itu pun berakhir. Suara Paula yang merdu dipadukan dengan suara sumbang milik Alby ternyata tidak terlalu buruk, seperti harmonisasi nada rendah dan nada tinggi. Aku tidak ikut bernyanyi karena tidak terbiasa dengan acara seperti ini. Jadi, rasanya agak aneh kalau aku menyanyikan satu lagunya.

Kami berlima duduk mengitari meja makan dengan Albert di satu sisi yang berbeda. Di kanannya adalah tempatku dan Alby duduk, sementara di sebelah kiri untuk Susan dan Paula. Di atas mejanya terdapat tiga kue yang tidak terlalu besar. Dengan masing-masingnya terdapat lilin angka 60, 55, dan 35—untuk Albert, Susan, dan Paula. Tentu saja aku takjub, karena Albert tidak tampak setua itu.

Perayaan ini sungguh di luar ekspektasiku. Kukira akan dirayakan di tempat khusus yang disewa, dengan dekorasi yang berkilauan, pembawa acara, dan serangkaian agenda yang sistematis—seperti pesta-pesta formal pada umumnya.

Namun, mereka merayakannya secara sederhana, dengan ditemani satu alat proyektor dan layar putih besar untuk menangkap tembakan sinar proyeksi. Aku mulai penasaran apa yang akan mereka tampilkan di sana nanti. Kalau melihat dari film-film, mungkin foto-foto lama bersama keluarga. Atau video dokumenter lama untuk menyaksikan bagaimana keluarga mereka berkembang.

Setelah sesi meniup lilin, mereka bertukar hadiah. Aku tidak tahu kalau akan diadakan hari ini, jadi aku tidak me4nyiapkan apa-apa. Sebenarnya bukan salahku juga, karena Alby tidak mengatakan apa-apa dan aku tidak akan menyalahkan Paula, karena sudah pasti dia akan mengira kalau Alby akan mengabariku.

Sejak kejadian malam itu, Alby tidak banyak bicara padaku, kecuali untuk hal-hal penting atau keperluan sandiwara. Atmosfer yang tercipta ketika kami hanya berdua terlalu menegangkan. Sampai-sampai aku ingin bisa terbebas darinya. Aku bisa memaklumi itu karena dia pasti masih kesal, tetapi bukankah seharusnya aku yang merajuk karena dia sudah mengira aku berbuat buruk? Alby benar-benar manja, ketika sesuatu tidak berjalan sesuai harapan dan rencananya, dia pasti akan seperti itu.

Aku berharap hak yang kupakai sekarang cukup tajam untuk menggali lantai dan menciptakan lubang di sana, hanya agar aku bisa menenggelamkan diriku.

"Mom, Dad." Alby memanggil mereka, tetapi ketika mengeluarkan kotak hadiahnya yang lumayan besar ke atas meja, dia menatapku lebih dulu dan tersenyum hangat. Oh, dia memulai sandiwaranya, mau tidak mau aku juga tersenyum meski tidak tahu untuk apa dia tersenyum seperti itu. Hanya berlangsung sebentar, dan Alby kembali menatap kedua orangtuanya. "Ava memilih hadiah ini untuk kalian."

Aku harus menahan keterkejutanku ketika dia menyebut namaku. Maksudku, aku bahkan tidak tahu apa isinya dan tidak tahu kapan Alby membelinya. Bagaimana kalau ternyata hadiah itu bukan sesuatu yang mereka harapkan? Atau mereka tidak akan menyukainya? Namaku lagi yang dikorbankan. Ini bukan berarti aku ingin mendapat perhatian mereka dengan berharap disukai, tetapi aku tidak bisa membayangkan mereka memandangku dengan tatapan yang tidak menyenangkan.

Sayangnya, di situasi tidak baik ini aku harus berimprovisasi di depan mereka. Aku menarik napas dan mengembuskannya pelan-pelan, bersiap untuk berbohong lagi.

"Um, kuharap kalian akan menyukainya." Hanya itu yang bisa kukatakan dan kuharap itu tampak meyakinkan. Dan ketika Alby mendaratkan telapak tangannya di bahu dan meremasnya pelan, aku makin merasa tidak tenang. Senyumku lenyap pelan-pelan.

Ketika di situasi sulit dan satu-satunya orang yang seharusnya bisa kuandalkan, untuk saat ini adalah kekasihku sendiri, justru terus memaksaku untuk melakukan sesuatu yang tidak ingin kuinginkan sejak awal. Percayalah, aku sama sekali tidak bisa menikmati liburan ini kecuali pemandangannya yang luar biasa.

"Aku yakin pasti akan sangat luar biasa." Paula menatapku dan mengedipkan sebelah matanya. Dia bahkan percaya kalau aku memang benar-benar yang memilih hadiah itu.

Aku hanya bisa menelan ludah saking pasrahnya.

"Albert, ayo kita buka yang ini lebih dulu," ujar Susan setelah menerima hadiah yang disodorkan Alby kepadanya.

Pria yang berstatus sebagai suaminya itu bergumam dan setuju. Susan, dengan senyum memesonanya yang merekah, mulai menarik pita pengikat kotak berwarna ungu itu sebelum membukanya. Mulutnya seketika membulat dan sebelah tangannya mendarat di depan mulut. Dia memandangku dan Alby dengan tatapan takjub, aku bisa merasakan kalau dia sangat senang.

Ya, Tuhan, aku jadi sangat penasaran apa isinya.

"Bagaimana bisa kalian mendapatkan ini?" Susan benar-benar memandang kami penuh haru, seolah-olah dia baru saja mendapat keajaiban.

"Kami memesannya khusus untuk kalian, Mom. Meski dengan model lama, tetapi masih bisa beradaptasi dengan konsol model terbaru." Alby menjelaskan dengan tenang.

"Terima kasih, kalian sangat luar biasa." Susan kemudian beralih kepada suaminya. "Lihat ini, Albert." Dia mengeluarkan isi kotak tersebut dan menunjukkannya pada Albert.

Sekarang aku tahu, itu adalah dua joystick dengan model yang sangat jadul. Bentuknya kotak berwarna abu-abu, dengan satu tuas dan beberapa tombol. Melihat bagaimana Albert juga sama berseri-serinya dengan Susan, kurasa benda itu memiliki kenangan yang sangat berkesan untuk mereka. Bahkan, sekarang Albert mengecup bibir Susan dengan mesra. Aku langsung membuang muka karena tidak sanggup melihatnya.

"Benda ini adalah pemersatu kami. Kami akan memakainya kapan-kapan. Terima kasih, Nak, Ava."

Aku akan bilang kalau ini adalah kali pertama melihat Albert tersenyum sehangat itu, seolah-olah es yang membeku di danau mencair dan menjadi rumah yang nyaman untuk para ikan. Ya, semenyenangkan itu melihatnya. Aku sampai tidak tahan untuk tidak tersenyum.

"Hm. Kalian tidak menyiapkan hadiah untukku? Aku juga berulang tahun," protes Paula sembari mengulurkan tangan pada Alby.

"Kau bisa membelinya sendiri, Paula," sahut Alby agak tidak senang. Sekarang aku malah merasa tidak enak karena tidak tahu kalau Paula juga akan berulang tahun dan tidak membeli apa-apa untuknya. Padahal dia sangat baik padaku.

"Huh. Dia seperti itu karena iri ulang tahunnya selalu dirayakan terpisah, Ava. Salahnya yang meminta dikeluarkan sebelum waktunya tiba. Padahal sudah direncanakan untuk lahir tanggal 1 Juli."

Informasi baru, Alby dilahirkan prematur.

"Kau selalu menyebalkan, Paula."

Paula hanya tersenyum miring setelah berhasil membuat Alby kesal. "Aku akan menunggu hadiahku. Kau tahu, teman-temanku sudah berfoto dengan keponakan mereka, tentu saja aku juga ingin satu yang matanya seperti Ava, pasti akan sangat cantik."

Aku dan Alby spontan saling pandang. Aku tahu dia menyukaiku, tetapi tidak pernah kusangka dia akan berharap sampai sejauh itu. Itu tidak akan pernah terjadi, tentunya.

"Lihatlah mereka, Mom, merona seperti kita baru saja menangkap basah mereka sedang bermesraan." Paula masih belum berhenti menggoda. Apa benar wajahku memerah?

"Hentikan, Paula, kau bisa merusak momentum malam ini. Jadi, apa yang sudah kaupersiapkan dengan proyektor itu?" tegur Albert, penuh wibawa. Aku tidak heran kenapa dia bisa menjadi pemimpin dengan kepribadian yang seperti itu.

"Sorry, Dad. Aku mengumpulkan video dokumenter dan foto-foto lama kita. Ya ... sekadar untuk bernostalgia dan memperkenalkan keluarga kecil kita pada personil baru kita."

Aku menelan ludah ketika tatapan Paula, Susan, dan Albert tertuju padaku. Aku hanya menatap Alby, bermaksud meminta bantuannya, tetapi dia tidak bereaksi apa-apa selain ikut menatapku dengan wajah datarnya.

Dia benar-benar tidak peka!

"Kuharap kau tidak memasukkan bagian yang memalukan dari foto-fotoku, Paula."

Alby mengabaikanku dan sekarang justru mengancam Paula. Apa dia ingin ambil risiko melukai orangtuanya jika suatu saat sandiwara kami terbongkar? Aku bisa gila jika memikirkannya terus. Mana tega aku melukai orang-orang baik seperti mereka?

"Kau tahu, aku hanya memasukkan yang terbaik."

Lampu dipadamkan dan proyektor tadi mulai memproyeksikan apa yang tampil di layar laptop Paula. Sebuah foto keluarga yang kurasa diambil sangat lama. Sebab mereka tampak jauh lebih muda dari yang kulihat saat ini. Dan Alby benar-benar menarik perhatianku dengan gaya casual-nya. Dia memang sudah tampan sejak lahir.

Video dimulai dengan foto lama pernikahan Albert dan Susan yang diadakan di bulan Juli. Rupanya perayaan penting keluarga mereka banyak terjadi di bulan Juli. Pantas saja mereka sampai menyisihkan waktu liburan di Juli. Hanya Alby yang lahir di bulan April.

Tawa kami pecah ketika yang sedang tayang adalah video Alby menangis di ruangan yang menyerupai klinik dokter gigi. Paula tertawa paling keras. Dan ketika tiba video Paula yang kotor penuh lumpur karena habis terjatuh, situasinya berbalik. Alby yang tertawa sangat keras.

Video yang ditayangkan lumayan lama. Mereka benar-benar mengabadikan setiap momen. Tidak sepertiku, bahkan foto dengan Mom saja sudah raib dilahap api. Aku pun tidak ingat kami sering menghabiskan waktu dengan melakukan banyak hal menyenangkan. Dengan Mom dirawat di rumah sakit dan Dad yang dulu aku percaya sedang sibuk bekerja untuk biaya rumah sakit, aku harus mencari hal lain untuk menyenangkan diriku sendiri.

Entah bagaimana sekarang aku justru terjebak di tengah keluarga yang saling mengapresiasi kehadiran satu sama lain ini. Alih-alih ikut tertawa, aku justru merenungi masa lalu yang menyedihkan. Aku bahkan sudah tidak bisa merasa iri, karena kesempatan itu tidak lagi.

"Satu fakta tentang Alby yang harus kau tahu, Ava."

"Mom, jangan ceritakan hal-hal memalukan padanya." Alby langsung memperingatkan.

Namun, senyum misterius Susan berhasil membuatku penasaran dan menantikan apa yang ingin dia katakan. Jika itu adalah sesuatu yang memalukan, aku bisa memakainya untuk serangan balik ketika dia menggangguku.

"Katakan, Susan, aku akan senang mendengarnya." Bahkan, aku tidak tahu ke mana hilangnya hasil perenunganku tadi hingga sekarang mampu tersenyum sangat lebar.

"Kalau kau mau merayakan ulang tahun Alby, jangan pernah beri dia kue ulang tahun atau menyiapkan dekorasi. Dia benci perayaan ulang tahunnya sendiri."

Wow. Itu sangat tidak terduga. Selain karena Alby tampak seperti orang yang suka menghadiri perayaan, ternyata kami sama. Di sebelahku, dia sudah bermuka masam. Sekarang aku berani menyikut pinggangnya berkali-kali untuk menggodanya.

"Apa alasannya?" Karena telanjur penasaran, sekalian saja kucari tahu lebih banyak.

"Karena kami merayakannya bersama-sama dan dia sendirian. Bahkan pernah beberapa kali kami membuat pesta untuknya, teman-temannya datang, tetapi dia mengurung diri di kamar." Susan tampak sangat senang saat ini. Padahal yang sedang dibicarakan adalah putranya sendiri.

"Kau mau tahu yang lebih lucu lagi, Ava?" Kali ini Paula pun turut menyumbangkan cerita tentang Alby. "Alby takut jarum suntik, tetapi menato punggungnya. Aku tidak tahu dia dapat keberanian dari mana. Padahal ketika sakit, dia tidak akan bercerita pada siapa pun hanya agar tidak dibawa ke dokter. Dia benar-benar sesuatu."

Aku tertawa pelan karena itu. Selain mengukur kopi dengan termometer, rupanya dia juga punya keanehan lain. Mungkin aku akan selalu membawa bros ke mana pun aku bersamanya. Jadi, jika dia menggangguku, aku akan mengacungkan jarum bros itu kepadanya. Ah, membayangkannya saja sudah terasa lucu sampai aku tidak berhenti tertawa.

"Cukup. Kenapa kita tidak mendengar cerita dari anggota baru kita?"

Tawaku seketika terhenti ketika Alby menatapku tajam. Dia terang-terangan menunjukkan kekesalannya padaku, tetapi apa perlu melampiaskannya padaku juga? Inilah yang tidak kusukai darinya. Hanya karena aku properti balas dendamnya, bukan berarti aku bisa diperlakukan sesuka hatinya.

"Alby benar, Ava, bagaimana kalau kau ceritakan sedikit tentang keluargamu? Kau tinggal dengan siapa sekarang?" Albert yang bicara, membuat dua orang lainnya mulai menatapku dengan saksama dan tampak siap mendengar apa pun yang akan kuucapkan.

Aku menatap Alby sekali lagi, tetapi pria itu sudah mendaratkan pandangan pada jarinya yang sedang menari di bibir cangkir.

Lagi-lagi aku terjebak sendirian. Aku sengaja berdeham untuk mengulur waktu. Tidak mungkin jika berbohong, karena Alby yang sudah mengetahui bagaimana keluargaku bisa saja akan membeberkannya saat itu juga. Karena mau disembunyikan bagaimanapun, masa lalu akan terus mengiringiku menuju masa depan.

"Sebenarnya aku tidak yakin kalian akan menyukai ini," ujarku agak cemas. Ceritaku akan mengotori momentum membahagiakan mereka.

"Tidak masalah, Ava. Kami tentu ingin mengenalmu dengan baik." Paula tersenyum setelah mengatakan itu, dan aku sedikit merasa tenang.

"Kami berasal dari Pennsylvania. Keluargaku tidak cukup baik, bisa dibilang hancur, sebenarnya. Ibuku meninggal karena kanker saat aku berusia sebelas tahun. Dan ayahku selingkuh, mereka punya anak yang usianya enam tahun di bawahku."

Aku sengaja memberi jeda hanya untuk melihat reaksi mereka. Aku yakin, mereka mungkin akan berpikir berkali-kali untuk membiarkan putranya memiliki hubungan dengan seorang perempuan yang latar belakang keluarganya sangat kacau. Baguslah, mereka akan segera meminta kami segera berpisah setelah ini.

"Anak itu Nate, aku menyayanginya, dia tinggal bersamaku sekarang dan dia juga bekerja di perusahaan kalian sebagai game tester." Aku tersenyum untuk memperbaiki sedikit suasana yang menyelimuti kami.

"Dia sangat cerdas. Kuakui itu," sahutan Albert membuatku tersenyum makin lebar. "Lanjutkan, Ava."

"Meski aku menerima kehadiran Nate, tapi aku telanjur jijik melihat Dad. Apalagi dia tidak berhenti bersikap manis pada ibu Nate. Aku tidak tahan dan memutuskan untuk sekolah di New York."

"Sama seperti Alby, aku juga membenci hari ulang tahunku, 25 Desember. Ketika orang-orang memutuskan untuk pulang dan menghabiskan waktu liburan bersama keluarga, aku justru melihat Dad melakukan kesalahan yang sama dengan wanita lain satu hari sebelum Natal. Padahal aku membutuhkan keyakinan bertahun-tahun sebelum akhirnya memutuskan pulang."

Aku bisa merasakan Alby meraih tanganku di bawah meja—mungkin untuk menenangkanku, tetapi aku menepisnya. Kalau bukan karena dia, aku tidak perlu menceritakan tentang ini.

"Kurasa dia sudah mendapat karmanya. Saat menghindariku di suatu tempat, mobilnya mengalami kecelakaan dan dia bersama wanita itu meninggal di tempat. Ibu Nate mungkin sangat mencintai Dad hingga sebulan kemudian menyusul pergi. Bukan karena bunuh diri, tapi kesehatannya menurun begitu saja. Kembali dari pemakaman, rumah kami sudah habis dilahap api yang entah dari mana. Saat itu memang sedang musim panas. Kurasa rerumputan di belakang kami terbakar dan takada yang tersisa. Dan Nate kuajak tinggal di New York bersamaku."

Aku menyesap minumanku beberapa tegukan hanya untuk membasahi kerongkonganku yang kering. Saat itu pula aku menemukan mereka memandangku penuh rasa kasihan, yang mana aku sangat membenci melihatnya. Tidak bisakah mereka melihat kalau aku baik-baik saja? Tidak sedikit pun meneteskan air mata?

"Aku hidup dengan baik, kalian tidak perlu memandangku seperti itu, kumohon."

Albert dan Susan saling pandang cukup lama. Dan itu membuatku gugup bukan main, seolah-olah aku sedang menantikan keputusan diterima atau tidak. Padahal itu sama sekali bukan tujuannya.

"Kami menghargai kejujuranmu, Ava. Jarang ada perempuan yang secara terbuka menceritakan hal-hal buruk tentang keluarganya." Susan yang duduk berseberangan denganku pun meraih tanganku yang ada di atas meja dan menggenggamnya erat. "Walau dia ayahmu, bukan berarti kau juga harus menerima akibatnya. Kau perempuan yang kuat dan pantas bahagia."

"Terima kasih." Hanya itu responsku. Rasanya aneh mendengarkan kata-kata yang menyenangkan dari orang lain, mengingat selama ini sebisa mungkin aku tidak akan menceritakannya pada siapa pun. Banyak hal yang tak biasa kulakukan terjadi akhir-akhir ini.

"Alby, kau tentu tidak akan menambah trauma pada wanita ini, 'kan?"

"Apa maksudnya, Dad?" Alby mengerutkan dahinya sangat dalam hingga batang hidungnya nyaris berkerut juga.

"Kau harus berhenti mempermainkan wanita. Terakhir yang kudengar kau dekat dengan seorang model. Aku sengaja tidak membahasnya untuk percaya kalau kau sudah berubah, dan menunggu kau membawanya saat liburan."

O-oh. Sekarang situasinya jauh lebih tegang dari yang tadi. Albert benar-benar sangat serius kali ini. Apa Alby pernah melakukan sesuatu yang termaafkan?

"Dad, kurasa tidak perlu membicarakan tentang itu sekarang." Paula berusaha menenangkan Albert. Namun, melihat ekspresi pria tertua itu sama sekali tidak berubah, usaha Paula sia-sia.

"Aku hanya ingin tahu, kalau dia sudah belajar dari kesalahannya."

Suara sendok dan garpu di atas piring di dekatku bergetar ringan ketika tangan Alby terkepal erat.

"I'm done here." Dan Alby pergi begitu saja.

Aku tidak bisa diam saja di sini.

"Aku akan menyusulnya."

***

Scene-nya pasaran, ya? 😅

Waktu awal nulis, ekspektasiku cerita ini nggak akan lebih dari 35 bab, tapi kayaknya 50 bab nggak cukup 🥲
Inilah yang terjadi ketika nulis nggak pakai outline.

See you on the next chapter
Lots of Love,
Tuteyoo
28 November 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro