89 - Bruises

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kau berkelahi?"

Pertanyaan itu terlontar begitu saja sampai aku sendiri kaget karena berspekulasi sampai ke sana. Troy tidak memiliki garis muka selayaknya orang-orang yang akan mengambil jalur kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Setidaknya begitu yang terus kupercaya tentang dirinya. Dia juga tidak pelit untuk tersenyum pada orang-orang yang ditemuinya--ini cukup membuktikan kalau kecil kemungkinan dia dimusuhi. Sekarang pun dia masih bisa tersenyum.

Ugh. Aku tidak bisa tidak meringis hanya karena membayangkan akan sesakit apa luka di sudut bibirnya ketika tersenyum lebar seperti itu. Namun, itu bukan satu-satunya alasan yang membuatku menganggap kondisi wajahnya tidak baik-baik saja. Pelipis, bagian bawah mata kiri, sampai rahangnya pun membiru dan nyaris ungu. Yang di bawah mata itu mungkin agak bengkak.

Aku tidak yakin kami akan mengobrol dengan tenang ketika di kepalaku muncul beragam dugaan buruk. Sebaiknya aku kembali ke ruangan, atau ke kafe kantor dan mencari sesuatu untuk makan siang. Kabur dari hadapannya juga bukan ide yang bagus. Dan aku tidak tahu apakah luka-lukanya sudah diobati dengan benar.

"Troy, katakan, apa yang terjadi?" Aku melangkah maju sampai bisa melihat lebih jelas luka-luka di wajahnya.

"Bukan apa-apa. Sudah biasa anak laki-laki berkelahi." Dia masih bisa bergurau rupanya.

"Kau pria dewasa. Perkelahian anak-anak tidak akan sampai seperti ini." Aku diam sebentar, mencari-cari alasan untuk bisa peduli padanya. Troy bisa saja risi kalau aku terus berusaha untuk tahu apa yang terjadi padanya. "Kau bisa ceritakan apa saja padaku--sebagai teman."

Baiklah, aku sadar itu terdengar kikuk dan berkat itu, Troy bisa tertawa sekarang. Masalahnya, aku tidak bisa merasa tenang karena tidak bisa berhenti menduga kalau dia bertengkar dengan Matthew. Pria itu jelas akan marah karena Troy yang memberikan pekerjaan ini padaku.

"Sebaiknya kita makan dulu. Dan jangan memberi perhatian berlebih, aku bisa salah paham."

Troy memutar badannya, tetapi tidak langsung pergi. Tolehan kepalanya mengisyaratkan agar aku turut melangkah bersamanya. Berkat rasa bersalah dan penasaran yang berkecamuk dalam dada, aku pun berjalan di sebelahnya.

"Kuharap Pasta Puttanesca tidak masalah untukmu. Aku tidak bermaksud menahanmu lama-lama di sini, jadi kupesan menu yang sama."

Di atas meja yang kami datangi sudah terdapat dua piring Pasta dan dua es jeruk yang satunya sudah berkurang sepertiga gelas. Embun di gelas itu sudah lumayan banyak dan membuktikan bahwa Troy sudah cukup lama menungguku. Andai kakiku baik-baik saja, aku tentu bisa berlari agar tiba lebih cepat.

"Aku bisa makan apa saja. Terima kasih, Troy."

Selanjutnya, kami menyantap apa yang tersaji di atas meja. Meski tidak ada satu pun yang bicara, tetapi aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak mencuri-curi pandang ke arahnya. Aku masih mempertanyakan seberapa sakit sudut bibirnya itu, dia menahan ringisan setiap menyuap makanannya ke mulut.

"Ah, sial."

Meski pelan, nyaris seperti desisan, aku masih bisa mendengar umpatannya. Troy menyembunyikan wajah kesakitan dalam tundukan dan telunjuknya sudah menyentuh sekitaran sudut bibir yang terluka. Aku tidak bisa pura-pura tidak melihat itu mengingat kami duduknya berhadapan.

"Apa sudah diobati?"

Troy mendongak lagi untuk menatapku, memperlihatkan sudut bibirnya yang kini berdarah.

"Tentu. Tapi di bagian sini memang benar-benar luka yang mengeluarkan darah." Dia menunjuk sudut bibirnya. "Tidak apa-apa, Ava. Tidak perlu menatapku sebegitunya."

Bagaimana mungkin aku tidak cemas melihat itu? Terlebih dengan dugaan kuat kalau itu gara-gara Matthew. Aku ingin sekali bertanya lagi, tetapi takut itu justru membuat Troy tidak nyaman, atau malah merasa aku ikut campur terlalu jauh.

"Apa di sini ada kotak obat? Bibirmu berdarah lagi, harus dibersihkan." Jantungku berdebar bukan main saat menanyakan itu. Maksudku, kalau sudah bertanya begitu, siapa pun yang mendengarnya akan mengira aku yang akan mengobati lukanya. Padahal luka di tubuhku sendiri saja, aku tidak sanggup mengobatinya, apalagi pada orang lain?

Anggaplah itu sebagai bentuk balas budi, yang walau bagaimanapun, aku harus memberanikan diri. Ah, aku sudah menelan ludah dua kali karena memikirkannya.

"Sebentar."

Troy beranjak pergi kemudian. Ada seseorang yang sedang membersihkan meja yang dihampirinya sebelum dia dibawa menuju sebuah ruangan di sudut lantai. Troy keluar tidak lama kemudian bersama sebuah kotak berwarna putih.

Aku menyingkirkan dulu piring makan kami ke tepi meja agar terdapat ruang untuk meletakkan kotak obat.

Aku membaluri kapas dengan cairan beralkohol untuk membersihkan darah di lukanya yang terbuka. Namun, karena Troy masih berusaha menghabiskan sisa Pasta-nya, aku menyiapkan cairan antiseptik dengan cotton bud. Cukup lama dia seperti itu sampai akhirnya sadar kalau aku menunggu.

"Aku sudah selesai," katanya setelah menghabiskan es jeruk.

"Oh, iya. Ini." Kapas yang sudah basah oleh alkohol tadi kuberikan padanya.

"Eh?" Meski kebingungan, dia tetap menerimanya. Troy

"Maaf, aku tidak terbiasa mengobati luka. Jadi, lakukan sendiri, ya?" Aku membuka aplikasi kamera di ponselku sebentar dan tidak lupa memakai kamera depan. "Ini, kau bisa berkaca dengan ini."

Layar ponselku kuhadapkan ke wajahnya, tetapi Troy masih menatapku dengan raut wajah bingung yang pelan-pelan berubah menjadi senyum geli. Aku bisa bilang dia pria yang bandel karena masih tersenyum meski bibirnya kesakitan.

"Ya, Tuhan. Aku sudah bersemangat karena mengira kau akan mengobati luka di wajahku. Ini benar-benar di luar ekspektasiku."

Aku hanya bisa tertawa hambar. "Maaf membuatmu kecewa kalau begitu."

Troy hanya menggeleng ringan dan mulai menyapu darah di sudut bibirnya. Dia yang terluka, aku yang meringis. Aku bahkan tidak sanggup melihatnya dan membuang muka. Tatapanku turun ke bawah, pada kaki yang dibungkus gips. Itu mengingatkanku kalau hari ini akan bertemu Alby lagi. Dia sempat memberitahuku kalau sudah membuat janji dengan seorang dokter yang memang menangani persendian nanti sore. Kuharap selain memeriksakan kaki, kami juga mendapat kesempatan untuk meluruskan situasi yang tidak mengenakkan ini.

"Ini ponselmu." Suara Troy membuatku kembali menegakkan badan dan menerima ponselku. Karena tenggelam dalam pikiranku sendiri, aku sampai tidak sadar kapan ponsel itu sudah berpindah tangan. Kotak obat yang dibuka tadi pun sudah dibereskannya.

"Jadi, ada yang mau dibicarakan? Ini pasti terkait perbuatanku kemarin, bukan?" Aku tidak lagi bisa berbasa-basi di saat seperti ini. Lagi pula, aku pun tidak pandai menemukan topik untuk berbasa-basi.

Troy memandang ke luar jendela cukup lama, sampai-sampai aku mengira dia sengaja mengulur waktu. Namun, wajahnya semringah ketika kembali menatapku. "Sebenarnya bukan. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja karena kupikir orang-orang mengabaikanmu sekarang."

"Serius?" Aku tidak bermaksud meragukan niat baiknya, sungguh. "Kau tidak ingin mencecarku?"

"Untuk apa?"

"Untuk memperingatkanku agar tidak berbuat macam-macam? Kau yang menawarkan pekerjaan ini padaku, setidaknya kau merasa kesal padaku meski sedikit saja."

Dia itu lupa atau bagaimana? Bibirnya luka, tetapi masih bisa tertawa. Sekarang dia meringis dan aku tidak lagi merasa kasihan padanya.

"Aku harus merasa kesal untuk apa?" Troy mengembuskan napas yang panjang dan berhenti ketika punggungnya terempas ke sandaran kursi. "Aku sudah pernah bilang, apa pun yang terjadi pada perusahaan ini, aku tidak akan terlibat. Dan kau tidak perlu khawatir soal luka-luka ini. Ini akan segera sembuh."

Dia masih tersenyum meski kali ini hanya salah satu sudut bibirnya saja yang naik. Kalau itu adalah usahanya untuk membuatku merasa tenang, jujur saja itu tidak berhasil. Aku tidak akan bisa merasa tenang kalau dia belum menceritakan apa yang membuat wajahnya seperti itu. Di situasi sekarang, aku bahkan akan sulit untuk percaya kalau dia berkata itu bukan hasil dari perkelahiannya dengan Matthew.

"Kau benar-benar tidak punya kontribusi apa pun untuk perusahaan?" Mungkin sikapku agak keterlaluan saat ini.

"Bagaimana aku mengatakannya? Aku memang tidak mengerjakan apa pun untuk perusahaan, tetapi perusahaan membutuhkan namaku untuk tetap berdiri. Mungkin di situlah kontribusiku." Dia pun kebingungan dengan jawabannya sendiri. Sebaiknya aku tidak memaksa Troy untuk mengatakan sesuatu yang ingin kupercayai.

"Kuharap aku mengerti." Aku menyesap es jeruk milikku sebagai isyarat bahwa hal itu sudah cukup dan tidak perlu dibicarakan lagi. "Kalau boleh aku tahu, apa yang terjadi pada wajahmu? Kau memintaku ke sini, tetapi menyambut dengan wajah yang memohon agar dikasihani. Aku yakin bukan satu-satunya yang akan penasaran. Oh, apa Matthew tidak sedikit pun peduli pada kondisi wajahmu?"

"Kau membuatku kewalahan, Ava." Troy menjentikkan jari kepada seseorang yang berjaga di balik konter dan menunjuk gelasnya yang sudah kosong. "Aku memancing kemarahan Matthew karena berkata ingin membuat publishing house--aku terpikirkan soal itu sejak kau mengatakan aku harus mengirimkan manuskripku ke penerbit. Sebut saja anak perusahaan, jadi masih di bawah naungan Ander Group. Lebih tepatnya, aku mengajukan proposal di waktu yang tidak tepat. Dia sedang berapi-api karena perbuatan nekatmu dan, ya, bisa dibilang aku seperti menyerahkan diri sebagai pelampiasan amarahnya."

Tanganku terkepal di atas pangkuan untuk menekan rasa bersalah yang kini mulai menggerogoti. "Sudah kuduga dia yang melakukannya, meski alasannya jauh dari perkiraanku. Aku tidak berhenti memikirkan tentang itu, rasanya tidak mungkin di luar sana kau punya musuh dan berkelahi."

"Aku benar-benar tersanjung kau menilaiku sepositif itu."

"Kau membuatku menyesal sudah memuji."

Lihat, dia tertawa lagi, lalu kesakitan lagi. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang ada di kepalanya. Aku juga tidak tahu kalau selera humornya serendah itu sampai menertawakan hampir semua yang kuucapkan. Bukannya ikut tertawa, lama-lama aku justru merasa kasihan padanya.

Maksudku, terlalu banyak tertawa seperti itu, lama-lama ada kesan terpaksa di suaranya. Kurasa sudah cukup usahanya untuk membuktikan kepadaku kalau dia baik-baik saja. Troy itu, awalnya kupikir seorang penggoda karena di pertemuan pertama saja dia sudah merayuku, tetapi makin aku mengenalnya, dia hanya pria yang terlalu ramah.

"Meski begitu, aku tetap meminta maaf atas apa yang terjadi kemarin. Maaf juga untuk memar di wajahmu. Aku terlalu gegabah dan berujung membuat semua orang kerepotan."

Seumur hidup, mungkin itu adalah permintaan maaf tertulus, yang juga diimbangi dengan rasa bersalah yang besar bagiku. Apalagi Troy menerima itu semua dari saudaranya sendiri. Itu bahkan jauh lebih menyakitkan dari lukanya. Aku tidak sanggup membayangkan akan menghajar adikku sendiri, atau dihajar olehnya. Sehancur apa perasaan Troy sekarang?

"Tidak apa-apa. Dalam sudut pandangku, kau tidak sepenuhnya salah. Tapi, ada satu hal yang perlu kau ingat, Ava." Dia tampak terlalu serius untuk apa pun yang akan dia katakan setelah ini.

"Apa itu?" Aku mulai berdebar karena beberapa saat berlalu dia tidak kunjung bicara, melainkan menatapku dengan sangat intens, seolah-olah dia sedang mencari-cari sesuatu dari wajahku.

"Aku selalu mendukungmu."

•••

Kata-kata Troy tadi terus terngiang di kepalaku. Aku sudah bertanya apa maksudnya, tetapi dia justru menerima telepon yang diakui adalah seorang editor dan pergi meninggalkanku. Dia membiarkan aku berspekulasi sendiri. Apa sebenarnya dia juga menentang keras kecurangan yang Matthew lakukan? Hanya itu yang bisa kusimpulkan dari sikapnya, mengingat setelah dihajar habis-habisan, sama sekali tidak ada rasa takut di matanya.

Gara-gara memikirkan itu, aku jadi tidak benar-benar mendengarkan apa yang dokter katakan tentang kondisi kakiku. Akhir-akhir ini, aku terlalu banyak berpikir sampai-sampai tidak lagi bisa melihat garis batas mana yang memang urusanku, dan mana yang bukan. Kupikir semuanya berurutan dan memang harus kupikirkan solusinya.

Aku lupa duniaku seperti apa sekarang. Aku tidak tahu bagaimana seharusnya tempat yang aman itu. Entah bagaimana masalah-masalah itu muncul dari berbagai sumber. Parahnya, aku terus melibatkan diri ke dalamnya. Mungkin bekerja sama dengan Alby sejak awal adalah sebuah kutukan. Aku sudah kehilangan kontrol diri sejak menyetujui rencananya.

Dan pembawa kutukan itu ada di sampingku sekarang, mengemudikan mobil mewahnya di jalan yang bukan menuju rumahku. Aku juga tidak membenci saat-saat bersamanya. Terkadang aku berpikir dia juga bisa menjadi tempat yang aman, meski terkadang bisa sangat menyebalkan. Hal-hal manis yang dia lakukan sudah berhasil memunculkan keinginan untuk terus bersamanya.

"Kita mau ke mana?"

"Hotel. Kau bilang tidak mau pulang dulu, bukan?"

Apa dia serius? Aku tidak bisa tidak terlihat bingung saat ini. "Kita tidak sedang berada di luar kota. Tempatmu hanya beberapa blok dari sini dan sudah termasuk 'bukan tujuan pulang'ku."

Dia menoleh hanya untuk pamer senyumnya yang menawan. Itu adalah sebuah kecurangan karena aku jadi tidak bisa mendebatnya lagi.

"Mungkin aku mau bersenang-senang denganmu?"

Sial. Dengan suara serendah itu, bagaimana mungkin wajahku tidak terasa panas? Aku tidak sepolos itu untuk tidak mengerti bersenang-senang seperti apa yang dia maksud.  Aku jadi ingat malam itu, seandainya dia tidak menahan diri, akan sejauh apa kami bermain?

"Hotel bukan tempat untuk bersenang-senang, asal kau tahu."

"Memang tidak, tapi aku sudah senang meski hanya bersamamu."

Udara di dalam mobil Alby tiba-tiba terasa hangat. Mengipas wajah dengan tangan akan tampak terlalu jelas kalau aku bereaksi pada kata-katanya, jadi aku menurunkan kaca jendela mobil dan berpura-pura sedang menikmati pemandangan di luar. Well, meski tidak ada yang menarik di luar sana, kuharap udara dingin di luar mampu mendinginkanku. Ya, dingin secara harfiah.

Dia tidak bercanda, mobilnya benar-benar memasuki parkir bawah tanah sebuah hotel di tengah kota, tanpa meminta valet untuk melakukannya. Seleranya yang aneh ini menyadarkanku bahwa masih ada banyak hal yang tidak kuketahui tentangnya, bahkan aku tidak bisa menebak kenapa dia membawaku ke hotel alih-alih tempat lainnya. Ketika kubilang tidak ingin pulang, kuharap dia pergi ke sebuah rumah makan dan kami akan makan malam bersama.

Apa orang kaya selalu begitu? Untuk bersantai dengan suasana baru saja sampai harus memesan hotel. Tidak, kurasa itu hanya Alby.

"Apa kita tidak check in dulu?" Aku menahan lengannya ketika tidak berhenti berjalan terus, alih-alih berbelok ke meja resepsionis.

"Jacob sudah melakukannya untukku."

"Kau terlalu sering membuatnya repot."

Dia tertawa sangat puas. "Untuk itulah aku membayarnya mahal." Dia mengedipkan sebelah mata dengan cara yang menggoda sambil menekan tombol menuju lantai teratas--dengan keterangan kamar.

"Dan aku masih penasaran kenapa kau membawaku ke sini. Makan malam di suatu tempat akan jauh lebih baik." 

"Kita bisa makan di sini." Dia mengerling, seolah-olah memintaku untuk tetap tenang karena semuanya sudah dipersiapkan.

"Aku lupa kau punya terlalu banyak uang sampai memilih makan di tempat yang menjual makanan tiga kali lipat lebih mahal dari resto biasa--oh, dan itu bukanlah pujian." Aku buru-buru mengklarifikasi sebelum dia memamerkan seringai yang mampu menggetarkan diriku. Kurasa dia tahu di mana titik lemahku.

Kenapa elevator yang kunaiki bersama Alby selalu terasa bergerak lebih lambat daripada ketika aku menaikinya sendirian atau bersama orang lain. Dia bahkan masih punya kesempatan untuk menggangguku. Jari-jarinya menggelitik pinggangku meski terhalang mantel tebal sebelum akhirnya bertaut di balik punggungku.

"Aku merindukanmu," bisiknya setelah mengendus aroma dari ceruk leherku cukup lama. Jujur saja, aku tidak tahu apa yang enak dari itu selain sisa-sisa aroma parfum yang tentunya sudah pudar, tetapi dia suka sekali melakukannya.

"Bisa hentikan sekarang? Elevator ini bisa berhenti di lantai berapa saja dan seseorang akan melihat kita."

"Tapi kau tidak mendorongku."

Itu masalah baru. Tubuh dan ucapanku sering tidak sejalan akhir-akhir ini. Seperti yang berkali-kali kuucapkan, aku tidak membenci ketika dia menyentuhku seperti ini. Namun, aku tidak bisa hanya diam menerima perlakuannya ketika sesuatu dirasa sedang tidak baik-baik saja. Aku yakin ada masalah dengan cara kami berkomunikasi meski dia terus bersikap seolah-olah tidak ada yang salah.

Elevator yang berdenting menyelamatkanku dari jeratan pesonanya. Dan begitu pintunya terbuka, sosok Jacob sudah berdiri di hadapan kami. Wajah lelah dan kantung matanya yang jauh lebih gelap dari yang terakhir kuingat membuktikan bahwa dirinya benar-benar sudah sangat banyak membantu Alby. Mantel yang tidak dipasang ritsletingnya, kemeja yang sudah mencuat keluar dari celana, sampai dasinya yang longgar, dia tampak jauh lebih siap untuk pulang ke rumah daripada menerima instruksi dari Alby lagi.

Pria yang katanya sudah menikah itu menyerahkan kartu kunci pada Alby sebelum akhirnya menguap. Ini bahkan belum jam delapan, tetapi dia sudah tampak sangat mengantuk. Betapa aku sangat kasihan padanya sekarang.

"Kau akan menepati janji, bukan? Manusia ini perlu istirahat. Sebenar-benarnya istirahat dan aku akan mematikan ponsel agar aku bisa menikmati pelukan istriku dengan tenang." Dengan mata sayunya, Jacob menekankan hampir setiap kata-katanya pada sang atasan.

"Nikmatilah waktumu." Setelah mengatakan itu, Alby mendorong pelan punggungku agar melangkah bersamanya.

Well, meski Alby sudah berkata demikian, tetapi Jacob justru menghela napas cukup berat. Rupanya Alby tidak hanya menekanku, atau orang-orang yang tidak disukainya, tetapi orang kepercayaannya pun harus merasa sengsara.

"Kuharap dia membiarkanmu tidur malam ini, Ava."

Mataku membelalak kaget ketika Jacob mengatakan itu dengan suara pelan saat kami berpapasan. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan ucapannya seandainya dia tidak membuat itu seolah-olah memiliki maksud yang eksplisit. Aku sudah melotot dan ingin menuntut penjelasan lebih banyak jika saja elevator tidak segera menelannya.

"Abaikan dia. Kau tahu aku tidak akan melakukannya kalau kau tidak mau, 'kan?" Alby merespons sembari menempelkan kartu kunci pada pemindai di bawah gagang pintu.

"Sebenarnya, Alby, dengan kau memesan hotel sudah cukup untuk membuat orang lain berpikir kita akan melakukan itu." Hebat sekali aku berhasil menahan diri agar tidak bergidik saat ini.

"Oh, percayalah, aku hanya perlu balkonnya. Ayo, masuk."

Dia hanya perlu balkon--dan aku lantas teringat kalau dia memang suka mengobrol di balkon. Aku memasuki kamar yang luas ini dengan rasa takjub. Alby memesan kamar hotel yang memiliki fasilitas terlengkap hanya untuk memakai balkonnya. Dia bahkan bisa menikmati lebih banyak udara jika pergi ke rumah makan outdoor. Lagi pula, bagaimana dia akan memakai balkon di musim dingin seperti ini?

Aku berhenti di tengah-tengah kamar dan memperhatikan sekeliling. Kamar ini didominasi dengan warna cokelat dan putih. Kasur yang besar, sofa panjang, meja rias, mini bar, pantri kecil, dan meja makan dengan dua kursi, ini benar-benar fasilitas terlengkap yang pernah kudatangi dari sebuah kamar hotel. Dan dia hanya ingin memakai balkon yang teralinya diselimuti salju? Andai uangnya dia berikan padaku, aku yakin kebutuhanku untuk satu bulan ke depan akan terpenuhi.

"Aku sudah memesan makan untuk kita, mungkin setengah jam lagi tiba. Apa kau mau ke kamar mandi dulu?"

"Kita tidak menginap, 'kan?" Seharusnya aku menanyakan itu sejak tadi, sebelum kami tiba di sini.

Alby melepas mantelnya sembari memikirkan jawaban untuk pertanyaanku itu. "Itu tergantung padamu."

Jawaban itu membuatku tersenyum untuk kali pertama sejak kami pergi dari rumah sakit. "Oke, tidak."

"Mungkin aku akan mengubah pikiranmu nanti."

Sial sekali aku memiliki kekasih sepertinya. Entah bagaimana memikirkan apa yang akan dia lakukan membuatku tidak bisa menahan senyum. Beruntungnya dia tidak sempat melihat itu karena sudah menghilang di balik pintu kamar mandi. Ah, sebaiknya aku tidak menghadap ke sana karena itu membuatku tahu apa yang sedang Alby lakukan.

Selagi menunggunya selesai, aku membuka pintu yang akan mengantarkanku ke balkon. Balkon ini masih berada di bawah naungan lantai di atasnya. Kalau kami berada di sana, kami memang tidak akan terkena salju yang berguguran, tetapi udara dingin yang menusuk ini membuatku tidak yakin kami akan berdiam di sini lama-lama. Aku masih memakai mantel dan sudah bergidik karena embusan udaranya. Kendati begitu, kuakui tempat ini cocok untuk memanjakan mata. Memangnya apa yang bisa mengalahkan keindahan lampu-lampu kota pada malam hari?

Karena lelah terus berdiri dengan bertumpu hanya pada satu kaki dan satu kruk, aku bersandar pada jendela, masih menikmati dinginnya udara. Di tempat ini, tatapanku juga terselamatkan oleh siluet tubuh telanjang Alby yang sedang berhujan di bawah pancuran air. Dari suaranya, aku yakin dia sedang mandi. Aku tidak sanggup membayangkan berada di dalam sana dengan risiko orang-orang bisa melihat lekuk tubuhku dari luar. Jadi kuputuskan untuk mandi setelah pulang saja.

"Sudah kuduga kau akan menyukainya."

Aku menoleh dan Alby sudah berada di sebelahku dengan mengenakan piyama hitam polos yang aku tidak tahu dia dapatkan dari mana. Mungkinkah hotel ini menyediakannya? Aroma sabun dan sampo di hotel ini terasa lembut ketika itu menguar dari tubuh Alby. Aku sampai tidak sadar sudah menghirup udara yang terkontaminasi oleh aromanya dalam-dalam.

"Kau menggigil." Itu jelas terlihat ketika dia berusaha memeluk tubuhnya sendiri.

Kurasa sudah cukup memanjakan mata, aku kembali masuk ke kamar dan dia yang menutup pintunya. Aku melepas mantel yang kupakai dan menyampirkannya ke kursi di depan meja rias. Berdiri terus membuatku lelah, jadi aku duduk di sofa. Alby menyusul setelahnya.

"Apa kau ingat saat aku membawamu buru-buru pergi di malam pertunangan Jeffrey dan Claudia?"

Aku yakin itu terjadi hanya beberapa bulan yang lalu, tetapi aku harus menggali ingatanku jauh-jauh karena, ya, itu bukan sesuatu yang baik untuk diingat.

"Ketika aku sampai terjatuh karena kau menarikku terlalu cepat?" Ada nada protes di suaraku. Selagi dia mengungkit tentang itu, sekalian saja kuingatkan tentang hal-hal menyebalkan yang pernah dia lakukan. Saat itu bahkan dia sangat kasar, berbanding terbalik dengan caranya bicara padaku sekarang.

"Ah, ya ... yang itu." Alby akan tampak kikuk ketika baru menyadari kesalahannya. "Aku sedang berusaha menghindari Matthew. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa datang ke acara pertunangan mereka mengingat dia tidak pernah berusaha beramah-tamah dengan perusahaan yang berpotensi menjadi saingannya. Seperti yang kau tahu, perusahaan mereka bergerak di bidang yang hampir sama."

Aku merasa Alby ingin memberitahukan sesuatu, jadi aku hanya diam dan berusaha mendengarkan dengan saksama.

"Ada kemungkinan dia sudah merencanakan untuk menghancurkan Jeffrey sejak saat itu."

"Kau yakin? Hyunjoo belum menceritakan apa-apa tentang proyek saat itu. Mungkin dia hanya tamu yang diundang?"

Alby menyamankan posisi duduknya dan ibu jarinya bermain-main di bawah dagu. "Tidak. Dia datang karena berusaha menarik atensi seorang kolega dan merebut saham yang seharusnya untuk kami. Untuk persiapan pembukaan server baru, tentu kami perlu banyak dukungan."

"Oh, jadi itu alasanmu buru-buru menelepon ayahmu dan meminta persetujuannya?"

"Benar. Setelah itu, aku langsung meminta Jacob mengirimkan proposal dan Matthew gagal mendapatkannya. Namun, seminggu kemudian, kolega itu juga menanam saham pada perusahaan Jeffrey dan dia mengetahuinya."

Tidak ada respons lain yang kuberikan selain anggukan. Sebanyak apa pun yang akan dia ceritakan padaku, aku tetap tidak akan mengerti bagaimana permainan orang-orang di bidang bisnis. "Lalu apa hubungannya kejadian itu dengan situasi mereka sekarang?"

Kakiku yang masih dipasangi gips tiba-tiba gatal. Aku berusaha menyelipkan tanganku sedikit ke dalam gips agar bisa menggaruknya, tetapi tidak berhasil. Dan level kepekaan Alby benar-benar meningkat di saat-saat seperti ini. Dia menarikku agar menghadapnya dan mengangkat sebelah kakiku untuk kemudian dipangkunya.

"Aku hanya ingin memberi tahu seberapa bahaya Matthew kalau kau ikut campur urusannya. Aku menduga dia sedang berusaha membalas dendam pada Jeffrey yang dianggap sudah merebut sahamnya. Padahal yang dia inginkan itu adalah milik kami." Alby berhasil melepaskan gips kakiku dan meletakkannya sembarang di lantai. Jari-jarinya yang panjang mulai mengusap kakiku yang tidak tertutupi perban. "Aku tidak ingin sesuatu terjadi padamu kalau mencari tahu lebih banyak tentang artikel itu. Kau mungkin penasaran, tetapi akan lebih baik kalau kau tidak mengorek lebih banyak."

Aku ingin sekali berkata kalau sudah terlambat memperingatkanku, tetapi aku juga tidak ingin Alby mengambil tindakan yang akan membuat semuanya makin rumit.

"Bukan Matthew yang sedang kupedulikan, tapi Claudia. Aku hanya ingin membuktikan tuduhan Jeff padanya benar atau tidak." Aku menghela napas, menekan rasa kesal yang muncul begitu saja karena teringat akan responsnya waktu itu. Kalau Troy memiliki memar di wajahnya, memarku mungkin ada di hati. "Kemarin aku bermaksud meminta bantuanmu untuk mencari tahu tentang artikel itu dan apakah memang benar berasal dari Claudia. Tapi kau sudah membelanya padahal aku belum selesai menjelaskan."

"Ah, yang itu, aku minta maaf. Seperti yang kubilang, aku terkejut."

Yang kulakukan hanya tersenyum tipis, masih belum benar-benar bisa menerima alasannya.

Alby menekuk kakiku dengan pelan dan mendaratkan kecupan di atas lututku yang masih berlapis celana. Dia bahkan mengusapkan pipinya di sana seperti itu adalah wajahku. "Kalau begitu, biarkan aku saja yang mencari tahu. Jangan libatkan dirimu. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu."

"Jangan buat dirimu repot." Karena aku sudah telanjur masuk dalam lingkaran setan Matthew.

"Sama sekali tidak repot kalau untukmu." Alby menggeser badannya mendekatiku hingga yang berada di pangkuannya sekarang bukan lagi lutut sampai betisku, tetapi pahaku dan ini seperti aku hampir dipangku olehnya. Napasnya terasa hangat di wajahku. Caranya menatapku nyaris membuatku lupa kalau aku baru saja kesal padanya. "Aku mencintaimu, sangat."

"Aku ... tahu itu."

Suaranya yang pelan dan rendah itu nyaris membuatku membalas ucapannya. Namun, akal sehatku berhasil menggagalkan itu dan aku tertawa setelahnya.

"Masih tidak berhasil, ya?"

Aku secara refleks membasahi bibir ketika tatapannya tertuju ke sana. Meski bukan kali pertama, aku masih berdebar menunggu apa yang akan dia lakukan. Pun masih takut-takut sampai menelan ludah saja perlu usaha ekstra. Sebelah tangannya sudah berada di rahangku. Jempolnya yang bergerak sensual di daguku membuat bibirku terbuka sedikit.

"Seperti yang kau bilang, aku tidak harus menggantung mistletoe dulu agar bisa menciummu, bukan?"

Astaga! Dia sudah membuat jantungku hampir copot dan tiba-tiba berkata begitu ketika hidung kami sudah bertemu? Benar-benar perusak suasana. Dengan kedua tangan, aku menepuk pipinya dan menekannya dengan kuat sampai bibirnya maju.

"Kurangi bicaramu, Alby. Kalau kau masih ingin mengulur waktu, biar aku saja yang memulainya."

•••

See you on the next chapter
Lots of Love, Tuteyoo
8 Oktober 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro