🔆Awal yang Pahit🔆

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

♡Terkadang tak ada pilihan lain selain menerima karena seperti itu cara semesta bekerja ♡

♡♡♡

Hidden Paradise by Galuch Fema




Sebuah motor matic melaju pelan menyusuri pekatnya malam. Jalanan terasa sangat sepi karena hanya motor itu yang melintas.

Bayang-bayang dahan dari pohon besar yang berjejer di sepanjang jalan,  membentuk bayangan yang menakutkan. Belum batang pohon yang berukuran besar membuat bulu kuduk berdiri karena mengingatkan pada makhluk tak kasat mata. Suara jangkrik dan katak yang bersahutan membuat malam semakin kelam.

Astari—pemilik sepeda motor itu, menarik gas agar motor melaju secepat mungkin untuk segera pergi dari daerah yang terkenal dengan kejadian di malam hari. Ia tidak ingin dirinya menjadi korban. Masih ada orang tua yang sangat ia hormati dan seseorang yang tidak ia kenal tetapi kelak akan menjadi pendampingnya. Seseorang yang sudah dipersilakan Bapak karena dirinya di usia yang cukup matang tetapi belum menemukan jodohnya.

Masalah ini yang terus mengisi otaknya dalam waktu beberapa hari ini. Bagaimana mungkin, ia menangkal hubungan dengan seseorang yang tidak ia kenal? Apa yang akan terjadi ke depannya jika ia menyanggupi permintaan Bapak? Sedangkan Astari tidak ingin disebut anak durhaka karena menentang keinginan orang tua.

Mengendarai sepeda motor sambil melamun,  membuat Astari tak sengaja menubruk sebuah motor yang berhenti di tepi jalan. Apalagi suasana malam yang diterangi lampu tidak begitu terang , sedikit menyulitkan penglihatan.

Motor yang dikendarai sedikit limbung, untung saja Astari bisa menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh. Perempuan yang masih gugup, bergegas turun dari motor untuk menghampiri sosok yang sedang duduk di samping motor yang masih tergeletak begitu saja. Dalam pendar bias cahaya yang tidak begitu terang, Astari melihat orang tersebut sedang mengusap punggung tangan yang menampakkan darah karena luka.

"Ma-af."

Satu kata lolos dari bibir Astari yang membeku akibat udara dingin yang mencapai tujuh belas derajat Celsius. Apalagi kejadian ini yang membuat kedua lutut Astari semakin  lemas.
Tidak ada sahutan dari pengendara tersebut. Untung saja suasana masih sepi sehingga tidak menimbulkan kerumunan, bisa-bisa Astari dihakimi masa jika pengendara ini memberikan keterangan yang tidak-tidak.

"Tak apa."

Akhirnya terdengar suara dari orang tersebut. Astari sangat terkejut karena orang  yang ia tabrak ternyata seorang laki-laki.

Suasana remang-remang membuat mata Astari memperjelas tatapan karena laki-laki itu sedang berusaha berdiri sambil berpegangan pada motor yang masih jatuh.

Dengan tenaga tersisa, laki-laki itu membetulkan posisi motor untuk segera dinaiki. Ia mengabaikan luka di tangan akibat gesekan aspal yang mengenai kulitnya.

"Di depan ada puskesmas, barangkali lukanya mau diobati dulu," saran Astari sambil merapatkan jaket tebalnya.

"Tak perlu."

Astari hanya bisa menelan ludah pekatnya karena berhadapan dengan laki-laki itu  membuat bulu kuduk berdiri. Suara mesin motor yang menyala memberi aba-aba jika kendaraan itu bersiap akan pergi.

"Sebentar!" pekik gadis itu sambil membuka tas kerja untuk segera mengeluarkan satu strip obat yang tak lagi utuh untuk segera diserahkan.

"Siapa tahu butuh untuk pereda nyeri," tukas Astari sambil menyodorkan obat antiinflamasi  kepada laki-laki misterius itu.

Suasana mendadak horor ketika tak sengaja tatapan mereka bertemu. Padahal masih tertutup kaca helm,  tetapi sorot mata di sana sangat membekukan. Astari diibaratkan  berhadapan dengan seorang pembunuh atau penjahat. Belum jaket kulit kumal yang dikenakan laki-laki itu memperjelas jika orang tersebut seperti bukan orang baik-baik.

Dengan gerakan cepat, obat yang disodorkan langsung diterima tanpa sepatah kata pun. Bahkan kulit mereka sempat bersentuhan membuat tubuh Astari menegang karena tubuh laki-laki itu terasa sangat dingin seperti layaknya seorang mayat.

Netra Astari sempat menangkap jika punggung tangan di sana terkelupas,  mengakibatkan darah segar mengalir dan membasahi jarinya.

Tatapan Astari terus mengunci pergerakan laki-laki misterius itu. Layanan sedari tadi buyar ketika suara knalpot yang memekikkan telinga berangsur pergi dan menjauh. Tubuh Astari masih menegang sambil terus menatap sosok  yang semakin menjauh menembus gelapnya malam.

"Pantas saja aku menabrak, lampu motor mati begitu," dengkus Astari dengan kesal.

Sayangnya tidak ada yang menimpali ucapan Astari kecuali suara burung gagak yang terbang di langit membuat suasana semakin mencekam. Dengan setengah berlari, Astari menuju motor dan melanjutkan perjalanan menuruni jalanan yang lumayan curam.

✻ ✻  ✻ ✻

Entah siapa yang memarkir mobil angkot tepat di depan gerbang rumah orang tuanya sehingga mengakibatkan motor tak bisa masuk. Astari terpaksa memarkir motor tepat di depan mobil angkot tersebut.

Kepala Astari menoleh ke arah rumah tetangga, barangkali tamu di sana yang memarkir angkot dan menghalangi jalan masuk. Sepi dan semua pintu tertutup. Giliran Astari yang menoleh ke dalam rumah dan benar pemilik angkot itu yang sedang bertandang di rumah orang tuanya.

Astari berjalan pelan sambil menerka siapa yang datang karena jarang sekali ada tamu malam hari. Ketika kepala melongok, tak sengaja pandangan Astari bertemu dengan sepasang paruh baya yang tengah melihat ke arahnya.

"Assalamualaikum," sahut Astari lirih sambil masuk. Memberikan senyuman kemudian berusaha ke kamar  karena tak mengenal siapa yang datang. Baru di ujung pintu tengah, Bapak langsung memanggil.

"Setelah ganti baju, segera bergabung karena ada yang bapak ingin bicarakan."

Tubuh Astari langsung lemas, ia sudah menduga jika orang tua di sana sepertinya yang diceritakan Bapa kemarin. Dengan langkah dan kepala tertunduk, perempuan itu langsung masuk ke kamar. Tanpa cuci muka, langsung mengganti dengan baju ala kadarnya, tetapi masih terlihat sopan. Tidak lup, jilbab instan warna gelap menghiasi kepalanya.

Astari sama sekali tidak memoles wajah karena ingin tampil natural dan terkesan biasa saja. Di dalam lubuk hati Astari, ingin sekali menolak apa yang terjadi hari ini.

"Ini Astari, ya?" sapa wanita paruh baya ketika sudah duduk berhadapan dengan Astari yang masih menunduk.

"Nggih."

Hanya satu kata saja yang lolos dari bibir Astari. Enggan sekali menatap ke depan, bukan karena tidak sopan terhadap yang lebih tua, tetapi masih ragu dengan pilihan Bapak.

"Cantik ya, Pak," puji wanita itu kepada suaminya.

Astari tidak menimpali ucapan tersebut, hanya senyuman singkat dan selebihnya memilih diam dan menunduk.

"Ini adalah Pak Riyanto yang akan melamar kamu untuk putranya."

Benar sekali tebakan Astari. Ia sama sekali tak terkejut karena sudah menyiapkan mental termasuk hatinya untuk menerima kemungkinan buruk sekali pun.

"Apa kamu mau menikah dengan putra saya?" tanya wanita itu langsung to the point tanpa basa-basi terlebih dahulu.

Jika Astari diizinkan, ia akan  memilih bertemu sebentar atau paling tidak menatap foto terlebih dahulu sebelum memutuskan menerima lamaran ini.

"Saya pikirkan dulu baik-baik karena belum pernah bertemu dengan putra Ibu," sahut Astari dengan bijaksana.

Bapak sendiri tersentak kaget karena seharusnya Astari langsung menerima tanpa beralasan apa pun.

"Astari!"

Suara bapak langsung meninggi membuat Astari semakin yakin jika sebentar lagi akan naik pitam.

"Eh, tidak apa-apa," sahut Pak Riyanto berusaha menengahi suasana yang mulai kaku.

"Betul. Lagian Astari perlu mengetahui jika putra saya bukanlah laki-laki pada umumnya," timpal wanita paruh baya tersebut membuat Astari menaikkan pandangannya.

"Bukan laki-laki pada umumnya? Apa maksud Ibu?" tanya Astari sambil mengernyitkan keningnya. Ia tidak paham diutarakan wanita itu. Ia merasa ada sesuatu yang ganjil dan disembunyikan oleh dua keluarga ini karena seketika semuanya langsung menunduk.

"Anak saya...."

Astari sangat penasaran dengan kelanjutannya. Ia hati sudah ia siapkan, takut kemungkinan buruk terjadi.

"Anak ibu kenapa?"

Astari menaruh tatapan paling dalam setengah memaksa agar tamu di hadapannya berterus terang.

"Anak saya cacat."

Tubuh Astari seketika bersandar pada sofa, ia tak menyangka jika calon yang dipersiapkan untuk dirinya jauh dari angan dan impiannya. Bagaimana nantinya bisa hidup dengan laki-laki yang tidak sempurna?

"Dia juga seorang pengangguran dan pernah gagal dalam pernikahan."

Kedua tangan Astari mengusap wajahnya, entah ujian apalagi ini. Apa sanggup bisa hidup bersama dengan laki-laki yang diutarakan barusan? Ingin rasanya pergi sejauh mungkin karena kenyataan yang ia alami sangat menyakitkan. Namun, ia tidak mungkin mengecewakan Bapak.

“Ada masalah dengan masa lalunya sehingga sampai sekarang memilih sendiri.”

Astari menghirup udara sebanyaknya, tangan meraih bantal sofa dan memeluk sangat erat. Ingin rasanya mencurahkan kesedihan dan kekecewaan tetapi pada siapa. Hanya kepada Mbak Maya yang menjadi tempatnya berkeluh kesah.

"Apa kamu siapa menerima keadaan dan kekurangan anak saya?" tanya Pak Riyanto penuh berharap pada anak sahabatnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro