🔆Perang Dingin🔆

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~Sampai akhirnya sama seperti yang lain, membawa bahagia hanya sementara saja dan duka yang berkepanjangan~

****
Hidden Paradise by Galuch Fema


Satria berdiri di jalan setapak, dekat dengan pintu kamarnya yang ia biarkan terbuka begitu saja. Benda tipis di wajahnya terasa lengket bahkan menyatu di kulit wajahnya yang masih belum sempurna penyembuhannya. Namun, sekarang terlihat agak mendingan walaupun belum sepenuhnya mulus merata.

Liburan tiga hari di home stay terpaksa benda tipis itu terus menyatu dengan keringatnya. Rasanya terasa lega setelah sekarang ia lepaskan. Baru juga melepas hendak membasuh wajah di kran air mengalir, tanpa sengaja ia menoleh ke atas, tepatnya tirai yang terbuka.

Mata membulat untuk mempertegas siapa yang berdiri di sana. Jantung sangat syok melihat perempuan itu dengan lancang memasuki kawasan yang ia larang.

Dengan bergegas berusaha berlari memasuki kembali ke kamarnya. Sayang, kaki yang belum sembuh tersandung bebatuan mengakibatkan ia kembali terjatuh. Tubuhnya terjerembab ke atas rerumputan, tangan mencengkeram erat mengakibatkan rumput itu tercabut.

Dengan berjalan tertatih, ia menuju ke dalam rumah menemui Astari. Suara langkah cepat di tangga kayu terdengar sampai ke dalam kamarnya.

"Sial, aku kalah cepat," umpat Satria dengan kesal.

Ketika membuka pintu kamar tak sengaja melihat Astari yang wajahnya sudah ketakutan setengah mati.

"TARI!!" pekik Satria sambil berjalan dengan tangan kanan memegang kembali kakinya yang sakit.

Namun sayang, ucapannya tak dibalas sepatah kata pun oleh Astari karena perempuan itu langsung menutup pintu dan membantingnya dengan keras.

Satria berjalan selangkah lagi menggapai pintu sebelum benar-benar terkunci dan sialnya anak kunci sudah berputar dan tak ada kesempatan sama sekali untuk berbicara.

Suara ketukan keras di pintu tak menggoyahkan Astari untuk berusaha membuka pintu padahal Astari bisa mengenali jika dari suara Satria terdengar marah.

Panggilan bertubi-tubi membuat Astari di dalam kamar semakin ketakutan. Ia berjalan ke sana kemari mengambil kursi rias untuk diletakkan di belakang pintu. Siapa tahu pintu itu berhasil di dobrak oleh Satria.

"ASTARI. BUKA PINTUNYA!!!" pekik Satria sambil menonjokkan tangan ke pintu kayu jati.

Ia tak peduli dengan luka di tangan yang sudah memerah. Bibir terus berkeriau memanggil nama di sana tetapi sepertinya Astari tak mau membukanya.

Daksa luruh menyatu dengan dinginnya lantai. Ia membiarkan punggung bersandar pada pintu itu. Mata ia pejamkan dengan kepala sedikit terangkat di atas.

"Astari buka pintunya."

Suara terdengar lirih tak seperti tadi, pikiran semakin rumit karena permasalahan baru saja timbul. Tangan memegang rambut, menyugar ke belakang agar tak menutupi wajah kecewanya.

Sementara itu, Astari di dalam sudah seperti orang kesurupan. Ia masih panik dan berlarian terus dari sisi kiri kamar menuju jendela. Ia menggapai tirai dan menutupnya. Hatinya kembali panik melihat engsel di sana sudah rusak dan artinya Satria bisa masuk melalui jendela.

Perempuan itu berlari menuju pembaringan, menutup tubuhnya di bawah selimut dengan tubuh yang sudah menggigil kedinginan.


"ASTARI!!!"

Astari tak berani untuk menoleh ke belakang. Wajah yang sudah basah oleh keringat yang terus bercucuran tak membuat kaki Astari berhenti karena terus berlari demgan cepat.

Langit gelap ditambah tak ada penerangan sama sekali membuat Astari tak mengenali tempat ini. Namun, di alam bawah sadar ia pernah melihat tempat ini entah di mana.

Langkah yang ia tempuh sepertinya tak berujung. Tanpa alas kaki karena buru-buru membuat kaki Astari menyatu dengan rumput di padang luas ini.

"ASTARI!!" pekik seseorang tersebut sekali lagi dengan suara lantang membuat Astari mempercepat kaki berlari sejauh mungkin agar tak tertangkap.

Entah mengapa Astari begitu tertarik untuk melihat ke belakang karena dari suara tersebut terdengar sangat familiar.

Sekalinya menatap ke belakang, yang ada kilatan ujung pisau yang berkilau diterpa cahaya kilat di langit. Astari kemudian tak lagi berani menatap belakang.

Pohon pinus menjulang tinggi menimbulkan bayangan yang sangat menyeramkan, belum dahan menjalar seakan ingin menangkap dirinya. Jalur yang ia tempuh semakin gelap dan sekarang tercium aroma amis darah di kanan kirinya. Otak pun menerka apa yang membuat semua berbau amis darah.

Sayangnya tubuh limbung di atas tanah yang basah membuat kedua lututnya berdarah karena luka. Dan sebuah pelukan kasar sudah ada di belakangnya disertai kilatan pisau yang hendak ditancapkan ke tubuhnya.

"TIDAAAAK!!!" pekik Astari histeris sambil duduk dengan tangan kanan memegang dadanya yang naik turun karena terengah-engah. Belum baju yang ia kenakan juga basah oleh keringat.

"Astagfirullah, mimpi buruk."

Kedua tangan menutup wajah sambil terus beristighfar. Mimpi barusan terasa sangat nyata. Astari merapikan rambut kemudian mengikatnya.

Indra penciuman tiba-tiba mengendus bau tidak enak. Amis, seperti dalam mimpinya. Astari berdiri dan mencari arah sumber itu karena baunya sangat menyengat.

Astari tersentak dan menjerit dengan keras karena melihat sesuatu berlumuran darah di dekat jendela kamar yang terbuka.

Perempuan itu berlari dengan ketakutan menuju pintu sambil menggeser kursi yang ia pasang sendiri untuk menghalangi agar Satria tak masuk ke kamar.

Sementara itu ketukan dari luar kamar sambil terus menyebut nama Astari. Pintu terbuka menampakkan Satria yang tengah berdiri dengan rambut sedikit acak-acakan sehabis bangun tidur.

"Ada apa?" tanya Satria yang sudah tampak panik melihat Astari hampir menangis ketakutan. Laki-laki itu memegang sambil menggoyangkan kedua lengan Astari yang tubuhnya sekarang tak berkutik.

Astari terperanjat kaget, dengan susah payah mengacungkan jarinya menuju benda di dalam kamar yang membuatnya ketakutan setengah mati.

Satria langsung masuk ke kamar, mata melotot melihat bangkai ayam hitam mati dengan darah berceceran di lantai serta dinding bawah jendela.

"Siapa yang melakukan ini?" ucapnya dengan geram. Ia lalu mengambil plastik dekat meja rias Astari dan langsung memasukkan bangkai ayam ke plastik dan membersihkan lantai di sana.

Astari sendiri masih ketakutan, ia meringkuk sambil memeluk duduk di sofa sambil membiarkan tubuhnya hangat di dekat perapian.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Satria dengan nada khawatir. Mereka sekarang duduk berdampingan.

Perempuan itu hanya bergeming karena kembali sadar jika hubungan dengan Satria kurang baik. Apalagi untuk saat ini, Satria sudah tak memakai sesuatu yang biasa tertempel di wajahnya.

"Tari kamu tidak apa-apa?"

Astari tersentak kemudian menggeleng lemah. Suasana di sini sudah tak nyaman. Terlalu banyak rahasia disembunyikan ditambah teror barusan.

"Ada yang ingin aku jelaskan."

Astari menarik napas dalam. Ia sudah bisa menebak pasti pembicaraan masalah kemarin sore. Entah itu laki-laku akan mengakui kesalahan karena telah menyembunyikan wujudnya atau barangkali akan marah besar karena dirinya telah memasuki tempat terlarang.

"Aku mau salat dulu."

Astari beranjak dari sofa. Ini adalah alasan yang tepat untuk menghindari perbincangan dengan Satria. Untuk perempuan itu sendiri masih belum siap apa yang nanti akan disampaikan Satria apalagi lukisan kemarin sangat mengiris hatinya.

Satria hanya meneguk saliva sambil menelan kekecewaan teramat dalam. Dari mata jelas bisa menangkap jika Astari terlihat jelas menghindarinya.

Astari masuk ke dalam kamar, sengaja ia buka pintu selebar mungkin karena trauma itu masih ada. Sampai pagi setelah salat ia hanya berdiam diri di kamar padahal ia tahu Satria masih menunggunya di tempat yang sama.

"Loh kamu berangkat kerja?"

Pertanyaan itu lolos saat Satria mendapati Astari sudah lengkap dengan baju kerjanya dan tas kerja yang sedikit menggembung. Satria bisa menebak jika tas itu berisi tugas-tugas Astari selama di rumah.

"Iya."

Jawaban yang sangat singkat karena Astari sendiri tak mungkin mendiamkan pertanyaan Satria.

Lagi-lagi Satria kecewa karena inginnya urusan hari ini selesai setelah nanti ia jelaskan tetapi ada saja halangan, sepertinya waktu belum berpihak pada mereka.

Di meja makan pun mereka masih saling diam, roti tawar dan telur ceplok menjadi saksi kebisuan mereka.

Astari berdiri dan ditangan sudah terdapat sebuah kunci motor. Satria tak menyiakan kesempatan itu. Ia ikut berdiri di samping Astari.

"Aku antar."

Sekarang gantian Astari terkejut karena ia selalu sendirian dan belum pernah diantar oleh Satria. Belum sempat membalas ucapan, laki-laki itu sudah pergi ke luar menuju mobil yang masih bertahan di halaman.

Suasana dalam mobil masih sama, hanya suara mp3 yang bersenandung. Lagu sama yang Satria nyanyikan saat mereka di atas perahu telaga. Hati Astari tersayat mendengar lagu karena suasana hati sekarang berbeda tak seperti kemarin.

Mobil tepat berhenti di depan tempat kerja Astari tetapi Satria belum membuka kunci pintu mobil sehingga mau tak mau Astari hanya bisa diam.

"Setelah pulang kerja nanti aku akan menjelaskan semuanya. Aku harap kamu tidak menghindar lagi."

Satria sengaja memberikan penekanan di kata paling akhir agar Astari tersadar. Setelah pintu tak terkunci, perempuan itu langsung membuka pintu dan melesap pergi tanpa sepatah kata.


Nabastala berwarna gelap, bukan karena hujan tetapi memang bagaskara sudah waktunya istirahat di ufuk barat. Lembayung juga sudah menampakkan sinar berwarna jatarupa yang menyorot sosok laki-laki yang terlihat cemas dan khawatir. Benda pipih yang ia sedari tadi ditempelkan di telinga selalu berakhir kekecewaan karena tak ada sahutan dari seberang.

"Ke mana saja kamu, Tari?" gerutunya dengan kesal, panik dan frustasi. Ia sudah menunggu dua jam berharap Astari menelepon untuk dijemput olehnya. Namun, sama sekali tak ada dering di ponsel.

Satria berinisiatif untuk segera menjemputnya karena Astari tak mungkin kerja sampai larut malam. Jalanan menanjak dengan lampu yang malu-malu untuk bersinar membuat Satria harus hati-hati mengemudikan mobilnya. Tiba di sana, mata melihat seorang Satpam tengah menutup gerbang masuk utama. Satria terpaksa turun secepatnya dari mobil kemudian menemui orang tesebut.

"Maaf, Pak. Saya mau jemput Astari."

Mata satpam tersebut memicing seperti heran, ia mengamati Satria dari ujung kaki kepala Satria membuat laki-laki itu geregetan karena telah melupakan masker di dalam mobil.

"Mbak Astari bukannya sudah pulang?"

Satria terkejut bukan main karena tak percaya apa yang dikatakan Satpam barusan.

"Pu-lang?"

Satpam itu mengangguk. "Tadi pagi ke kantor cuma sebentar karena hanya menukarkan tugas saja. Setelah itu pulang."

Satria mendengkus kesal, hatinya kembali memanas karena ia sudah kecolongan perempuan itu yang memilih pergi di saat hubungannya tak baik.

Ia hanya bisa melangkah lunglai menuju mobil dan tak tahu tujuan ke mana harus mencari Astari sebab ponsel dari tadi tak bisa dihubungi.

¤To be continue ¤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro