Empat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Holaa... Selamat malam minggu.

Ada yang masih nungguin Arsen - Nivriti nggak ya?

Kayaknya cerita ini sepi banget 😂

Selamat membaca.




"Sudah jam tiga, Vi. Masih mau cari apa lagi?" tanya Arsen.

"Sebentar. Ini nggak lama, kok."

Nivriti masih penasaran dengan benteng eksekusi peninggalan Belanda yang katanya mempunyai mitos menyimpan harta karun terpendam. Untuk menggali informasi itu tentu membutuhkan banyak waktu sedangkan tujuannya ke sini hanya sebatas bermain fotografi, bukan mencari harta karun.

Nivriti memasuki satu per satu ruangan berderet ke samping yang membentuk struktur benteng. Ruangan-ruangan itu terhubung satu sama lain. Dia mencari titik-titik bangunan yang menurutnya estetik. Bagian atap benteng sengaja ditutupi tanah dan semak belukar sebagai bentuk perlindungan agar tidak mudah ditemukan musuh. Menurut kisah yang beredar, di dalam sinilah tempat tentara Belanda bersembunyi, menyimpan senjata hingga melakukan eksekusi.

Sayangnya, banyak coretan vandalisme di dinding benteng. Padahal tempat ini jauh pula dari aktivitas masyarakat. Nivriti sampai merangkak di dalam benteng untuk mendapatkan sensasi suasana pada zaman dahulu. Sementara Arsen mengikuti di belakangnya.

"Kenapa banyak coretan gini, sih? Pasti ada saja ulah tangan-tangan jahil," cetus Nivriti sambil meraba dinding.

Pencahayaan di dalam benteng sangat minim apa lagi di luar sana cuaca mendung. Arsen menyalakan senter dari ponselnya, mengarahkan ke dinding. Terdapat banyak coretan tak berbentuk. Bahkan ada juga goresan berbentuk telapak tangan manusia.

"Sen, sini deh," panggil Nivriti.

Arsen menghampiri Nivriti yang berjongkok tidak jauh darinya.

"Ini aneh banget nggak, sih? Apaan ya?" tanya Nivriti sambil menunjuk coretan kumpulan huruf dan angka berukuran kecil dan besar dengan pola tak beraturan. Sepertinya dipahat oleh seseorang menggunakan batu runcing.

"Nggak tahu." Arsen menggeleng.

"Nggak mungkin orang gabut bikin karya seni kayak gini." Nivriti mengedikkan bahu, dia bersiap membidik objek itu dengan kameranya.

"Apa saja bisa terjadi kalau orang lagi gabut, Vi. Bahkan, bunuh orang pun bisa."

Nivriti bergidik. "Serem amat. Imajinasi kamu liar banget sih, Sen."

"Masih ada yang lebih liar dari ini, Vi."

Nivriti melotot. Membuat Arsen tertawa. Udara di dalam benteng terasa semakin dingin sementara Nivriti malah semakin berenergi. Bukannya berhenti, wanita itu justru bergerak lebih jauh. Arsen menarik napas panjang, terpaksa mengikuti Nivriti memuaskan keinginannya. Pada saat melewati coretan huruf dan angka tidak beraturan itu, Arsen merasa udara di sekitarnya tambah mencekam.

"Vi, ayo balik." Arsen menarik lengan Nivriti yang hampir mengangkat kamera untuk membidik objek incarannya.

"Tapi ... iya, deh," ucap Nivriti menyerah.

Arsen menarik tangan Nivriti untuk mengikutinya keluar dari benteng. Mereka harus bergegas kembali. Gerimis sudah mulai turun. Kalau volume hujan bertambah tinggi tentu akan menyulitkan perjalanan kembali ke kota.

Ketika berjalan menuju motor terparkir, Arsen merasa ada sesuatu di belakang mereka. Ekor matanya menangkap sekelebat gerakan berwarna pekat. Sekelebat gerakan itu menghilang saat Arsen menoleh.

"Ada apa?" tanya Nivriti.

"Nggak ada."

Arsen menghela napas dalam. Apa pun itu, Arsen tidak peduli. Sekarang malam Minggu, Arsen ingin menggunakan waktu liburannya bersama Nivriti tanpa gangguan dari pihak mana pun. Walaupun setiap hari bertemu Nivriti di kantor, situasinya tetap berbeda. Dia pun tahu, makan malam romantis di restoran mewah bukanlah pilihan kencan yang disukai Nivriti. Namun, kali ini Arsen ingin memberikan kejutan makan malam yang tak akan terlupakan.

Sebuah kafe bernuansa gaya Belanda antik, menyajikan pemandangan kebun yang asri. Konsep interior kafe yang sangat otentik ini membuat pengunjung seolah masuk ke dalam mesin waktu. Kembali ke masa tempo dulu. Nivriti memandang sekeliling dengan takjub. Nanti setelah makan, dia akan memotret beberapa sudut kafe.

"Terima kasih ya, Sen. Selama ini kamu selalu memberikan kesenangan buat aku, padahal aku jarang banget kasih sesuatu yang menyenangkan kamu. Aku ngerasa nggak enak sudah bikin kamu repot terus," ucap Nivriti setengah menunduk.

"Apa sih, Vi? Tanpa kasih sesuatu pun kamu sudah bikin aku senang, kok. Apa pun yang penting kamu tersenyum dan bahagia, aku juga bisa merasakannya," sahut Arsen sambil menepuk punggung tangan kekasihnya.

"Kamu beneran bahagia, kan?" Nivriti mendongak.

"Iya. Sangat," ujar Arsen tertawa kecil.

"Baiklah, sebentar lagi kamu ulang tahun, kan? Sebagai hadiah, aku akan mengabulkan apa pun permintaan kamu. Biar kamu lebih bahagia, tapi jangan minta yang aneh-aneh. Aku tahu kamu selalu memanfaatkan kesempatan di setiap kesempitan," cetus Nivriti seraya menyipitkan mata.

Arsen tertawa. "Gimana, sih? Permintaan kok dibatasi. Lagian kamu bilangnya permintaan apa pun. Berarti terserah aku mau minta apa, dong?"

"Iya, tapi jangan permintaan yang kurang ajar!"

Tawa Arsen meledak hingga orang-orang di sekitar melirik ke arah mereka. Dia tahu apa isi kepala Nivriti. Wanita itu selalu mengkhawatirkan satu hal. Padahal mereka sudah bersepakat tidak akan melakukan sebuah kebersamaan tanpa persetujuan kedua belah pihak. Arsen sih santai saja, tapi Nivriti sering khawatir berlebihan.

Baru kali ini Arsen menjalin hubungan dengan seorang wanita menolak untuk melakukan hal menyenangkan bersama sebelum ada ikatan resmi yang menghubungkan keduanya. Semua mantan Arsen sebelumnya tidak keberatan jika pria itu melakukan kesenangan bersama. Makanya, Arsen sangat menjaga dan menyayangi Nivriti. Dia tidak ingin membuat wanita itu kecewa.

"Emangnya permintaan yang kurang ajar itu kayak gimana sih, Vi?"

Arsen terus tertawa. Biasanya selanjutnya dia akan menggoda Nivriti habis-habisan hingga wanita itu kesal. Ekspresi Nivriti yang demikian selalu membuat Arsen terhibur.

"Tahu, ah," gerutu Nivriti.

Setelah puas makan sekaligus berfoto di area kafe, Arsen dan Nivriti melanjutkan liburan mereka dengan berkeliling Jalan Braga. Sebuah jalan yang dikenal paling ramai dengan berbagai macam aktivitas. Aroma tempo dulu sangat terasa begitu berjalan di sepanjang jalan ini. Nivriti sama sekali tidak melepaskan kamera. Selalu ada sudut yang membuatnya tertarik untuk memotret.

Kehadiran sejumlah gedung mewah menambah keunikan suanana jalan ini. Walaupun berulang kali mereka melewati beberapa tempat hiburan malam, tidak memengaruhi estetika tempat itu. Malam semakin larut suasana kawasan itu semakin menggila. Berdiri di depan sebuah kelab, Nivriti membidik papan nama kelab yang menurutnya sangat klasik.

"Hei, kamu mau masuk?" tanya seorang pria berkebangsaan asing dengan logat Bahasa Indonesia yang kaku. Sepertinya turis ini belum fasih dan sedang belajar bahasa lokal.

"Eh, nggak. Saya ... cuma memotret. Seni fotografi. Begitulah," jawab Nivriti kikuk sambil menoleh sekeliling. Dia tidak menemukan Arsen di sekitarnya. Astaga, bagaimana bisa mereka terpisah?

"Kamu terlihat bingung. Bagaimana kalau kita masuk?" tawar pria itu.

"Nggak, terima kasih." Nivriti menggeleng, dia celingukan mencari Arsen.

"Ayolah, ini malam Minggu. Kita bisa bersenang-senang." Pria bule itu memegang pergelangan tangan Nivriti, wanita itu spontan berteriak. "Kenapa? Kamu nggak mau bersenang-senang?"

Pada saat yang sama, tiba-tiba Arsen muncul.

"Ternyata kamu di sini," ucap Arsen seraya menggenggam tangan Nivriti.

Melihat Arsen, pria bule itu hanya mengedikkan bahu sambil menggelengkan kepala. Dia pun berlalu, masuk ke dalam kelab yang papan namanya sempat Nivriti foto. Arsen berdecak ketika Nivriti tiba-tiba memeluknya. Ah, wanita ini memang selalu bertingkah manja di hadapannya, tapi Arsen tidak keberatan.

"Kamu dari mana? Kok baru muncul. Kalau ada yang culik aku gimana?" adu Nivriti.

"Tadi ada orang tanya arah jalan. Aku udah panggil-panggil kamunya nggak denger. Makanya kamu jangan terlalu asyik sendiri, lihat situasi. Nggak ada yang tahu apa yang bakal terjadi di sini. Ngerti?" ucap Arsen sambil menekan kening Nivriti dengan telunjuknya.

"Ngerti." Nivriti mendengus.

Arsen mengangguk sembari mengusap pucuk kepala kekasihnya. Seharian ini sudah banyak petualangan yang mereka lalui. Saatnya kembali ke hotel untuk beristirahat. Besok adalah hari terakhir sebelum kembali ke Jakarta yang berarti adalah hari berbelanja. Membayangkan kembali ke rutinitas di hari Senin rasanya sangat malas, tapi kalau rutinitas itu tidak ada justru membuat hidup semakin berantakan.

"Berani tidur sendiri, kan?" tanya Arsen saat mengantar Nivriti sampai di depan kamar.

"Berani, lah. Emang kenapa? Jangan bilang kamu yang nggak berani tidur sendiri? Kamu masih kebayang suara aneh di mess tua tadi, ya?"

"Iya, siapa tahu kamu juga masih kebayang terus nggak berani tidur sendirian. Kan, aku bisa temani."

"Aku ngantuk. Sampai ketemu besok ya, Sen." Nivriti mengibaskan tangan lantas masuk ke dalam kamar, meninggalkan Arsen yang tertawa senang.

Sebenarnya Nivriti penasaran dengan hasil hunting fotonya seharian ini, tapi badannya terasa remuk. Usai membersihkan diri, Nivriti langsung merebahkan tubuh di kasur dan terlelap. Bahkan dia tidak mendengar dering telepon yang terus berulang. Tampaknya wanita itu benar-benar kelelahan. Dia pun juga tidak menyadari kalau tirai jendela kamarnya tiba-tiba tersibak pelan-pelan. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro