2. Anak-Anak Laut di Daratan Bawah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

| Hey Presto | 2811 words |
| Anak-Anak Laut di Daratan Bawah |

Aku terbangun dengan peluh membasahi sekujur tubuh. Piamaku lengket ke badan dan rambutku menempel di kening seolah-olah aku masih berada di tengah semburan air laut. Masih berbaring, aku melirik ke depan, di mana Abbiah—adik angkatku—duduk bersila di atas perutku yang masih tertutup selimut.

Umur Abbi masih 7 tahun, tetapi dia tergolong anak yang berisi dengan pipi menggembung kemerahan dan mata cokelat besar berbinar. Tangannya yang kecil tetapi berjari gemuk-gemuk menepuk-nepuk dadaku. "Jason, ayo, kita cari Nerverian! Matahari sebentar lagi terbit!"

Aku mengerjap-ngerjap, masih setengah mengantuk. Jam di atas nakas menunjukkan ini masih pukul 3 pagi. Aku memaksa diri untuk bangkit. Abbi turun dari atas perutku, menarik tanganku dengan tidak sabar.

Kupasang mantel hitamku yang kasar, tetapi cukup hangat. Sisa salju yang belum meleleh di tanah dan bercampur lumpur masih terlihat saat aku menengok ke jendela.

Aku berjongkok sampai sejajar dengan Abbi. "Mantelmu mana?"

Dia merogoh ke dalam perut piamanya dan mengeluarkan gumpalan mantel merah muda. Senyumnya merekah lebar seolah dia baru saja melakukan sulap dan bangga akan itu.

Setelah membantu Abbi memakai mantelnya, aku menggandeng tangannya ke luar. Kami mengendap dari lorong ke lorong, dari tangga ke tangga, melewati kamar anak-anak lainnya, toilet lantai bawah, lalu terakhir kamar Amak Sarah. Kalau tertangkap, kami bisa dimarahi.

Di panti asuhan ini, total ada 20 anak—empat anak perempuan yang berumur 5 sampai 10 tahun (termasuk Abbi) tidur bersama dalam satu kamar, begitu pula enam anak laki-laki yang berusia sepantaran di kamar lain. Lima bayi tidur di kamar Amak Sarah dan Abah Lian. Lima anak lainnya dapat kamar sendiri, termasuk aku, karena kami yang paling tua dan bangunan ini punya terlalu banyak kamar kosong. Dulu, kamar-kamar di Rumah Pelita selalu penuh—ada 40 sampai 50 anak. Namun, sejak kedatangan para pedagang dari Negeri Timur dan bangsawan dari Benua Barat tahun lalu, selalu ada anak-anak yang diadopsi tiap bulannya.

Kudengar dari Zirar, orang-orang kaya dari Benua Barat jarang punya anak sendiri dan lebih memilih mengadopsi anak dari Daratan Bawah yang miskin seperti kami untuk menaikkan derajat mereka sebagai "dermawan", sedangkan orang dari Negeri Timur punya kepercayaan sendiri tentang memelihara anak yatim-piatu yang dianggap sebagai pembawa keberuntungan dan bisa meningkatkan keuntungan usaha mereka.

Tahun ini, umurku menginjak angka 11. Hampir mustahil ada yang mau mengadopsiku. Para pengadopsi dari negeri nan jauh itu biasanya menginginkan anak yang masih aduh-imut-imut-dan-lucunya-anak-ini, bukan yang amit-amit-dia-sudah-hampir-remaja-dan-bakal-merepotkan-kita. Mereka seringnya menginginkan anak yang masih kecil, seperti Abbiah. Dia akan dibawa orang tua barunya besok.

Kami menuju pintu belakang. Namun, sebelum keluar, aku menyelinap ke dapur tanpa menyalakan lampu dan menyelundupkan dua potong kentang rebus sisa makan malam. Sudah dingin—tentu saja. Namun, kami harus makan sesuatu sebelum pergi menyambut udara beku di luar.

Duduk di ambang pintu belakang, aku dan Abbi mengunyah kentang rebus masing-masing. Ini akan jadi kentang rebus terakhir Abbi. Setelah ini, dia akan bisa memakan apa pun yang dia inginkan. Semua makanan mewah—ayam panggang, daging sapi, sayur-sayuran segar, buah-buahan matang yang terbaik—yang hanya bisa kami nikmati saat perayaan akan menjadi makanan sehari-hari baginya. Keluarga yang akan mengambilnya sangat kaya. Yah, semua orang Benua Barat pasti kaya.

Apakah aku iri? Barangkali. Empat tahun lagi, kalau aku tidak kunjung diadopsi, aku akan memasuki umur legal untuk dijadikan kuli atau budak bagi tuan tanah Benua Barat dan pedagang Negeri Timur. Namun, bukan berarti aku tidak senang Abbi akan diadopsi. Maksudku, tentu saja aku sedih kalau kami mesti berpisah, tetapi kalau itu artinya dia bisa punya kehidupan yang lebih baik daripada di sini—

"Hari ini harus dapat, ya?" celoteh Abbi memecahkan lamunanku. Remah kentang berjatuhkan ke mantelnya. "Pokoknya kita cari Nerverian sampai dapat."

Mendengarnya mengatakan itu, sejujurnya, membuatku panik setengah mati.

Nerverian itu tidak ada. Itu cuma dongeng karangan Lotus Al-Farisi, penulis buku anak yang mati gantung diri saat umurku 9 tahun. Aku ingat saat mendengar berita kematiannya, dan di saat bersamaan aku baru tahu bahwa "Nerverian" itu hanya dunia buatannya, aku menangis berjam-jam karena merasa dibodohi. Aku dulunya juga percaya Nerverian itu ada. Saat aku tahu bahwa Nerverian hanya karangan orang gila yang pernah masuk rumah sakit jiwa satu kali dan dipenjara tiga kali, rasanya seolah seisi dunia ini bersekongkol untuk mengecewakanku.

Sekarang, aku sudah lebih besar dan mampu menerima kenyataan. Namun, bagaimana dengan Abbiah? Aku selalu membawanya menyelinap keluar pukul 3 pagi pasca bulan purnama karena, di buku, saat itulah Nerverian muncul untuk mengabulkan permintaan siapa pun yang dapat menemukannya. Namun, karena tidak bisa menemukannya (karena ia memang tidak ada), kami akhirnya hanya melihat bintang-bintang dan matahari terbit, kemudian aku selalu berjanji pada Abbi, "Bulan depan, ya? Pasti ketemu."

Kali ini, aku tidak bisa menjanjikan "bulan depan" lagi. Tidak ada bulan depan bagi Abbi di sini. Besok, dia akan pergi menyambut kehidupan barunya di rumah bangsawan di salah satu kerajaan di Benua Barat, atau mungkin dibawa keliling dunia oleh orang tua barunya.

Kentangku sisa separuh, sedangkan Abbi sudah menelan bagiannya. Dia mulai melompat-lompat dan berputar-putar di lorong, berceloteh tentang permohonan-permohonan yang bakal diajukannya pada Nerverian.

"Jason, cepat," desaknya seraya menabrakku. Kakinya mengayuh ke pangkuanku. "Nanti Nerverian-nya hilang!"

"Kalau begitu, ini buatmu saja." Kusodorkan kentang rebusku ke Abbi. Mulutnya membulat, membuka lebar-lebar, dan dia nyaris menelan tanganku serta.

Saat kami pergi ke luar, senyum Abbi tak hilang-hilang dan tangannya terus menggoyangkan gandengan kami. Bagaimana caranya aku mengatakan kalau Nerverian itu tidak ada tanpa menghilangkan senyumnya itu?!

Sesampainya di jalan setapak, aku terlalu sibuk memutar otak untuk memikirkan alasan yang bagus agar Abbi bisa teralihkan. Aku tidak sanggup memberitahunya bahwa Nerverian itu tidak ada. Aku tak memerhatikan, di jalan setapak di depan pagar, Abah Lian berdiri dengan mata membelalak terkejut ke arah kami. Begitu aku menyadarinya, sudah terlambat—dia sudah memergoki kami.

Aku betul-betul lupa. Jam segini, biasanya Abah Lian membantu para kuli angkut menurunkan barang dari kapal di pelabuhan. Dari napasnya yang berat dan ketiak kausnya yang basah, kurasa dia baru selesai.

"Kalian menyelinap lagi?!" Abah Lian masuk ke halaman dan berderap pincang ke arah kami. Sebelah kakinya terluka karena pria ini dulunya pernah dikirim ke Sava saat Daratan Bawah masih berperang dengan Benua Barat. Namun, berkat kakinya yang cedera itulah Abah Lian bisa selamat—dia dikirim pulang ke pesisir sehari sebelum Benua Barat membombardir Sava habis-habisan, nyaris menghapuskan wilayah itu dari peta, dan menandai kekalahan serta awal kemelaratan Daratan Bawah.

Sejak itu pula cuaca buruk melanda Daratan Bawah.

Kudengar, dulunya rumahku ini adalah pulau tropis yang indah—siang yang cerah dan malam berbintang di awal tahun; dan musim penghujan di akhir tahun. Sejak kalah berperang dengan Benua Barat, Daratan Bawah seperti kena kutuk leluhur. Hujan badai datang setidaknya sebulan sekali, salju turun tak menentu, mendung lebih sering tampak di langit ketimbang matahari, dan bintang-bintang tak seterang dulu.

"Maaf ...." Aku tersaruk mundur dan menarik Abbi serta. "Ka-kami akan kembali—"

"Kami mau cari Nerverian!" Abbi berkelit ke depanku. Matanya berkaca-kaca menatap Abah Lian. "Harus ketemu hari ini!"

"Abbi, menyelinap dan keliaran saat matahari belum terbit begini berbahaya!" Abah Lian lalu memelototiku, "Bagaimana kau menyelinapkan Abbi? Kamarnya dikunci oleh Amak, 'kan? Jason, kau seharusnya jadi contoh buat adik-adikmu—"

"Jason bahkan tidak bisa menyelinapkan sebatang cokelat dariku! Aku menyelinap sendiri!" Abbi membusungkan dada bangga. "Aku bisa sulap! Pintunya terbuka sendiri saat kusuruh."

Aku menepuk jidat. Kenapa bocah 6 tahun kalau bohong buruk sekali?! Namun, kalau diingat-ingat lagi, waktu seumuran Abbi, aku menyalahkan Setan Kerdil mencuri permen salah satu kakak angkatku saat aku tak sengaja memakan jatahnya.

"Nerverian-nya harus dapat hari ini!" Abbi mulai memekik merajuk. Dia membuat suara tangisan, tetapi tanpa air mata. "Tidak boleh tidak!"

Abah Lian kebingungan untuk sesaat. Jari-jarinya yang kasar dan kapalan memencet pangkal hidungnya.

"Baik—iya, iya," desahnya, lalu menatap ke ufuk timur di mana dermaga berada. Matanya kemudian menatapku, tangannya mencengkram bahuku. "Di tanah kosong dekat pelabuhan, barangkali Nerverian-nya di sana. Akan kuantar kalian, lalu kita pulang."

Untuk sesaat, aku menganga. Lalu, senyumku mengembang seperti orang bodoh. Betul juga. Baru ada karnaval di sana, pasti belum dibereskan sejak tadi malam. Mungkin masih ada lampu-lampu dari bianglala atau kereta-keretaan yang menyala.

Aku bisa memberi tahu Abbi bahwa Nerverian bangkrut untuk menjelaskan kenapa keajaiban tempat itu mirip karnaval murahan. Aku bisa membawanya ke depan tenda-tenda yang belum diruntuhkan dan dia bisa memanjatkan permohonannya di depan tiang tenda yang berkarat. Aku mungkin bisa menemukan beberapa manik-manik atau seguci kecil glitter untuk ditabur ke kepalanya—pasar karnaval biasanya buka sampai subuh.

Kebohongan orang dewasa memang lebih mantap daripada kebohongan anak-anak.

Kami menyusuri jalan bata dan memastikan satu sama lain tetap berada di bawah cahaya karena biasanya, tukang palak beraksi di kegelapan. Abbi berjalan di tengah dengan kedua tangan di gandeng olehku dan Abah Lian. Sesekali, kakinya menginjak genangan air bekas salju yang mencair dengan sengaja.

"Kau memangnya mau meminta apa?" tanyaku pada Abbi.

"Supaya bisa ke sini lagi walau sudah diadopsi." Abbi menjawab. "Kalau sudah besar nanti dan aku sudah mengumpulkan banyak uang jajan dari orang tua asuhku, aku bakal balik ke sini dan tinggal dengan kalian lagi."

"Itu ... kayak penipuan terhadap orang tua angkatmu," kataku takjub. "Bagus sekali, Abbi."

"Nanti uangnya bisa dipakai untuk mengobati kaki Abah," kata Abbi lagi. "Dan beli baju bagus buat Amak."

Abah Lian mengusap-usap perut bundarnya, berusaha mengelap kotoran dan debu di telapaknya ke kain baju. Senyumnya tampak sedih. "Uangnya harus dipakai untukmu sendiri, Nak."

Sesampainya di sana, karnaval sudah hampir tutup. Sebagian besar tenda sudah dirobohkan dan lampu-lampunya sudah dimatikan. Abah Lian menyuruh kami menunggu di dekat pagar seng sementara dia masuk untuk membujuk para pekerja menunggu sebentar lagi sebelum meruntuhkan semuanya. Sebagian besar pekerjanya (atau orang-orang di desa ini) mengenal kami dan menghormati Abah Lian, jadi aku tidak cemas.

Tak berapa lama kemudian, Abbi menarik kain mantelku. Satu jarinya menodong ke laut lepas yang terlihat di antara karnaval dan pelabuhan.

"Jason," ujarnya dengan mata melebar bak terhipnotis. "Kapal."

"Mana?" Aku berjongkok dan melihat arah yang ditunjuknya. Aku mengernyit. Kugeser sedikit jari telunjuknya ke dermaga, di mana kapal-kapal kargo mulai bersiap untuk berlayar. "Maksudmu, yang itu?"

"Bukan kapal jelek itu," katanya lagi. Telunjuknya bergeser kembali ke laut lepas. "Yang itu. Kapal besar yang bersinar dan ... indah."

Aku menatap ke tengah lautan, masih berusaha mencari-cari apa yang Abbi lihat. Tidak ada apa-apa kecuali langit hitam, sedikit bintang, sisa cahaya bulan yang tertutup awan gelap, lautan tak berujung ....

"Abbi, tidak ada—"

Abbi tidak ada. Maksudku, dia benar-benar tidak ada di sampingku lagi saat aku menoleh.

Aku berdiri, menatap tanah berlumpur dan berkerak salju di sekitar. Mataku mencari dengan panik, ke balik pagar-pagar pembatas karnaval, ke tenda-tenda, di antara pepohonan yang gundul. Aku memanggil-manggil namanya sampai kemudian mataku menangkap sosoknya.

Anak itu tengah berlenggok ke arah pelabuhan, mengarungi sisa salju dan tanah becek dengan susah payah. Beberapa kali sepatu bot merah mudanya terpeleset di jalan yang licin, badannya yang kecil tersentak jatuh dengan lutut dan telapak tangan menghantam tanah, kemudian Abbi bangkit lagi dan melanjutkan berjalan. Seolah-olah benar-benar ada yang menghipnotisnya.

Sambil masih meneriakkan namanya, aku berlari mengejar Abbiah. Ketika aku berhasil menangkapnya, kami jatuh terguling ke lumpur. Lelehan salju masuk ke dalam mantelku, membuat tulang belakangku seperti tersengat.

"Abbi," erangku. "Kau ini kenapa?"

Dia masih menggeliat-geliut di dalam kerangkeng tanganku, tangannya meraih-raih ke lautan lepas. Air mata meleleh ke pipinya.

"Tidak boleh!" Aku mengerang lagi dan menyentakkannya lebih keras sebelum anak itu sungguhan melompat ke laut. "Abbi, jangan nakal!"

Aku menarik Abbi menepi saat lebih banyak tukang angkut berbaris menuju kapal.

Adikku sudah berhenti memberontak, tetapi dia masih menangis. Tangannya terasa beku dalam genggamanku, tangannya yang lain menggosok-gosok matanya yang masih mengeluarkan air mata. Rasanya aku jadi seperti kakak yang jahat karena melarangnya terjun ke laut.

"Ayo, sini, kita lihat kapal kargo saja." Aku menariknya mendekati kapal di dermaga dengan nada riang yang dibuat-buat, seakan kami hendak piknik alih-alih mengagumi onggokan baja tua penuh barang—

Bukan barang.

Baru kusadari tidak semua yang berbaris masuk ini tukang angkut barang. Beberapa dari mereka adalah anak-anak seumuranku, ada pula yang lebih tua, dan tidak sedikit yang masih seumuran Abbi. Aku mengenali dua di antaranya adalah anak yatim dari panti asuhan desa sebelah—Kailash dan Mahavir. Kami bertemu bulan lalu saat beberapa panti asuhan, termasuk Rumah Pelita, diajak masuk sekolah alam selama tiga minggu oleh salah satu donatur. Aku ingat benar bulan lalu kami bermain dan memanjat pohon bertiga.

Dan aku ingat benar mereka bilang akan diadopsi bulan ini.

Mereka bukan tukang angkut barang sama sekali.

Jumlah anak-anak ini paling tidak 12 orang. Ada yang dipakaikan seragam pelaut, ada pula yang mengenakan seragam tukang angkut. Namun, aku tahu semua ini hanya kamuflase. Di balik kerah seragam pelaut kebesaran yang mereka pakai, aku melihat sinar logam melingkari leher mereka. Ada pengait besi di bagian depan dan belakangnya, yang nantinya bakal disambungkan dengan rantai-rantai.

Itu penanda budak.

Namun, ini mustahil. Perbudakan anak-anak sudah berhenti sebelum aku lahir. Amak Sarah mengajariku sejarah perang di mana Benua Barat menandatangani amnesti untuk melepaskan semua budak Daratan Bawah yang mereka tawan, dan dalam perjanjian itu tertera orang Daratan Bawah bisa dijadikan budak hanya jika umurnya di atas 15 tahun.

Barisan di depanku ini, paling tua 13 tahun.

"Hei." Seseorang menepuk bahuku. Aku menoleh dan mendapati seorang pria kurus tinggi dengan jubah abu-abu dan emblem keemasan berukiran dua pedang tersilang di dadanya—lambang Benua Barat. "Apa yang kalian lakukan di luar barisan? Dan, bukankah sudah kami beri tahu untuk berganti pakaiaan—"

Lalu, dia membelalak, barangkali mengenaliku seperti aku mengenalinya.

Pria ini punya hidung panjang dan mata menonjol besar, wajahnya mustahil dilupakan. Kami berdiri dalam dua barisan rapi untuk memberi salam saat dia dan tuannya datang ke Rumah Pelita bulan lalu. Dia adalah Tuan Nardo, pesuruh dari seorang bangsawan Benua Barat: Lord Adhulpus.

Lord Adhulpus yang akan mengadopsi Abbiah besok.

Tuan Nardo buru-buru menarik kami menuruni dermaga dan menyeret kami ke balik peti kemas. Keringat menuruni dahinya. Tangannya yang kurus dan jarinya yang panjang-panjang mencengkram bahuku keras-keras.

"A, apa Lian di sini?" tanyanya gugup. "Bukankah shift pengangkutannya sudah selesai? Apakah dia kembali ke sini bersama kalian?"

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Sekujur tubuhku gemetaran dan Abbi masih terisak-isak di pelukanku.

"Nardo," panggil seseorang di belakangnya. Suara baru ini terdengar berat dan logatnya asing. Aku mengenali beberapa kosakata bahasa Scottern (bahasa nasional Benua Barat) dalam kalimatnya. "Ada masalah?"

"Mohon maaf, Lord Adhulpus, Yang Mulia." Nardo buru-buru berbalik dan membungkuk. "Terjadi sesuatu di luar perhitungan. Du-dua anak ini ...."

Lord Adhulpus adalah seorang pria tinggi besar berbahu lebar dengan mata kelabu terang, rahang kokoh, dan rambut pirang pasir. Bibirnya yang tipis tertarik jadi garis lurus, pandangannya dingin saat menelaah kami berdua. Dia mengamatiku, lalu Abbiah, lalu kembali padaku.

"Anak-anak dari Rumah Pelita." Lord Adhulpus menyunggingkan senyum samar yang sama sekali tidak mencapai matanya. Ekspresinya, daripada sebuah keramahan, lebih menyerupai keengganan. Seolah-olah dia tengah dipaksa mengangkat dua kantung sampah basah dengan tangan telanjang. "Apakah pengasuh mereka di sini juga?"

"Me-mereka tidak mau menjawab, Lord," gagap Nardo. "Akan tetapi, saya ingat jelas Lian sudah pergi sekitar 30 menit yang lalu. Jika tidak, mustahil saya membariskan anak-anak itu ke kapal. Tidak mungkin saya berusaha membuat Anda ketahuan. Percayalah pada saya."

"Ah, ya, kalau begitu mengapa dia ada di depan karnaval sekarang?" Lord Adhulpus memicing jauh melampaui tumpukan peti-peti kemas, menatap ke arah karnaval berada. Di kejauhan, aku bisa mendengar samar-samar suara Abah Lian, memanggil-manggilku dan Abbi. "Nardo, aku memutuskan datang pagi-pagi buta kemari untuk memantau, dan kau justru memutuskan saat ini untuk mengacau. Jika pria pengasuh itu melihat barisan anak-anak ini, akan tersebar berita bahwa Lord Adhulpus dari Benua Barat memasok budak ilegal, dan jelas sekali dia takkan membiarkanku membawa salah satu anak asuhnya."

Mata sang bangsawan mendelik ke arah Nardo, yang seketika membuat si pesuruh jatuh berlutut seperti hendak mencium kaki tuannya.

"Kau akan membayar ini dengan dua jari tanganmu, Nardo." Lord Adhulpus melambaikan tangannya ke salah satu pria besar berbaju kaus lusuh, memanggilnya mendekat. Dia kemudian membisikkan sesuatu ke pria besar itu dan menunjuk ke arah karnaval berada—mungkin menunjuk ke arah Abah Lian. Lalu, aku menangkap Lord Adhulpus mengucapkan, "Bereskan."

Aku melangkah maju, ngeri terhadap apa pun yang akan dilakukannya pada Abah Lian. Pria berbaju kaus yang dikirimnya itu mirip tukang pukul. Namun, Lord Adhulpus mencegatku dan membungkuk hingga wajah kami hampir sejajar. Aku bisa membaui aroma parfumnya yang menusuk, mengalahkan bau segar laut dan sisa bau amis dari ikan-ikan dalam peti. Kerah bajunya yang tinggi memiliki bordir teratai yang rumit dan indah—pola jahitan dari emas yang mereka curi dari Sava saat menduduki tempat itu. Jubahnya yang keperakan tampak begitu halus dan ringan—entah berapa ekor hewan eksotis yang jadi botak untuk menenunnya.

"Jason, benar?" Lord Adhulpus tersenyum lagi. Tangannya meraih salah satu lenganku, mengangkat-angkatnya seperti menimbang. "Aku melihatmu mengangkat berpeti-peti besar penuh baju dan buku yang kusumbangkan untuk Rumah Pelita bulan lalu. Berapa umurmu?"

"Se-sebelas." Kutarik tanganku kembali. Kulingkari tubuh Abbi dengan defensif.

"Dan, Abbiah." Lord Adhulpus menepuk-nepuk pipi adik angkatku yang masih sembap. "Mulanya kau akan kuberikan pada sahabatku di Negeri Timur—dia sedang mencari anak seumuranmu untuk dijadikan budak di istananya. Tapi, dengan adanya saudara angkatmu di sini,"—matanya yang kelabu kelam melirikku tajam dan penuh perhitungan—"sepertinya aku bisa memakai kalian untuk hal lain."

Lord Adhulpus berdiri kembali dan meraih sapu tangan merah berbordir emas dari saku jubahnya. Masih sambil mengawasi kami, pria itu mengelap tangan yang barusan dia gunakan untuk menyentuh lenganku dan pipi Abbi. Selesai menggunakannya, sang bangsawan membuang sapu tangan tersebut ke laut.

"Nardo," ujar Lord Adhulpus, membuat pesuruhnya berkedut ketakutan. "Jika kau ingin aku mengampuni satu jari tanganmu, jangan buat aku kecewa lagi. Masukkan kedua anak ini ke kapal."

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro