🔆Terungkapnya Rahasia Satria🔆

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

~ Bisa jadi untuk saat ini seseorang bisa menerima kekurangan kita,  tetapi suatu saat kekurangan kita bisa jadi alasan orang tersebut memilih pergi~

***
Hidden Paradise by Galuch Fema

♡♡♡♡

Happy reading jangan lupa vote

Astari menatap belakang dengan jantung berdegup kencang, bahkan kedua mata terpejam siap menerima amuk Satria karena dirinya dengan lancang telah memasuki tempat yang sangat rahsa.

Satu detik, dua detik kemudian tak terdengar suara apa-apa, hanya gemuruh dadanya yang berdetak hebat.

Nihil. Tak ada siapa-siapa di belakangnya padahal suara tadi terdengar jelas tepat seperti di belakangnya. Bulu kuduk di tangan langsung berdiri tetapi hati seolah menenangkan tak terjadi apa-apa.

"Bukan siapa-siapa. Mungkin saja  Satria hanya mengigau apalagi rumah ini sepi, suara sekecil apapun akan  terdengar seperti di dekatnya," batin Astari mencoba memenangkan denyut yang masih seperti berlarian.

Setelah mengumpulkan tenaga kembali, akhirnya Astari melangkah ke anak tangga yang paling atas. Deru jantung kembali terdengar ketika tangan yang gemetar menjeremba pegangan pintu yang tinggal beberapa senti lagi.

"Bismilahirrohmanirrohim," bisik Astari sangat lirih dengan kedua mata terpejam dan kepala ditolehkan ke samping.

Rasa penasaran luar biasa tetapi juga bercampur rasa takut membuat perempuan itu bertahan di depan pintu yang sudah terbuka lebar.

"Ayo buka mata," bisik hati yang menyuruh netra untuk terbuka.

Masih dengan rasa takut, akhirnya Astari mengerjap pelan sampai mata terbuka seluruhnya.

Hitam dan gelap, udara lembap dan bau khas apek karena ruangan yang tak pernah dimasuki penghuninya.

Astari melangkah pelan sambil memegang dadanya, semakin ia masuk semakin tak melihat apa-apa. Tangan langsung merogoh ponsel di saku rok kemudian menyalakan senter di ponsel untuk memberi efek terang.

Benar saja, setelah ada cahaya menyinari di ruangan ini, tubuh Astari syok dan kaku. Tubuh juga tiba-tiba menegang. Ponsel hampir saja jatuh dari pegangan tangannya.

Seharusnya ia tak masuk ke lantai dua ini, padahal Satria sudah jelas-jelas melarangnya tetapi ia tetap saja memasukinya. Mata memerah melihat apa yang ada di depannya. Ingin rasanya berbalik dan turun ke bawah melupakan apa yang dilihat sekarang tetapi ternyata kedua lutut tak mau diajak kompromi untuk bergerak.

"Ya Tuhan," bisik Astari lirih melihat apa yang terpampang di depannya.

Astari hanya bisa membalikkan tubuhnya ke samping. Mata terus menyapu ruangan dengan luas sekitar lima meter. Ruangan kosong yang terdapat banyak jendela kaca besar tertutup tirai hitam yang tertiup anila. Ruangan yang kotor dan berdebu membuatnya ingin menahan bersin tetapi ia tahan mati-matian agar tidak menimbulkan suara.

Setelah mengumpulkan keberanian akhirnya menatap kembali ke arah semula. Setelah melihat apa yang di sana, hatinya sakit, perih dan mata memerah karena mungkin sebentar lagi akan menyerah pada air mata.

Astari mendekat perlahan pada sebuah lukisan besar tertempel di dinding. Sayangnya salah satu paku penyangga terlepas sehingga posisi lukisan terlihat miring.

Namun, posisi seperti itu tak menyulitkan Astari untuk mengenal siapa sosok pasangan tersebut di sana. Laki-laki yang gagah, tinggi dan kulit putih sedang tersenyum dengan posisi lengan memeluk seorang perempuan memakai baju pernikahan berwarna putih. Mereka tampak bahagia terlihat dari senyum mereka.

Gambar laki-laki itu tak lain adalah Satria dengan wajah pada umumnya, lukisan itu dibuat sebelum kecelakan terjadi.

Sedangkan perempuan itu tingginya sepundak Satria, sayangnya wajahnya terlihat tak begitu jelas karena sepeti ada bekas tapak sepatu di wajah itu sehinga Astari tak bisa melihatnya secara jelas.

Astari melangkah lebih jelas, dan mengusap wajah Satria yang masih rupawan.

"Satria."

Nama itu lolos dari bibir Astari dengan air mata yang sudah mengalir di pipinya. Padahal masalah sepelik apapun tak membuat mata meneteskan air bening tetapi sekarang Astari menyerah ketika berurusan dengan laki-laki yang namanya hampir tertulis di hatinya. Apalagi dua hari kemarin bersamanya meninggalkan setitik kebahagiaan di hatinya.

Namun, bahagia itu akhirnya sekarang pelan-pelan luntur bersama air matanya. Jika Satria tak ada rasa dengan masa lalunya mungkin lukisan itu tak ada. Entah ia rusak atau ia buang. Sekarang kenyataan pahit terpampang jelas di kedua mata Astari.

Ponsel ia letakkan di atas kursi yang sudah lapuk. Kedua tangan menyeka pipi dan mata yang basah.

"Semoga aku kuat," bisiknya lirih.

Tirai di jendela beterbangan ketika angin menyeruak untuk masuk dan membuat suara kecil membuat Astari menatap samping. Ada keraguan untuk melihat apa di balik ruangan ini. Apakah masih ada ruangan lain juga yang selama ini Satria sembunyikan.

Tangan kanan menjeremba  tirai membuat sarayu menyapu kedua wajah membuat mata kembali terpejam menikmati embusan anila.

Ketika mata terbuka, lagi-lagi ia dikejutkan kembali sesuatu yang sangat mencengangkan. Mulut sampai terbuka melihat sesuatu di balik bangunan ini.

"Surga yang tersembunyi."

Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan suasana di depan matanya. Semua serba hijau dan damai. Setapak bebatuan menuju padang rumput hijau dan luas serta kandang kuda di pojok sana.  Belum pohon pinus berjejer rapi mengitari padang rumput membuat mata tak jemu memandangnya. Ancala juga berdiri dengan kokoh tak tertutup kabut sehingga terlihat jelas puncak di sana.

"Pantas kalau malam sering terdengar suara aneh. Ternyata itu suara sepasang kuda di kandangnya."

Otak langsung berpikir keras karena ia tak mengetahui jalan ke tempat itu. Karena satu-satunya pintu yang menghubungkan ke luar adalah pintu depan.

Cukup lama termenung karena kuda dan padang rumput ini jelas menyatu dengan rumah ini.

"Apa jalan ke sana berasal dari kamar Satria?"

Laki-laki itu tak pernah mengijinkan dirinya untuk masuk ke sana, sama seperti ruangan yang ia masuki sekarang.

"Ya, betul. Bisa jadi pintu itu ada di kamar Satria," ucap Astari sambil berjalan ke arah samping kiri kemudian balik lagi ke tempat asal.

"Lantas apa yang Satria sembunyikan sehingga ia tak boleh mengetahui isi rumah ini? Surga padang rumput itu? Apa karena itu untuk Dania saja?"

Astari menoleh kembali ke arah lukisan itu. Bisa jadi surga yang disembunyikan ini memang untuk Dania bukan untuknya.

Lagi-lagi hatinya perih. Astari berjalan terburu menuju pintu keluar karena ia tak mau menangis kembali. Cukup sudah ia tahu rahasia yang selama ini disembunyikan Satria.

Suasana lantai bawah sepi, Astari menutup rapat pintu ini untuk menghilangkan jejaknya. Ia menapaki anak tangga dengan hati tercabik-cabik. Entah mengapa rasa takut itu tiba-tiba lesap entah ke mana.

Satu yang ia ingat seumur hidup adalah menyesal karena telah berada di lantai dua. Dengan hati sedih mengambil sapu dan kain pel karena tujuan utamanya tak istirahat adalah membersihkan ruangan ini walaupun daksa telah letih.

♡♡♡♡

Hampir dua jam ia selesai berbenah dan Satria belum mengakhiri mimpinya. Kesempatan ini ia gunakan untuk pergi ke luar. Bukan pergi menghindari masalah tetapi ia pergi ke toko material untuk membeli beberapa cat karena ingin mengubah rumah ini lebih berwarna.

Astari sengaja mencari warna yang mencolok sesuai keinginan hatinya. Tiba-tiba tepukan lirih dari bahu membuatnya menatap belakang.

"Astari!"

Astari memicingkan mata mengenali wanita cantik yang sama seperti dirinya memegang brosur cat dinding.

"Si-siapa ya?" tanya Astari sambil berusaha mengingat.

"Indah. Kita kebetulan satu sekolahan cuma beda kelas."

Wajah Astari berbinar sambil tersenyum dan menjabat teman lamanya. Kebetulan mereka dipertemukan dalam satu ekstrakulikuker yang sama.

"Sendirian?"

Astari mengangguk dan ikutan bertanya juga, "Kamu?"

Indah merapikan rambut lurusnya karena takut ada debu di toko material ini yang menempel di rambut kesayangannya.

"Sama suami, tapi ada di mobil. Kamu sudah nikah atau masih sendiri?"

Astari tersenyum terpaksa. Pernikahan yang tak banyak diketahui orang  membuat statusnya yang sudah berubah tak dikenali orang lain. Mbak Maya juga selalu menanyakan seperti ini, ke mana-mana sering sendirian karena Satria tak ada di sampingnya.

Belum selesai menjawab, Indah buru-buru pergi karena suara klakson membuatnya harus segera mendekat.

Setelah mendapatkan beberapa kaleng ia bergegas menuju rumah. Untung saja butuh waktu sepuluh menit untuk sampai rumah.

Ketika pintu terbuka, ia cukup kaget karena Satria sudah berdiri menunggunya.

"Darimana saja?"

Entah mengapa ada rasa malas menjawab pertanyaan itu. Teringat kembali satu jam lalu di lantai dua. Namun ia harus menjawab karena ia tak ingin terlihat aneh di depan Satria.

"Beli ini," balasnya dengan enggan itupun tak berani menatap Satria.

"Kuning?" serunya sambil mengernyit setelah meneliti dua kaleng cat dengan warna yang sama.

"Ya, sepertinya kita harus mengubahnya karena biar lebih berwarna."

Satria mendekat dan merengkuh kedua tangan Astari tetapi perempuan itu enggan menatap manik mata itu. Semakin melihat rasanya ingin kembali menangis.

"Tak apa. Terserah kamu karena rumah ini juga milik kamu."

Dalam detik berikutnya, Satria merengkuh tubuh Astari ke dalam pelukannya.  Astari benci suasana seperti ini, dengan sigap tangan menghapus bulir bening. Jangan sampai Satria tahu jika ia menangis.

Kata-kata rumah ini juga miliknya sangat menampar telak. Rumah ini, bukan kamar Satria dan ruangan atas serta surga di balik rumah ini. Seakan Satria hanya membatasi ruangan yang bisa dijelajahi hanyalah kamar, dapur dan ruang utama di rumah ini.

Astari melepas pelukan sambil berucap, " Aku ke kamar. Aku sangat lelah dan ingin istirahat."

Satria sedikit terkejut, apalagi perubahan wajah Astari. Sepertinya ia tampak sedang tak baik-baik saja. Mungkin saja kecapekan, harusnya dirinya membantu bukan membiarkan Astari membersihkan ruangan ini sendirian. Entah mengapa parfum Astari yang menempel di seprei membuatnya terlelap dalam mimpi.

Setelah Astari di kamar, ia langsung menutup pintu rapat dan menjatuhkan tubuh pada ranjang sambil memeluk bantal erat. Entah mengapa aroma mint itu yang melekat di sana membuatnya kembali menangis.

Saat-saat seperti ini ia jadi teringat Mbak Maya. Astari duduk dan merogoh rok panjangnya. Mata terbelalak karena benda pipih itu tak di sana. Sontak ia panik karena di sana banyak menyimpan informasi penting.

"ASTAGA KETINGGALAN DI LANTAI DUA. MATI AKU!! pekiknya histeris.

Mau tak mau ia harus kembali lagi ke sana. Dengan berjalan mengendap mendekati pintu membuka sedikit dan Satria sepertinya sudah kembali ke kamar dan saatnya ia beraksi sekali lagi. Menapaki tangga dan membuka pintu atas dengan hati-hati.

Hati bersorak karena mendapati ponsel masih ada di sana. Baru hendak turun, tirai kembali bergoyang dan ia lupa menutup jendela di sini.

Ketika sudah di depan jendela, mata terkunci melihat sosok di bawah sana yang tengah berdiri sambil melepaskan sesuatu dari wajahnya. Astari hampir saja menjerit karena histeris. Satria selama ini menyembunyikan wajahnya. Sayangnya posisi Astari sekarang tak luput dari tatapan sosok tersebut yang tengah menatap balik ke arahnya dengan tatapan tajam.

¤To be continue ¤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro