🔆The beginning of live🔆

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku mengira kita akan sepakat dan terikat, ternyata aku salah karena jalan kita berbeda dan ditempuh dengan cara masing-masing.

***
Hidden Paradise by Galuch Fema


Happy reading jangan lupa vote


Jari tangan membeku karena efek tegang, memasukkan kunci motor ke lubang saja sampai tak bisa karena tangannya sudah saking gemetar. Statusnya sekarang berubah menjadi istri Satria—seseorang yang sama sekali tak ia kenal bahkan bertemu pun tidak.

Namun, lagi-lagi ucapan Maya terngiang di telinganya. Orang tua pasti menginginkan masa depan yang baik dan  tidak akan menjerumuskan anaknya pada hal-hal negatif. Sambil memantapkan hatinya, Astari menyalakan mesin motor masih dengan detak jantung yang belum normal.

Suara panggilan azan magrib berkumandang, motor yang beberapa meter baru melaju segera ia tepikan di mushola untuk melaksanakan tiga rakaat terlebih dahulu agar hatinya lebih tenang. Dering pesan di tas kembali berbunyi tetapi ia enggan membuka karena ia sudah menduga jika yang berpikir pesan adalah suaminya.

Setelah melanjutkan perjalanan lagi, suasana rumah masih ramai. Mobil angkot yang kemarin ditambah satu mobil lagi berwarna hitam masih berada di samping jalan depan rumah. Setelah memarkir motor, ia melangkah masuk rumah. Lagi-lagi jantung berdetak lebih cepat, padahal setelah selepas salat sudah kembali normal.

Di depan pintu, Bapak sudah berdiri menantinya. Beliau masih memakai baju batik terbaiknya. Jika biasanya wajah terlihat kaku dan tegang, sekarang lebih tenang dan seutas senyum terlihat di bibirnya.

“Kok baru pulang?” tanyanya masih dengan nada kaku.

Astari melirik ke dalam ruang tamu, beberapa gelintir orang yang tak ia kenal tengah menatapnya.

“Astari tadi ditugaskan di Manggala Farm Cilongok,” jawabnya berbohong, padahal sedari tadi waktunya terbuang sia-sia memikirkan nasib kehidupannya yang baru.

“Sudah tahu kalau hari ini kamu menikah?”

Astari mengangguk dan kembali melirik beberapa orang di sana. Siapa tahu menemukan laki-laki yang bernama Satria. Namun, di sana ia tak menemukan laki-laki berjas hitam atau kemeja putih memakai peci. Di sana yang ada beberapa laki-laki sepantaran usia bapak.

“Astaghfirullah,” bisik Astari dalam hati.

Apa yang bernama Satria itu sudah usia lanjut? Apalagi dia pernah gagal menikah. Hati Astari berkecamuk tidak jelas, selama ini yang ada dalam bayangannya adalah laki-laki sepantaran atau paling tidak terpaut beberapa tahun dengan usia dirinya.

“Astari?” panggil Bapak yang melihat putrinya tengah melamun dan seperti sedang memikirkan sesuatu.

“Eh, dalem, Pak. Tadi Sat eh Mas Satria sudah mengirim pesan kepada Astari.”

Hampir saja bibir keceplosan memanggil suaminya hanya dengan sebutan nama saja.

“Lekas ganti baju dan segera temui mertua kamu!” perintah Bapak sekarang dengan nada memaksa. Astari berjalan begitu saja melewati kerumunan orang-orang yang duduk di atas karpet, keinginan untuk melihat Satria hilang sudah. Jujur Astari agak kecewa kenapa yang berdiri di depan pintu itu bukan Satria melainkan Bapak.

Waktu entah mengapa terasa berjalan sangat lambat, dari menanggalkan baju kerja sampai memilih baju yang cocok untuk saat ini. Jika bukan ketukan pintu kamar, Astari mungkin masih disibukkan  memilih apa yang akan ia kenakan. Pilihan jatuh pada gamis warna putih, gamis lama tetapi cukup pantas apalagi warna putih identik dengan akad pernikahan. Salah siapa mendadak seperti ini sehingga ia tak sempat mencari atau menyewa kebaya warna putih.

Setelah tiba di depan, Astari memilih duduk di samping Ibu, semoga saja malam ini masih diizinkan untuk memejamkan mata di rumah ini. Bapak berdehem membuat semua seketika langsung terdiam dan menatap Astari.

“Akad sudah dilaksanakan tadi pukul lima sore.”

Lagi-lagi Astari menelan kecewa karena suara bapak yang terdengar, bukan suara laki-laki yang bernama Satria. Gadis itu pun mengangguk lemah dan belum berani mengangkat wajahnya melihat satu persatu siapa yang ada di ruangan ini. Namun, ia bisa melihat beberapa bingkisan yang dikemas cantik yang tertata di depannya. Dari semua bingkisan, mata Astari tertuju pada sebuah mukena yang dibentuk sebuah angsa dan Al Quran yang berbentuk hati.

“Kalian nikah secara agama terlebih dahulu karena baru minggu depan Satria ada waktu untuk mengurus ke KUA,” sambung Bapak yang mendominasi di ruangan ini.

“Kenapa harus minggu depan? Kenapa bukan besok? Bukankah dia pengangguran dan waktu dia banyak terbuang sia-sia,” pekik Astari dalam hati.

“Saya nurut saja sama Sat, Mas Satria,” ucap Astari sampai salah lagi mengucapkan itu, apalagi ini di depan keluarga besar suaminya.

“Alhamdulillah kalau begitu.”

Ucapan Bapak barusan kemudian diikuti hamdalah dari orang-orang yang ada di sini.

“Setelah ini kamu akan tinggal bersama suami kamu, karena kewajiban istri adalah mengikuti suaminya.”

Lagi-lagi suara Bapak membuat Astari jengkel. Kenapa tidak Satria saja yang berbicara seperti ini. Apa dia bisu? Jantung Astari berdetak kencang, hari ini ia sudah tiga kali menerima pesan dari nomor itu, bukan panggilan suara. Orang tua Satria juga pernah berkata jika anaknya cacat.

“Astaghfirullah,” bisik Astari lirih dan hanya ia yang bisa mendengar rintihan suara hatinya.

“Ibu sudah mengemasi semua baju-baju kamu dan sudah dibawa Satria pergi.”

Sekarang gantian ibu yang bersuara tetapi ini sangat membuat Astari terkejut dan sekarang ia menatap Ibu di sampingnya.

“Pergi? Pergi ke mana?” tanya Astari bingung. Ia mengira jika  Satria berada di kerumunan orang di sini, bukan pergi begitu saja tanpa ada pertemuan dengan Astari.

“Satria sudah pulang ke rumah. Satria sudah menunggu satu jam tetapi kamu belum pulang juga. Dia tidak bisa berada di tempat keramaian terlalu lama karena anaknya minder,” balas Ibunya Satria yang sekarang sudah berganti status menjadi mertua Astari.

Astari menelan salivanya. Suami macam apa pergi begitu saja dan meninggalkan istrinya sendiri apalagi ini hari pernikahan mereka.

“Nanti Mas Satria ke sini lagi buat jemput saya kan, Bu?” tanya Astari bimbang.

Ibu mertua itu memberikan senyum terbaiknya dan menyerahkan secarik kertas berisi tulisan tangan untuk diserahkan kepada menantunya.

“Satria berpesan agar kamu malam ini datang sendiri ke rumahnya.”

Kejutan apa lagi ini Tuhan? Astari semakin tak paham dengan ini semua. Dengan gemetar membaca rangkaian kata di kertas itu. Alamat di sana tertulis jika daerah yang akan ia tuju adalah Baturaden masih sekitar tempat ia kerja tetapi Astari masih tak paham alamat rumah itu.

Dengan terpaksa Astari mengangguk sambil melipat kertas itu menjadi lipatan sangat kecil.

“Coba kamu teliti lagi barang apa saja yang belum terbawa. Barangkali ada yang masih tertinggal.”

Perintah Bapak barusan seakan mengandung arti secara tidak langsung jika dirinya harus hengkang dari rumah detik ini juga. Astari menunduk dan berjalan lunglai menuju ke kamar. Sesampai di sana ia baru sadar jika baju kerja dan lainnya sudah tidak ada. Hanya tertinggal beberapa helai menjadi penghuni lemari yang sudah kosong. Sepertinya tak ada lagi yang harus dibawa, tinggal tas ransel berisi laptop yang biasa dibawa kerja dan sepeda motor kesayangannya.

Astari kembali lagi menggendong tas ransel yang belum satu jam, ia letakkan di kamar. Membiarkan gamis putih tetap melekat. Ia berdiri di depan orang-orang yang sudah berdiri di halaman siap mengantar kepergiannya. Ini adalah kali pertama pergi tetapi bukan urusan dinas luar pekerjaannya. Astari merengkuh tangan orang tua dan mengecupnya pelan. Ia tak menangis karena ini adalah keinginan mereka. Sebuah senyum sebagai tanda perpisahan.

Mungkin ia adalah mempelai perempuan yang paling tragis di hari pernikahannya.

Waktu sudah larut malam tetapi roda sepeda motor terus melaju di jalan yang menanjak dan membelah hutan pinus di kanan kirinya. Lagi-lagi bulu kuduk merinding, hampir saja menyerah dan meminta Satria untuk menjemputnya, kebetulan ia menyimpan nomor yang tadi berkirim pesan tetapi ia urungkan karena enggan merepotkan.

Hampir saja tersesat jika tanpa bantuan google maps, untung saja jalur yang ia tempuh adalah jalan yang menuju alamat yang tertulis di secarik kertas. Motor berhenti di sebuah rumah tua dengan pohon-pohon yang menjulang tinggi di halaman depan sehingga rumah tak terlihat jelas terhalang rindangnya pohon tinggi. Atas petunjuk dari google maps alamat yang dituju sesuai tempatnya ia berdiri tetapi Astari sendiri takut karena ragu untuk memasuki rumah dengan pagar menjulang tinggi.

“Apa ini rumahnya?” tanyanya dalam hati. Melihat rumah di samping sudah seperti rumah yang digunakan untuk uji nyali.

Astari melajukan motor beberapa meter lagi karena tampaknya di sana terdapat toko kelontong yang masih buka. Seorang ibu tua tampak melayani pemuda yang tengah membeli rokok. Mereka berdua langsung menatap Astari yang berjalan mendekati mereka.

“Maaf, Bu. Mau numpang tanya alamat ini,” ucap Astari dengan nada yang sopan sambil menunjukkan secarik kertas yang lusuh tetapi tulisan di sana masih terbaca jelas.

Ibu tua itu mengernyitkan kening sambil menunjukkan alamat tersebut pada konsumennya.

“Bukankah ini alamat rumah itu?” tanya Ibu tersebut dengan suara rendah setengah berbisik.

“Duda buruk rupa.”

Astari langsung merinding mendengar ucapan pemuda itu, ia menoleh ke arah jalan yang barusan ia lewati.

“Rumah tua paling ujung,” sahut Ibu sambil menyerahkan kembali kertas tersebut kepada Astari.

“Rumah mas Satria?” tanya Astari sekali lagi meyakinkan takut salah alamat.

“Iya. Satria. Memang Mbak itu siapa? Ada perlu apa ketemu sama Satria?” tanya balik Ibu membuat Astari kelabakan karena ia tak mungkin menjelaskan statusnya sekarang.

“Sa-saya saudaranya,” balas Astari mencari jawaban paling aman.

Ibu itu mengernyit keningnya sambil berbalas pandangan pada pemuda tadi.

“Selama ini tidak ada tamu yang berani datang ke rumah itu karena sudah seperti rumah hantu.”

Desiran angin malam membuat gesekan pada pohon-pohon tinggi di daerah ini membuat bulu kuduk berdiri. Astari langsung izin berpamitan untuk kembali ke rumah tadi. Ia tidak suka Ibu tadi menginterogasi dirinya, bukan kenapa tetapi yang ada membuat dirinya semakin takut.

Setelah berbalik arah, sampai juga Astari di depan gerbang. Benar apa yang dikatakan orang tadi, rumah ini sudah seperti rumah hantu. Cahaya lampu yang temaram tak sebanding dengan luas rumah beserta halaman membuat suasana masih redup.

“Bismillah,” ucap Astari membuka gerbang yang dingin ketika bersentuhan dengan kulitnya. Ia lalu mengendarai motor dari ujung gerbang menuju depan rumah yang jaraknya lumayan sehingga rumah itu kalau dari jalan tadi tak tampak begitu jelas.

Astari dengan tangan dan kaki yang sudah gemetar mencoba meraih gagang pintu jati yang berdiri kokoh. Gagang tersebut berdebu tebal seperti tak pernah tersentuh orang. Jantung berdebar kencang ketika pintu itu tak terkunci dan menampakkan pemandangan di depannya.

Sayang, semuanya serba gelap.

꧁ᬊ᭄𒆜 '''To be continue ''' 𒆜ᬊ᭄꧂




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro