🔆Kembalinya Masa Lalu🔆

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Seharusnya dari pertama tak bertukar perasaan, jika pada akhirnya kita menjadi dua orang yang saling tak mengenal~

Hidden Paradise  by Galuch Fema


Happy reading jangan lupa vote


Satria terus memandang Astari yang sudah memegang handle pintu mobil bersiap untuk pergi. Setitik luka bersarang di hati Satria, ada rasa penyesalan ketika Astari memilih keinginan hatinya bukan bertahan dengannya. Menyelesaikan masalah mereka agar bisa kembali dekat seperti kemarin-kemarin.

Tubuh Astari menghilang karena dia sudah benar-benar pergi. Satria memukul lirih setir mobil sambil menyandarkan kepala pada sandaran mobil. Sia-sia sudah pencarian seharian sampai malam ini karena setelah bertemu pun tetap memilih sendiri.

Sebuah ketukan pintu samping membuat Satria berjingkat kaget, tangan kiri meraih uang logam di kotak atas dashboard. Kaca mobil ia turunkan bersiap menyerahkan uang itu.

Mata terbelalak karena bukan tukang parkir di sana melainkan wajah Astari.

"Mau ikut ke dalam atau tunggu di mobil saja?" tanya Astari dengan bingung karena ia sudah menunggu di samping mobil selama lima menit tetapi Satria belum turun juga.

Satria mengangguk cepat, wajah berubah ceria seperti mendapatkan angin segar. Ia bergegas membuka pintu mobil dan siap-siap turun. Lengkungan senyum menghiasi wajah Satria, segala kekecewaan barusan perlahan melesap entah ke mana. Dengan cepat ia meraih tangan Astari yang sudah berbalik menghadap pintu masuk. Mata Astari menatap tangannya yang sudah digenggam Satria.

"Maaf," tutur Astari sambil melepaskan tangan itu dan melangkah pelan meninggalkan Satria yang terkejut karena perlakuan Astari barusan.

Bagi Satria ini sangat menyakitkan. Ia mengajak kembali dekat tetapi Astari belum memaafkan  atas kesalahan dirinya.

Tangan kanan yang tadi sempat menyatu dengan Astari perlahan ia amati, kosong. Tak ada lagi yang ia genggam, hanya meninggalkan wangi parfum milik Astari.

Satria berjalan lesu dengan kepala ditundukkan semakin dalam. Mata melihat sosok punggung yang sudah pergi menuju tempat yang tadi
Membiarkan jarak sebagai penghalang mereka.

Mata Raka langsung tertuju pada sosok perempuan yang kembali hadir di ruangan ini.

"Astari?" panggil laki-laki itu. Raka juga melihat  ada sosok lain di belakang Astari. Dari sorot mata itu, Raka bisa menangkap kesedihan dan kekecewaan.

Maya yang barusan siuman seketika langsung menggerakkan kepala mencari sosok yang sedari tadi ia cari selepas siuman pasca operasi.

"Loh Mbak sudah sadar?" sapa Astari dengan senang menghampiri Mbak Maya yang tengah meringis menahan sakit bekas operasi di perutnya.

"Iya, kata Mas Raka kamu pulang?"

Astari langsung mengambil bayi dari pelukan Raka kemudian digendongnya kembali sambil diciumi pipi mungil putih itu.

"Tas aku masih ada di sini." Mata Astari melirik tas miliknya yang berdekatan dengan tas baby di pojok kamar sini.

"Tari, itu?" tukas Raka sambil mengarahkan pandangannya ke arah Satria yang masih berdiri dekat pintu ruangan ini.

"Biarkan saja," balas Astari enggan melihat sana. Ia lebih bahagia bersama apa yang ada di pelukannya.

"Ajak dia masuk!" perintah Raka dengan tatapan yang masih tertuju pada pintu.

Maya tertarik dengan pembicaraan Astari dan Raka, pelan-pelan sedikit mengangkat kepala dan terkejut melihat sosok laki-laki yang sama sekali tak ia kenal.

"Siapa?" tanya Maya sambil mengusap perut dengan hati-hati.

Astari memilih diam tak menjawab karena ia belum sepenuhnya bisa memaafkan Satria.

"Suami Astari," jawab Raka.

Kedua mata Maya melotot tak percaya dengan ucapan suaminya. Baru kali ini ia bertemu dengan sosok Satria karena selama ini hanya bisa membayangkan saja seperti apa sosok yang selalu diceritakan Astari. Apa yang ada dalam bayangannya berbanding terbalik dengan apa yang ia lihat.

"Di-dia Satria?" tanya Maya masih tak percaya. Sayangnya suara Maya yang keras membuat pemilik nama tadi ikut menatap mereka bertiga yang ada di ruangan ini.

"Iya," balas Astari sangat lirih.

Maya masih tak percaya, ia syok melihat suami Astari. "Ganteng banget?"

Raka berdehem pelan kemudian tersenyum. Laki-laki ini sudah terbiasa dengan sifat istrinya. Selama hanya rasa kagum yang wajar dan tak berlebihan,  ia hanya bisa memasang wajah biasa saja. Astari hanya bisa menahan senyum melihat wajah Mas Raka yang nyantai. Ia suka pasangan ini, tak saling memiliki rasa cemburu berlebihan tetapi masih perhatian satu sama lain. Beda dengan Satria saat pertama bertemu di tempat ini.

"Kok ganteng banget? Katanya jelek?" tanya Maya masih dengan intonasi tingginya. Raka hanya geleng-geleng. Takut Satria mendengar ucapan ini tapi ia pasti menduga jika Satria pasti mendengarnya.

Raka berjalan pelan mendekati laki-laki yang berdiri sambil memasukkan kedua tangan di saku celananya.

"Tidak ikut masuk?" sapa Raka mendekati Satria sekedar basa-basi. Ia pernah mendengar desas-desus laki-laki ini saat Astari curhat pada istrinya.

"Di sini saja," jawab Satria singkat. Enggan juga membalas pertanyaan orang yang baru dikenalnya walaupun itu suami sahabat istrinya. Untuk saat ini Satria belum bisa langsung dekat atau terbuka dengan orang baru karena pengalaman pahit dengan masa lalunya.

"Astari suka banget sama bayi, gak pengin secepatnya program anak?"sindir Raka pelan. Ia sebenarnya geregetan dengan laki-laki ini, disuruh masuk tak mau tapi kedua mata masih mengunci pada Astari di dalam sana.

"Doanya saja, semoga bisa secepatnya menyusul," balas Satria asal karena tak suka dengan sifat Raka yang sok akrab. Bagaimana mendapatkan anak sedangkan membuat Astari jatuh cinta padanya itu sangat susah.

"Kerja di mana?" Raka bertanya kembali bahkan ia berjalan mengitari Satria. Jika yang dihadapinya bukan abdi negara pasti Satria sudah membuatnya bertekuk lutut. Bagi Satria ia sudah seperti penjahat yang tertangkap basah dan sedang dilakukan interogasi.

"Belum."

Raka terkejut, ia menghentikan langkah kemudian menatap dan menautkan kedua alisnya. "Belum apa? Belum kerja? Memilih menumpang hidup dari gaji Astari?"

Dada Satria bergetar menahan caci maki laki-laki ini. Salah satu tangan sudah terkepal erat hendak bersarang pada Raka tetapi kemarahan itu hanya bisa Satria pendam sendirian.

"Saya mengajak Astari hidup bersama itu untuk bahagia bukan hidup menderita. Saya tidak suka Anda mencampuri hidup kami," sindir Satria sambil melangkah menjauh.

Raka hanya bisa menahan senyum, laki-laki itu masuk jebakannya. Ia berjalan kembali masuk bergabung dengan kedua perempuan di dalam ruangan.

"Di tunggu di luar. Sepertinya dia sudah tak betah di sini," ucap Raka tertuju pada Astari.

Perempuan itu menidurkan si kecil tepat di samping ibunya. Astari sudah menduga jika Satria tak akan berlama-lama di tempat umum seperti ini. Tempat sunyi dan sepi adalah tempat favoritnya.

"Aku pulang dulu ya, Mbak. Nanti aku sering main ke rumah," pamit Astari sambil menjabat tangan Mbak Maya.

"Itu Satria jangan dimarahi, dia ganteng banget tau?" pinta Maya yang terus menatap luar kamar.

Raka hanya bisa menggeleng, kesukaan Maya menonton drakor membuatnya menatap Satria sudah seperti berjumpa dengan artis Korea.

Astari hanya tersenyum masam. Dulu sebelum bertemu dengan Satria, Mbak Maya selalu bersumpah akan memarahi habis-habisan tapi ternyata sekarang tidak.

Setelah kembali berpamitan, Astari melangkah keluar menghampiri sosok Satria yang sedang tersenyum ke arahnya. Namun, Astari tak membalasnya, Satria kembali kecewa.

"Mau langsung pulang atau ke mana?" tanya Satria berharap mereka bisa menghabiskan waktu sekejap sebelum pulang ke rumah.

"Pulang. Capek."

Dua kata barusan membungkam Satria enggan bertanya lagi, apalagi posisi Astari sudah berjalan lebih dulu di depan sama sekali tak menengok ke arahnya.

Baru beberapa langkah, ponsel Astari berdering. Setelah mengusap layar ternyata atasan di tempat kerja yang menelepon. Tangan Astari langsung menggeser simbol telepon untuk segera menghubungkan panggilan, sayangnya mereka berada di dalam ruangan mengakibatkan sinyal terganggu. Astari berjalan lebih cepat menuju ruang yang sedikit terbuka.

Satria masih menunggu tempat yang tadi dengan perasaan yang tiba-tiba berubah tidak enak. Sepuluh menit Astari belum kunjung kembali. Mata menatap arah pintu tadi bermaksud menyusul tetapi rengkuhan di pergelangan tangan membuat Satria menatap ke arah samping.

Mulut seketika terbungkam melihat sosok di samping. Apalagi perempuan itu sama saja terkejutnya seperti Satria.

"Ka-mu?"

Satria mengarahkan telunjuk ke arah perempuan di hadapannya.

"Mas Satria?" pekik perempuan itu syok bercampur bahagia.

Satria mundur beberapa langkah sambil menata deru jantungnya yang sudah berlompatan. Ia menyesal dan merutuki pertemuan ini kembali. Ia menatap sekeliling sambil berdoa agar Astari jangan kembali ke sini detik ini juga.

"Ini Mas Satria, kan?" tanya perempuan itu lagi hendak mengusap wajah Satria. Beruntung Satria  mundur  sehingga tangan di depan tak menyentuh wajahnya.

"Mas sudah sembuh?" Perempuan itu melihat tubuh Satria dari atas sampai bawah.

"Jangan pegang saya," tukas Satria masih terus saja menghindar dan enggan menatap.

"Mas, anak kita sakit. Dia lagi di rawat di rumah sakit ini." Sorak bahagia perempuan tadi berubah menjadi isak tangis.

Awalnya Satria tak peduli tetapi satu kata yang membuatnya terkejut memaksa untuk menatap seseorang yang menjadi masa lalunya.

"Dia bukan anak aku," bantah Satria dengan suara meninggi merasa tak suka dengan tuduhan yang dilayangkan kepadanya.

"Terserah percaya atau tidak. Dia sakit leukemia."

Satria tak peduli apa yang dikatakan barusan, hati kecilnya terus menyangkal jika anak itu bukan darah dagingnya.

"Sampai kapan pun anak itu bukan anak aku," bantah Satria sekali lagi.

Perempuan itu berpaling sambil mengusap air matanya. Satria menatap  ke arah pintu dan sialnya Astari sedang berjalan ke arahnya. Tubuh Satria langsung membeku, membayangkan pertemuan perempuan di masa lalunya dengan perempuan yang sudah memenangkan hatinya.

♡To be continue♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro