🔆Ancaman dan Teror🔆

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Kesetiaan diukur bukan dari seberapa sering dia ada di samping kamu, melainkan bagaimana dia bisa menjaga dirinya ketika di belakang kamu~


Happy reading, jangan lupa cek typo ya? Hari ini belum fit banget.

Deru jantung Satria berpacu dengan cepat, bulir keringat dingin sudah bercucuran membasahi wajah. Masa lalunya belum beranjak pergi sedangkan Astari sedang berjalan mendekat tetapi kedua mata masih fokus pada ponsel di tangannya.

Satria sebenarnya bukan berada pada posisi yang salah, ia tak melakukan apa-apa dengan perempuan di masa lalunya. Cuma saat ini belum bisa berterus terang pada Astari.

"Kapan ada waktu sebentar saja untuk ketemu dengan anak kamu?" desak perempuan itu melihat celah kelemahan mantan suaminya.

"Dia bukan anak aku," tolak Satria bersikukuh pada pendiriannya.

"Jika kamu tidak mau menemuinya, aku akan tetap di sini sampai istri kamu tahu tentang ini."

Satria tersentak kaget, ini seperti sebuah pemaksaan dan kalau Satria menuruti itu sama saja mengakui anak itu adalah anaknya.

"Pergi," balas Satria setengah berbisik karena tak mungkin berteriak,  yang ada Astari akan menoleh ke arahnya.

"Aku tidak akan pergi sebelum kamu mengabulkan permintaan aku."

Nada perempuan itu seakan mengancam membuat Satria tak bisa berkutik. Seharusnya kedua kaki bisa diajak kerja sama dengan berlari mendekat ke arah Astari dan langsung mengajaknya pergi. Namun, entah mengapa yang ada dirinya tak bisa digerakkan seperti ada yang menahannya.

"Pergi," bisik Satria sekali lagi.

"Perempuan yang sederhana tetapi dia terlihat sabar dan kamu pasti tak akan mau kehilangan dia, 'kan?" ancam perempuan itu membuat Satria sudah kehilangan kesabaran.

"Baiklah, kapan-kapan aku jenguk anak kamu," tutur Satria menyerah sambil memejamkan kedua matanya karena baginya adalah keputusan yang sangat berat.

"Nomor telepon kamu masih yang dulu kan?"

Satria mendesah lirih sambil terus mengawasi wajah licik yang tersenyum ke arahnya.

Satria mengembus napas lega karena perempuan itu sudah membalikkan tubuhnya. Namun, itu hanya beberapa detik saja karena lagi-lagi dia berbalik membuat Satria mengigit bibirnya karena Astari sudah ada di belakangnya dengan jarak beberapa langkah lagi.

"Bukan anak aku saja, tapi anak kita," balas perempuan itu sambil melangkah pergi.

Dalam hitungan detik, Astari sudah berada di samping Satria. " Siapa?" tanya Astari masih fokus dengan ponselnya. Samar-samar ia mendengar Satria tengah berbincang dengan seseorang.

"Siapa?" tanya Satria berbalik pada Astari membuat Astari mengerutkan keningnya karena tak paham.

"Siapa yang menelepon kamu?" tanya Satria mengambil jalan tengah agar Astari tak kembali bertanya dengan siapa dirinya berbincang.

"Eh, atasan. Hari ini aku belum mengerjakan tugas," jawab Astari agak kikuk.

"Mau pulang atau mampir makan dulu?"

"Sepertinya pulang karena malam ini aku harus lembur." Mata Astari menatap arloji di pergelangan tangannya. Masih ada waktu dua jam untuk mengerjakan.

Satria mengangguk. Ia berjalan mendekat, merangkul bahu dan mengajak Astari menuju area parkir. Mereka berjalan beriringan, tapi Satria bisa menangkap jika sosok tadi belum benar-benar pergi. Dia bersembunyi di balik tiang tapi Satria tak peduli. Ia kembali teringat bagaimana perempuan itu tak peduli dengannya saat dirinya terpuruk dan tak bisa berjalan, dia tetap pergi bersama laki-laki yang baru. Mungkin cara ini tak langsung membalas perlakuan ynag dulu dilakukan padanya.

Sorot mata merah karena menahan amarah disertai penyesalan yang tak ada habisnya. Mantan suami yang sudah bisa bangkit dan wajah yang kembali normal. Berbanding terbalik  dengan dirinya yang kehidupan tak seindah pas mengenal laki-laki yang sekarang mendampinginya.

Setelah sampai di rumah, Astari dibuat syok melihat isi rumah yang kembali berantakan. Hampir sama seperti saat mereka berdua pergi bulan madu.

Mata Astari melirik Satria di sampingnya yang sedang salah tingkah, laki-laki itu menggaruk rambut di kepalanya sambil sesekali menghindari tatapan mata Astari.

"Besok aku rapikan," tutur Satria membuka suara daripada pikiran istrinya ke mana-mana.

Astari tak membalas ucapan itu, ia sekarang paham siapa yang membuat ruang utama di sini berantakan. Ia melenggang masuk tetapi di depan pintu seketika berhenti karena sosok Satria kembali bersuara.

"Aku melakukan ini karena emosi. Aku tak terima kamu pergi begitu saja tanpa kabar berita.

Astari terdiam, enggan membalas ucapan itu. Ia melangkah menuju kamar dan meninggalkan Satria yang kecewa karena Astari masih acuh padanya.

Astari  langsung membersihkan tubuhnya. Tak mungkin jika begadang dengan tubuh lengket karena seharian berada di rumah sakit. Ketika pintu kamar mandi terbuka, aroma makanan sudah sudah menyatu dalam kamarnya. Mata memicing ketika Satria tengah membawa nampan berisi dua mangkuk mie rebus dan teh hangat. Cocok di makan udara malam seperti ini.

"Makanlah. Aku tahu kamu belum makan. Makanya tadi aku tanya dulu mau mampir atau balik ke rumah tetapi kamu memilih pulang saja."

Perempuan itu terdiam, melangkah ragu untuk bergabung dengan Satria yang sedang menata makan malam untuk mereka. Senyum tersungging di bibir Satria. Laki-laki itu tersenyum sangat manis dan menambah nilai ketampanan.


Perempuan seperti Mbak Maya saja yang awalnya sangat benci pada Satria akhirnya mengakui jika sosok tersebut memiliki ketampanan di atas rata-rata.

Astari masih memilih diam, walaupun mangkuk mie rebus itu sudah berada di depannya. Tangan meraih tas untuk mengeluarkan laptop. Astari menoleh ketika sebuah tangan menggenggam lengannya membuat Astari menatap manik mata hitam Satria.

"Makan dulu, takut kamu sakit. Setelah itu kamu boleh mengerjakan tugas kantor. Maaf hanya makanan seperti ini karena aku tak bisa masak seperti kamu," pinta Satria dengan intonasi yang lirih membuat hati Astari sedikit tertampar. Hari ini ia mengabaikan suaminya dan sama sekali tak menyediakan makanan. Mungkin mie ini yang baru masuk ke perutnya, sedangkan ia sendiri sempat makan nasi yang dibelikan Mas Raka.

Mau tak mau Astari meraih mangkuk untuk menghormati Satria. Tangan ia kibaskan karena benda itu masih panas membuat jarinya sedikit memerah.

Satria dengan cekatan memegang jari itu dan meniupnya pelan. Perhatian seperti ini yang membuat benteng pertahanan Astari runtuh karena sejujurnya Satria sangat perhatian kepadanya.

Suara sendok berada dengan mangkuk. Mereka menikmati makanan dengan diiringi suara jangkrik di luar.

"Besok aku kenalkan kamu dengan kuda-kuda aku di belakang. Kamu pasti suka."

Ucapan Satria memecah keheningan dan membuat Astari menengok sekilas. Perempuan itu kembali tersadar jika ada tempat tersembunyi di belakang rumah ini.  Lagi-lagi perempuan itu tak peduli, melanjutkan makan yang tinggal separuh.

"Jika kamu suka lantai atas, pakai saja. Bisa saja ruangan itu dipakai untuk ruang kerja kamu. Nanti lukisan itu aku buang terlebih dahulu."

Astari tercekat, sendok lepas dari tangan jatuh membuat denting suara karena beradu dengan piring. Ia menatap Satria sekilas, mengambil sendok dan mengambil makanan tetapi dengan pikiran sudah kembali pada suasana lantai atas yang membuat bulu kuduknya kembali berdiri.

"Aku di lantai bawah saja, tidak menganggu apa yang menjadi privasi Mas," tutur Astari mengaduk makanan yang sudah dingin.

"Di antara kita sekarang sudah tidak ada privasi dan rahasia. Apa yang aku punya, sekarang juga milik kamu. Jalan satu-satunya melihat taman di belakang adalah kamar aku. Kamu boleh memasukinya karena saat ini aku tak akan mengunci kamar itu."

Satria menyudahi makanan kemudian laki-laki itu berdiri dan menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang milik Astari.

Astari hanya menatap dengan kebingungan karena nantinya pasti ia juga akan tidur di tempat yang sama dengan yang sekarang Satria tempati. Ia menepis pikiran barusan karena masih ada satu pekerjaan yang harus ia selesaikan secepatnya.

Jemari Astari menari di atas keyboard dengan mata yang kadang menatap kertas atau layar monitor di depannya. Kadang dengkuran lirih dari sosok yang sudah terlelap membuat mata menengok ke arah sana. Laki-laki dengan wajah sempurna tengah terpejam merajut mimpi.

Senyum tercetak di bibir Astari karena ia bisa menyelesaikan pekerjaan secepatnya.  Tiba-tiba terdengar suara aneh yang disinyalir dari ruang depan. Entah suara gesekan daun pada atap atau entah apa membuat Astari kembali merinding. Ingin sekali membangunkan Satria tetapi melihat begitu pulasnya membuat Astari mengurungkan niatnya.

'Siapa itu?' tanya Astari pada diri sendiri dengan kaki terus melangkah menuju luar kamarnya. Kedua kaki yang terus gemetar dan tangan meraba dinding karena ia lupa menyalakan lampu di ruang utama.

Suara aneh itu masih saja terdengar membuat degup jantung Astari sudah berlompatan. Samar-samar dari balik dinding ia menatap pintu utama rumah ini tengah bergerak karena seperti ada yang memaksanya membuka.

Astari hanya bisa menggigit bibirnya, suara tiba-tiba menghilang karena efek takut yang luar biasa. Suara denting engsel pintu terjatuh karena ada yang berhasil mencongkel benda itu.

Astari merapatkan tubuh semakin dekat dengan dinding di belakangnya karena sebentar lagi pasti ada sosok yang berhasil masuk ke dalam rumah ini. Butuh kekuatan ekstra melangkah kaki menuju kamar sehingga kaki yang tak bersalah menginjak sebuah benda membuat tubuh Astari terjatuh.

Sosok bayangan hitam yang sudah terlihat dari pintu yang terbuka seketika langsung kabur terbirit-birit karena suara Astari yang terjatuh.

Astari mengembus napas lega karena sosok itu sudah pergi tetapi kemudian ia mendengar teriakan Satria di kamarnya yang membuat tubuh Astari kembali melemas karena syok.

•┈┈•••○○❁To be continue ❁○○•••┈┈•



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro