🔆Ikrar🔆

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Waktu hanya untuk menyembunyikan luka bukan untuk menyembuhkan perihal luka
***
Hidden Paradise  by Galuch Fema

Semua pasang mata menatap ke arah Astari padahal yang bertanya adalah satu orang saja tetapi ketiga orang lain di sana seakan memaksa Astari untuk bersuara saat ini juga. Apalagi deheman Bapak membuat Astari tersentak dalam lamunannya.

Gadis itu beranjak  dan berjalan perlahan mendekati teras. Malam ini terlalu kelam baginya. Hidup akan berubah lebih buruk jika menerima pinangan laki-laki yang tidak dikenalnya. Namun, jika ia menolak pasti keadaan rumah akan semakin rumit. Orang tua yang akan selalu menyanjung adiknya sedangkan Astari sendiri sudah seperti beban yang akan terus memberatkan orang tuanya.

Astari kembali lagi duduk dan suasana kembali lagi hening setelah bisik-bisik selama ia memilih ke teras.

“Bagaimana?”

Lagi-lagi bapak yang paling mendesak dan penasaran dengan jawaban putrinya.

“Apa sebelumnya saya boleh bertemu dengan putra ibu?” tawar Astari sebelum menetapkan jawabannya.

“Maaf anak saya berpesan jika tak ada pertemuan di awal. Jika  Astari mau menerima  kekurangannya maka dia secepatnya akan mau menikahi Astari.”

Wajah Bapak langsung berseri apalagi mendengar kata menikah.

“Boleh saya berbicara lewat telepon?” pinta Astari semakin penasaran dengan sosok yang digadang-gadang akan menjadi suaminya.

Kedua pasangan paruh baya tersebut saling menatap dan kemudian anggukan Riyanto kepada istrinya membuat wanita paruh baya tersebut mengambil ponsel di dalam tas. Setelah mengutak-atik layar, wanita itu menempelkan pada telinga kemudian terlibat pembicaraan singkat dengan yang dihubungi lewat telepon.

Benda pipih itu sekarang diarahkan pada Astari dengan panggilan yang masih terhubung. Dengan sedikit gemetar, Astari menerima ponsel itu kemudian berjalan kembali menuju teras. Ia butuh waktu berdua dengan yang ditelepon tanpa diganggu orang lain sekalipun orang tuanya, karena ini adalah menyangkut masa depannya.

“Assalamualaikum,” ucap Astari dengan gugup karena ini baru pertama kali mereka berbincang walaupun tanpa saling menatap.
Pembicaraan sangat serius dan memakan waktu hampir setengah jam. Dengan langkah lunglai, gadis itu kembali menuju ruang tamu di mana kehadirannya sangat ditunggu empat orang di sana.

“Bagaimana?” tanya Bapak dengan sangat penasaran. Ia adalah orang yang sangat berharap jika pernikahan ini harus terjadi.

Astari terdiam membuat mereka bertanya-tanya tentang pembicaraan barusan.

“Saya dengan Mas Satria sudah membuat keputusan. Tanya saja sama Mas Satria.”
Astari langsung beranjak masuk ke dalam dan menuju ke kamarnya membuat mereka langsung menatap satu sama lain. Samar-samar sebelum menutup pintu, Astari mendengar Bapak menyuruh sahabatnya untuk segera menelepon anak mereka. Tak lama kemudian terdengar suara hamdalah perihal berita yang mereka terima adalah kabar baik.

Astari sendiri memilih menutup kepala dengan sebuah boneka kesayangannya yang bergambar sapi, identik dengan binatang kesayangannya. Setelah ada kejadian ini ia terlihat biasa saja, bukan gadis yang rapuh dan meratapi nasib dengan linangan air mata. Namun, di dalam otaknya berpikir keras bagaimana nantinya bisa hidup bersama dengan orang itu.

Suasana tempat kerja pagi hari terlihat masih lengang bahkan jarak pandang di kawasan Baturraden sangat terbatas akibat kabut yang masih setia bertahan enggan dihilangkan oleh sinar matahari. Perempuan itu melangkah tak lupa menyapa beberapa gelintir karyawan yang tengah menikmati susu segar untuk menghangatkan badan mereka.

Sebagai salah satu staf pekerja harian lepas sebuah instansi di bawah dirjen peternakan kementerian pertanian yang menangani ternak rakyat beserta pakannya. Astari sendiri memegang bagian administrasi di bagian kandang.

Netra terus mencari keberadaan Mbak Maya yang pastinya sudah datang awal karena sudah menjadi kebiasaan rutinnya. Perempuan yang tengah berbadan dua itu tengah berdiri di jembatan di tengah kolam. Efek kabut yang masih turun membuat Astari mempertajam penglihatannya takut salah orang.

“Assalamualaikum. Selamat pagi, Mbak?” sapa Astari dengan ramah.

Perempuan itu yang disapa langsung menengok sambil tersenyum ke arah bawahannya yang sudah ia anggap seperti adiknya.

“Waalaikumsalam. Tumben pagi-pagi nyariin. Biasanya waktu istirahat. Pasti ada yang mau dibicarakan ya?” tebak Maya sambil mengusap perut yang sudah terlihat.

“Yang semalam kita bicarakan, Mbak,” ujar Astari sambil mengontrol emosinya. Ia melihat puluhan ikan koi di bawah yang berenang kian kemari tanpa memedulikan dinginnya air di bawah kaki gunung Slamet.

“Tentang perjodohan itu?”

Astari mengangguk sambil mengingat percakapan dengan laki-laki yang bernama Satria.

“Orang tua laki-laki itu semalam datang ke rumah melamar saya untuk putranya?”

Maya menyipitkan mata seraya berucap, “Laki-laki itu tidak datang?”

Astari menggeleng dengan mata masih melihat ikan di kolam.

“Terus?” tanya Maya penasaran.

Gadis itu mengumpulkan oksigen sebanyaknya karena hawa dingin semakin mencekam membuat ia bolak-balik menggosok kedua tangan.  Belum asap yang keluar dari mulut ketika sedang berbicara.

“Dia bukan laki-laki normal.”

Maya sangat terkejut. Ia menyentuh bahu Astari kemudian memutar tubuh itu untuk menatapnya.

“Maksud tidak normal?”

Mata Astari sekarang menatap Maya sekilas kemudian menatap hamparan rumput yang terbentang luas tempat para sapi berjemur sambil memakan rumput.

“Cacat, pengangguran dan pernah gagal menikah.”

Maya sangat syok, ia mengelus perutnya berkali-kali. Ternyata tidak dengan dirinya yang sangat kaget, bayi di perutnya juga merasakan sama. Perempuan itu berkali-kali istigfar membuat Astari semakin terpuruk atas nasib dirinya yang malang. Tapi satu, sampai saat ini ia belum menitikkan air matanya.

“Kamu menerima lamaran itu?”
Astari mengangguk sambil memberikan senyum palsunya. “Ya, saya ingin menjadi anak yang berbakti kepada orang tua.”

Maya menggeleng karena merasa tak terima dengan jodoh Astari yang seperti itu. “Tapi bukan seperti itu, setidaknya kamu—“

“Biarlah Mbak, mungkin sudah takdir saya. Sepertinya dia juga ingin menikahi saya secepatnya.”

Maya menutup mulut efek terkejut, lagi-lagi bayinya juga bergerak kembali protes.

“Apa sebaiknya kalian tidak bertemu dulu?”
Astari tersenyum kemudian setengah tertawa.

“Bertemu pun tidak akan mengubah keputusan dua keluarga. Kita hanya berbicara lewat telepon, itu pun sebentar saja.”

Gadis itu kembali teringat bagaimana suara yang terdengar sangat berat selama di telepon, sepertinya laki-laki itu juga keberatan atas kesepakatan keluarga mereka.

“ASTARI!!” pekik rekannya yang memanggil di depan kantor administrasi minta beberapa dokumen yang dibutuhkan untuk hari ini.

“Saya tinggal dulu, Mbak. Doakan saya bahagia bersama pilihan orang tua saya.”

Gadis itu berlari menuju kantor administrasi yang mengurus dokumen yang berisi kesehatan ternak di instansi sini,  selain di kantor tak segan-segan Astari terjun langsung ke kandang bersama petugas yang lain karena ini memang adalah tugasnya.



Waktu sudah menunjukkan sore hari, sudah saatnya pulang tetapi gadis itu masih bertahan di taman dekat tempat parkir. Ada rasa enggan untuk kembali ke rumah. Untung seharian disibukkan dengan rutinitas kantor sehingga tak terpikir lagi laki-laki yang bernama Satria.

Ponsel di saku tas paling depan bergetar pelan, ada rasa ragu untuk membuka pesan di ponselnya. Setelah berpikir panjang akhirnya tangan itu meraih benda pipih di sana. Setelah membuka layar, mata Astari takjub pada sebuah nomor tak dikenal yang mengirimkan pesan. Ada keengganan untuk membuka tetapi hati memaksa jari untuk mengetuk pesan yang belum terbuka.

“Segera pulang. Saya sudah berada di rumah dan bersiap melakukan akad.”

Hati Astari berdegup kencang, untung saja ponsel tak jatuh dari genggamannya. Lagi-lagi membaca tiap kata, barangkali ada kesalahan tulisan tetapi sepertinya tidak. Ada rasa penasaran luar biasa ingin melihat sosok yang ada di display picture pesan tersebut. Dengan hati-hati Astari mengetuk gambar di sana karena takut menyentuh ikon telepon yang berada di samping gambar tersebut. Sayangnya yang ada suasana gelap dan bayangan orang yang terlihat dari belakang saja.

“Belum pulang?” sapa Maya yang sudah memakai jaket tebal, sayangnya bagian depan terbuka karena tak memuat perut yang menonjol ke depan. Sebuah kunci mobil juga sudah berada di tangan Maya.

Astari langsung menyerahkan ponselnya dengan layar yang masih menyala menampilkan pesan yang tadi. Maya langsung terbelalak tak percaya.

“Ya Tuhan baru saja tadi pagi kamu bilang di lamar dan sekarang kamu sudah mau nikah saja.”

Tangan Maya dikibaskan seperti orang kepanasan , jelas-jelas sore seperti ini suasana kantor sudah kembali gelap tertutup kabut.

“Oke. Oke. Tenangkan pikiran,” sahut Maya sambil terus mengusap perut. Sekarang dia yang merasa sangat panik. Sedangkan Astari lebih terlihat bingung tetapi masih memilih diam tak seperti Maya yang sudah seperti cacing kepanasan.

“Aku ikut pulang ke rumah kamu. Aku ingin menyaksikan jika kamu benar-benar menikah dengan orang itu,” tukas Maya yang sudah diliputi rasa penasaran yang hebat tentang siapa sosok calon suami Astari.

Astari mendongak ke atas karena sejak menerima pesan itu, ia lebih memilih duduk di batu dekat taman yang didominasi bunga aster.

“Tak perlu, Mbak. Kasihan Mas Azka pasti sudah menunggu di rumah.”

Maya ikut duduk di samping gadis itu, meraih tangan dan menepuk ringan dengan tangan yang satu.

“Kamu butuh seseorang untuk menguatkan, apalagi di situasi sulit seperti ini. Mbak tahu perasan kamu.”

Ucapan Maya terdengar lirih dan menyayat hati, terdengar seperti mau menangis. Ia paling tahu bagaimana kehidupan Astari setelah adik perempuannya menikah terlebih dahulu.

“Insyaallah saya bisa melewati ini semua,” jawab Astari sambil menggenggam lebih erat tangan rekan kerjanya yang sudah ia anggap seperti kakak sendiri.

“Kalau ada apa-apa datang saja ke rumah. Pintu rumah selalu terbuka untuk kamu.”

Maya menghapus setitik cairan bening di matanya. Kisah asmara dirinya lebih indah dibandingkan dengan Astari.

“Siap, Mbak,” tukas Astari sambil meletakkan tangan kanan di atas telinga seperti orang yang hormat saat upacara bendera.

“Sudah sana pulang. Ditunggu sama suami kamu. Mbak yakin pasti setiap  orang tua mempunyai alasan sendiri melihat putrinya. Tidak ada orang tua yang menjerumuskan anaknya pada hal-hal yang buruk atau membuat masa depan anak mereka tidak bahagia,” nasihat Maya sambil menepuk bahu Astari pelan.

Astari melihat Maya berjalan menuju mobilnya dan ia pun memantapkan hatinya untuk pulang ke rumah. Namun, langkah tiba-tiba terhenti karena gawai lagi-lagi bergetar dan menampilkan pesan dari nomor yang tadi.

“Kamu sudah sah menjadi istri saya.”

Begitulah bunyi pesan itu, Astari tak kaget karena sesuai kesepakatan dalam telepon semalam, dia menerima lamaran laki-laki yang bernama Satria.

꧁ᬊ᭄𒆜 '''To be continue ''' 𒆜ᬊ᭄꧂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro