🔆Cemburu🔆

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kamu sama saja seperti tamu, datang cuma sebentar kemudian pergi membawa luka berkepanjangan

****
Hidden Paradise by Galuch Fema




Happy reading jangan lupa vote

Seorang perempuan berjalan mondar-mandir di depan ruang operasi. Wajahnya tampak pucat sambil sesekali melihat layar ponselnya berharap seseorang yang ia tunggu akan datang menemuinya.

Namun, sampai operasi itu berlangsung, laki-laki itu tak kunjung juga datang. Terpaksa dirinya yang menandatangi surat dari rumah sakit karena tak ada lagi orang yang akan bertanggung jawab atas tindakan ini.

Perempuan itu sangat menyesal karena gara-gara dari dirinya yang mengakibatkan sahabatnya syok dan terpaksa harus diberikan tindakan secepatnya.

Mata melirik dari ujung lorong rumah sakit, sosok yang masih memakai baju dinasnya tengah buru-buru menghampirinya. Wajahnya juga panik sama seperti dirinya.

"Bagaimana?" Laki-laki tersebut menaruh ras ransel yang sepertinya sangat berat, diletakkan di samping tempatnya duduk.

"Operasi."

Laki-laki itu mengembus napas dari mulutnya. Ia seharusnya datang setengah jam yang lalu. Jarak rumah sakit dan tempat kerjanya lumayan jauh. Seharusnya ia bisa menguatkan jika semua akan baik-baik saja, sayangnya belahan hatinya berjuang sendirian di sana.

"Apa yang terjadi sebelumnya? Kok bisa Mbak kamu di operasi?" selidik laki-laki itu menatap samping.

"Ak-aku tadi cu-cuma cerita sedikit saja tetapi tiba-tiba perut Mbak langsung kram dan mengeluh sakit," sesal Astari sambil memainkan jarinya karena pertanyaan barusan seperti tuduhan yang mengarah padanya.

Raka mendesah pelan, menyatukan kedua tangan di belakang untuk sandaran kepalanya. Ia melirik Astari yang masih membisu dan ketakutan.

"Pulang saja, sudah ada Mas di sini. Pasti suami kamu sedang menunggu kamu," tutur Raka karena paham jika Astari sudah memiliki suami.

Astari pura-pura tersenyum. Setelah sampai di kantor, ia mengabaikan panggilan dan pesan dari Satria. Walaupun Astari paham jika laki-laki itu pasti kalang kabut karena dirinya belum pulang.

Astari mengaku salah karena pastinya berdosa melakukan ini. Namun, Satria sendiri lebih berdosa karena sudah menyembunyikan sesuatu darinya.

"Tak apa, aku di sini saja menunggu Mbak Maya siuman," tutur Astari lirih.

Raka mengubah posisi duduk berhadapan dengan Astari. "Lagi ada masalah sama Satria?"

Astari diam saja, ia membuang tatapan memilih melihat tenaga medis yang sedang sibuk di balik meja kerja mereka.

Raka tertawa kemudian berucap,"Kamu sudah seperti Mbak kamu saja, pulang ke rumah orang tua jika kita sedang berantem."

Astari menatap Mas Raka. "Apa yang aku lakukan benar kan, Mas?"

Untuk perempuan seperti Astari kehidupan rumah tangganya yang baru, baru ditimpa masalah seperti ini sudah membuatnya pusing. Hubungan dengan orang tua dan adiknya yang renggang. Jika bukan kepada Mbak Maya, entah kepada siapa lagi harus cerita.

"Tetap saja kamu salah. Tak boleh lari saat masalah itu datang. Bicarakan baik-baik, cara jalan keluar, bukan malah menghindar seperti ini."

Astari menarik napas panjang, "Walaupun sebenarnya kesalahan dia lebih besar?"

"Pasti dia punya alasan sendiri melakukan itu."

Astari berpikir panjang, tiba-tiba di pikirannya terlintas apa yang sedang dilakukan Satria sekarang. Apa dia terlihat khawatir atau biasa-biasa saja. Namun, melihat jumlah panggilan terlewat di ponsel membuat Astari ingin segera menghubungi laki-laki itu.

Suara tangisan bayi memecah keheningan ruangan tunggu depan operasi. Astari dan Raka saling melempar senyum bahagia dan keduanya langsung bangkit dari tempat duduk untuk menyambut makhluk kecil yang sudah mereka nantikan.


Mobil melesat kian kemari mengelilingi jalan yang sama, sesekali kepala menyembul keluar jendela melihat sekitar barangkali menemukan sosok yang ia cari mati-matian.

Langit sudah gelap, bintang dan rembulan menggantikan posisi matahari yang sudah lelah menyinari bumi.

"Kamu ke mana?" bisik Satria yang sudah kehilangan arah karena sudah lelah.

Ia sempat menyambangi rumah orang tua Astari tetapi nihil. Untung saja Satria tak bilang jika Astari kabur karena mereka akan panik dan bisa menebak jika rumah tangganya sedang tidak baik-baik saja. Satria hanya sekedar lewat rumah orang tua Astari, siapa tahu istrinya sedang di rumah ini.

Sebuah telepon berdering membuat tubuh Satria terlunjak kaget, segera menginjak rem dan mobil berhenti. Takdir bisa berubah karena jurang sudah di depan mata. Ia tak mau mengulangi lagi kisah tragis beberapa tahun lalu.

"Aku segera ke sana," balas Satria setelah menerima telepon itu. Ia membuang asal ponsel tadi ke jok di sampingnya.

Mobil berputar arah menuju suatu tempat. Satria menyesal, kenapa tak menyewa preman sedari tadi untuk membantu mencari info tentang Astari.

Butuh setengah jam untuk berada di rumah sakit ibu dan anak. Satria berpikir keras apa yang dilakukan Astari di tempat ini.

'Apa yang Astari lakukan di tempat seperti ini?' batin Satria terus bertanya-tanya.

Laki-laki tersebut enggan bertanya pada petugas keamanan. Pura-pura menjadi keluarga pasien yang dirawat di tempat ini. Jangan sampai mereka tahu jika dirinya tak ada hubungan apa-apa dengan pasien di sini, pasti bakal diusir.

Satria berjalan perlahan dengan kepala terus mencari sosok Astari. Sudah menaiki dan menuruni tangga tetapi belum juga bertemu Astari.

Langkah kaki Satria terhenti, otak langsung mendidih melihat pemandangan di depan. Mulut terkunci tak dapat mengeluarkan sepatah kata. Di depan mata sendiri, ia melihat Astari sedang berjalan berdampingan dengan seorang laki-laki yang pernah ia lihat. Di pelukan Astari terdapat sosok bayi mungil.

Satria bergegas mengejar kedua orang itu yang hendak masuk ke dalam sebuah ruangan.

"Jadi kamu di sini!" tegur Satria yang membuat dua orang di sana terkejut.

Astari mendekap erat yang ada di pelukannya. Suara yang lantang membuat bayi yang ada di pelukannya ikutan kaget.

"Sa-tria?" ucap Astari gugup karena tak menyangka jika Satria akan hadir juga di tempat ini.

Waktu terasa berjalan sangat lambat, derap langkah Satria membuat Astari tak bisa berkutik. Sorot mata penuh amarah terpancar jelas di kedua manik mata hitam Satria.

"Taruh saja dulu di dalam, setelah itu kamu bisa pergi. Paling sebentar lagi Mbak kamu akan siuman," perintah Raka sambil membuka pintu di belakang Astari.

Satria hanya bisa memejamkan mata sekejap melihat mereka kembali saling berdekatan. Hatinya semakin panas.

Sebelum Raka masuk ke ruangan rawat inap, ia sempat menatap suami Astari. Sempat terkejut juga karena mendengar cerita istrinya dan Astari jika sosok yang diceritakan beda dengan sosok yang ada di hadapannya. Satria tak menakutkan, menurut Raka malah sosok tersebut sangat sempurna.

Astari menatap belakang sosok mungil yang kembali lagi tertidur pulas di kasur bayi sebelah ranjang pasien yang akan ditempati Mbak Maya nanti.

Perempuan itu berjalan dengan perasaan harap-harap cemas, apalagi sosok di dekat pintu masih terus mengawasinya.

"Kenapa tidak bilang kalau pengin bayi kaya seperti tadi?" tanya Satria yang membuat Astari terkejut.

"Ak-aku-"

"Kenapa tidak mengangkat telepon?" Satria kembali lagi bertanya dengan nada lebih tinggi. Tatapan mata Mas Raka dari dalam karena pintu masih terbuka, sepertinya merasa terganggu suara Satria barusan. Sorot mata tersebut mengisyaratkan agar mereka harus pergi dari tempat ini juga.

Astari dan Satria tersadar, tangan Satria langsung meraih tangan Astari dan mengajaknya pergi. Astari sendiri paham jika rengkuhan tangan itu terasa sangat dingin, tak sehangat kemarin.

"Apa kamu tidak tahu betapa paniknya aku kehilangan kamu," bisik Satria belum melepaskan genggaman itu, padahal mereka sudah berada di dekat mobil dan pintu pun sudah terbuka.

Astari menatap tangan mereka kemudian menatap sosok Satria yang terlihat sangat letih. Beda saat kebersamaan mereka kemarin.

"Aku tak akan pergi lagi," ucap Astari. Genggaman tangan itu kemudian pelan-pelan mengendur dan akhirnya terlepas.

Satria masuk dan duduk berdampingan, ia hanya memegang setir tetapi belum menyalakan mesin mobil.

"Aku kecewa sama kamu," lirih Satria tanpa melihat ke samping. Hati Satria belum bisa menerima bagaimana tadi Astari bisa tersenyum ketika berdekatan dengan laki-laki tadi. Padahal setiap kali berdekatan dengan dirinya, wajah Astari selalu tegang atau ketakutan. Pernah tersenyum tetapi bagi Satria itu terlihat terpaksa.

"Apa yang pantas dikecewakan? Bukankah seharusnya aku yang lebih kecewa atas kebohongan Mas selama ini? Aku seperti menikah dengan orang lain, bukan soal sosok seperti sekarang," sindir Astari melirik sekilas Satria yang sekarang tengah memeluk setir di depannya.

"Lantas setelah tahu kenyataan seperti ini apa kamu akan pergi?"

Astari memalingkan wajah, menatap suasana gelap di parkiran. Hatinya sangat sakit mengetahui sosok Satria yang baginya sama seperti orang lain, bukan laki-laki yang hidupnya dalam kegelapan dengan wajah yang selalu tertutup.

"Aku tidak akan pergi, aku cuma butuh waktu saja bisa beradaptasi lagi dengan sosok yang sekarang. Aku sudah jatuh hati sama Satria yang kemarin, bukan sekarang," balas Astari dengan jawaban yang merupakan sindiran telak bagi Satria.

Laki-laki itu dibuat terkejut dan bahagia. Terkejut karena jawaban barusan dan bahagia karena secara tak langsung Astari telah mengungkapan perasaan padanya.

"Baiklah. Aku beri kamu waktu sekali lagi untuk berpikir. Sekarang kamu mau ke mana? Balik lagi ke dalam atau ikut aku pulang? Siapa tahu saat kamu berpikir juga butuh tempat tak ingin diganggu terlebih dahulu."

Astari menatap mata teduh milik Satria, di balik mata itu tersirat penyesalan yang semakin dalam tapi Astari belum bisa memberi maaf untuk saat ini. Ia juga belum terbiasa dengan sosok baru Satria. Sepertinya ia memilih menghindar terlebih dahulu untuk meredam pergolakan batinnya, lagian juga Satria sudah mengizinkannya.

"Aku balik lagi ke dalam," tutur Astari sangat lirih.

Satria mengangguk sambil menelan kekecewaan.

♡To be continue♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro