6 - Patah Hati

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tidak sia-sia memang mengikuti gawe kemarin. Meski baru menginjakkan kaki di kamar jam sembilan malam, aku pulang dalam keadaan bahagia. Apalagi alasannya kalau bukan karena FARIS! Dia datang tiba-tiba setelah para kakak tatib selesai memberi daftar pekerjaan yang harus dilakukan oleh anak TPB. Tidak lama, sih. Bahkan tidak sampai tiga puluh menit. Ternyata, pameran yang Nuri bilang kemarin itu adalah pameran para kakak senior tingkat tiga dan empat. Tentunya, Faris juga termasuk di dalamnya.

"Selamat pagi, Pak Radjiman," sapaku setelah mengunci si Avanza telur asin.

"Pagi juga, Neng. Tumben nggak telat pagi ini," balasnya dengan senyuman penuh arti. Aku jadi cengengesan, merasa tersindir secara halus.

"Ah. Bisa aja, Bapak mah." Aku tersenyum malu. "Pak, aku duluan, ya. Udah mau mulai kelasnya," kataku lagi sembari memberikan selembar uang lima ribu rupiah padanya.

"Sip, Neng. Hati-hati nyebrang jalannya."

Aku mengangguk, lalu kembali melanjutkan perjalanan menuju gedung GKU Barat. Alhamdulillah, pagi ini aku tidak telat.

Senyuman dari ketiga sahabat, menyambut saat aku melewati pintu kelas. Ay Ay, Nadia dan Nuri sudah duduk di barisan kursi paling atas. Aku menghampiri mereka seraya melemparkan senyum yang menurutku cukup lebar. Pasti mereka tahu kalau sahabatnya yang satu ini, sedang berusaha untuk menghipnotis diri sendiri.

"Hai, Mehe... Ntar jadi tutor Gamtuknya?" tanya Nadia ramah, begitu aku duduk di sampingnya.

"Jadi, dong. Kata Kak Faris, jam setengah empat sore kumpul di selasar gedung CC Barat. Kayaknya di situ juga belajarnya. Ngampar gitu," jawabku sambil mengeluarkan binder dan alat tulis.

"Kayaknya ada yang kesenengan nih, gara-gara gebetannya nongol tiba-tiba semalem," sindir Ay Ay dengan begitu menyebalkan. Gerakanku sempat terhenti, tapi tidak lama. Kemudian aku melipat kedua tangan di atas meja kecil yang menempel di kursi.

"Menurut lo?" aku membalas sembari memutar bola mata malas.

"By the way, gue lihat style lo masih sama aja. Nggak jadi ngikuti saran gue kemaren?" celetuk Nadia yang pagi ini, aku yakin pasti bangun telat sampai tidak sempat mengeringkan rambut panjangnya sehabis keramas.

Ucapan Nadia membuatku garuk-garuk kepala sambil menyengir. "Gue nggak seberani itu ternyata. Hehehe ...."

Nadia tidak tinggal diam mendengar jawabanku. Mulut serta matanya menipis seiring melemahnya suara tawa anehku. Dia sudah bersiap menyemburkan komentar-komentar pedas, tapi gerakan lengan kurus Ay Ay yang mendarat di pundakku membuat mulutnya kembali mengatup. "Nggak apa-apa, Nad. Si Mehe tuh aneh pake rok. Dia bagusan pake celana jeans begini."

Nadia mencondongkan tubuh, dengan wajah serius. "Tapi ini judulnya mau PDKT, cuy! Harus ada perubahan, dong. Biar si Bebep klepek-klepek, gitu." Nadia mulai berapi-api. Kepalanya menoleh ke arah Nuri, meminta dukungan dari gadis yang sejak tadi cenderung pendiam. "Ini lagi si Nuri. Dari pagi, diem-diem bae. Lo kenapa, deh?"

Aku seperti terjebak di tengah-tengah perdebatan tiada akhir, hingga menyadari kalau beberapa pasang mata menoleh ke arah kami bertiga. Nuri tidak masuk hitungan. Dia sudah melamun, tidak lama setelah tatapan kami bertubrukan.

"Udah, udah. Bubar!" seruku pelan, sembari pura-pura sibuk membuka binder yang baru terisi beberapa halaman. Si Ay sama Nadia juga sama. Ujug-ujug berubah jadi mahasiswa teladan.

*

Kami berempat berpisah jalan setelah selesai mengikuti kelas mata kuliah KPIP. Nadia dan Nuri mau mampir ke kantin, sedangkan aku dan Ay Ay langsung naik ke kelas. Tanpa diduga, aku berpapasan dengan Faris ketika hendak naik tangga. Cowok berkulit putih itu mengenakan kemeja flanel motif kotak-kotak sebagai luaran dan kaus hitam polos sebagai dalaman. Pagi ini dia memilih celana jeans warna hitam. Sangat matching, sangat memanjakan. Senyumku merekah. Bagai bunga yang sedang mekar, begitu melihatnya.

"Pagi, Kak Faris ...," sapaku dengan suara paling manis.

"Pagi juga, Ra, Ayu," jawab Faris sembari ikut tersenyuman dan menatap kami satu per satu. Gerakannya langsung berlanjut. Berniat kembali menuruni tangga. Namun, dengan sigap aku melontarkan pertanyaan sampai dia urung undur diri.

"Kak, nanti materi tutornya apa?"

"Oh, itu. Rencananya untuk sore ntar, masih bebas, sih. Sesuai kebutuhan masing-masing anak aja. Lo pilih aja, teknik apa yang paling belum dikuasain."

"Kalau yang belum aku kuasain banyak, nggak apa-apa, Kak?" sahutku lagi, masih konsisten dengan suara merdu.

Ay yang berdiri di sebelah mulai gelisah. Apakah ini pertanda, kalau proses pendekatanku terlalu terang-terangan? Tapi memang begitu tujuannya, bukan?

Faris tertawa pelan. Suaranya sedang. Tidak terlalu rendah, tapi menggiurkan. Eh.

"It's okay. Nanti kita belajar pelan-pelan," responsnya ramah.

Jantung ini langsung berpacu lebih cepat, setelah mendengar suaranya lagi. Pagi ini dia kelihatan glowing sekali. Kayak ada senter yang menyinari dari belakang.

"Makasih, Kak Faris," ucapku pelan sembari mempertontonkan senyum tiga jari.

"Sama-sama." Faris mundur selangkah, lalu pamit padaku dan Ay.

Begitu sosoknya sudah menjauh, aku langsung menyenggol lengan sang sahabat, sambil mendekatkan kepala ke telinganya. Namun, belum sempat mengucapkan apa-apa, gadis beraroma vanila ini lebih dulu membuka mulut. "Lo menggelikan, Meh."

"Hah? Maksud lo? Bagian mananya yang menggelikan?" tanyaku panik.

Kepala langsung sibuk memutar ulang adegan demi adegan yang terjadi beberapa saat lalu. Sementara Ay terus berjalan menaiki undakan tangga. Tidak berniat menjawab pertanyaan, sampai akhirnya kami tiba di lantai tiga. "Suara lo, Meh. Ternyata lo ada bakat genit juga, ya," Ay berkata sambil geleng-geleng kepala, lalu kembali berjalan memasuki kelas.

"Kan lo juga yang nyuruh gue buat menunjukkan perasaan ke doi. Jadi tadi terlalu kentara? Intonasi gue berlebihan gitu? Perasaan suara gue biasa-biasa aja, deh," tanyaku, begitu meletakkan tas di meja dan duduk di kursi kayu bulat.

Alis Ay terangkat sebelah, lalu pundak kurusnya perlahan melemah. Dia mendesah aneh, seperti baru teringat sesuatu. Membuatku semakin gelisah, dan tidak sabar menunggu responsnya.

"Gue ... nggak jadi deh, Meh. Gue serba salah, sih. Gue-"

"Cuy! Ngomongin apaan, sih. Intens banget, lo berdua?" seru Nadia, yang baru saja muncul dengan Nuri di belakangnya.

Ketika hendak menjawab pertanyaan Nadia, secara tidak sengaja aku menangkap mata Ay Ay tengah menatap Nuri dengan pandangan sendu yang aneh. Aku tahu ada yang salah. Pasti ada yang terjadi semalam. Sesuatu yang mampu membuat kedua sahabatku bersikap janggal.

*

Siangnya, aku, Nadia, Ay Ay, dan Nuri memilih untuk makan siang di kantin UBC. Singkatan dari University Bookstore and Cafe yang terletak di gedung CC Timur. Menurutku, kantin atau bisa dibilang kafe ini adalah tempat makan ternyaman yang ada di kampus. Ruangannya full AC, dan banyak stopkontak. Jadi bikin betah kalau mau mengerjakan tugas atau sekadar makan saja. Meskipun jenis makanan yang dijual tidak sebanyak di kantin lain, tapi rasa makanannya tidak kalah enak. Harganya juga sesuai dengan tempatnya. Ada harga, ada rupa.

"Kayaknya siang ini, silau banget ya?" ujarku sebelum menyeruput Milkshake Stroberi. "Ah ... segar," sambungku seceria mungkin.

"Kayaknya si Mehe udah happy, nih." Ay mengangkat kedua alisnya sambil melihat ke arahku. Sikapnya sudah berangsur kembali seperti semula. Sedikit banyak, aku merasa tenang. Mungkin, firasatku saja yang berlebihan.

"Udahlah. Orang tadi matanya nggak lepas-lepas dari si Doi," sahut Nadia membenarkan. Kami bertiga tertawa bersama, kecuali Nuri. Raut wajahnya masih terlihat cemas sejak pagi. Seperti ada yang mau dia katakan, tapi tidak tahu kapan waktu yang tepat.

"Lo kenapa deh, Nur?" tanya Nadia.

Nuri yang sejak tadi memainkan sedotan di gelasnya, langsung mengangkat kepala. Mata Nuri mulai bergerak. Memandangi kami bergantian. Lalu iris mata cokelatnya berhenti lama di titik mataku, sebelum beralih pada Ay yang tengah menggeleng pelan.

"Meh. I have a bad news." Perkataan Nuri langsung membuatku tegang.

"Nur," sela Ay cepat.

"Mehe harus tahu, Ay," bantah Nuri tegas.

Air wajah kedua sahabatku menegang. Mereka beradu pendapat lewat tatapan mata. Nadia yang tidak tahu apa-apa, kelihatan kesal sekaligus bingung. Mata bulatnya melebar. Dia juga menyandar penuh pada kursi plastik berwarna putih yang mulai kusam. Seketika, situasi berubah sunyi. Tidak adanya suara musik di sini, menambah hening suasana. Aku mengambil inisiatif dengan memajukan kursi dan melakukan sikap duduk sempurna.

"Okay. Gue siap, apapun itu beritanya."

Nuri memalingkan kepala padaku. Dia membuka suara. Perlahan, dan langsung membuat detak jantung tidak keruan. "Kalian tahu Dita, nggak? Anak kelas 1," lanjut Nuri serius. Gadis dengan rambut dikuncir kuda ini, tidak melihat ke arah Ay. Dia hanya menatapku dan Nadia secara bergantian.

"Gue nggak tahu, Nur. Tapi kalo liat orangnya mungkin gue inget," jawab Nadia. Aku juga ikut menggeleng, karena memang betulan tidak tahu Dita itu yang mana.

"Dita itu, yang putih agak pucet, terus rambutnya panjang dan bergelombang," jelas Ay Ay.

"Kuntilanak maksud lo?" serbu Nadia ingin bercanda, tapi tidak ada yang tertawa bersamanya.

"Nad," tegur Nuri galak dengan suara rendah.

"Minggu lalu dia ngajak gue ngobrol pas kuliah SAS. Inget gak lo, Meh? Kan lo duduk di sebelah gue," kata Ay Ay kembali menjelaskan. Aku melongo selama beberapa saat. Berusaha mengingat-ingat orang yang Ay maksud.

"Ah ... iya, iya. Inget gue. Yang anaknya kelihatan lemes gitu bukan?" kataku lagi. Nuri dan Ay mengangguk. Nadia hanya mengatakan kata 'oh' yang panjang, tanpa emosi.

"Kata si Tasha, ada gosip kalau Kak Faris suka ama si Dita itu." Sedetik kemudian, aku lemas. Seperti ada yang menyedot habis energiku. "Dan ... kemarin, gue liat mereka berdua pulang bareng."

"SERIUSAN LO NURI?" tanya Nadia berteriak sampai beberapa mahasiswa yang ada di sekitar, melirik ke arah kami berempat.

"Kalem, kalem." Nuri mencoba menenangkan. Nadia memeluk dari samping sambil menepuk-nepuk pundakku.

Kok, sedih begini rasanya. Nasib percintaanku sepertinya sudah tidak ada harapan. Baru saja mau pendekatan, eh sekarang dapat berita Faris suka sama cewek lain.

"Sorry, Meh." Nuri berkata pelan, sembari memegang punggung telapak tanganku. "Kayaknya mereka masih pdkt, sih. Masih ada kesempatan, Meh. Semangat!"

Tidak ada yang menjawab perkataan Nuri tadi. Suasana makan siang kami berubah suram. Aku masih kaget sampai tidak bisa berkata apa-apa. Berita ini terlalu tidak disangka-sangka.

Ternyata Faris suka sama cewek lain. Padahal selama ini aku lihat dia tidak pernah dekat dengan siapa pun. Dita itu tipe cewek yang feminin dan lemah lembut. Kalau cantik sih, menurutku standar. Namun masalahnya, aku dan Dita sangat jauh berbeda.

"Meh, ngomong dong. Jangan diem aja. Komen apa gitu," bujuk Ay Ay sambil menyenggol tanganku pelan.

"Mau komen apaan? Gue lagi patah hati, Ay," jawabku sebelum tertunduk lemah hingga kening menyentuh permukaan meja.

"Eh, jangan nangis dong, Meh! Jadi nggak enak gue."

Buru-buru kuangkat kepala untuk membalas tatapan Nuri dan kedua sahabat. "It's Okay, Nuri. Santai aja. Namanya juga pengagum rahasia, ya begini resikonya. Hahaha ...," ujarku sembari memaksakan diri tertawa untuk mencairkan suasana. Kuhirup dalam-dalam udara, berusaha untuk tetap berpikir positif.

Namun, haruskah kulanjutkan proses pendekatan yang baru saja dimulai ini?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro