Lima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hai .... akhirnya aku bisa apdet lagi setelah bertahun-tahun, ya. Nivriti sama Arsen balik lagi nih.

Jangan kapok ya 😁



"Langsung istirahat, ya. Besok kerja," ucap Arsen sambil mengusap kepala Nivriti.

Nivriti menguap. "Ah, jatah cutiku belum kepakai. Boleh nggak sih besok...."

Arsen langsung membungkam bibir Nivriti. Cepat, hingga wanita itu tak dapat berkilah. Lantas, dia berucap lirih membuat Nivriti kembali mendengus. "Bulan sibuk nggak boleh cuti, Vi. Entar deh kalau kita memasuki persiapan menikah, nanti kamu boleh ajuin cuti dua kali lipat."

"Dih, manis bener ini mulut janji-janji mulu. Janji doang nggak ada realisasi," cetus Nivriti, mencubit pelan bibir Arsen.

"Sedikiitt ... lagi. Aku juga nggak mau kita begini terus. Sabar dulu, ya."

Mata Nivriti menyipit. Percakapan tentang meningkatkan hubungan menuju jenjang pernikahan tidak hanya terjadi saat ini. Mereka sering mengungkit hal ini sebelumnya dan Arsen selalu meminta Nivriti lebih sabar. Lama-lama Nivriti mengira kalau Arsen belum sepenuhnya yakin terhadapnya.

"Bilang aja kamu masih ragu sama aku," celetuk Nivriti seraya membuka pintu apartemen.

"Vi, jangan mulai, deh. Besok kita obrolin lagi, ya. Sekarang kamu harus istirahat. Oke?" Arsen menahan tangan kekasihnya.

Nivriti mengangguk tanpa melihat ke arah Arsen. Bukannya buru-buru, tapi Nivriti ingin kejelasan meskipun berulangkali Arsen terus meyakinkan. Sedangkan untuk saat ini, Arsen sedang enggan berdebat.

"Vi...." panggil Arsen dan Nivriti hanya mengedikkan bahu.

"Dah..."

Pintu ditutup. Tidak ada ucapan atau pelukan perpisahan seperti biasanya. Arsen menunggu di depan pintu selama beberapa saat. Siapa tahu Nivriti membuka pintu lantas memeluk dan mencium pipinya. Namun, waktu terus bergulir dan pintu di depannya masih tertutup. Arsen menarik napas panjang. Besok sesudah suasana hati Nivriti membaik, dia akan mencoba memulai pembicaraan baik-baik.

Sementara itu, Nivriti menggumam kesal. Tasnya dilempar menghantam tembok kamar. Memang tidak ada yang salah, tapi rasanya ingin marah. Dia merasa Arsen tidak lagi peduli padanya, mengabaikan, sekaligus menganggap remeh.

"Kenapa jadi ragu-ragu, sih? Jangan-jangan Arsen selingkuh. Masa sih? Tapi, kenapa dia jadi nggak semangat gitu ngomongin nikah? Argh!" gumam Nivriti sambil memukul bantal.

Tiba-tiba terdengar suara kursi digeser. Nivriti refleks berdiri, melangkah mundur dengan mata tertuju ke arah kursi kayu di depan meja rias. Pendengarannya tidak salah, kan? Nivriti memperhatikan, lagipula kursi itu juga terlihat sedikit miring. Matanya memindai seluruh isi kamar. Nivriti merasa aneh. Seolah-olah ada orang selain dirinya di sini. Mencoba berpikir positif, barangkali dirinya terlalu lelah. Sekali lagi dia mengamati kursi itu, tidak ada apa-apa. Nivriti menarik napas panjang. Baguslah, ternyata dirinya memang lelah sehingga berpikir berlebihan.

Namun ketika langkah pertamanya terayun, suara itu muncul kembali. Pendengaran Nivriti masih berfungsi normal. Suara yang sama jika muncul lebih satu kali bukan halusinasi, kan? Nivriti berlari ke luar kamar. Sambil meringkuk di sofa ruang tamu, Nivriti menelepon Arsen.

"Hai, Sayang." Arsen berseru riang saat menerima panggilan telepon dari Nivriti. Bibirnya mengurai senyum. Dia sangat yakin Nivriti tidak akan betah mendiamkannya.

"Arsen, kamu bisa balik ke sini lagi nggak?" ucap Nivriti lirih. Suaranya bergetar.

"Kamu baik-baik aja, Vi?" Kini Arsen berseru panik.

"Nggak tahu. Kamu bisa ke sini cepet nggak? Aku ... takut."

"Oke, oke. Tunggu, ya. Lima belas ah, sepuluh menit lagi. Tunggu, ya. Jangan tutup teleponnnya."

Arsen bergegas memutar kemudi. Untung saja dia belum terlalu jauh. Jalanan malam cukup lengang sehingga dia bisa mencari celah untuk menambah kecepatan berkendara. Apa pun yang terjadi, dia harus segera sampai di apartemen Nivriti.

"Vi, kamu masih di sana? Aku udah naik lift, nih," tanya Arsen.

"Buruan, Sen."

"Satu lantai lagi. Tunggu, ya."

Begitu tiba di depan pintu apartemen Nivriti, Arsen menekan kunci angka kombinasi. Nivriti sengaja memberikan kode angka tersebut jika suatu saat ada keperluan penting yang mendadak tidak bisa dijelaskan seperti sekarang.

"Arsen!" Nivriti berteriak lega dan langsung memeluk kekasihnya.

"Ada apa, Vi? Kamu nggak apa-apa, kan?" Arsen mengusap pelan belakang kepala Nivriti membuat Wanita itu mendongak. Matanya berkaca-kaca, Arsen semakin khawatir.

"Kursi di kamarku bergerak sendiri, Sen. Itu apa, ya? Bukan orang jahat atau hantu, kan?"

"Hah, bergerak sendiri? Kok bisa?"

Baru kali ini Nivriti mengeluhkan sesuatu di luar kebiasaan. Kalau penyusup rasanya tidak mungkin. Wilayah apartemen ini dijaga 24 jam oleh petugas keamanan dan selalu dilakukan pengecekan berkala. Tetangga kiri kanan sejauh ini juga tidak ada yang mencurigakan.

Bukannya Arsen tidak percaya hantu, tapi menurut perasaannya apartemen Nivriti cukup steril dari hantu-hantu bernuansa negatif. Lingkungan ini pun aman dan tidak memberikan pengaruh buruk untuk kondisi mental manusia.

"Aku cek, ya. Kamu di sini aja," ucap Arsen seraya berjalan menuju kamar Nivriti.

Arsen berjalan mengelilingi kamar Nivriti. Memeriksa setiap sudut, memastikan tidak ada yang mencurigakan tertinggal di sana. Tidak ada masalah dengan iklim di dalam kamar itu. Seketika matanya menangkap foto-foto yang berserakan di atas meja. Arsen mengambil salah satu foto berupa potret Nivriti berpose di depan benteng.

"Arsen?" panggil Nivriti. Wanita itu mengintip dari ambang pintu.

"Aman, Vi," seru Arsen, meletakkan kembali foto itu di tempat semula.

"Beneran?"

"Iya, nggak ada apa-apa. Kamu tidur aja. Aman, kok."

Tampaknya Nivriti masih ragu. Setelah kejadian barusan, sudah pasti malam ini tidurnya tidak nyenyak walaupun Arsen telah memastikan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Kamu ... mau nemenin aku tidur nggak? Tapi jangan nginep, maksudnya kamu tungguin aku sampai tidur habis itu kamu pulang," tanya Nivriti.

"Oke. Aku bakal di sini sampai kamu tidur."

Malam itu, Nivriti menolak tidur di kamarnya. Dia memilih tidur di ruang tamu sementara Arsen terjaga di sampingnya mengawasi sang kekasih. Semua lampu dibiarkan menyala. Lewat tengah malam, Arsen kembali berkeliling untuk memeriksa keadaan. Situasi aman. Pukul dua malam, Arsen pulang.

"Perasaan tadi lo udah bikin kopi, deh," celetuk Dewa mengamati Arsen yang sedang menyeduh kopi.

"Gue cuma tidur sejam. Makanya gue butuh nutrisi biar melek. Mana sejam lagi ada meeting," sahut Arsen seraya menguap.

"Emang lo habis ngapain. Capek banget kayaknya."

"Gue mesti nidurin Nivriti dulu. Semalam dia nggak bisa tidur."

Dewa langsung tersedak. Separuh minumannya tumpah, bajunya jadi basah. Dewa mengumpat sambil menatap Arsen yang tertawa lepas.

"Lo udah tidur sama Nivriti? Wah, bener-bener kacau lo. Lo nggak kasihan sama dia, Sen?" decak Dewa.

"Bukan gitu konsepnya, Bro. Gue nggak mungkin menyalahi kodrat. Piktor banget lo."

"Lo bilangnya nidurin, ya kata-kata lo aja konotasinya udah negatif."

"Somplak mulu ngomong sama lo. Gue duluan deh, gue harus nyiapin bahan meeting."

"Lo yang somplak. Udah tahu meeting sejam lagi baru nyiapin bahan. Asli nggak bener, pikiran lo isinya nidurin orang mulu, Sen."

Dewa berseru kesal. Kesal karena Arsen selalu mendapatkan setiap bagian yang dia incar. Dewa tidak bisa berbuat banyak karena tidak akan berguna. Sekeras apa pun dia berusaha, sang wanita pujaan tidak akan pernah masuk dalam genggaman. Pun dengan posisi dalam hierarki perusahaan, rasanya Dewa harus mengakui dirinya memang tidak memiliki bakat sebagai penguasa.

Kecamuk pikiran itu tiba-tiba menggulung tanpa aba-aba. Embusan angin tipis seolah memberikan Dewa semangat untuk meraih keinginannya. Embusan angin yang berubah menjadi gumpalan hitam tipis terus berkeliling di sekitar kepala Dewa. Perlahan gumpalan itu meresap masuk ke dalam kepalanya.

Dewa menyeringai. Seketika energinya sangat menggelora. Arsen dan dirinya tidak berbeda. Maka, tidak ada salahnya kalau dia punya keinginan untuk menarik perhatian Nivriti, kan?




06.02.2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro