Heaven in You Eyes -31-

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Arun memasukkan ponsel ke dalam saku jins, lalu kembali menghampiri Ambar yang ditinggalkannya sebentar ketika menerima telepon dari Kalin. Dari cara Kalin menutup percakapan mereka tanpa pamit, dia sudah tahu Kalin marah padanya.

"Mau pulang?" tanya Ambar dengan suara begitu pelan.

Arun memutari kursi roda sebelum membungkukkan badan di depan Ambar yang duduk di atas kursi roda. Wajah Ambar sudah tidak sepucat sebelum Arun membawanya berjalan-jalan di sekitar halaman rumahnya.

"Iya. Besok aku datang lagi."

Wajah Ambar menyunggingkan senyum. "Besok datang lagi."

Arun pelan-pelan menegakkan kembali badannya. Di pikirannya hanya bagaimana lekas sampai di rumah dan menenangkan Kalin.

"Cincinmu?" Ambar menunjukkan lagi cincin yang dipakainya di jari manis. Sejak koma, cincin itu tidak pernah terlepas dari jemarinya.

"Besok kupakai." Arun menjawab tanpa berlama-lama memandangi wajah Ambar.

Kalau saja Ambar mengetahui statusnya yang kini sudah menikah...

Dia belum pernah memberitahu Ambar. Entah kapan. Entah bagaimana reaksi Ambar.

Arun sendiri bukannya ingin terus menyembunyikan fakta yang sebenarnya dari Ambar. Tapi bagaimana mungkin menjelaskan statusnya kini, sementara Ambar belum benar-benar pulih. Pikirannya, fisiknya masih sangat labil. Dia ingin menjauh, namun ternyata menurut Erwin, Ambar sering mencarinya.

Dia sadar, bahwa dia harus mengambil keputusan tegas jika tidak ingin membuat keadaan semakin berlarut-larut. Kalin akan mencapnya sebagai suami yang tidak bertanggungjawab, sementara dia selalu berusaha menjalankan peran sebagai suami yang baik untuk Kalin. Mungkin sesekali dia telah membuat Kalin kesal, seperti saat ini. Kata-kata yang dikeluarkannya terkadang disesalinya sendiri.

Komunikasinya dengan Kalin seringkali dirasanya aneh.

Sampai di rumah, Arun langsung mencari Kalin. Seperti biasa, Kalin sudah sibuk di dapur menyiapkan makan malam. Kalin hanya berbalik melihatnya sejenak, kemudian kembali menghadap kompor.

"Aku mandi dulu."

Kalin yang biasanya menyahut hanya diam saja.

"Sayang..." Arun menggantung kalimatnya. Dia masih merasa sapaan itu terkadang asing untuk diucapkan. "Aku mandi dulu."

Karena Kalin tidak kunjung bereaksi, Arun melangkah ke dapur. Kalin akhirnya membalikkan badan.

"Mau ngapain lagi? Mandi aja sana." Kalin menyingkir dari depan kompor untuk mengambil baskom berisi daun selada.

"Maaf udah bikin kamu marah." Arun tahu ini berlebihan. Tapi dipeluknya juga pinggang Kalin dari belakang.

"Ngapain sih meluk-meluk?" Kalin terdengar protes sambil melepaskan pelukan di pinggangnya.

"Kalin, maaf." Arun kembali mengulanginya.

"Nggak perlu. Besok kamu pasti ketemu dia lagi kan? Harusnya kamu tau yang mana yang harus jadi prioritas kamu. Aku lagi hamil, Run. Kamu nggak mikirin perasaan aku? Kamu memang nggak pernah mikirin perasaan aku."

Arun mundur saat Kalin menggumam tidak ingin diganggu.

"Ambar baru aja sembuh, Kalin. Aku minta maaf sudah menyakiti perasaan kamu."

"Nggak usah sebut nama itu lagi, Run. Sekarang terserah kamu mau ngapain."

Kalin benar-benar marah. Kalin bahkan tidak bereaksi ketika sekali lagi Arun mencoba memeluknya.

"Kamu kasihan sama dia. Kamu nggak kasihan sama aku?" Kalin menyingkirkan tangan Arun yang mencoba menggenggam tangannya.

"Kalin, aku tidak mau bertengkar sama kamu."

"Kalo gitu udah. Sekarang aku tanya. Kamu masih mau ketemu sama dia?"

Arun tidak menjawab.

"Harusnya aku nggak nanya, karena aku udah tau jawabannya."

"Kalin."

"Aku mau masak, Run." Kalin menutup kesempatan bagi Arun untuk berbicara lagi. Sejenak Arun masih berdiri di depannya, tapi tidak ada suara. Tidak darinya maupun dari Kalin.

***

Sudah tiga hari mereka tidak pernah bertegur sapa.

Cangkir berisi kopi di tangan Arun mulai mendingin. Dia masih menyisakan beberapa teguk sebelum dihabiskan sekaligus.

Kalin sedang menonton TV. Disetelnya volume TV cukup nyaring. Agak berlebihan untuk konsumsi seseorang yang menonton sendiri, dalam suasana yang sunyi.

Arun bukannya tidak mencoba memulai komunikasi. Tapi, Kalin selalu menghindar melalui bahasa tubuh. Gumaman masih terdengar tapi Arun tidak mampu menerjemahkan. Jika sudah begitu, Arun akan mundur teratur. Mengambil waktu sejenak untuk berpikir bagaimana cara Kalin dan dirinya bisa berbaikan.

Dia tidak lagi mengunjungi Ambar selama tiga hari ini, dan dia sudah memberitahu Kalin. Siapa tahu Kalin bisa lebih mudah memaafkannya.

"Aku berangkat dulu."

Arun menandaskan kopi dan potongan terakhir roti bakar keju. Ketika menghampiri Kalin, isterinya itu berbalik sejenak dan menggumamkan sesuatu. Mungkin memintanya berhati-hati di jalan. Tegur sapa di antara mereka masih diselingi jawaban Kalin ketika dia hendak berangkat kerja.

"Aku pulang makan siang."

Arun menambahkan, kali ini sambil menelan ludah.

Entah berapa lama lagi mereka akan seperti ini. Kalin sepertinya berubah menjadi sosok lain. Perempuan itu kini lebih sensitif dan gampang marah. Arun memakluminya, karena Kalin sedang mengandung.

Arun mengambil kunci mobil di tempat biasa. Sambil berjalan menuju halaman, dia mulai berpikir untuk memberitahu Ambar keadaan yang sebenarnya. Ambar harus tahu lebih cepat. Jika tidak, maka Kalin akan semakin menjauh. Dia tidak ingin kehilangan Kalin. Bahkan dalam mimpipun tidak.

Ambar mungkin akan bereaksi di luar ekspektasinya, namun Arun tidak punya pilihan lain.

Ketika sampai di rumah Ambar, rumah dalam keadaan tertutup. Arun merogoh saku untuk mengambil ponsel dan menghubungi Erwin. Di panggilan kelima, suara Erwin terdengar.

Ternyata Ambar sedang bersama Erwin. Mereka sedang berjalan-jalan. Naik mobil berkeliling. Erwin hanya mengatakan Ambar dalam keadaan baik-baik saja. Percakapan mereka pun terputus begitu saja.

Tanpa berlama-lama di sana, Arun kembali ke dalam jip. Pagi itu dia akan mengunjungi peternakan. Beberapa hari ini, mungkin dia akan lebih banyak menghabiskan waktu di sana.

Ujung ibu jarinya hampir menekan call ke nomer Kalin, tapi lagi-lagi diurungkan.

Andai Kalin tahu betapa tersiksanya perasaannya selama tiga hari ini.

***

Kalin masih duduk memandangi sayuran yang sudah disiapkan untuk membuat sup ayam. Pikirannya benar-benar kalut sepanjang pagi itu. Beberapa hari ini adalah salah satu hari-hari terberat dalam hidupnya. Menghindari Arun, bahkan tidak menanggapi setiap Arun mencoba mengajaknya mengobrol. Kalin membuat cangkang tebal untuk melindunginya. Namun yang terjadi, dia malah semakin tertekan.

Keadaan ini tidak baik untuk kandungannya. Dia paham benar hal itu, tapi sudah kepalang basah. Dia kesal kepada Arun, tapi dia tidak membenci Arun. Dia hanya ingin memberi Arun pelajaran. Dia ingin Arun menyadari untuk tidak lagi mengingat Ambar apalagi sampai memperhatikannya. Karena dirinyalah masa depan Arun, dan Ambar hanya masa lalu.

Tiga hari mendiamkan Arun masih belum cukup. Kalin berencana akan kembali ke Jakarta. Untuk lebih menegaskan sikap. Terserah jika Arun mau menyusulnya atau tidak.

"Jangan begini dong, Kalin. Maafin dia." Kalin menggumam sambil membenamkan wajahnya di kedua telapak tangan. Kemudian menarik napas dalam-dalam.

Jika dia pergi dan Arun tidak lagi mempedulikannya, maka rencananya akan gagal.

"Tuhaan. Aku mesti gimana?" gumamnya lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro