57 - Hangover

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Mungkin sudah sepuluh menit aku duduk di kasur besar ini sambil memeluk lutut. Sendirian. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Hyunjoo di sini. Dan kamar ini bukan seperti yang kami pesan untuk tidur. Parahnya, aku tidak ingat apa yang terjadi semalam. Yang kutahu, aku minum dan kepalaku berdenyut. Oh, aku sempat bertemu seseorang yang tampak familier, tetapi aku tidak tahu siapa dia.

Bagaimana kalau ternyata pria itu yang membawaku ke sini dan melakukan hal-hal buruk?

Dugaan itu makin diperkuat dengan apa yang kukenakan saat ini. Aku berusaha mengingat apa yang terjadi, tetapi tidak satu pun terlintas di kepalaku. Hanya jubah mandi yang membungkus tubuhku. Pakaianku semalam, tersampir di sofa yang berada dekat jendela. Ya, aku tidak memakai apa pun di balik jubah ini selain celana dalam.

Apa pria itu melakukan sesuatu padaku? Namun, tubuhku masih bersih, maksudku, tidak ada berkas kemerahan atau sesuatu yang menyakitkan di bawah sana—kata orang-orang, melakukannya untuk kali pertama sangat menyakitkan. Dan aku tidak merasakan apa-apa di tubuhku saat ini. Selain itu, sisi lain dari kasur ini juga masih rapi.

Atau alkohol memiliki kandungan penghilang rasa sakit? Ya, Tuhan. Aku perlu Nate sekarang. Aku ingin menangis dan ingin dia memelukku, karena seseorang mungkin sudah merenggut satu-satunya harga diriku yang belum pernah kuberikan pada siapa pun. Perasaanku akan lebih baik seandainya aku tahu siapa pelakunya, sayangnya aku tidak mengenali siapa pria tadi malam.

Kupeluk tubuhku makin erat ketika gagang pintu kamar ini bergerak. Orang itu mungkin akan masuk, jadi aku spontan bersikap siaga. Aku bahkan sudah meraih gagang telepon di atas meja untuk menelepon 911. Ya, berjaga-jaga saja.

"Alby?"

Demi malam mengerikan yang kulalui semalam, tidak pernah kusangka dia akan muncul di hadapanku dengan berpakaian formal setengah kumal beserta nampan. Aku pun tidak yakin kalau yang semalam kulihat adalah dia. Maksudku, siapa yang akan memberi tahu dia kalau aku ada di Hartford? Bahkan Nate saja tidak tahu.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Aku tidak berkutik dari posisiku. Telepon pun masih dalam genggaman meski aku tahu dia tidak benar-benar berbahaya. Namun, mungkinkah dia melakukan hal buruk selama aku tidak sadarkan diri? Aku berusaha tidak percaya, tetapi kemungkinan itu selalu ada.

"Kau harus makan dan minum obat untuk mengatasi hangover."

Aku memandang nampan berisi semangkuk sereal, segelas jus jeruk, dan beberapa butir obat, yang dia letakkan di depan kakiku.

"Jawab pertanyaanku, Alby. Apa yang terjadi semalam? Bagaimana kau bisa tahu aku ada di Hartford? Tunggu, apa kita masih di Hartford atau kau sudah membawaku pulang?"

Alby tidak menjawab. Di samping kasur, dia berdiri dengan rahang yang mengeras dan tangan terkepal erat. Dia tampak kesal tanpa kumengerti apa alasannya. Bahkan seharusnya aku yang merasa begitu, bukan dia.

"Alby, jawab." Aku mendesak Alby sambil menarik-narik tangannya.

"Apa yang terjadi kalau yang menemukanmu bukan Jacob? Kenapa minum padahal sudah tahu tidak kuat dengan alkohol? Kenapa berpakaian terlalu terbuka di kelab malam? Dan kenapa ponselmu tidak bisa dihubungi? Oh, maaf, aku yang mengganti pakaianmu."

Tanganku merosot ketika dia melontarkan rentetan pertanyaan itu dengan nada frustrasi. Pengakuannya juga membuatku merapatkan jubah yang membalut tubuhku sekarang. Dia membuatku merasa dihargai padahal setelahnya hanya untuk dibuat terluka. Alby benar-benar tidak bisa kupahami.

Sekarang aku yang enggan menjawab pertanyaannya. "Bukan urusanmu." Hanya itu yang kukatakan.

Alby menggeram frustrasi dia berbalik hanya untuk menyugar rambutnya dengan kasar, kemudian berbalik lagi menghadapku. Dia duduk di kasur, berhadapan denganku.

"Claudia ada di luar. Kau tidak mau dia tahu kalau kita hanya memainkan peran, bukan?"

Hidupku benar-benar pantas ditertawakan. Rupanya dia berakting peduli hanya karena wanita itu ikut bersamanya. Oh, Lord. Apa yang sudah kuharapkan akan kudapat dari seorang Alby?

"Kukira kau benar-benar khawatir." Aku tertawa miris saat mengatakan itu. "Ternyata karena kau juga mengajak Claudia ke sini. Mungkin lain kali aku juga akan mengingatkan Jacob agar tidak melapor padamu jika suatu saat bertemu denganku di tempat lain."

Mataku panas, mungkin sebentar lagi aku akan menangis. Ini adalah situasi paling menyedihkan yang kualami selain ketika Mom meninggal.

"Apa kau tidak bisa melihat betapa aku sangat khawatir?"

Kupandangi wajahnya lamat-lamat dan tersenyum. "Kalau Claudia tidak ada, apa kau tetap akan menanyakan hal serupa?"

Dan Alby tidak langsung menjawabnya. Aku mengedarkan pandangan ke seisi ruangan—ini kamar hotel yang sangat mewah—demi menahan air mata agar tidak mengalir. Satu-satunya yang tidak pernah kuinginkan adalah menangis di depan Alby. Tidak akan pernah.

"Kau bisa pergi dan nikmati waktu kalian, maaf sudah membuatmu repot. Jacob seharusnya tidak mengganggu kencan kalian. Di mana Hyunjoo? Aku pergi dengannya kemarin."

Aku mengibaskan selimut yang menutupi kaki dan beranjak dari kasur, tetapi Alby menarik tanganku dan aku kembali duduk di kasur. Keahliannya adalah menggenggam pergelangan tanganku terlalu erat sampai membuatku meringis kesakitan.

"Lepas, Alby." Aku berusaha menarik tanganku darinya.

"Hyunjoo ada di kamar sebelah dan kita masih di Hartford. Menurutmu, Jacob akan menghubungi siapa kalau bukan aku?" Tatapan Alby menghunus mataku dan genggamannya mengerat.

"Dia juga mengenal Nate." Aku berusaha memberi jawaban dengan tenang. "Sekali lagi maaf karena kau harus terpaksa datang menemuiku."

Yang tidak kuduga terjadi setelahnya adalah dia memelukku erat sekali. Aku mampu menghirup aroma parfumnya samar-samar meski tidak yakin dia sudah mandi pagi ini. Rambutnya terlalu kering dan berantakan untuk seseorang yang sudah memasuki kamar mandi.

"Aku khawatir. Sangat. Terserah kau mau percaya atau tidak. Tapi aku benar-benar lega Jacob menemukanmu lebih dulu dari orang lain. Aku nyaris melarangnya pulang ke Hartford dan memaksa agar dia ikut datang ke acara amal. Bayangkan apa yang terjadi kalau dia tidak datang?"

Hatiku menghangat, darahku berdesir. Keputusasaan yang tersirat dari nada bicara Alby membuatku menyadari ketulusannya. Aku berusaha percaya kalau dia benar-benar khawatir meski itu juga terus mengingatkanku kalau sikap baiknya hanya untuk membuat Claudia cemburu. Aku tidak pernah diperlakukan seperti ini selain Nate. Bahkan Jeff tidak pernah kubiarkan untuk tahu kondisi terlemahku.

Senyaman-nyamannya perasaan ini, aku tetap tidak boleh sampai terlarut terlalu jauh. Takpeduli sikap Alby membuatku tersedot makin dalam pada perasaan itu. Aku harus menghentikannya.

Aku mendorong tubuhnya menjauh dan dia melepasku begitu saja, tetapi masih tidak membiarkanku menjauh darinya.

"Aku sudah baik-baik saja, kau boleh pulang bersama Claudia. Urusanku dengan Hyunjoo belum selesai."

"Lalu membiarkanmu melakukan hal gila seperti semalam?" Dia berdecak keras. "Aku akan ikut denganmu."

Aku meraih kedua sisi wajahnya untuk kemudian menghujaninya dengan kecupan ringan. Dahi, pipi kiri, dan pipi kanan. Takada alasan khusus. Dia mengaku menyukai itu dan kupikir itu bisa menjadi bujukan agar aku bisa terlepas darinya. Dan benar, dia tampak sedikit lebih tenang daripada tadi.

"Hyunjoo akan menikah. Aku harus menemaninya meredakan ketegangan itu. Kau tahu, pelepasan masa lajang. Semenjak kita menyepakati misi itu, aku tidak punya banyak waktu untuk dihabiskan dengannya. Kau tidak pernah membiarkanku jauh dari jangkauanmu dan itulah alasan kenapa aku mematikan ponsel. Hyunjoo juga melakukannya karena aku meminta."

Alby mengernyit, kurasa dia masih tidak bisa menerima kenapa aku mematikan ponsel. Alisnya berkedut saat aku mengakui itu.

"Kuakui aku melanggar kesepakatan. Tapi aku juga masih kecewa karena kau mencium Claudia padahal memaksaku agar menganggap kencan kita sungguhan. Aku pacarmu, dan kau pacarku."

"Kau cemburu?"

Aku tertawa pada tebakan telaknya. "Tidak." Tentu saja aku tidak akan mengaku.

"Aku akan senang kalau kau cemburu."

"Maaf saja, kau tidak akan mendapatkannya dariku." Aku menjauhinya dan bersandar ke dinding. Aku tidak ingin ketahuan berbohong kalau terlalu dekat dengannya. "Kemarin Hyunjoo bilang kau perlu aku ikut denganmu, apa karena Claudia juga datang ke acara itu?"

"Ya. Kerabatnya ternyata juga kolega kerja kami. Aku bertemu dengannya saat acara. Karena kau tidak ada, semua orang mempertanyakan keberadaanmu. Awalnya aku tidak tahu dia akan ada di sana." Alby sudah jauh lebih tenang sekarang. Bahunya sudah tidak lagi tegang dan dahinya sudah berhenti berkerut.

"Oh." Aku tidak tahu harus merespons seperti apa. Dan beruntungnya, keheningan yang tercipta ini terselamatkan oleh ketukan di pintu.

Alby beranjak dari kasur untuk membuka pintu. Karena aku menduga itu Claudia, aku kembali ke kasur dan duduk dengan nyaman, seperti kami baru saja mengobrol santai. Akan mengundang tanya kalau dia melihatku bersikap defensif.

"Hai. Um, boleh aku bicara berdua saja dengan Ava?"

Benar, Claudia yang mengetuk pintu. Namun, apa yang mau dia bicarakan berdua saja denganku?

Alby tidak mengiakan, tetapi berjalan mendekati kasur dan mendaratkan sebelah tangannya di pipiku dan tersenyum manis, seperti pembicaraan tadi tidak pernah terjadi. Tentu saja aku tidak lupa harus berakting di depan wanita yang berhasil membuat hidupnya jungkir balik. "Kau harus sarapan dan minum obatnya."

"Oke." Aku membalas senyumnya sebelum dia keluar kamar. Tidak lupa ditutupnya pintu untuk memberiku dan Claudia privasi.

Aku dan Claudia hanya saling pandang sebentar sebelum dia berjalan mendekat. Dia duduk di kasur, bersebelahan denganku. "Kau baik?" tanyanya canggung. Claudia tidak terbiasa menanyakan hal-hal seperti itu, bahkan aku jarang melihat dia mengkhawatirkan hal-hal seperti ini. Dan aku baru menyadarinya.

"Ya. Aku baik." Aku menyesap jus jeruk sebentar. "Apa yang mau kau bicarakan?"

"Kau ... berhasil mengambil hati seorang Alby. Dia lumayan sulit ditaklukkan tahu."

Kukira ada sesuatu yang penting, ternyata hanya itu. Mungkin dia akan tertawa keras seandainya tahu kalau itu hanya peran yang dimainkan Alby dengan sangat apik.

"Menurutmu kami bersama karena perjodohan seperti yang terjadi padamu?"

Dia menggeleng pelan. Helaan napasnya panjang dan berat. Untuk ukuran seseorang yang ingin menarik kembali perhatian mantan kekasihnya, kurasa aku bisa mengerti kalau dia mulai merasa kesulitan.

"Setelah dariku, terlalu cepat baginya berpaling dengan yang lain. Maksudku, aku adalah mantan yang paling lama bersama dengannya dibandingkan yang lain. Aku sampai mengira kalian bersama karena ingin balas dendam pada kami, Ava."

Aku sadar betul itu yang terjadi, tetapi aku tidak ingin membuat dia menganggap itu benar. Alisku menukik, aku harus tampak merasa kesal karena dugaannya itu.

"Maksudmu apa? Apa menurutmu aku serendah itu sampai dia harus kesulitan berpaling darimu?" Ya, meski mungkin itu memang benar, tetapi saat itu terlontar dari bibirku, kedengarannya sangat menyebalkan.

"Semalam, kami baru akan memasuki sesi lelang. Alby ingin memenangkan sesuatu dari sana, aku bisa melihat kobaran tekad di matanya. Dia bahkan siap dengan taruhan yang sangat tinggi. Tapi Jacob meneleponnya, memberi tahu kalau dia menemukanmu pingsan di kelab. Dia panik dan pergi begitu saja. Dan aku memutuskan ikut karena sudah seharusnya seorang teman merasa khawatir, bukan?"

Aku hanya diam, tidak punya reaksi apa-apa saat mendengar itu darinya. Entah apa yang membuatnya merasa aku perlu mendengar itu.

"Wajar, kan, dia pacarku." Aku cukup terkejut begitu sadar kalimat itu meluncur lancar sekali.

Claudia hanya mengangguk. Entah apa yang ada di pikirannya sekarang, tetapi tatapannya mulai kosong saat ditujukan ke jendela di hadapan kasur ini. Aku tidak terima kalau tiba-tiba dia menyerah untuk berusaha mendapatkan Alby. Semua ini akan sia-sia.

"Claudia yang kukenal tidak akan menyerah." Aku menyeringai ketika kalimat itu membuatnya memandangku tidak percaya.

"Apa kau benar-benar ingin melepasnya? Kau tidak bisa memainkan perasaannya, Ava!"

Reaksi Claudia berlebihan, berbanding terbalik denganku yang menyibukkan diri dengan menyantap sereal dari Alby. Rasanya enak, atau karena aku merasa lapar, entahlah.

"Tapi kau yang lebih dulu mempermainkan perasaannya." Aku menyunggingkan senyum karena tahu itu akan membuatnya merasa bersalah.

Claudia mengatupkan bibirnya sangat rapat. Gelagatnya seperti seseorang yang baru saja dinyatakan bersalah, gelisah, seolah-olah tidak ada siapa-siapa yang berada di pihaknya. Ini adalah kali pertama aku melihatnya seperti itu. Dulu dia punya aku sebagai tempat mengadu dan aku dengan senang hati mendengarkan semuanya. Tidak jarang juga aku yang akan mengambil tindakan saat sesuatu sedang mengganggunya.

Lalu aku sadar, dulu aku bodoh sekali.

"Apa rencanamu sebenarnya, Ava? Apa kau ingin membalas perbuatanku dulu?"

Aku mengernyit, bagaimana bisa dia berpikiran seburuk itu tentangku sementara aku tidak pernah memikirkan yang aneh-aneh tentang dia. Pemikiran itu tidak akan muncul kalau dia tidak melakukan sesuatu yang membuatnya merasa bersalah sampai sekarang.

Menyimpan dendam? Sama sekali bukan aku.

"Memangnya kau berbuat apa sampai aku harus membalas dendam padamu?"

Namun, dia hanya mengedikkan bahu. Aku benar-benar tidak mengerti dengan sikapnya. Kemarin menggebu-gebu, dengan penuh percaya diri mendeklarasikan akan mendapatkan hati Alby kembali, sekarang justru tampak ingin menyerah.

"Aku tidak tahu. Yang pasti, akan sulit mendapatkan hati Alby lagi kalau dia sudah selengket ini denganmu." Claudia diam sebentar dalam tundukan. Jari-jarinya yang lentik itu saling bertaut, membuat pola-pola aneh. "Aku ingin memperbaiki semuanya, aku tidak tahan menyimpan perasaan ini terlalu lama. Aku selalu mendapatkan yang kumau, Ava, akan kukorbankan apa saja. Maaf, kalau aku berhasil mendapatkannya, kau akan terluka lagi."

Kali ini aku ingin sekali mengacungi jempol untuk rasa percaya dirinya yang terlampau tinggi.

"Baiklah. Semoga berhasil. Aku juga tidak akan membuat semuanya mudah untukmu, Claudia."

Claudia berdiri, lalu memeriksa ponselnya sebentar sebelum tatapannya kembali tertuju padaku.

"Aku akan pulang. Manajerku sudah menjemput. Nikmatilah waktu kalian. Sampai jumpa di liburan saat musim dingin nanti." Setelah mengatakan itu, dia pergi.

Apa maksudnya dengan liburan musim dingin? Oh, rupanya Alby sudah membicarakan rencana itu dengan Claudia. Astaga. Padahal aku belum setuju untuk mengambil cuti sebelum bekerja setengah tahun lamanya di Ander-Ads. Gila saja!

"Pembicaraan kalian sepertinya sangat serius." Suara Alby terdengar. Dia baru saja masuk dan menutup pintu.

Alby sudah mandi. Dia tampak sangat rapi dengan kemeja merah tua yang dimasukkan ke celana jeans hitamnya. Rambut yang sempat membuatku gemas karena terlalu berantakan tadi sudah ditata rapi dengan polesan minyak rambut. Aku tidak tahu, apakah karena posisi berdirinya yang pas bermandikan cahaya, atau selama ini dia memang selalu berkilau.

Atau mungkin efek alkohol yang kuminum semalam masih bekerja di tubuhku? Karena aku benar-benar terpesona padanya sekarang, seperti ada yang salah dengan caraku melihat. Dada yang bidang itu berhasil menggodaku untuk direngkuh olehnya. Lagi pula, aku baru sadar kalau ruangan ini terasa dingin. Apalagi aku hanya memakai jubah mandi pagi ini.

Aku tidak tahu setan apa yang mengontrol diriku sampai turun dari kasur dan menghampirinya. Dingin langsung menyambut kakiku yang terbuka, karena jubah ini hanya sebatas lutut. Aku berhenti di hadapan Alby, menikmati alis tebalnya yang bertaut karena dia tampak kebingungan oleh sikapku.

"Kalau misimu berhasil, bagaimana kalau kita rayakan?"

Alby hanya menatapku lamat-lamat, dengan wajah penuh rasa penasaran. "Apa dia mengatakan sesuatu tentang perasaannya lagi?"

Aku mengangguk ringan sembari terkekeh. "Tapi dia mulai ragu karena mengira kau benar-benar jatuh cinta padaku. Dia bercerita tentang lelang yang terpaksa kau tinggal. Aktingmu memang luar biasa."

Alby hanya tersenyum tipis, dan entah bagaimana aku menyukai itu. "Kita belum mencoba kencan kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Bagaimana menurutmu?"

"Untuk membuatnya panas?" Aku tertawa geli saat akhir dari kesepakatan ini terlintas di kepala. "Dia pantas menerimanya, kurasa."

"Aku suka semangatmu. Kenapa tidak dari dulu?"

Senyumku menguap begitu saja. Kata-katanya menyadarkanku kalau ada yang salah dengan diriku, seperti aku kehilangan kontrol hanya karena berdekatan dengannya. Aku yakin ini karena alkohol semalam. Ya, benar, pasti karena efeknya. Alby memang tampan, tetapi seharusnya tidak sampai berhasil menyedotku untuk berdekatan dengannya.

Aku kembali ke kasur setelah diriku yang sebenarnya kembali. Obat yang diberikan Alby tadi lantas kuminum, beserta menenggak habis jus jeruk yang tersisa.

"Sepertinya aku masih merasa mabuk." Oh, aku baru ingat tentang Hyunjoo. "Hyunjoo di mana? Aku mau bertemu dengannya." Baru saja aku menyamankan posisi di kasur, tetapi sekarang sudah turun lagi.

"Dia pulang."

"Apa?"

"Dia berkata to do list-nya sudah dilakukan semua. Hanya tersisa kita berdua di sini." Alby berjalan mendekat sampai aku duduk di kasur dan dia berdiri tepat di hadapanku, membungkuk dan menumpukan tangan di kedua sisi tubuhku. Aku terjepit dan meringkuk demi menghindarinya. "Bagaimana kalau kita rencanakan kencan lanjutan?"

Tunggu, kenapa akhirnya jadi seperti ini?

***

Kayaknya bakal banyak momen manis-manis di bab² selanjutnya. Ya, kalau berhasil nulisnya sii. Wkwk.

Baiklah, see you on the next chapter
Lots of love,
Tuteyoo
19 April 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro