1. Bayi Hanyut Dalam Daun Pisang

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| Hey Presto | 1163 words |
| Bayi Hanyut Dalam Daun Pisang |

Mimpiku biasanya absurd, tetapi malam ini yang paling parah.

Langit tergulung seperti tikar pandan di atas kepala. Petir menyambar-nyambar dan menyebabkan geladak utama kebakaran. Di haluan kapal, aku berdiri dengan berani—atau bodoh. Pedang keperakan sepanjang satu meter di tangan kanan, perisai berat bertatahkan intan di tangan kiri. Ombak naik setinggi tujuh meter di depan, dua belas meter di belakang, dan empat meter di kiri-kanan.

Dua anak perempuan kembar memekik-mekik di belakangku: "Jason, awas tikusnya!"

Tikus-tikus kelabu berkerumun di dekat kakiku dan mencicit: "Satu gigit saja, Bung—biarkan kami menggigitimu!"

Se ... buntelan kepala dengan rambut gondrong menggelinding dekat kakiku, menakut-nakuti para tikus, dan berteriak: "Nak, kau lihat badanku di mana?"

Seekor kuda putih dengan surai keperakan berderap keluar dari geladak utama dan meringkik kepadaku: "Angkat pedangmu, Sobat! Jangan teralihkan! Kalau kau mati sekarang, aku tidak dapat jerami!"

Sesosok kurcaci menyumpahiku: "Jason—anak tengik! Lempar dirimu ke laut!"

Lempar apaku ke laut?

Seekor serigala menyeringai di sampingku, untuk alasan tertentu aku menganggapnya kawan meski liurnya menetes-netes dan tatapan nyalang di matanya seperti menganggapku makan malamnya.

Dua ekor ikan raksasa melompat keluar dari samping kanan kapal dan masuk ke laut lagi ke sisi kiri kapal, mengguyurku dengan air laut seolah badanku masih belum basah kuyup.

Tiga hantu wanita duduk di tepi langkan sambil cekikikan menatapku—mungkin dengan maksud menggoda, tetapi, sialan, mereka seramnya minta ampun.

"Jason, awas, di atasmu!"

Normalnya, orang akan mendongak dulu untuk memastikan ada apa di atas kepala mereka, tetapi entah bagaimana aku sudah tahu; aku langsung melompat ke samping, nyaris tercebur melampaui langkan. Di tempatku tadinya berada, berdebumlah bayi raksasa seberat kurang lebih seratus kilogram dengan tinggi hampir tiga meter. Lantai kapal retak di bawah popoknya yang penuh. Kalau aku masih di sana ....

Ada yang bilang bahwa manusia bisa mati dalam tidur. Kurasa, mereka mati karena terlambat melompat saat kejatuhan bayi raksasa dan remuk digencet pantat berpopok.

Kalau manusia memang bisa mati karena itu, maka artinya tiap malam aku mempertaruhkan nyawa. Tiap malam mimpiku berbahaya. Dan aku yakin, tiap malam juga bayi raksasa ini mencoba jatuh di atas kepalaku.

Bagaimana awal mulanya, aku tidak tahu. Sejak aku dapat mengingat, tidurku memang tidak pernah nyenyak. Mimpi buruk selalu datang padaku.

Abah Lian bilang, ini mungkin diakibatkan trauma masa kecil. Tidak seperti kebanyakan anak yang ditinggal keranjangnya di depan pintu panti dengan secarik kertas Rawatlah bayi ini dengan baik, aku bayi tangguh yang dihanyutkan di sungai. Di dalam kotak bir, berselimutkan daun pisang, dan telanjang bulat. Di malam berbadai, saat bulan purnama di mana air sedang pasang.

Dan, anak-anak panti mengagumiku untuk itu. Jika aku mau kasar, aku bisa saja menyalak, Kau mau keren sepertiku? Sini, masuk ke kotak bir!

Pada dasarnya, Abah Lian tidak menemukanku. Dia mengakui sendiri saat itu dia mengabaikan kotak bir asing yang hanyut di sungai karena 1) dia mesti cepat-cepat pulang sebelum badai merusak mantelnya; dan, 2) dia akan diomeli Amak Sarah jika berani menyentuh minuman keras.

Abah Lian tidak bisa masuk ke Rumah Pelita—nama panti asuhan yang dikelolanya—karena saat itu sekumpulan bandit turun ke jalan dan menggedor-gedor tiap pintu yang mampu mereka capai. Para bandit itu mabuk-mabukan petang sebelum badai, lalu berhamburan di jalan untuk mencari tempat berteduh begitu hujan lebat berubah menjadi bencana.

Abah terpaksa bersembunyi di bawah jembatan, berbagi kardus basah dengan seorang gelandangan. Hanya beberapa meter di depannya, kehangatan rumah menunggu, tetapi dia tidak bisa menyebrangi jalan kecuali ingin digebuki oleh empat belas pemabuk.

Abah Lian menyaksikan dua orang dari bandit itu berusaha mengambil kotak bir hanyut dengan galah kayu. Salah satunya tercebur dan terseret arus, melolong "TOLONG! TOLONG!" sambil mengulurkan tangan untuk ditarik oleh temannya, tetapi teman banditnya hanya berteriak, "DAPAT!" sambil mengangkat kotak bir tinggi-tinggi, membiarkan kawannya hanyut entah ke mana. Kini, kawanan bandit itu tinggal bertiga belas, tetapi mereka takkan menyadarinya karena tak satu pun dari mereka mampu berhitung sampai di atas angka 7.

Para bandit yang sudah krisis kesadaran itu mengerubungi kotak bir dan menyingkap daun pisang. Suara tangisan bayi terdengar dari dalam kotak, membuat para bandit mendesah kecewa—dasar tidak sopan.

"Ini bukan bir!" teriak si bandit yang kecewa karena telah menukar nyawa temannya yang berharga dengan seorang bayi kotor.

"Tunggu!" kata bandit lainnya. "Sepertinya tadi ada sedikit tumpahan wiski di balik pantat bayi itu!"

Mereka mulai memperdebatkan apakah cairan kuning itu keluar dariku atau anugerah dari kotak bir. Sementara itu, Abah Lian bernegosiasi dengan gelandangan di sebelahnya untuk bertukar rompi dan jas hujan. Setelah mendapatkan pakaian yang lebih kotor untuk mengurangi risiko dirampok, Abah Liah mengusutkan jenggotnya dan nekat keluar dari persembunyiannya, lalu berbaur di antara para bandit.

"Singkirkan bayi itu!" bentak Abah Lian. Usianya sudah di akhir 40-an, tetapi suaranya mampu mengalahkan badai.

Para bandit yang setengah akalnya sudah melayang dibawa badai langsung gelagapan, mereka menatap ketakutan pada si pria tua seolah memercayai bahwa Abah Lian adalah pimpinan mereka yang mereka lupakan wajahnya. Dengan wajah keras dan mata menyipitnya, Abah Lian menggertak lagi seraya menunjuk Rumah Pelita, "BAWA KE SANA! BAYI ITU MERUSAK SELERA MINUMKU!"

Si bandit perkasa buru-buru membungkusku kembali dengan daun pisang, lalu menaruhku di depan pintu penatu.

Penatu, bukan Panti Asuhan Rumah Pelita. Bangunannya memang bersebelahan, hanya tersekat gang sempit yang nyaris tidak bisa dilewati orang dewasa, tetapi kedua bangunan itu amat berbeda. Ada palang besar yang membedakan PENATU MAMA RIA dengan PANTI ASUHAN RUMAH PELITA. Selain buta angka, rupanya para bandit itu juga buta huruf.

Jadi, singkat cerita, Abah Lian membawaku masuk ke panti setelah para bandit itu pergi. Legenda mengatakan, mereka masih tidak sadar mereka tinggal bertiga belas.

Aku dinamai Jason karena seseorang (mungkin orang tuaku) telah mengukirkan nama itu pada kayu di bagian dalam kotak bir. Hanya itu. Tidak ada surat tanda penyesalan atau permohonan Rawatlah bayi ini. Tidak ada instruksi khusus apakah aku alergi pada sesuatu atau alasanku dibuang.

Kurasa, orang tuaku memang tidak peduli apa pun yang terjadi padaku. Bahkan jikalau aku dipungut orang bodoh dan jahat—salah satu bandit itu, misal—lalu mereka tak bisa merawatku dengan benar karena tidak ada suruhannya, orang tuaku mungkin tak ambil pusing.

Yah, kita sudah menamainya Jason. Kubayangkan mereka berpikir demikian. Tugas kita sudah selesai. Bayi ini sudah siap hidup mandiri.

Yah, aku pipis sendiri dalam kotak. Kurasa, itulah ukuran mandiri bagi mereka.

Meski aku tak ingat kejadian itu dan hanya mendengar dari cerita Abah Lian dan Amak Sarah, entah bagaimana mimpi burukku sering sekali membawaku ke tengah lautan atau kapal atau sungai.

Seperti saat ini, contohnya.

Ombak bergulung mendekat, mencoba menelan kapal. Dari salah satu ombak tinggi di depan, air berbuih dan mengangkat sesosok wanita bergaun sutra dengan hiasan bunga-bungaan di rambutnya yang keemasan. Pertanyaan pertama yang terlintas di benakku adalah: habis keluar dari air laut, kenapa dia masih kering?!

Pakaianku berat karena basah. Pedang yang kupegangi mulai membebani hingga tanganku sakit, perisainya apa lagi.

"Jason," ujar si wanita dari buih laut, "waktumu telah tiba. Bayi yang lahir di tengah gelombang, harus mati di lautan."

Kudapati diriku berucap, "Bukan aku! Tapi—"

"Jason!" Seekor putri duyung melompat keluar dari laut dan menampar wajahku dengan siripnya. "Jason, bangun!"

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro