#2 (A)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

PHASE 1: HELL-FUTURE BEGINS

Chapter 2
Casey's Story

HIDUPKU INDAH sebelum dunia jadi kacau di tahun 2050 ini. Semuanya jadi serba berantakan. Aku kehilangan semua orang terdekat yang kucintai, terlebih keluargaku sendiri yang selalu menjagaku setiap saat.

Aku anak paling kecil. Kakakku laki-laki dan perempuan, dan kehidupanku di rumah bagaikan tuan putri yang cantik.

Ya, memang aku ini cantik. Kebanyakan orang -- sebagian besar laki-laki -- bilang kalau aku punya wajah yang cantik dan manis. Kakak laki-lakiku dan Ayah sering menggodaku. Tapi badanku agak cebol -- itu bukan masalah yang besar, setidaknya buat diriku sendiri.

Makanya sejak remaja, aku sering dilirik oleh banyak lelaki. Mereka awalnya mengagumi wajahku, kemudian caraku membawakan diri, baru penampilan dan selera pakaianku. Banyak laki-laki mengatakan kalau aku pintar berdandan dan tidak pernah melihat pakaianku yang agak kurang bagus atau tidak serasi. Tapi dengan segala yang kudapatkan itu -- terutama sanjungan dan pujian -- aku merasa diriku ini gadis yang biasa seperti gadis-gadis seumuranku lainnya. Kadang aku merasa tersanjung, namun tidak pernah sekalipun aku memandang remeh perempuan lain.

Soal laki-laki, aku memang agak memilih orang yang diingini menjadi pacar.

Kami baru jadian sekitar lima bulan sewaktu peristiwa mengerikan itu terjadi. Namanya Raymond. Dia pacar keduaku setelah Randy yang kupacari ketika masih di Senior Highschool. Menurutku, yang kedua inilah yang lebih baik ketimbang yang pertama -- masih seperti anak kecil dan anak mami.

Setiap minggu dia memberiku bunga. Sebelum mengajakku pacaran, dia sudah memberikan kado yang paling kusukai sepanjang hidupku. Tepatnya di saat ulang tahunku bulan November tahun lalu. Dia paling tahu apa yang kumau sekaligus paling mengerti diriku.

Di suatu malam di pertengahan tahun terkutuk ini, Raymond mengajakku nonton setelah makan malam romantis di restoran favorit kami. Sebelum pacaran dengannya, aku tidak suka nonton. Setiap laki-laki -- bahkan yang cuma teman saja -- yang mengajakku nonton, pasti kutolak tawaran itu mentah-mentah. Tapi dia bisa mengubah pandanganku tentang nonton bioskop dengan caranya yang hebat.

Malam itu, Ray memilih sebuah film komedi romantis yang tidak hanya bagus -- membuatku tertawa keras sekali -- tapi juga menyentuh hati.

Keluar dari gedung bioskop, Ray mengajakku ke taman di samping bangunan, dekat parkiran mobil. Dia menutup mataku dengan sapu tangan.

"Ada kejutan yang sangat spesial untukmu di malam yang indah ini, Sayang," katanya dengan lembut.

Begitu selesai bicara, kurasakan udara napasnya mengenai depan hidungku. Lama kelamaan udara itu semakin mendekat. Dan mendekat lagi.

Kalau saja aku dapat menghentikan waktu, ingin rasanya kulakukan saat itu juga, dan tidak akan kubiarkan waktu itu berjalan lagi. Betapa tak tergambarkan perasaanku saat itu -- sentuhan mendalam yang penuh kelembutan dan kehangatan. Lidahku tergerak untuk menahannya.

Seolah dunia berhenti berputar, waktu berhenti bergerak, dan setiap mata memandang iri pada kami berdua. Tapi sang waktu yang iri kepada kami. Dia terus saja berlalu tanpa memedulikan perasaan kami.

Akhirnya Ray menjauhkan kepalanya, mengakhiri ciuman pertamanya untukku. Kakiku masih belum menyentuh tanah, tapi dia sudah menginjak bumi, membiarkan diriku masih melayang di atas kepalanya.

Dia melepaskan sapu tangannya dari kepalaku.

"Ayo kita pulang. Sudah hampir tengah malam ini," kata-kata lembutnya menyihirku, "kau pasti dicari tuamu, Sayang. Aku tidak mau menyusahkan mereka, karena suatu saat nanti kitalah yang akan cemas menantikan kepulangan anak-anak kita yang sudah beranjak remaja."

Kata-katanya benar-benar bijaksana -- jauh lebih dewasa dari diriku yang masih tidak menentu ini. Aku masih terpesona dengan semua yang dia miliki. Kami berjalan bersama menuju tempat parkir. Tangannya yang kekar menggandeng tanganku dengan penuh kehangatan dan kelembutan. Aku seakan sedang berjalan bersama seorang malaikat dari surga.

Kulihat arlojiku -- dia memang benar, sudah pukul setengah dua belas malam. Pasti Ayah, Ibu, dan kakak laki-lakiku sedang memikirkan di mana aku.

Ponselku berbunyi. Kami sudah hampir sampai mobilnya.

"Pasti ayahmu atau Dean. Aku bisa menunggumu, Sayang."

Dean itu kakak laki-lakiku -- Lou-Dean namanya.

Ketika aku menempelkan ponselku ke telinga, terdengar raungan binatang buas. Kami sudah berada di parkiran mobil, cuma belum sampai ke mobilnya Ray. Dan secepat kilat, dua orang laki-laki yang entah dari mana berlari ke arah kami.

Mulut mereka penuh dengan darah segar, dan luka yang masih berdarah-darah di sekujur leher dan tangan. Mereka mendadak berada dekat kami -- yang satu di sebelah kiriku, dan satunya lagi dua atau tiga meter di hadapan kami berdua.

Aku kaget setengah mati -- jantungku serasa mau copot. Sementara suara di ponselku sudah menyapa.

Ray menarik tanganku ke arah deretan mobil yang diparkir. Didorongnya aku dengan cepat sampai tubuhku menabrak badan salah satu mobil.

Ponselku terlepas dari tangan kiriku. Masuk ke kolong salah satu mobil. Kejadiannya begitu cepat, otakku tak sempat berpikir. Naluriku saja yang bekerja.

Secara refleks, aku langsung membungkuk melihat ke kolong mobil yang gelap.

"Jangan pikirkan ponselmu! Cepat lari! Selamatkan dirimu!" teriak Ray.

Aku mendongak. Dia sedang menghadapi kedua orang yang berdarah-darah itu, dengan sikap seperti seorang petarung yang mau beraksi.

"Lari! Lari, Casey!" teriaknya tanpa menoleh ke arahku.

Wajahku pasti pucat sekali waktu itu. Sesaat aku terdiam. Aku terkesima dengan caranya melindungiku. Aku juga tidak mau terjadi apa-apa pada dirinya. Tapi bayangan keluargaku terlintas di hadapanku sewaktu melihat dua orang yang melihat kami seperti mangsa mereka. Aku jadi membayangkan kalau diriku ini menjadi korban mereka. Pasti aku mati -- aku tidak mau mati konyol. Pikiran-pikiran itu bergantian datang dan menumpuk di pikiranku dengan cepat, meminta keputusanku untuk memilih salah satunya. Aku serba salah, siapa yang harus kupentingkan di saat yang gawat ini.

"Cepat lari, Casey! Jangan konyol! Pikirkan dirimu sendiri!"

Mereka berdua maju serempak dengan mulut menganga yang berdarah-darah menghampiri Ray. Aku tak sanggup melihat, membalikkan diriku ke belakang... dan berlari. Berlari tanpa arah, tanpa perencanaan, entah ke mana. Aku tak sempat berpikir lagi.

Aku tak berani menengok ke belakang. Tapi telingaku menangkap suara raungan itu -- salah satu dari mereka mengejarku. Dan suara Ray yang jauh di belakang -- dia berteriak, kadang mengerang.

Pandanganku tetap jauh ke depan. Aku sadar, maut sedang berkelebat melintasi aku. Aku tidak mau mati saat ini, dan dengan cara konyol sebagai korban.

Napasku terengah-engah. Aku sampai di tepi jalan raya yang sudah sangat sepi. Aku berhenti sejenak. Istirahat sebentar dan mengatur napasku. Sambil menengok ke belakang. Rupanya orang itu masih mengejarku, larinya seperti macan kumbang -- cepat sekali.

Dan di sebelah sana, di ujung jalan yang cukup jauh, muncul kira-kira tiga orang seperti itu juga. Ada yang laki-laki, ada yang perempuan. Mereka melihat aku. Sikap mereka langsung berubah, siaga untuk menghampiriku.

Ujung jalan yang satunya lagi kosong melompong. Di belakang, orang yang mengejarku sudah sepuluh meter dari punggungku. Mau tak mau aku berlari ke ujung jalan yang kosong, dengan napas masib terengah-engah.

Aku berlari secepat kilat, di tengah dinginnya udara tengah malam. Tak kupedulikan hembusan udara yang keluar dari hidungku terlihat seperti embun.

Aku yakin sekarang kalau yang mengejarku jadi bertambah jumlahnya. Suara yang tadinya satu orang saja, sekarang sudah menyatu dan bercampur.

"Tuhan, tolong aku, Tuhan," pintaku dalam hati.

Tapi Tuhan malah menambah orang yang mau memangsa diriku. Di depan arah jalan yang kutempuh, sudah berkumpul belasan orang lainnya dalam keadaan yang sama persis. Malahan, aku diberi kesempatan menyaksikan pemandangan yang lebin mengerikan lagi. Beberapa di antara mereka masih menyerang dan menggigit orang-orang yang sudah tidak berdaya seperti aku.

Tak ubahnya seperti binatang buas, mereka menggigit, menggigit berulang-ulang, merobek, dan bahkan menyayat daging manusia korbannya dengan gigi-gigi di dalam mulut, yang sepertinya sudah berubah menjadi pisau yang tajam atau gigi hewan pemangsa yang liar. Darah muncrat, membasahi si penyerang dan si korban.

Mereka tidak memedulikan permohonan belas kasihan dan erangan kesakitan yang semakin menjadi-jadi dan menyayat hati. Baru kulihat pemandangan yang seperti itu seumur hidupku.

Aku takut setengah mati. Apalagi ketika sebagian dari mereka mulai menyadari kehadiranku, dan melihat para pemangsa sepertinya yang tak jauh di belakangku.

Aku terpojok. Kulihat di belakangku dan di depanku -- mati aku.

Ya sudahlah, kalau memang hari ini justru hari terakhir hidupku. Toh aku sudah mendapat kebahagiaan terindah yang kuharapkan selama ini -- ciuman pertama dari orang tersayang. Dia pasti sudah menjadi korban juga, sama seperti orang-orang yang diserang dan dihabisi tak jauh di depanku.

Aku jadi berpikir, lebih baik jika kami mati bersama. Siapa tahu kami akan bertemu di kehidupan berikutnya yang jauh lebih baik dan membahagiakan nantinya.

Tapi aku berpikir lagi. Kalau aku mati, percuma saja Ray berkorban untuk diriku. Dia pasti memikirkan keluargaku juga dengan peduli akan keselamatanku -- terbayang lagi bagaimana perasaan mereka.

Kulihat di salah satu pinggir jalan, sepertinya ada jalan keluar di sana. Mungkin ada tempat persembunyian di situ.

Aku langsung berlari tanpa pikir apa-apa lagi. Tanpa menengok ke belakang.

Aku berani bertaruh dengan nyawaku, mereka pasti tak mau melepaskan diriku.

Meski sejauh yang kulihat di depanku tidak ada cahaya, aku terus berlari.

Mendadak jalanan di depanku menurun tajam, jadi curam.

Aku tersandung, lalu tergelincir -- badanku menggelinding dengan cepat ke depan. Pandanganku berputar.

Kemudian kurasakan kepalaku terbentur batu. Aku langsung tak sadarkan diri. Semuanya menjadi gelap. Aku tidak ingat apa-apa lagi.

☆☆☆☆☆

Next: still PoV 1

Nah, mulai berasa unsur dewasanya kan?

Terus, gimana si Casey bisa selamat ya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro