XVII. Real Life

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Nata pulang ke rumahnya setelah menghabiskan waktu di rumah Cara selama seminggu. Ia harus pulang untuk mengambil pakaian dan beberapa barang yang dibutuhkan. Sejak tinggal di rumah Cara, ia tidak memiliki kepunyaan apapun selain seragam yang selalu dikenakannya. Beruntung ada Alvredo yang bisa meminjaminya pakaian untuk di rumah. Namun, ia tetap saja memiliki harga diri, sampai kapan ia harus meminjam baju lelaki menyebalkan itu. Bisa-bisa dirinya diusir lebih cepat dari waktu yang diperkirakan.

Banyak motor terparkir di garasi rumahnya. Ia mulai mendengkus. Ia berniat untuk tidak berbicara apa pun saat masuk ke rumah. Ia hanya harus mengambil apa yang perlu diambil. Ia sedang tidak minat ribut dengan Mamanya.

"Linda, anak kamu sudah pulang, tuh," seru seorang lelaki berusia tiga puluhan, berbadan bulat dan berjambang.

Nata tidak mengacuhkannya. Ia dibuat pusing dengan kondisi rumah yang berantakan. Batang rokok berserakan di lantai. Kulit kacang juga tidak dibuang pada tempatnya. Botol-botol minuman memenuhi meja. Bau minuman dan asap rokok bercambur menjadi satu menyebabkan indra penciuman Nata terasa sesak. Ia benar-benar tidak ingin lama-lama di sini.

"Tidur di mana kamu seminggu ini?" tanya Linda sambil menghisap rokok yang bertengger antara jari tengah dan telunjuknya.

"Bukan urusan Anda," jawab Nata datar.

"Kamu itu anak saya, jadi apa pun yang kamu lakukan menjadi urusan saya," bentak Linda.

"Sudahlah, sayang. Anak kamu sudah besar. Nggak perlu lagi kamu mengurusnya seperti anak kecil. Biarkan saja dia berbuat sesukanya, selagi itu nggak merugikan kita." Lelaki yang terlihat berada di angka dua puluhan berusaha untuk menenangkan Linda. Dari gelagat yang ditunjukkan, sepertinya lelaki itu adalah kekasih baru Linda.

"Nggak bisa gitu, sayang. Dia ini semakin dibiarkan semakin liar," sahut Linda pada kekasihnya. Setelah itu, ia memandang Nata sambil berucap, "Kamu pasti tidur di rumah temanmu yang adik polisi itu, kan? Sudah berapa kali, sih, Mama ingatin kamu, berhenti berteman dengan dia. Dia itu ancaman untuk kita. Dia bisa merusak keluarga kita."

Nata masih berdiri di tempatnya tanpa niat untuk menatap Mamanya. "Dia menjadi ancaman untuk kalian, bukan untuk aku."

"Nata!! Kamu dengan kakakmu sama saja. Nggak ada bedanya. Kenapa, sih, kalian harus hidup dalam lingkaran polisi? Kakakmu juga udah sebulan ini nggak bisa dihubungi, ntah kemana perginya. Cari kakakmu dan minta dia putuskan hubungan asmaranya dengan polisi itu."

"Aku nggak punya waktu untuk mengurus asmara dia. Kalian aja nggak pernah ada waktu untuk aku, kenapa aku harus menghabiskan waktu mengurus tingkah kalian?"

Nata melangkahkan kaki memasuki kamarnya. Ia mengabaikan suara Linda yang meneriakkan namanya.

Inilah hal yang sangat dibencinya untuk pulang. Ia hanya akan melihat Mamanya bersama teman-teman lelakinya berpesta tak berguna. Hal ini bukan baru berjalan selama setahun belakangan, tapi sudah sejak ia duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.

Nata tidak tahu pasti bagaimana kejadian ini bermula. Ia tahu bahwa Papa dan Mamanya memutuskan untuk berpisah. Kakaknya dibawa oleh sang Papa, sementara dirinya ikut dengan Mama. Berselang lima bulan kemudian, kakaknya ikut tinggal bersama mereka karena Papa mereka meninggal akibat kecelakaan pesawat. Namun, ada yang berubah dari kakaknya, menjadi lebih agresif dan 'nakal'. Penampilannya sudah sangat dewasa, padahal usia mereka hanya berjarak tiga tahun.

Tidak berbeda dengan Mamanya, Kakaknya juga sering mabuk-mabukan, bahkan terkadang mereka pesta bersama. Pernah dirinya mencoba mengajak mereka berbicara tentang apa yang sebenarnya mereka pikirkan hingga jatuh dalam dunia gelap, tapi hanya cacian yang didapatnya. Ia diperlakukan seperti anak kecil yang tidak perlu mengetahui kehidupan orang dewasa.

Ia merebahkan tubuhnya sejenak di atas kasur empuk. Meski Mama dan kakaknya memiliki kehidupan yang berantakan, ia tidak pernah kekurangan sesuatu apapun. Setiap kakaknya pulang, ia akan mendapatkan hadiah barang-barang mewah. Hingga detik ini, ia masih belum tahu apa yang dilakukan kakaknya di luar sana. Jika dilihat dari foto-foto yang diunggah di media sosial, seringkali kakaknya berada di luar negeri; di negara-negara yang berbeda.

Ponselnya berdering. Panjang umur. Perempuan bersurai panjang itu menghubunginya.

"Haaai adikku yang paling tampan. Bagaimana kabarmu?"

"Seperti yang terlihat, aku tetap begini."

"Kamu di rumah?"

"Ada apa?"

"Aku ingin bertemu denganmu, tapi nggak di rumah. Aku sedang marah dengan Mama. Dia selalu memintaku putus. Padahal, apa salahnya aku pacaran? Kekasihku orang yang baik dan sangat memanjakanku. Dia sangat dan sangat menyayangiku. Dia memperlakukanku layaknya seorang putri. Aku sangat beruntung memilikinya sebagai kekasih," curhat kakaknya panjang lebar.

"Apa kamu menghubungiku hanya untuk memuji kekasihmu itu? Jika memang iya, akan aku matikan."

"Tunggu. Ayo kita bertemu setelah aku bertemu dengan pacarku. Atau kamu mau kukenalkan padanya?"

"No, thanks."

"Baiklah. Kita bertemu malam ini. Sekarang aku harus bertemu dengannya. Sepertinya dia sudah selesai mengajar."

"Bukankah pacarmu polisi? Sejak kapan polisi mengajar?" tanya Nata penasaran.

"Ah, itu pekerjaan sampingannya. Sampai bertemu nanti."

Nata melihat ke arah ponsel yang sudah padam. Entah mengapa perasaannya tidak nyaman tentang kekasih kakaknya. Ia memang tidak pernah tertarik dengan kisah percintaan kakaknya, tapi untuk kali ini ia seperti merasa ada yang lain. Setahunya kakaknya hanya berpacaran dua kali, dan keduanya adalah polisi. Namun, karena polisi ini juga adalah seorang pengajar, itu sangat mengganggunya.

Ia segera mengambil jaket dan barang yang diperlukan, ia ingin mengintip siapa kekasih kakaknya. Ia harus melakukan ini untuk menghilangkan rasa penasarannya.

---------------------

Nata kini berada di salah satu restoran yang alamatnya didapati dari sang kakak. Ia memberanikan diri untuk bertanya di mana kakaknya bertemu dengan pacarnya, dengan alasan ingin bergabung. Kakaknya yang mendengar hal itu sontak kegirangan dan dengan suka cita memberitahukan alamat pada adiknya.

Bukannya bergabung, Nata malah melakonkan diri bak seorang detektif yang sedang mengintai buronan. Ia tidak mendapatkan posisi yang tepat untuk dapat melihat kekasih kakaknya dengan jelas. Semua tempat sudah penuh, hanya satu tersisa di bagian samping kasir. Yang mana hal itu menyebabkan ia hanya dapat melihat postur belakang dari kekasih kakaknya.

Ia sangat merasa tidak asing dengan postur itu. Berbadan tegap dan tentunya tinggi. Itu memang tipikal lelaki idaman kakaknya-dan mungkin kebanyakan perempuan di luar sana. Saat lelaki itu mengusap tengkuknya, mata Nata tertuju pada jam Rolex yang bertengger di pergelangan tangannya. Jam itu sungguh sangat tidak asing. Ia sangat sering melihatnya. Tapi, di mana?

Bagus.

Lelaki itu berbalik badan, dan dengan jelas Nata bisa melihat wajahnya. Matanya membola saat mengetahui siapa lelaki yang memiliki paras tampan itu. Gila. Ini sungguh gila. Bagaimana bisa lelaki itu menjadi kekasih kakaknya?

Setelah lelaki itu mengambil tas dan berpamitan dengan kakaknya, serta setelah dipastikan lelaki itu benar-benar pergi, Nata mendatangi kakaknya dengan gerak-gerik seolah ia baru saja tiba.

"Mana kekasihmu?" tanyanya dengan nada datar seraya menempatkan dirinya di kursi yang tadinya diduduki oleh lelaki berhidung mancung itu.

"Maksudmu Reynand? Dia udah pergi, karena kamu terlalu lama," cetus kakaknya Nata. Namanya Shalitta.

"Oh, jadi pacarmu bernama Reynand," gumam Nata sambil angguk-angguk seolah baru tahu.

"Andai kamu bertemu dengannya, kamu akan tahu betapa menyenangkan dirinya. Tawa lepasnya begitu menghiburku," puji Shalitta.

Andai kamu tahu bahwa dia guru yang paling membosankan yang aku kenal, umpat Nata dalam hatinya.

"Mungkin belum saatnya aku bertemu dengannya. Tapi, apa kamu nggak takut menjalin hubungan dengan polisi? Bagaimana jika dia mengetahui tentang kita? Kamu ingat, dulu kamu hampir ketahuan oleh mantanmu yang polisi juga. Untung kamu langsung mengakhiri hubungan kalian. Kalau nggak, aku yakin kita semua dalam masalah. Lebih tepatnya kamu dan mama," ujar Nata dengan nada yang khawatir.

"Nat, kamu percaya padaku. Yang kali ini berbeda dengan yang dulu. Dia bisa menjadi benteng kita untuk berlindung. Dia begitu mencintaiku dan akan melakukan apa pun untukku. Jadi, dia nggak akan jadi boomerang untuk kita," balas Shalitta dengan penuh keyakinan.

"Kak, kita nggak pernah tahu apa yang ada dalam benak seseorang. Bagaimana jika selama ini sebenarnya dia tahu apa yang kamu lakukan? Bagaimana jika selama ini dia ada di sampingmu bukan untuk melindungi, melainkan untuk menangkapmu? Tolong, berpikirlah realistis. Jangan terlalu percaya dengan kata cinta yang diucapkan lelaki. Berpikirlah sebelum memasukkan kata cinta mereka dalam hati," peringat Nata.

"Uh, adikku sudah dewasa ternyata. Sudah pandai berbicara pasal cinta. Apa kini kamu sedang jatuh cinta? Dengan siapa? Apa dengan Cara?" cecar Shalitta.

"Berhentilah membahas cinta. Aku nggak pernah merasakannya. Apa kamu nggak akan pulang?" Nata mengalihkan pembicaraan.

"Apa rumah itu masih pantas menjadi tempat untuk pulang? Kamu saja kabur dari rumah karena nggak betah, kan?" tebak Shalitta sambil melirik barang bawaan Nata.

"Lalu apa rencanamu?"

"Aku ingin mengakhiri semua ini," ucap Shalitta tertunduk.

"Maksudmu?"

"Aku akan menikah dengan Reynand dalam beberapa waktu mendatang. Dia akan mengenalkanku secara resmi pada keluarganya. Untuk itu semua, aku harus berhenti. Aku nggak mungkin bisa hidup bersama mereka jika aku masih seperti ini. Benar, kan?"

"Sebenarnya, apa yang kamu lakukan di luar sana? Kenapa nggak pernah memberitahuku?"

Shalitta terdiam. Ia menarik napas sejenak. Menatap bola mata adiknya dengan tenang, mencoba mencari celah yang bisa dipercaya di sana. "Kamu, tetaplah menjadi anak yang baik. Tidak peduli seberapa buruknya aku dan Mama. Kamu tetaplah kamu. Kamu bisa saja nggak mengakui kami suatu hari nanti. Tapi, yang perlu kamu ketahui secara pasti, semua ini nggak akan terjadi andai Papa dan Mama nggak memutuskan untuk berpisah."

Nata mendengkus kasar. Selalu. Selalu saat ia bertanya, Shalitta hanya menjawab dengan kata-kata yang tidak dipahaminya. Ia butuh jawaban konkret, bukan petuah tentang masa depannya. Siapa yang bisa tahu masa depan? Mengapa seolah masa depannya akan begitu suram dan ia harus bertahan dalam kesuraman?

"Aku udah tujuh belas tahun. Mengapa aku masih diperlakukan seperti bocah tujuh tahun yang nggak boleh mengetahui apa pun. Apa yang salah jika aku tahu?"

"Aku akan kehilanganmu jika kamu mengetahui tentangku, Nat." Ada getar dalam nada yang disuarakan Shalitta.

"Maksudmu?" Nata benar-benar tidak mengerti. Ada apa sebenarnya ini? Sampai kapan ia harus hidup dalam ketidaktahuan perihal keluarganya sendiri? Ia benar-benar muak.

"Aku akan memberitahumu saat aku udah sangat siap kamu membenciku."

Nata menggebrak meja hingga mengundang atensi dari pengunjung lainnya. Ia dibuat kesal dengan jawaban yang tidak memiliki kejelasan. Tanpa pamit, ia beranjak dan meninggalkan perempuan itu yang mulai meneteskan air mata.

"Maafkan aku, Nat. Ini terlalu berat untukku, apalagi untukmu. Aku akan berjuang untuk diriku sendiri. Perjuanganku bentuk cintaku untukmu. Doakan saja agar aku bisa mengakhiri perjuangan ini dengan baik. Hingga kamu nggak perlu kecewa terlalu dalam," monolog Shalitta.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro