Heaven In Your Eyes -Part 30-

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Terimakasih."

Arun mengangguk. Sebuah perhatian sederhana, menyuapkan bubur, dan mengupaskan apel atau membantu memapahnya jika Ambar ingin ke kamar mandi. Mereka tidak benar-benar ditinggalkan berdua. Selalu ada paling tidak dua orang untuk menemani Ambar.

Sesekali setiap pulang dari bekerja, Arun menyempatkan menjenguk Ambar. Keadaan Ambar berangsur-angsur membaik. Ambar pun ternyata masih mengingatnya.

Ambar mungkin tidak tahu tentang bagaimana kehidupannya sekarang. Arun pun tidak pernah sekalipun membahasnya. Semua demi menjaga pikiran Ambar tetap tenang selama masa pemulihan.

Dia tidak tahu pasti kapan Ambar akan benar-benar sembuh.

Arun berharap secepatnya, dan dia akan membantu sebisanya sampai Ambar benar-benar mampu kembali seperti semula.

"Dari jenguk Ambar ya?"

"Hmm."

Kalin lagi-lagi menyambut kedatangannya dengan pertanyaan yang sama. Arun menyaksikan Kalin hanya tersenyum tipis, lalu pamit untuk kembali lagi ke dapur.

Arun mengikutinya.

"Sibuk banget kelihatannya."

"Udah selesai kok." Kalin menjawab sambil membereskan tampilan meja dapur yang cukup berantakan. Menjadi koki terkadang sedikit menyulitkannya untuk urusan beres-beres.

Arun mengambil gelas, kemudian membuka lemari es untuk mencari botol air minum.

"Run, kapan nih kita ke Jakarta?"

Tidak ada urusan yang mendesak di Jakarta. Kalin mengaku hanya ingin mengunjungi keluarganya saja.

"Kapan aja boleh. Aku ikut kamu saja." Arun meneguk air dingin, mengecup ringan pipi Kalin dan berpamitan untuk mandi.

***

Kalin menatap testpack di tangannya. Dua garis sudah cukup membuatnya terhenyak sesaat. Terkejut sekaligus bahagia. Senyum terus merekah di bibirnya. Dia belum akan memberitahu Arun sampai mengecek sekali lagi ke dokter. Butuh hasil pemeriksaan yang akurat sampai dia benar-benar yakin untuk memberitahu Arun.

Setelah meminta ijin kepada Arun dengan alasan mengunjungi salah satu sahabatnya, Kalin memberanikan diri mengunjungi salah satu dokter kandungan yang dulunya memang sudah diketahui alamatnya, ketika dia merencanakan untuk menikah dengan Arun. Dua hari sebelumnya, Kalin memang telah membuat janji melalui telepon. Dan karena dokter Rina mengenalnya, jadi mudah mendapatkan jadwal periksa.

"Selamat ya, Kalin. Kamu positif hamil. Usia kandungan kamu memasuki minggu ke tujuh. Dijaga baik-baik ya?"

"Terimakasih, Dokter."

Sebuah kejutan yang membahagiakan. Kalin menjabat tangan dokter Rina sambil berkali-kali mengucapkan terimakasih.

Dia benar-benar tidak sabar memberitahukan hal itu kepada Arun.

***

Sejak pulang dari dokter, Kalin berusaha untuk menyimpan paling tidak sampai mereka kembali lagi ke Puncak. Dia menahan diri untuk tidak memberitahukan kabar kehamilannya kepada keluarganya sampai usia kandungannya beranjak ke bulan ke tiga.

Akhirnya kebahagiaannya menjadi semakin lengkap dengan kehadiran seorang anak. Kalin tersenyum.

Ternyata Arun boleh juga.

Tidak perlu menunggu terlalu lama dari rentang waktu ketika mereka memutuskan bercinta untuk pertamakalinya. Kalin pun tidak begitu memperhatikan, ternyata waktu itu adalah masa-masa subur.

Tuhan memang sudah demikian indahnya mengatur rencana untuk setiap makhluk ciptaan-Nya.

Kalau sudah begini, Kalin sudah semakin tidak sabar memberitahukan kabar bahagia itu kepada Arun.

Sudah bisa dibayangkan bagaimana reaksi suaminya. Mungkin Arun memang terkesan lempeng, tapi Kalin sudah menduga, Arun pasti akan ikut berbahagia akan kabar kehamilannya.

***

Waktu seusai makan malam sepertinya waktu yang tepat untuk mengabarkan kehamilannya kepada Arun. Kalin memberikan isyarat akan membicarakannya ketika mereka bersiap untuk tidur. Arun tidak mengerjakan pekerjaan apapun malam itu. Dia akan mengatakan akan tidur lebih awal. Dan saat itulah Kalin memberitahukannya.

"Aku mau ngasih kabar bahagia buat kamu."

Sebuah intro yang terlalu mainstream, tapi Kalin memang tidak ingin merancang kata-kata yang lebih mengejutkan. Arun hanya perlu mengetahuinya lebih cepat.

Arun berbalik menatapnya. "Kabar bahagia?"

Kalin tidak tahu apakah Arun pura-pura tidak bisa menebaknya atau memang tidak memiliki petunjuk apa-apa.

"Aku positif hamil." Kalin menarik laci nakas, mengambil testpack berikut kertas hasil pemeriksaan dokter dan duduk di samping Arun setelah menyingkirkan bantal dan selimut.

Arun meraih testpack berikut kertas yang tadi diperlihatkan Kalin. Dia membaca hasil tes sekali lagi. Testpack dan kertas diletakkan di nakas, kemudian dia mendekat untuk memeluk Kalin yang memang sudah siap menjatuhkan diri dalam pelukannya.

"Terimakasih." Arun berbisik sebelum memeluk Kalin lebih erat. Tanpa sadar kedua matanya berkaca-kaca. "Sudah berapa minggu?"

Arun memang tidak memperhatikan keterangan pada hasil tes.

"Jalan 12 minggu," jawab Kalin, ikut terbawa haru. Dia tidak pernah melihat Arun begitu ekspresif seperti sekarang. Tentu saja Arun ikut bahagia. Mereka sama-sama berbahagia.

"Dijaga baik-baik ya anak kita?" Arun membaui kening Kalin. Menyesap aroma wangi yang tertinggal di sana. Akhir-akhir ini Kalin suka membalurkan minyak telon ke tubuhnya sebagai pengganti cologne.

"Pasti." Kalin mengangguk. "Mulai sekarang aku mau dipanggil Bunda. Dan aku manggil kamu Ayah."

Arun menangkup dagu Kalin dengan kedua jarinya.

"Kenapa bukan Papa sama Mama?"

"Aku lebih suka panggilan Ayah, Bunda." Kalin menyandarkan kepalanya di dada Arun. "Jadi sepakat?"

"Apapun buat kamu."

"Cium dong." Kalin mendongak.

Arun tersenyum, dan mengecup kening Kalin.

"Lagi."

Kali ini di kedua pipi isterinya yang mulai muncul sifat manjanya.

"Nggak mau berhenti."

Arun menggeleng-geleng, kemudian menyentuhkan bibirnya ke bibir Kalin. Satu sentuhan yang selalu menimbulkan efek kejut yang luar biasa. Kalin menggapai tengkuknya, merapatkan wajah mereka satu sama lain.

"Aku mau kamu." Kalin mengucapkannya tepat di depan wajah Arun.

"Boleh?"

Kalin mengangguk. "Dalam posisi apapun."

"Aku harus googling dulu."

Kalin menggeram halus. "Usia kehamilan 12 minggu, masih aman. Aku tunggu deh kalo kamu mau googling dulu atau nelepon dokter kandungan."

Arun tertawa. Tidak mungkin dia merusak momen itu dengan sibuk mencari ponsel dan mencari informasi tentang boleh tidaknya hubungan seks ibu hamil di usia 12 minggu.

"Aku percaya." Arun mulai mengarahkan tangan ke kaus putihnya.

"Jangan. Biar aku aja." Kedua mata Kalin berbinar. Benar-benar tidak sabar.

***

"Udah puas, Bumil?" tanya Arun sambil membelai rambut Kalin yang beristirahat di dadanya. Selama tiga jam terakhir, Kalin begitu agresif. Dia harus berhati-hati mengakomodasi permintaan Kalin yang menginginkan berbagai macam posisi. Mereka saling memuaskan, dan puncaknya, mereka kini sama-sama kelelahan.

"Hmm," Kalin menggumam malas. "Jadi, harus janji ya? Kamu bakal nemenin aku setiap periksa kehamilan."

"Iya, pasti." Arun lekas mengiyakan.

"Makasih ya." Kalin semakin tersenyum lebar. "Tapi periksa di mana yang deket-deket sini?"

"Nanti aku tanya Bik Sumi. Puskesmas ada, pasti ada bidannya juga di sana." Arun mengingat-ingat jika di daerah sekitar villa terdapat puskesmas. Jaraknya sekitar 2 kilometer.

Waktu lahiran Kalin memang masih lama, tapi dengan keterbatasan jarak villa mereka ke manapun, akan cukup sulit jika terjadi sesuatu kepada Kalin.

"Aku mau ada bidan pribadi. Gimana?"

"Besok ya aku coba cari informasi." Arun menjawab sambil merapatkan selimut. "Atau mungkin selama hamil kamu mau tinggal sementara di Jakarta?"

Kalin juga memikirkan opsi tersebut. "Tapi nggak ada kamu. Aku mau di Jakarta kalo kamu juga ikut."

"Aku nggak bisa tinggalin pekerjaanku di sini."

Kalin menggeleng. "Aku mau di sini aja kalo gitu."

***

Setelah memberi kabar kepada keluarganya, ibu langsung menyarankan untuk pindah sementara di Jakarta. Kalin hanya mengatakan akan pikir-pikir dulu.

Dia akan sulit jika harus berpisah dengan Arun, meskipun untuk sementara waktu. Sebenarnya, dia bisa membujuk Arun. Pekerjaan Arun di perkebunan dan peternakan masih bisa diwakilkan sementara kepada manajer di dua tempat tersebut.

Nanti dia akan mencoba mendiskusikan hal tersebut dengan Arun.

Saat iseng menelepon Arun, ternyata Arun tidak sedang berada di perkebunan.

"Kamu di rumah Ambar?"

"Aku temenin Ambar jalan-jalan. Nggak apa-apa ya? Maaf lupa ngasih tau kamu."

Kalin mencoba menepis perasaan cemburu. "Nggak pa-pa sih. Tapi, kenapa harus kamu sih yang nemenin dia jalan-jalan?"

"Aku...kasihan sama Ambar."

Hanya itu kalimat singkat yang diucapkan Arun.

Kalimat yang cukup untuk membuat Kalin menutup telepon.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro