56 - Hartford, Connecticut

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kuakui Hyunjoo cukup tangguh. Dia mampu mengemudi dari New York sampai Connecticut tanpa bersinggah--tetapi akan menenggak kopi tiap setengah jam untuk membuatnya tetap terjaga. Entah karena kopinya, atau embusan angin dari luar yang meniup helai-helai rambut cokelat mudanya. Hyunjoo bahkan mengecat rambut untuk hari istimewanya.

Aku tidak berhenti memikirkannya selama di perjalanan. Itu nyaris membuatku gila karena khawatir--dan merasa bersalah karena tidak bisa menggantikannya mengemudi. Mungkin kedengarannya payah, tetapi aku tidak merasa ada masalah soal itu.

Jeff pernah menawarkan diri untuk mengajariku mengemudi, tetapi aku terus menolak karena tahu tidak akan punya mobil. Biaya perawatan sekaligus pajaknya akan sangat membebaniku. Namun, Jeff selalu bilang, bisa mengemudi tidak harus selalu punya mobil. Dan dia juga mengizinkanku memakai mobilnya jika dia tidak bisa menjemput.

Karena waktu itu hubungan kami masih baik-baik saja, aku selalu membalas kalau aku lebih suka membuatnya repot. Percayalah, itu pernah menjadi masa-masa yang menyenangkan.

Aku kembali menyodorkan kopi kemasan kaleng yang sudah tersisa—mungkin—sepertiganya ketika Hyunjoo mengulurkan tangan. Dia menenggak isinya lagi dan kaleng itu kembali setelah kosong.

"Apa Dave tidak keberatan tidak mendapat kabar darimu sampai besok?"

Hyunjoo hanya menggumam di sela-sela kuluman bibir. Untuk sesaat itu membuatku khawatir kalau dia sempat berargumen dengan Dave karena aku memintanya. Mereka akan menikah, dan jika sesuatu yang buruk terjadi pada hubungan keduanya, aku yakin akan menyalahkan diriku seumur hidup.

"Tidak masalah. Kau tahu, pesta lajang tidak hanya dilakukan oleh calon pengantin wanita, 'kan?" Senyum Hyunjoo membuat pipi tembamnya membulat. Dia benar-benar memancarkan aura yang positif sekarang, lebih tenang juga, beda seperti biasanya. Mungkin karena faktor menjelang pernikahan.

"Dia juga melakukannya?" Jawaban Hyunjoo tadi membuatku mengira begitu dan tentu saja sulit dipercaya. Pesta lajang untuk para pria, sejauh yang kutahu, akan melibatkan one night stand dengan wanita bar atau strippers wanita. Apa Dave juga salah satunya? Sekali lagi, sulit dipercaya.

"Dia hanya dekat dengan Pete, dia bilang hanya minum dan menonton film. Kurasa Dave perlu meringankan beban pikiran, dan Pete adalah orang yang tepat." Hyunjoo menjawab dengan tenang, benar-benar tidak memiliki kecurigaan sedikit pun.

Lagi pula, Dave pria yang baik. Dia dan Pete sama-sama menghormati wanita dan tidak akan sembarangan menyentuhnya jika tidak memiliki hubungan apa-apa. Hyunjoo benar-benar beruntung memenangkan hati Dave. Sekarang aku penasaran wanita mana yang akan berhasil menaklukkan Pete kelak.

"Baguslah, aku merasa tenang sekarang. Terima kasih, Joo. Maaf, gara-gara aku, kau tidak bisa memainkan ponsel dengan leluasa."

Hyunjoo berdecak dengan nada bercanda. "Ah, aku juga tidak mau ada gangguan untuk acara pesta lajang ini. Kita akan berkeliling Hartford setelah kudapatkan foto yang bagus. Jadi, Ava, keluarkan jiwa artistikmu saat mengambil fotoku, oke?"

Aku mendengkuskan tawa pada instruksinya. Dia tahu seburuk apa aku saat mengambil foto dan dia memanfaatkannya untuk menggodaku.

"Aku lebih suka melukismu daripada mengambil fotomu, Joo. Tolong jangan menaruh harapan besar padaku."

Hyunjoo tertawa sangat keras sampai hampir lupa memberhetikan mobilnya di persimpangan yang lampu lalu lintasnya sedang menyala merah. Kami akan mendapat masalah jika itu terjadi. Petugas lalu lintas yang berjaga di sana masih memiliki energi yang besar untuk mengejar siapa pun yang melanggar, apalagi ini masih pagi.

Kami menghabiskan setengah jam lagi sampai akhirnya tiba di Elizabeth Park. Hyunjoo memarkirkan mobilnya di lahan yang tersedia untuk parkir. Aku keluar lebih dulu dan embusan angin beraroma dedaunan gugur dengan bunga-bungaan langsung memenuhi penciuman. Meski di musim gugur, taman ini masih sama cantiknya dengan saat musim-musim yang lain.

Aku berjalan pelan-pelan memasuki taman, mengikuti jalan setapak yang diapit oleh hamparan rumput yang berselimut daun-daun kecokelatan. Ranting-ranting pohon yang sudah gundul pun tidak sedikit pun mengurangi keindahan tempat ini, bahkan jauh lebih luar biasa dengan warna kecokelatan yang mendominasi.

Wow. Rasanya benar-benar menenangkan melihat pemandangan seindah ini. Sejauh ini aku hanya tahu Central Park—dan tempat itu terlalu terkenal sampai aku lupa ada taman-taman cantik yang lain. Aku akan berterima kasih pada Hyunjoo nanti karena sudah mengajakku ke tempat ini.

Bicara soal Hyunjoo, wanita itu tidak terlihat di mana pun. Entah karena aku berjalan terlalu cepat, atau dia memang belum keluar sejak tadi. Namun, mataku tetap tidak menangkap keberadaannya di mana pun. Duh, aku terlalu asyik sampai tidak menyadari kalau kami terpisah.

Aku berjalan kembali menuju parkiran, memastikan Hyunjoo masih di sana atau tidak. Dan tahu apa yang kulihat?

"Bawa ini, kau akan memotretku." Hyunjoo berkata begitu sembari mengalungkan kamera polaroid di leherku. Aku bahkan belum benar-benar memproses kenapa dia berpakaian seperti itu. Pasti merepotkan memakainya di dalam mobil yang tidak terlalu besar.

"Joo?" Aku baru memanggilnya setelah dia beberapa langkah mendahuluiku.

"Apa?"

"Kenapa berpakaian seperti itu?" Baiklah, kuakui itu pertanyaan yang konyol, tentu saja untuk berfoto. Mana mungkin Hyunjoo jauh-jauh ke sini untuk berfoto dengan hanya mengenakan celana jeans selutut dan kaos kebesaran. Namun, kalau dia berjalan di sini dengan pakaian seperti itu jelas akan menarik perhatian banyak orang.

"Ini Hanbok. Pakaian khas Korea." Hyunjoo berputar, membuat roknya yang lebar itu mengembang.

Aku menyapu penampilan Hyunjoo dengan mata yang masih melotot. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pakaiannya, tetapi aku tidak sanggup melihat perpaduan warna yang Hyunjoo pilih; lengan panjangnya yang lebar berwarna ungu, bagian badannya berwarna biru dengan ornamen bunga bordir, dan lapisan dalam sampai rok lebarnya berwarna merah muda. Semuanya berwarna terang dengan kain yang mengkilap. Bagaimana tidak mencolok?

"Haruskah memakainya di tempat umum?"

Pertanyaanku membuat Hyunjoo mencebik. Dengan wajah yang merengut begitu, dia tampak sangat imut-pipinya yang tembam sangat membantu untuk itu.

"Aku akan difoto dan pakaian ini adalah identitasku, dari mana aku berasal. Eung. Aku akan menikah dan kau berjanji akan menuruti semua yang kumau, Ava. Eung."

Tidak, tidak, tidak. Tidak dengan Hyunjoo bersuara seperti anak kecil. Aku tidak sanggup menerimanya.

Aku tahu orang-orang sana memiliki kebiasaan cenderung bersikap imut ketika mengharapkan seseorang memberikan sesuatu pada mereka-setidaknya itu yang kusimpulkan dari sikap Hyunjoo selama ini. Lagi pula, ia hanya akan begitu ketika membujukku.

"Baiklah, baiklah." Aku menelan ludah sekaligus rasa malu yang sudah sejak tadi kutahan. Aku juga mengenakan kacamata hitam yang kukeluarkan dari tas. "Ayo, tunjukkan di mana kau mau berfoto."

🎶

Berfoto dengan latar bunga mawar. Cek.

Berfoto di tengah barisan flower arches. Cek.

Foto berdua. Cek.

Aku dipaksa Hyunjoo untuk difoto. Juga cek.

Kurasa hampir setiap sudut taman menjadi latar untuk Hyunjoo berfoto. Dia benar-benar sangat senang sampai terkadang aku lupa kalau tingkah kami memalukan dan pengunjung lain tidak berhenti menatap. Bahkan Hyunjoo sukses membuatku tertawa ketika melakukan pose-pose yang konyol. Apalagi di saat dirinya menaikkan satu kaki di balik semak dan aku mengambil fotonya dari bawah berlatarkan langit. Hyunjoo seperti sedang terbang dengan satu tangan diangkat.

Aku bukan fotografer andal, tetapi Hyunjoo cukup puas dengan hasilnya.

"Mark Twain House & Museum terkenal di sini. Lokasinya tidak jauh dari Elizabeth Park. Ayo ke sana?"

Hyunjoo memamerkan kedipan genit. Lagi. Tentu saja aku tidak bisa bereaksi lebih selain menggeram pasrah.

"Tapi apa kau akan keluar taman dengan itu?" Jariku menari di sepanjang tubuhnya. Aku yakin dia mengerti kalau maksudku adalah busananya.

Tatapan pengunjung taman sudah cukup memberi tekanan mental padaku. Jangan ada tatapan-tatapan lainnya lagi, terlebih dari penduduk Hartford. Pengunjung Elizabeth Park masih bisa dimaklumi karena kebanyakan dari mereka mungkin juga turis seperti kami, bahkan kalau aku ke sini lagi suatu saat nanti, aku mungkin tidak menemui mereka lagi.

Parahnya, Hyunjoo justru tampak keberatan mengganti busananya lagi. Entah bagaimana dia jadi begitu mempertimbangkannya. Baiklah, kurasa aku harus bertebal muka di sini. Kuharap kacamata yang sedang kubenahi posisinya ini cukup membantu.

"Baiklah."

Oke, aku tidak menduga akan mendengar itu darinya sampai tidak bisa menahan mulutku agar tidak menganga.

"Aku akan mengganti ini."

Hyunjoo memamerkan peta di ponselnya yang menunjukkan kalau posisi Mark Twain House & Museum tidak jauh. Sekarang dia sudah mengganti pakaian dengan A-line dress berlengan panjang berwarna ungu-dia tergila-gila dengan warna itu akhir-akhir ini. Tanpa stocking atau jaket, dan itu membuatku menjerit kedinginan.

Maksudku, aku saja sekarang memakai satu yang tebal sebelum kulapisi rok denim hitam di atas lutut-milik Hyunjoo, agak longgar dan harus dipasangi ikat pinggang. Atasanku adalah satu sweter tebal dan dilapisi outer rajut tanpa lengan. Sepatu botnya tentu saja milikku sendiri. Yang kupikirkan adalah sesuatu yang akan membuatku hangat.

Mobil Hyunjoo tetap terparkir di parkiran Elizabeth Park, sementara kami menuju Mark Twain House & Museum berjalan kaki. Dan memang jaraknya sangat dekat. Luar biasa, dua tempat ikonik berada di kawasan yang berdekatan.

Bisa dibilang, hari ini kami bersenang-senang. Seperti yang diharapkan dari wanita Asia, perbedaan budaya dari cara Hyunjoo bersenang-senang dengan cara wanita-wanita di New York, sangat kentara. Dari to do list yang ingin dia lakukan, semuanya didominasi oleh jalan-jalan mengunjungi tempat wisata di Connecticut—meski sebenarnya aku belum melihat semua. Tentu saja kami tidak lupa mampir untuk makan atau membeli camilan. Hyunjoo tidak membiarkan tangannya kosong dan tentu saja aku ikut membeli untuk mengganti energi yang terkuras karena terus berjalan.

Langit sudah berwarna keemasan. Itu membuktikan bahwa kami benar-benar menghabiskan waktu seharian di Hartford. Ketika kutanya apakah kami akan pulang, Hyunjoo lagi-lagi mengagetkanku dan berkata kalau kami akan menginap. Tanpa sepengetahuanku, dia sudah memesan satu kamar hotel. Dia juga memberi tahu kalau daftar keinginannya belum selesai dilakukan.

"Kita tidak membawa pakaian, Joo." Aku berseru panik ketika dia berkumandang kalau kami akan pergi ke sebuah kelab malam. Ah, tadinya aku sudah berpikir dia akan melakukan hal-hal yang aman saja.

"Maksudmu, kau yang tidak membawa pakaian." Hyunjoo tenggelam di antara pakaian dalam kopernya setelah itu. Maksudku, tentu saja dia akan membawanya. Dia yang lebih tahu rencana dari apa-apa yang ingin dia lakukan.

"Artinya kau pergi sendiri?" Kubanting tubuhku ke kasur dan rasanya nikmat sekali, padahal kasur ini tidak seempuk milikku. Baru kusadari kalau sebenarnya aku sudah cukup lelah jalan-jalan hari ini.

"Perjanjiannya, kita akan melakukan semua hal berdua, Ava Mateo."

Aku berdecih ketika nama belakang Alby dia sebutkan. "Menggelikan kau menyebutkan nama itu."

"Kau harus terbiasa. Karena suatu saat nanti kau akan menyandang nama belakangnya." Hyunjoo mengedipkan sebelah mata untuk menggodaku.

Di saat seperti ini, aku justru ingin menceritakan yang sebenarnya. Namun, sudahlah, waktunya tidak tepat dan itu akan melanggar kesepakatan.

Aku berguling menjadi tengkurap. "Aku tetap di sini, Joo. Takada baju dan aku lelah." Kurasa aku akan segera tertidur begitu mataku tertutup. Sayangnya, sesuatu sudah lebih dulu mendarat di wajah sebelum aku benar-benar tersedot ke alam mimpi. "Apa ini?"

Aku bangun dan mengangkat kain itu di depan wajahku. Itu bukan sekadar kain, tetapi gaun pendek berwarna ungu. Aku mengangkat dua utas tali tipis dari gaun tersebut dan terpampanglah dengan jelas seperti apa modelnya. Ini mirip gaun tidur, tetapi dengan kain yang berkilau yang dipenuhi manik-manik. Sebenarnya sangat cantik, tetapi tidak untuk dipakai di tempat umum.

Tunggu, apa Hyunjoo bermaksud memintaku memakai ini dan pergi ke bar bersamanya?

"Kurasa itu akan cocok untukmu."

Benar saja. Aku baru menganga, ingin protes, tetapi dia sudah lebih dulu berkata begitu.

"Kau ingin aku menggoda para pria mabuk di sana dengan pakaian seperti ini?" Kulempar kembali baju itu ke arahnya. Cukup Paula dan keluarganya saja yang membuatku memakai pakaian itu, Hyunjoo jangan. Apalagi tujuan kami tidak seaman itu untuk memakai pakaian terlalu terbuka begitu.

"Ava, kau sudah berjanji akan menemaniku." Dia mencebik lagi. "Aku juga membawakan mantel bulu untukmu, ayolah."

Kurasa jika dilapisi mantel bulu, akan baik-baik saja.

🎶

Aku memandang tulisan kertas dari Hyunjoo dengan mulut terbuka. Lidahku kelu. Telingaku juga seakan-akan mendadak tuli sampai suara keributan dari kelab ini tidak lagi terdengar jelas. Kedipan lampu disko juga tidak membuatku berkedip sebanyak tadi.

Kupandangi wajah Hyunjoo dengan kertas ini bergantian. Dan sebelum aku sempat merespons, dua orang pria sudah tiba di meja kami, membawakan dua gelas bir dan dua gelas kosong dan beberapa botol minuman keras yang aku tidak hafal apa namanya.

Bersenang-senang dengan Ava di kelab-kelab malam. *Pastikan dia juga minum.

"Kau tahu aku tidak kuat minum." Namun, Hyunjoo tidak peduli dan tetap menyodorkan segelas bis dan satu gelas kosong ke arahku.

"Aku belum melihat secara langsung. Selama ini kau hanya selalu berkata begitu. Biarkan aku membuktikannya kali ini." Hyunjoo tersenyum lebar sekali, tetapi aku membalasnya dengan tatapan horor.

"Aku sungguhan akan pingsan kalau kau memaksa, Joo."

"Ayolah, Ava. Dicoba dulu. Kita akan bersenang-senang." Dia menenggak bir miliknya lebih dulu. "Lagi pula, ini akan membuatku lebih bebas berekspresi dan aku yakin kau juga punya sesuatu yang ingin diceritakan tanpa harus menyadarinya. Cheers?"

Hyunjoo mengajakku bersulang, tetapi aku masih mempertimbangkan haruskah aku melakukannya; mabuk-mabukan di sini, atau tidak. Kali pertama aku minum bir adalah saat merayakan ulang tahun Pete yang kedelapan belas. Aku menghabiskan satu gelas dan pingsan dua hari. Sejak saat itu, aku yakin tubuhku tidak memiliki toleransi terhadap alkohol, takpeduli meski Pete selalu meyakinkanku kalau waktu itu aku memang sedang sakit.

Kemudian aku minum anggur di acara amal kolega Alby secara tidak sengaja dan berujung pusing lalu pingsan. Oh, yang di rumahnya waktu itu juga. Sudah ada bukti dan tentu saja aku tidak ingin mengambil risiko. Namun, apa aku sanggup menolak Hyunjoo di saat-saat seperti ini?

"Yakinkan aku kalau meminum satu gelas tidak akan membuatku mati."

Seringai Hyunjoo membuat tempat dengan pencahayaan remang-remang ini jadi lebih mencekam. Dia mengangkat gelas birnya dengan kuat hingga isinya berceceran sedikit di atas meja. Bibir gelas itu lantas sudah berada di antara dua giginya. Tiap tetes bir menanti gilirannya untuk masuk ke mulut. Dia melakukannya dengan cepat. Gelas itu sudah kosong saat dia letakkan lagi ke atas meja.

Tidak sampai di situ, dia juga menuangkan lagi minuman dari botol ke gelas shot kecil dan menenggaknya. Dia mengulangi itu sampai dua kali. Sekarang lihatlah dia, semringah dan tampak segar seperti baru saja makan es krim di hari yang panas.

"Lihat, aku tetap hidup." Dia berucap bangga.

"Bagaimana kalau aku pingsan di sini?"

Tatapan Hyunjoo menyapu seisi kelab dan berhenti di konter yang orang-orang di baliknya sibuk membuat minuman untuk para pengunjung.

"Ada banyak pria tampan yang bisa kumintai tolong."

Aw. Tidak bisa kubayangkan betapa jeleknya wajahku yang mengerucut sekarang. Mereka, pria-pria tidak dikenal, menyentuhku di saat aku sedang tidak sadarkan diri? Kalau itu sampai terjadi, aku tidak akan pernah memaafkan Hyunjoo karena memaksaku minum.

"Aku pesan diet coke saja."

"Ya Tuhan, Ava!" Dia menjerit frustrasi. "Kita tidak akan pulang sampai kau meminumnya."

"Sekarang kau mengancam?" Aku membalasnya tidak kalah nyaring.

"Bagaimana kalau ternyata ini permintaan ini menjadi death list-ku?"

Aku memicing. Berada di sini lama-lama tidak menyenangkan juga. Lampu yang terlalu banyak berkedip, musik berisiknya pun tidak bisa dinikmati karena terlalu banyak keributan yang berasal dari pengunjung lain. Baiklah, mari lakukan itu agar bisa keluar dari sini.

"Kalau kepalamu pusing, berarti kau minum kurang banyak. Minum lagi, itu akan memberimu efek menyenangkan." Hyunjoo berkata begitu ketika tanganku baru menyentuh gagang gelas bir. Saat dia mengatakan kata terakhir, aku baru sadar senyumnya agak aneh, seperti orang yang kelebihan dopamin.

"Kau bertanggung jawab atas ini."

Kupandangi dulu isi di dalam gelas yang sedang kuangkat. Buih dari cairan berwarna kuning berkilau seperti minyak itu seolah sedang mengejek kelemahanku. Hyunjoo sudah memandangku dengan kilauan di matanya, mengalahkan kilauan gaun pendek yang dikenakan DJ wanita di lantai dansa. Betapa dia sangat ingin aku meminumnya. Dan demi pelepasan lajangnya, aku mulai menenggak rasa pahit dari minuman itu. Hanya beberapa tegukan dan kuletakkan kembali gelas itu ke atas meja.

Rasanya masih tersisa di lidah ketika Hyunjoo bertepuk tangan sangat meriah. Tangannya bergerak-gerak, mengisyaratkan agar aku kembali minum. Dan bodohnya kulakukan. Aku menahan lidahku agar tidak mencicipi rasanya sampai kuhabiskan setengah gelas. Lagi, aku meletakkan gelasnya ke atas meja dan entah kenapa sesuatu terasa menggelikan.

Aku tertawa dan Hyunjoo mengikuti.

"Lihat, kau masih baik-baik saja, 'kan?"

Aku menahan tawaku hanya untuk membalas, "Aku merasa aneh, tapi benar, aku baik-baik saja."

"Bersulang?" Dia menyodorkan gelas kecil yang sudah dituangi wiski—aku sudah membaca dari botolnya, dan aku mempersatukan gelas kami sebelum kutenggak habis bir di gelasku.

"Aku benar-benar merasa tertekan akhir-akhir ini." Hyunjoo mulai merengek. Dan aku jadi ingin menangis melihatnya seperti itu. Dia tampak menyedihkan.

"Aku juga." Aku menimpali. "Kau kenapa?"

"Aku merasa keluarga Dave tidak benar-benar menerimaku. Mereka terlalu luar biasa untuk aku yang biasa saja. Tapi kau ada di sini. Aku baik-baik saja." Dia tersenyum lega dan menggoyangkan kepala. Entahlah, aku tidak mengerti kenapa dia melakukan itu. Kepalaku mulai terasa berat karena harus mengikuti gerakan kepalanya.

"Perkara keluarga memang merepotkan." Aku teringat Paula dan itu membuat lantai terasa bergoyang. Mungkin aku terlalu sedih karena tidak bertukar pesan dengannya akhir-akhir ini. "Saudara Alby juga membenciku hanya karena aku bekerja di perusahaan mantan suaminya."

"Oh, benarkah?"

Aku merasa sangat sedih sampai kepalaku jatuh si atas meja. "Ya ... tapi bisakah kau berhenti menggoyangkan kepala? Itu membuatku pusing, Joo."

"Aku tidak—kau harus minum lagi, Ava. Ayo bersulang."

Saat aku kembali menegakkan badan, Hyunjoo sudah menyodorkan gelas berisi wiski ke arahku. "Apa dengan meminum ini kau akan berhenti bergoyang?"

Hyunjoo tampak ragu soal itu, tetapi dia tetap mengangguk. "Bagaimana kalau kau coba dulu?"

Aku menurut dan meneggaknya dalam satu tegukan. Sekarang cairan itu terasa membakar kerongkonganku sampai aku mendesah keras.

"Joo, aku ingin mengatakan sesuatu padamu."

"Yaaaaa?" Dia membalas dengan nada yang panjang.

"Bisakah kau sembunyikan aku dari Alby? Dia menyebalkan."

Mungkin seharusnya ini menjadi momen Hyunjoo, tetapi aku tidak bisa menahan diri lagi. Bahkan aku sudah terisak tanpa ada air mata yang mengalir. Sayangnya, Hyunjoo dan sekitarku masih bergoyang. Apa aku harus minum lagi?

"Apa dia jahat? Apa dia melukaimu? Aku akan mencari seseorang seperti Dave untukmu." Hyunjoo kembali menenggak wiski dan aku menyodorkan gelasku agar dia mengisinya. "Apa yang dia lakukan padamu?"

"Dia akan meninggalkanku. Alby akan pergi. Aku tidak siap untuk itu."

"Hah? Memangnya dia mau ke mana?"

Aku memandang Hyunjoo dengan bibir yang bergetar. "Alby tidak akan pernah menyukaiku. Alby pacarku, tapi dia tidak seperti Jeff."

"Ava?"

Aku langsung terdiam ketika suara yang asing itu menginterupsi. Hyunjoo pun melakukan hal yang sama.

"Kenapa kau menangis?" Dia bertanya lagi.

Mataku menyipit, berusaha mengenali sosok pria yang baru menyapaku itu. Namun, pandanganku benar-benar sangat buram sekarang. Aku mungkin terlalu sering menatap layar, tetapi aku tidak pernah sadar kalau itu akan membuatku menderita rabun jauh.

"Kau ... tampak familier."

Semuanya gelap sebelum tubuhku membentur lantai dengan sangat keras.

***

Makin ke sini aku update-nya lama, ya. Maafkan aku. Entah kenapa abis kelamaan editing, aku jadi sulit fokus buat nulis, jadinya nyicil. :")

See you on the next chapter
Lots of love,
Tuteyoo
17 April 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro