5 - The ukhtis

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kondisi mata ini hampir menutup rapat, kalau saja ponselku tidak menunjukkan eksistensinya. Alunan lagu Untitled yang menjadi nada dering panggilan bergema mengisi keheningan. Aku menoleh ke arah jam dinding. Sudah pukul sebelas malam, tapi tugasku belum selesai setengahnya. Mata mulai sepet, tetapi perjalananku masih panjang. Pengin menangis rasanya. Memang salahku juga, sih. Menganut sistem kebut semalam di saat tugasnya lagi ribet.

Eh, ya ampun!

Bukannya mengangkat telepon, dari tadi aku malah menggoyangkan tubuh mengikuti birama lagu.

"Halo, Nad. Sorry lama. Ada apaan? Tumben malem-malem nelepon?" sapaku pada Nadia.

"Lo udah tidur?"

"Belum. Boro-boro bisa tidur. Tugas gue aja belum kelar. Kenapa?"

"Me, besok pagi bisa dateng ke kampus lebih awal, nggak? Jam delapanan gitu."

"Kagak bisa kayaknya, Nad," jawabku sambil menatap botol-botol cat poster yang meminta dicairkan. "Emang ada apaan? Gue bakal tidur pagi soalnya," imbuhku lemah.

Tugas mata kuliah studio Nirmana Dua Dimensi itu, kalau dikerjakan buru-buru biasanya malah jelek hasilnya. Harus pelan dan penuh kehati-hatian. Jika sembrono barang sedikit saja, catnya bisa melebar ke mana-mana dan merusak hasil kerja keras semalaman.

"Yah ... Ya, udah deh, Me. Kalau gitu besok sore habis kuliah, nongki dululah, di Cowboy. Gue udah ngajak Ay sama Nuri juga. Mau curhat, Bu." Suara Nadia agak terdengar janggal di telinga. Pasti masalah Fasih lagi, deh.

"Oke, siap! Btw, tugas 2D lo udah kelar, Nad?" tanyaku penasaran. Siapa tahu dia juga masih belum selesai. Jadi, aku ada teman begadang.

"Udah beres dong dari tadi. Gue memanfaatkan kegalauan dengan fokus mengerjakan tugas sambil nonton film dan matiin HP seharian." Suara tawa pelannya terdengar dari pengeras suara. "Gue tidur duluan ya, Me. Bye ... semangat!"

"Iyee ... Met bobo juga, Nadihe ...," pamitku sebelum memutuskan panggilan.

Di antara kita berempat, yang paling sesuai schedule, ya Nadia ini. Aku dan Ay adalah tipe-tipe mahasiswa mager yang menganut asas let it flow. Kalau bagus, alhamdulillah. Kalau jelek, ya sudahlah. Next time bisa diperbaiki.

Beda lagi dengan Nuri. Sahabatku yang satu itu berada di tengah-tengah. Kadang dia bisa mager, kadang bisa rajin banget. Tetapi, hasil gambaran Nuri yang paling bagus di antara kami berempat. Apalagi di mata kuliah Gambar Bentuk. Nilai dia selalu yang terdepan. Namun, kalau di mata kuliah studio Nirmana Dua Dimensi, aku agak percaya diri. Makanya sampai rela begadang demi tugas yang besok bakal dikumpulkan. Aku berharap semoga tugas kali ini bisa dapat nilai bagus dan kesempatan untuk masuk ke prodi Kriya Tekstil semakin terbuka lebar.

Semangat, Mehira!

***

Finally, waktu jam istirahat makan siang tiba. Pak Zainul yang selalu tampil modis dengan kumis setebal ulat bulu, sudah beranjak dari mejanya. Begitu juga dengan para asdos lain, kecuali Kak Gina yang masih duduk sambil merapikan tumpukan kertas tugas para mahasiswa. Aku berjalan agak cepat ke arahnya.

"Kak, maaf saya tadi telat. Ini mau ngumpulin tugas, Kak," kataku pelan. Bohong, kalau aku tidak merasa cemas sekarang. Takut kalau sampai tugasku tidak diterima, bisa-bisa nilaiku anjlok semester ini.

Kak Gina melirikku sekilas, lalu melihat ke kertas tugas yang masih ada di genggaman. Gadis berkerudung abu tua yang ada di hadapan, terlihat tengah menimbang-nimbang akan menerima tugasku atau tidak. Begitu tangannya bergerak untuk meraih kertas tugas yang kugenggam erat, lalu menumpuknya di atas tumpukan kertas tugas lainnya, baru aku bisa bernapas lega.

"Terima kasih banyak, Kak."

"Sama-sama. Lain kali jangan telat lagi, ya."

Aku mengangguk paham, lalu pamit undur diri. Tujuan selanjutnya adalah pintu keluar kelas, di mana Nadia dan Nuri sudah menunggu.

"Ayo makan. Si Ay mane?" tanyaku sambil celingak-celinguk.

"Noh, orangnya. Habis dari WC dia," tunjuk Nuri memakai dagunya yang lancip.

Ay langsung mengapit lenganku seperti biasa, dan kami berempat berjalan menuju kantin Bengkok. Begitu sampai, kami berpisah jadi dua tim. Aku dan Nadia, melipir ke konter di sisi kiri, sementara Ay dan Nuri berbelok ke sisi kanan. Kami berempat berkumpul lagi di meja beton bagian belakang yang kebetulan baru saja kosong. Beberapa teman seangkatan yang juga sedang berkumpul di sekitar, menyapaku dan ketiga sahabat. Ay malah sempat bergabung di meja tempat Astrid, Ajeng dan Dendi duduk.

Kayaknya cuma aku yang temannya paling sedikit. But, it's okay. As long as I have all three of them.

"Me," panggil Nadia ujug-ujug saat aku selesai menyuap suapan pertama.

"Ya, Nad?" tanyaku, membalas panggilannya.

Perasaanku langsung tidak enak saat melihat Nadia sedang serius memperhatikanku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Keningnya berlipat jadi beberapa tingkat. Mata bulatnya menyipit sampai tinggal segaris. Biasanya, kalau nih anak sudah menampakkan wajah penuh selidik begini, pasti ada yang lagi mengganggu pikirannya.

Benar saja. Tidak lama, dia menegakkan posisi duduk dan melipat kedua tangan di depan dada.

"Gue baru nyadar kalo warna kerudung lo sangat tidak matching hari ini, Me," ujar Nadia menyampaikan kesimpulan. Kali ini aku ikut mengernyitkan dahi.

"Ini kan, bukan hari Selasa, Nad. Si Mehe tampil maksimal tiap hari Selasa doang," tuduh Ay asal.

Bahuku merosot tajam. Tidak puas dengan penuturan si Ay Ay. Padahal dari Senin sampai Jumat aku selalu berusaha tampil maksimal, lho. Masa tidak kelihatan? Sedih.

"Enak aja, lo," sanggahku sebal.

"Ay, Nadia. Si Mehe kan, tadi pagi telat. Wajarlah, dia pake bajunya asal comot," bela Nuri.

"Nah! Itu Nuri aja paham. Kalian berdua mah, enggak peka, nih. Enggak asyik!" aku menyindir sembari menjulurkan lidah, sebelum memeluk Nuri yang duduk di sebelah.

"Iya, deh. Sorry, Meheku sayang," sahut Nadia dan Ay hampir bersamaan.

"Hm."

"Eh, ntar beres kuliah jadi ke Cowboy, kan?" imbuh Nadia lagi.

Pandangannya bergerak bergantian ke arah aku, Ay dan Nuri. Aku mengangguk tanpa menghentikan kegiatan makan siang. Gara-gara pertanyaan absurd-nya tadi, aku sampai lupa menyuap. Alhasil, ayam teriyakiku sekarang sudah dingin. Huh.

"Boleh, Nad. Lo ada masalah apa, btw?" tanya Nuri penasaran. Ay yang juga lagi asyik makan, ikut mendekat bersiap mendengar.

"Si Fasih kunaon deui?" aku ikut bertanya, lengkap dengan bahasa sunda. Bahasa yang jarang terdengar dalam obrolan kami sehari-hari. Sebab, ketiga sahabatku ini berasal dari Jakarta. Aku sendiri yang dari Bandung.

"Tahu aja lo tentang si Fasih."

"Soalnya ya, yang bikin lo galau selama gue kenal lo hampir setahun ini, ya cuma si Fasih doang."

Ay dan Nuri mengangguk cepat. Setuju dengan perkataanku barusan. Nadia mendelik beberapa saat, lalu mengembuskan napas panjang dari bibir mungilnya.

Selama ini, Nadia sama pacarnya memang sering berantem. Sedikit-sedikit galau. Habis itu happy lagi setelah berbaikan. Meskipun masih mendingan dia, sih. Yang jadi objek galaunya itu nyata. Sementara aku, menggalaukan seseorang yang bahkan tidak tahu, kalau aku suka banget sama dia. Miris, kan? Ya, namanya juga pengagum rahasia.

"Berantem kenapa, Nad?" tambah Nuri.

Nadia merapikan makanannya yang sudah habis, lalu melipat tangan rapi di atas meja makan. Berpikir sejenak sebelum memulai sesi curhat. "Jadi, hari Sabtu kemarin, dia bilang kalau bulan depan mau ke Bali sama temen-temen kampusnya. Ya, semacam minta ijin gitulah."

"Terus ...," komentar Ay.

"Gue udah ngijinin sih, tapi kayak nggak ikhlas gitu, loh." Nadia mulai gelisah. Matanya mengerling ke sembarang arah.

"Why?" Kali ini aku yang bertanya.

"Soalnya ada temen ceweknya yang ikut," jawab Nadia. Jadi ini inti permasalahannya.

"Oh ...," kataku, Ay dan Nuri kompak.

"Bukannya banyakan, Nad. Nggak dikitan gitu, kan?" tanya Nuri. Nadia kelihatan berpikir lalu mengeluarkan iPhone-nya. Jemari lentiknya itu mengusap layar ponsel beberapa kali.

"Seginian, nih." Gadis berkacamata yang duduk di hadapanku, menyodorkan benda canggih miliknya ke tengah meja. Menunjukkan foto Fasih beserta teman-teman satu gengnya. Aku menghitung sekilas jumlah cowok dan cewek yang ada di foto.

"Banyakan itu mah, Nad. Yang cewek juga ada 2 orang," sambungku heran.

Nadia menggeleng tidak setuju. "Masalahnya, salah satu temen ceweknya si Fasih tuh, pernah pdkt ke Fasih pas awal-awal masuk kuliah. Kalian inget, nggak? Bulan apa tuh, yang gue curhat galau-galauan kalo si Fasih kayak selingkuh, tahunya nggak?" jelas Nadia yang diakhiri dengan sebuah pertanyaan yang membuatku harus mengingat-ingat kejadian di masa lampau.

"Oh ... iya inget gue. Yang si Fasih ujug-ujug dateng ke kosan lo malem-malem, kan?" jawab Ay. Nadia mengangguk lagi.

"Nah itu, masalahnya. Gue agak nggak percaya aja gitu. Emang sih, tuh cewek pdkt gara-gara Fasih belum ngasih tahu kalo udah punya pacar. Si Fasih tuh, memang suka geblek kadang-kadang!" Nadia semakin emosi. Kali ini dia berkata sambil meremas botol plastik bekas minumannya yang sudah habis sampai remuk maksimal.

"Tenang, Nad. Jangan langsung panas gitu," sahutku, seraya mengelus-elus punggungnya yang menegak. "Yang lo takutin itu belum pasti terjadi. Coba percaya aja dulu sama Fasih, Nad." Wah, Mehira lagi bijak, nih.

"Kalau nggak, kenapa lo nggak ikut aja? Siapa tahu dibolehin sama bokap," sahut Ay memberikan ide.

Wajah Nadia langsung berubah antusias. Nuri mengelus dadanya sendiri tanpa dia sadari. Semacam berkata dalam hati. 'Alhamdulillah ... Ay ada ide bagus jadi Nadia nggak marah-marah.'

Nadia Tavisha ini kalau lagi marah atau emosi, bisa berubah jadi menyeramkan. Mana kuliah masih ada sisa setengah hari. Berdekatan sama cewek yang lagi berantem sama pacar LDR tuh, memang ngeri-ngeri sedap. Senggol sedikit bisa kena bacok. Eh, kena omel maksudnya.

"Eh boleh juga tuh ide lo, Ay. Gue udah kenal sih, sama beberapa temen cowoknya. Jadi nggak asing-asing bangetlah," tambah Nadia semringah. Mata bulatnya terbuka lebar. Pipi tembamnya juga semakin mengembang, karena tak berhenti menyunggingkan senyuman.

"Udah clear, ya? Yuk, mari ke kelas!" ajakku setelah melihat jarum panjang sudah di angka sebelas. Lima menit lagi, kelas kembali dimulai.

"Let's go!" sahut mereka bertiga.

"Eh, Meh. Si Bebep gimana? Kapan mau pdkt?" tanya Nadia penasaran, saat kami berempat berjalan beriringan. Aku hanya mengangkat bahu sebentar.

"Kayaknya mulai besok, sih. Gue bakal berusaha buat lebih menunjukkan isi hati yang terdalam. Jadi nggak sabar gue. Kyaaaa...," jawabku heboh, sembari menautkan kedua telapak tangan dan menaruhnya di samping pipi kanan.

Ketika mendapati Nadia yang tengah memicingkan mata, niatku untuk meminta pendapat padanya langsung sirna. Buru-buru kupercepat langkah kaki dan menyusul dua sahabatku yang sudah berjalan beberapa langkah di depan.

"Guys, besok gue pake baju apa, ya? Kasih saran outfit, dong!"

Belum sempat menjawab, perhatian Ay dan Nuri sudah dicuri oleh Nadia yang tiba-tiba beringsut mendekat. "Kalian harus lihat mukanya si Mehe barusan! Anjir, pengen gue tampol rasanya!" seru Nadia menyebarkan aib.

"Apaan sih, Nad! Biasa aja ka—"

"Eh! Jangan berisik! Itu ada tatib. Shuuttt ..."

Teguran Nuri membuat mulutku dan Nadia mengatup rapat-rapat. Ay sempat bergeming, sebelum kembali lanjut berjalan. Aku yang sedang berjalan mundur, langsung memperbaiki posisi dan menunduk saat melewati kakak tatib yang lagi duduk-duduk di dekat tangga gedung TPB. Setelah naik dua lantai, baru kami berani bersuara.

"Wah, beres kelas siap-siap digerebek lagi kita," kata Ay tampak kecewa.

"Bakal ada acara apaan, sih? Yang dikerjain apa gitu?" tanyaku tidak tertarik.

"Lo lupa, Meh? Kan bentar lagi bakal ada acara FSRD. Pameran kakak-kakak senior, kalau enggak salah. Ya ... kita mah remahan TPB pasti kebagian bikin pernak-pernik atau merchandise gitulah." Nuri yang sudah ikut kegiatan beberapa kali, mengambil alih untuk menjelaskan.

"Elo mah kabur mulu sih, Meh," sahut Ay, mulai iseng mendorong-dorong badanku.

"Ah, kayak elu kagak aja," balasku tidak mau kalah.

Nadia yang mulai jengah, akhirnya turun tangan memisahkan kami berdua yang sedang bertengkar tidak jelas. "Udah, woy! Ntar jatoh ribet pula!"

"Maap, Mbak. Maap," kilah Ay sambil menahan tawa, begitu juga denganku. Kami berdua langsung berhenti bercanda dan berusaha berjalan normal.

"Yah, gue bawa drawing bag pula. Susah kabur kalau begini caranya." Aku mengeluh sembari menepuk jidat.

"Tas gue juga segede gaban. Terpaksa ngikut deh, kita." Nadia ikut mengeluhkan.

"Ya, udah. Sekali-kali kalian ikutan gawe gitu, Nad, Meh." Nuri memandangiku dan Nadia secara bergantian dengan wajah sendu.

"Mager, Nur. Nggak ada pemandangan soalnya," aku berkata asal. Tetapi, memang benar, kok. Kakak tatib itu kebanyakan yang mukanya seram sama jutek habis.

"Eh, kata siapa? Jangan salah lo semua."

Nuri tiba-tiba bersemangat. Kami bertiga jadi beringsut mendekat ke arahnya, saking penasaran dengan perubahan gestur Nuri. Pasti ada objek menarik, nih.

"Pas acara gawe yang terakhir, ada kakak kece tahu. Lo pada balik, sih. Gue ngikut sampe kelar sama si Tasha," lanjut Nuri, menceritakan kisahnya.

"Siapa, Nur?" tanya Nadia penasaran.

"Aduh, gue lupa namanya. Tapi kece banget. Anak Produk deh, kalo nggak salah. Gayanya emang slengekan gitu, sih. Terus rambutnya agak gondrong, tapi tampangnya lumayan bersihan dibandingin sama yang lain. Pas kemaren yang paling mentereng dia doang. Makanya langsung kelihatan. Lo sih, pada kabur mulu kerjanya."

"Uh ...."

Tanpa sadar, aku, Ay dan Nadia mengangguk berbarengan sambil menautkan kedua tangan. Berharap si Kakak tatib yang Nuri maksud, bakal datang juga ke kelas nanti sore. Aku jadi penasaran. Sementereng apa, sih?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro