88 - Confusing

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Serius, apa yang kau lakukan di sini?"

"Apa aku tidak boleh menemui kekasihku sendiri?"

Kedua tanganku makin erat memeluk badan gelas. Hangatnya sudah berkurang dan mungkin aku sudah bisa minum sekarang. Namun, di samping senang sekaligus bingung melihat Alby ada di sini, aku juga kehilangan nafsu meminum Eggnog Latte ini. Sejak tadi pagi aku mengira kalau menerima pesan darinya saja akan membuatku bahagia, tetapi setelah melihatnya datang tanpa ada beban sedikit pun, aku tidak bisa merasa lega. Kesal yang ada.

Ada apa dengan diriku? Kenapa membingungkan sekali?

"Ini untukmu." Dia mendorong piring berisi dua Croissant tadi hingga membentur badan gelas yang tidak tertutup tanganku.

Aku menghargai perhatiannya, tetapi aku tidak bisa menerimanya ketika dia tidak memesan apa pun untuk dirinya sendiri.

"Aku tidak lapar." Piring itu kudorong kembali ke arahnya. "Kau pulang saja, Nate akan menjemputku. Kami pulang bersama."

Agar Eggnog-ku tidak terbuang sia-sia, aku menyesapnya sedikit-sedikit. Meski sudah bekerja, aku tetap harus berhemat mengingat ada target yang harus dicapai.

"Kau masih marah padaku soal kemarin?"

"Apakah wajar kalau aku tidak marah?" Aku memberinya tatapan malas. Apa dia tidak ingin berbasa-basi dulu? Atau sekadar bertanya bagaimana kabarku hari ini?

Ini benar-benar di luar ekspektasiku. Kukira perasaanku akan membaik setelah bertemu dengannya, tetapi ini justru membuat perasaanku makin memburuk. Kuharap Nate cepat datang menjemputku.

"Well, kau marah padaku. Tapi jujur saja, aku hanya terlalu terkejut ketika tuduhan itu dilayangkan kepadanya." Alby kembali mendorong piring Croissant-nya ke arahku dan sekarang menopang kepalanya untuk menatapku. "Kau ... sebaiknya tidak mencari tahu terlalu banyak. Kita tidak ada urusannya dengan itu. Biar jadi urusan mereka saja."

Aku hampir luluh dan rasa kesal itu mulai menguap ketika dia menyampirkan beberapa helai rambutku ke belakang telinga. Tangannya hangat ketika tanpa sengaja menyentuh daun telingaku. Sampai detik ini, aku tidak tahu kalau sudah merindukan sentuhannya. Ini bahkan belum dua puluh empat jam sejak kejadian semalam, tetapi aku sudah merasa seperti ini.

Aku menghela napas, memalingkan wajah dan kembali menatap ke luar jendela dan berpura-pura sibuk dengan menyesal Eggnog lagi. Dengan begitu, aku tidak lagi merasakan sentuhannya.

"Apa pun yang kulakukan, itu terserahku, 'kan? Aku sedang tidak ingin membicarakan tentang itu sekarang, Alby. Pikiranku sedang sangat kacau dan aku tidak menganggap itu masalah besar. Jadi, tolong, kalau kau menemuiku hanya untuk melontarkan pembelaan, sebaiknya pergi saja."

Kepalaku terjatuh di atas kedua telapak tangan. Harapanku, setelah kuangkat kepala, dia sudah tidak ada--walau aku tahu itu tidak mungkin terjadi. Alby terlalu sulit untuk disingkirkan. Dan keberadaanya di sini, dengan aroma parfumnya yang khas, mencemari aroma kopi yang sempat sudah berhasil membuat diriku sedikit merasa lebih nyaman. Sekarang aromanya tercium jauh lebih kuat ketika tangannya terkalung di leherku.

"Maaf, seharusnya aku bisa sedikit lebih peka, padahal aku sudah melihatmu tampak tidak baik-baik saja dari jendela, tetapi aku justru memedulikan hal lain. Mau kuantar pulang?"

"Apa kau tidak mendengar? Kubilang Nate akan menjemputku." Aku mengerang di ujung kalimat.

"Aku bisa menelepon Nate agar tidak menjemputmu."

"Tidak bisakah sekali saja tidak memakai kekuasaanmu sebagai atasan padanya untuk kepentingan pribadi? Aku tidak ingin pulang denganmu, sesederhana itu permintaanku, apa sulit untuk dikabulkan?"

Kefrustrasian yang kuluapkan berhasil membuat Alby kembali ke kursinya. Sebenarnya aku tidak benar-benar benci pulang dengannya, tetapi aku hanya tidak ingin berakhir menceritakan yang kualami hari ini padanya. Aku tidak ingin menjadi pengadu. Sedangkan aku benar-benar perlu bercerita untuk sekadar membuang sebagian masalahku meski tidak mendapat solusi apa-apa. Namun, ya, itu akan sedikit membuatku lega. Dan orang yang cocok untuk mendengarnya adalah Nate. Meski menyebalkan, dia akan mendengarkan dengan baik tanpa membuat masalah.

Maksudku, kalau dibandingkan dengan Alby, Nate tidak akan melakukan hal-hal berisiko karena tidak sedikit pun mengenal siapa sosok Matthew.

"Maaf, hubungi aku kalau kau sudah merasa lebih baik." Dia diam sebentar entah sedang apa. "Kau tidak mau makan Croissant-nya? Nate mungkin pulang agak terlambat karena dia masih berdiskusi bersama timnya saat aku pergi. Kau bisa lapar kalau menunggunya dan tolong biarkan aku menemanimu di sini sampai dia datang."

Akhirnya aku menatap wajahnya dengan benar sekarang. Aku tidak sadar kalau dia akan merasa khawatir padaku, sementara aku telanjur menutup mata karena merasa kesal padanya. Alby mungkin saja kebingungan dengan suasana hatiku yang sangat buruk sekarang dan akan terus mengira kalau aku seperti ini karena perkataannya semalam. Aku ingin menuntaskan kesalahpahaman itu, sungguh, tetapi tidak sekarang.

"Apa kedatanganmu hanya untuk memberitahuku kalau kau tidak bermaksud membela Claudia? Kau bisa melakukannya dengan menghubungiku atau sekadar mengirim pesan. Tapi kau tidak melakukannya." Aku memandang Croissant saat mengatakan itu. Rasanya lebih sulit mengatakan itu semua dengan melihat bagaimana dia akan bereaksi.

"Kau meminta waktu untuk sendiri dulu. Jadi aku tidak ingin mengganggu. Tapi aku tidak tahan tidak menghubungimu, jadi aku langsung datang saja. Tadinya aku berencana menjemputmu dan mengantarmu pulang dari kantor, tapi orang-orang itu berkata kau sudah pergi. Aku tidak tahu kau cukup terkenal di kantor sampai mereka mengenalmu. Padahal aku bertanya pada sembarang orang dan berusaha menjelaskan bagaimana penampilanmu, tetapi baru kusebut nama saja, mereka sudah tahu."

Kabar itu benar-benar menyebar dengan cepat, eh?

"Mereka melihatmu datang menjemputku, jelas saja mereka penasaran dan mencari tahu. 'Ava adalah wanita yang mengencani mantan kekasih Claudia Avery', begitulah identitasku di mata mereka."

Sepertinya aku terlalu terang-terangan menunjukkan rasa tidak suka pada julukan itu sampai Alby menertawakannya.

"Bicara soal Claudia ... aku jadi ingat ada hal lain yang ingin kuperlihatkan padamu."

Aku mulai tertarik ketika dia merogoh saku dalam mantelnya hanya untuk mengeluarkan ponsel. Satu hal yang kusadari saat ini adalah, dia memiliki kebebasan untuk membuka dan memainkan ponselku, tetapi aku harus menunggu dia meminjamkannya padaku dulu. Bahkan aku tidak bisa melakukan apa-apa dengan itu selain melihat apa yang memang ingin dia tunjukkan padaku. Terlalu banyak batasan yang dia buat.

"Kalau memang Claudia yang membayar seseorang untuk menulis artikel, apa mungkin akan sampai mempertaruhkan namanya sendiri seperti ini?"

'Claudia Avery Mendapat Kecaman Publik Setelah Mencelakai Seseorang di Arena Ice Skating'. Tunggu, apa maksudnya saat dia menabrakku?

Aku ingin membaca artikel penuh dari tajuk itu, tetapi rupanya Alby hanya menunjukkan tangkapan layar saja dan aku tidak bisa membaca lebih banyak. Namun, kenapa yang seperti ini justru tidak pernah kutemukan saat menjelajahi internet?

"Boleh kubaca? Aku hanya ingin tahu kalau si penulis sedang membual atau orang yang dimaksud adalah aku. Dia bahkan sampai menangis hanya untuk meminta maaf padaku."

"Dari yang kubaca, rupanya kau bukan satu-satunya yang dia tabrak saat itu. Tapi dia lebih banyak memikirkan bagaimana meminta maaf padamu daripada orang itu." Alby mengambil kembali ponselnya padahal aku belum mau mengembalikannya. Dia dan privasinya yang tidak ingin diusik sekarang mulai menggangguku. "Aku tidak sempat menangkap berita lengkapnya karena itu sudah di-take down."

"Astaga, aku benar-benar pusing sekarang." Lagi, aku menjatuhkan kepala ke kedua telapak tanganku yang sikunya bertumpu pada meja.

"Apa kau baik-baik saja?"

Sial. Bisa-bisanya dia baru bertanya sekarang.

Beruntungnya, aku tidak harus menjawab pertanyaan itu karena aku baru saja melihat Nate keluar dari taksi. Itu adalah pertanda agar aku segera berkemas; menyimpan ponsel dan buku catatan yang sempat kukeluarkan untuk mencatat beberapa hal tentang pekerjaan ke dalam tas.

"Nate sudah datang, aku harus pergi." Aku sudah mengulurkan tangan untuk mengambil kruk yang kusandarkan di ujung jendela, tetapi Alby sudah lebih dulu mengambilnya sebelum membantuku turun dari kursi yang lumayan tinggi ini.

"Kakimu ... kita harus pergi ke dokter besok untuk memeriksakannya. Sudah seminggu berlalu."

"Terima kasih sudah mengingatkanku."

"Kalau begitu, aku akan menjemputmu besok."

Aku sudah akan melontarkan penolakan, tetapi setelah tahu kalau matanya menunjukkan tekad yang besar, aku tidak lagi bisa menolak. Mungkin memang seharusnya kami pergi bersama, sebagaimana pasangan pada umumnya. Aku merasa interaksi kami agak kacau, padahal sudah pernah hampir memakan satu sama lain. Seharusnya tidak sekaku ini, bukan?

Lalu aku sadar, semua itu berawal dariku. Ya, wanita ini belum berpengalaman menjalin hubungan dengan melibatkan cinta di dalamnya.

•••

Troy - Siang nanti, ayo makan bersama di tempat kemarin.

Aku tidak bisa merasa tenang setelah menerima pesan dari Troy. Kata-katanya memang datar seperti biasa, tanpa ada emoji atau semacamnya. Dan aku tidak bisa menyimpulkan kalau dia tidak kesal karena emosi seseorang tidak bisa tergambar jelas melalui tulisan pesan singkat. Dia pasti akan membicarakan tentang masalah kemarin bukan? Mana mungkin dia akan diam saja mengingat aku bekerja di sini pun berkat dirinya.

AvaClair - Oke. Tapi aku perlu menyelesaikan pekerjaanku dulu.

Troy - Tidak masalah, aku akan menunggu.

See? Isi pesannya terlalu normal untuk seseorang yang kecewa. Atau mungkin Troy memang tidak benar-benar peduli soal perusahaan ini seperti yang pernah dia katakan padaku?

Baiklah, itu bukan untuk dipikirkan. Aku punya pekerjaan yang banyak saat ini dan bos besar yang angkuh itu menginginkan agar aku menyelesaikannya segera sebelum istirahat makan siang. Matthew benar-benar membuktikan ucapannya tentang membuatku tidak betah berada di sini. Belum lagi sikap orang-orang tampak jauh lebih dingin dari yang kubayangkan akan terjadi. Aku sama sekali tidak mengobrol dengan anggota timku hari ini. Pekerjaan ini pun kudapatkan langsung dari Matthew.

Sudah tidak terhitung lagi berapa kali aku menghela napas pagi ini. Kalau beban kerjaku mendadak menjadi tiga kali lipat seperti ini, aku tidak yakin bisa libur saat tahun baru nanti. Aku tidak lagi hanya memegang kolom anak-anak dan remaja untuk majalah daring, tetapi juga mengatur layout untuk buletin mingguan yang mana terdiri dari tiga jenis. Bahkan yang kudengar tiga jenis buletin itu adalah proyek baru dari Matthew. Jelas sekali itu bertujuan untuk membuatku terbebani.

"Hei, Ava."

"Hah?" Itu bukan respons untuk Lauren, tetapi reaksi terkejut karena dia bicara padaku. Namun, setelahnya aku mengira dia hanya salah bicara karena tatapannya masih tertuju pada komputer dan tangannya pun masih sibuk menekan-nekan mouse.

"Aku mau membuat kopi, kau mau satu?"

"Tentu, kalau kau tidak keberatan."

"Kurasa aku perlu berterima kasih padamu untuk sesuatu. Tunggu sebentar."

Berterima kasih? Tentang apa? Aku tidak merasa sudah melakukan sesuatu yang baik untuknya, bahkan aku membuatnya bekerja dua kali. Rasanya akan lebih normal kalau dia tetap tidak mau bicara padaku.

Lauren benar-benar kembali dengan dua cangkir kopi di tangannya. Dia meletakkan satu di atas mejaku bersama satu bungkus gula dan dua bungkus krimer bubuk. Beberapa kali membuat kopi bersama membuatnya hafal bagaimana aku menyajikan milikku.

"Terima kasih, Lauren." Aku segera membuka bungkus gula dan krimer secara bersamaan untuk kemudian dituangkan ke gelas kopi milikku. Aromanya menguar ketika aku mengaduknya, dan aku benar-benar mengambil kesempatan itu untuk menghirupnya dalam-dalam.

"Kau menepati janji tidak menyebutkan namaku yang sudah membantumu menyusup. Jadi, aku berterima kasih."

Ah, soal itu. Aku tidak menduga dia akan mengingatnya. Dia mengatakannya dengan suara pelan, tidak ingin orang lain mendengarnya.

"Dia tidak bertanya soal itu."

Kami diam setelahnya untuk menikmati kopi masing-masing. Aku menginginkan ini sejak tadi, tetapi enggan beranjak dari kursi karena rasanya lima menit saja terlalu berharga untuk dilewatkan tanpa mengerjakan apa-apa. Bahkan begitu kopinya sudah cukup melewati kerongkonganku sementara, aku kembali melanjutkan pekerjaanku.

"Tapi, Ava, kenapa kau berani mengambil risiko seperti itu? Andai aku tahu kau ingin mencegah mereka, aku pasti menahanmu."

Aku tersenyum meski tatapanku masih tertuju pada komputer, setidaknya hanya agar dia tahu kalau aku tidak mengabaikannya.

"Um, itu sesuatu yang tidak bisa kuceritakan. Tapi percayalah, aku tidak bermaksud untuk membuat kalian kerepotan karena harus mengulang mengerjakan semuanya." Untuk membuktikan bahwa aku tulus, aku menatap Lauren kali ini. "Aku benar-benar minta maaf, yang kemarin itu kulakukan tanpa pikir panjang. Wajar kalau kau tidak mau bicara padaku."

Lauren tertawa hambar. "Proyek itu, kami tidak perlu usaha keras untuk memikirkannya, tapi sekarang, rasanya baru benar-benar mengerjakannya."

"Pasti akan lebih melelahkan."

"Sedikit. Asal kau tahu, Ava. Kami tidak masalah mengulang proyek itu, memakai kreativitas jauh lebih memuaskan daripada harus mengikuti panduan. Mereka hanya perlu waktu untuk menerima kalau kau tidak bisa disingkirkan karena kontrak." Lauren menyeruput kopinya lagi, tetapi kali ini dengan mengeluarkan suara. "Bukankah kontrak itu seperti gol bunuh diri bagi Ander-Ads?"

Karena dia tertawa, aku jadi ikut tertawa pelan. Setidaknya aku harus bisa menahan diri, tidak mungkin aku tertawa keras ketika orang-orang tidak merasa senang akan keberadaanku. Dan saat Lauren menyebut 'mereka', aku agak penasaran apakah dia sendiri termasuk di dalamnya. Sebagaimana yang kutahu, dia sudah bekerja di sini hampir empat tahun dan sudah melewati masa-masa percobaan yang sama denganku. Mungkin untuk saat ini, aku akan menganggapnya sedikit berbeda dengan yang lain.

"Mungkin karena belum pernah ada pegawai yang nekat sepertiku sebelumnya? Itu membuat Matthew dan jajarannya lengah tidak memperbarui isi kontraknya?"

Dia tertawa lagi. Sungguh, daripada terlihat seperti menertawakan sesuatu yang lucu--karena jelas-jelas aku tidak sedang melucu--Lauren lebih seperti tertawa untuk menutupi sesuatu, entah itu rasa kesal atau kecewa? Kalau dia masih kesal padaku, aku akan lebih senang kalau dia tidak menahan diri untuk mengakuinya.

"Kembalilah bekerja, kulihat Matthew menambah tugasmu hari ini."

Dan sekarang sudah jam sepuluh. Aku tidak yakin akan selesai sebelum jam istirahat makan siang, tetapi aku tetap mengusahakannya. Jika mengira-ngira dari kepribadian Troy, kurasa dia akan memaklumi keterlambatanku. Apakah masih seperti itu setelah dia tahu aku membuat keributan di kantor?

Kebanyakan orang akan melupakan kebaikan seseorang setelah satu kesalahan yang diperbuat. Separah itu. Apalagi aku yang tidak pernah melakukan hal-hal yang bisa dianggap suatu kebaikan. Aku sudah mendapat teguran dari Matthew, hari ini jelas aku akan mendapatkannya juga dari Troy. Di titik ini aku mulai mempertanyakan apa fungsi HRD. Kukira mereka yang akan turun tangan untuk memberi hukuman, atau semacam teguran, atau surat peringatan, atau apa pun yang bertujuan untuk membuatku jera. Aku sendiri bahkan tidak tahu seperti apa wajah orang-orang yang ditempatkan di posisi HR.

Makin lama dipikirkan, kurasa itu makin tidak penting. Memangnya HRD akan berbuat apa lagi kalau CEO sudah secara langsung mengurus semuanya. Well, walau sebenarnya agak sulit membayangkan wajah Matthew ketika aku menyebutkan kata 'CEO'. Sayangnya, aku tidak bisa terus merasa kesal padanya, mengingat perbuatanku kemarin juga tidak bisa dibenarkan sepenuhnya. Dan sekarang aku hanya bisa meringis karena harus mengisi badan email dengan kata-kata yang sopan bersama fail rancangan buletin yang dimintanya.

Sebanyak apa pun aku membencinya, tidak akan mengubah fakta kalau dia adalah atasanku.

Waktu istirahat sudah lima menit berlalu. Karena Troy bilang akan menunggu, aku tidak enak kalau berlama-lama. Setelah memastikan layar monitor komputerku mati, aku segera pergi. Awalnya sulit, tapi aku mulai terbiasa sekarang. Terlebih dengan satu kruk saja, lebih memudahkanku berjalan daripada saat masih memakai dua.

Pintu elevator terbuka di lantai teratas. Troy dengan setelan kemeja berdasi sudah menghadang di depanku.

"Aku lupa kau tidak bisa berjalan dengan baik. Tadinya mau kujemput, tapi kau sudah di sini. Ayo, Ava."

Namun, aku bergeming, menatapnya dengan mulut terbuka. Itu bukan sebuah reaksi terpesona, bahkan sangat jauh dari itu. Dia tampan, tapi tidak cukup untuk membuatku harus tercengang, apalagi aku tidak bisa bilang kalau kondisi wajahnya sekarang baik-baik saja.

"Kau berkelahi?"

•••

See you on the next chapter
Lots of love, Tuteyoo
4 Oktober 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro