XVI. Hari Pertama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Cara sudah duduk di perpustakaan sejak dua puluh menit yang lalu. Kali ini dia tidak bersama kedua sahabat rusuhnya, melainkan hanya seorang diri sebab akan bertemu dengan seseorang yang selalu dipuji. Ia rela datang lebih awal dari waktu yang mereka janjikan, hanya untuk melihat lelaki itu berjalan ke arahnya. Sambilan menunggu, ia mendengarkan lagu menggunakan earphone. Ia memutar lagu lawas milik George Benson yang berjudul Nothing's Gonna Change My Love for You. Ia merasa lagu ini begitu relate dengan isi hatinya.

Seorang lelaki kini berdiri tepat di hadapannya dengan setumpuk buku yang ditaruh di atas meja. Lelaki itu mengenakan kaca mata sehingga tampak lebih dewasa dan tentunya ... tampan.

"Kenapa Bapak udah di sini?" tanyanya sedikit kaget.

"Karena saya sudah membuat janji dengan kamu untuk bertemu di sini," jawab Reynand tepat.

"Bukan itu maksudku. Aku ingin lihat Bapak sejak dari pintu."

"Untuk apa?"

"Aku cuma ingin lihat Bapak berjalan ke arahku," ungkapnya dengan wajah bersemu.

Reynand memijit pelipisnya. Ia merasa sedang diuji dengan sisiwi yang satu ini. Sepertinya, ujian ini akan kelar saat hubungan ajar-mengajar antar mereka selesai. Ia sangat berharap, perempuan satu ini memiliki sinyal yang cepat untuk menangkap pelajaran yang diajarkannya, sehingga akan lebih cepat ia lepas dari siswi menyebalkan satu ini.

"Kamu sudah siap belajar?" tanya Reynand menarik kursi.

"Belajar bersama Bapak? Tentu aku siap," jawabnya masih dalam kategori ngawur menurut Reynand.

"Tolong, kalau belajar dengan saya itu serius. Saya nggak suka main-main," pertegas Reynand.

"Saya nggak pernah mainin Bapak. Saya selalu serius sama Bapak," timpal Cara dengan wajah yang cukup serius.

Reynand menghela napas panjang. Ujian ini semakin berat untuknya.

Kalau bukan karena aku harus mendapatkan informasi itu dari anak ini, aku nggak akan mau menghabiskan waktu dengan anak kecil ini, batinnya.

Tak ingin melihat Cara terus bermain dengan gombalan-gombalan atas dirinya, Reynand langsung saja membuka buku dan mengajarkan Cara dari dasar. Cara tampak manggut-manggut dengan penjelasan yang diberikannya, meski tidak diketahui pasti manggutnya tersebut karena benar mengerti atau asalan saja.

Hanya bertahan sepuluh menit Cara mengangguk atas penjelasan yang diberikan Reynand, sebab menit selanjutnya Cara sibuk fokus memperhatikan wajah tampan Reynand. Matanya berbinar layaknya orang yang jatuh cinta.

Kenapa bisa ada lelaki setampan Pak Reynand, ya? Prosesnya gimana, sih, sampai bisa setampani ini? Apa dulu Ibunya sering pakai skincare pencerah wajah? Atau sering mengelus foto para pria tampan?

Cara sibuk dengan imajinasinya, tanpa mendengar lagi apa yang sedang dibahas oleh Reynand. Wajah tampan Reynand lebih asik untuk dinikmati daripada mendengar tentang rumus-rumus untuk menghasilkan sebuah jumlah.

"Apa kamu mendengarkan saya?" tanya Reynand saat menyadari Cara sudah tidak fokus lagi.

"Tentu," jawab Cara masih dengan memandang Reynand.

"Apa yang kamu dengar?"

"Bapak terlalu tampan hingga mengalihkan fungsi pendengaran saya."

"Carabella Farabi!!" tegur Reynand. Ia sudah kehabisan rasa sabar menghadapi perempuan ini.

"Bapak manggil nama saya selengkap itu berasa bakal dinikahin besok," ungkap Cara dengan rasa bangga.

"Tolong jangan berlebihan. Saya sudah katakan bahwa saya sudah bertunangan. Jangan menggoda saya dengan omongan-omongan kekanakan itu!" Reynand berkata dengan nada yang lebih tinggi. Ia harus mempertegas situasi pada siswinya yang satu ini.

"Pak, hanya karena Bapak sudah bertunangan, bukan berarti Bapak akan menikah dengan perempuan itu. Bapak nggak pernah tahu garis takdir itu seperti apa. Kalau ternyata jodoh Bapak itu sebenarnya adalah aku, Bapak akan sangat menyesal mengabaikan aku sekarang," tutur Cara dengan sangat serius.

"Kamu sangat keras kepala ya?"

"Sekarang Bapak tahu, kan, aku nggak akan menyerah hanya karena Bapak memiliki tunangan. Tunangan Bapak bukan penghalang untukku mengagumi Bapak," tegasnya.

"Saya tanya padamu, niat kamu sebenarnya untuk belajar atau mendekati saya?"

"Kalau memang bisa sekaligus, kenapa harus pilih salah satu?"

Reynand kehabisan kata-kata untuk berdebat dengan Cara. Cara memiliki jawaban di luar nalarnya. Cara tampak begitu serius dengan omongan yang dilontarkannya. Ia harus bisa mengabaikan perempuan satu ini. Ia tidak mungkin menyakiti adik dari temannya sendiri. Rasa kecewa dari patah hati itu sangat menyakitkan, apalagi untuk anak di usia labil seperti Cara.

"Sepertinya kita harus memperbaharui kontrak," ucap Reynand.

"Kenapa harus diperbaharui?"

"Saya nggak mau kamu menyalahgunakan kesempatan ini untuk hal lainnya. Saya hanya membantu kamu untuk meningkatkan nilai Matematika-mu, bukan meningkatkan perasaanmu."

"Baik. Nggak perlu diperbaharui kontraknya. Saya nggak akan lagi mengungkapkan perasaan saat sedang bersama Bapak. Tapi, hati-hati saja, kalau ntar Bapak rindu dengan perasaanku," peringat Cara dengan senyum yang begitu manis.

"Haruskah kita sudahi pelajaran hari ini?"

"Nggak. Kita belum memulai sesuatu, kenapa harus diakhiri?"

"Cara!"

"Maaf, saya lupa. Maksudnya kita belum belajar satu halaman, jadi nggak perlu diakhiri. Aku akan serius mulai sekarang."

Reynand kembali melanjutkan tugasnya mengajar Cara. Kali ini Cara tampak lebih fokus pada apa yang diajarkannya. Ia tidak lagi memandangi Reynand seperti beberapa menit yang lalu. Reynand sangat berharap, Cara memang melakukan tugasnya sebagai seorang murid, bukan tugasnya sebagai lawan jenis.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro