🌻Kejutan Terakhir🌻

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hidup itu penuh teka-teki. Kita tidak tahu kapan harus terus berjalan? Kapan harus menyerah? Dan, kapan harus kembali ke Pencipta?



Happy reading, jangan lupa like dan komen

Punggung laki-laki yang jalanya belum sempurna karena masih harus terseok, sudah benar-benar memelesat dari netra Astari. Kedua lutut Astari masih terasa lemas . Tubuh mendadak kaku karena masih bisa merasakan bagaimana pelukan barusan. Ingin rasanya Astari berteriak kencang memanggil nama Satria.  Namun, sepertinya percuma.

Ia begitu menyadari sikapnya yang bodoh dan egois. Padahal laki-laki itu sudah berkorban menemuinya di sini. Seharusnya sebagai pasangan yang baik, ia tidak akan pernah meninggalkan Satria seorang diri menghadapi masalah yang pelik. Bukankah biasanya mereka menghadapi malam kelam di rumah kuno itu secara bersama? Hanya karena pekerjaan dan ingin tidur nyenyak, Astari rela meninggalkan Satria sendirian.

Astari menatap langit yang bertabur gugusan bintang bulan September membentuk pemandangan cantik di atas sana. Ia masih ingat betul bagaimana guratan di kening lelaki itu.  Sepertinya masalah besar telah terjadi.

Pandangan Astari tertuju pada benda yang terasa amat dingin di tangannya. Dengan gemetar dan perlahan, telapak tangan mulai terbuka menampakkan sesuatu yang berkilau karena terpaan sinar rembulan.

"Aku harus kembali ke rumah itu," sahut Astari dengan mantap. Tidak lupa menyimpan amanah itu dengan baik-baik.


Satria masih tidak percaya dengan ujian yang ia alami. Hatinya kembali kosong karena harus merasakan kehilangan kedua kali perempuan yang dicintainya. Ia sebenarnya agak tenang karena Astari berada di tempat yang aman. Namun, hati kecilnya berkata lain. Andai saja kepergian Astari  saat hubungan keduanya tidak seperti ini,  mungkin tidak akan menjadi beban.

"Hey!"

Tepukan agak kencang di bahu seseorang yang sedang melamun. Satria hanya bisa mendengkus kesal karena ulah seseorang yang berada di sampingnya.

"Sudah sampai," tukas orang itu sekali lagi.

Satria hanya melirik sekilas pemandangan di luar mobil. Suasana sudah petang, apalagi depan rumahnya yang sama sekali tidak ada penerangan. Namun, ia enggan beranjak dari mobil. Tempat sekarang terlalu nyaman dibandingkan di luar sana. Apalagi terbersit pikiran tidak enak mengenai Astari.

"Masih mau ingin ketemu sama dia?" tebak Antoni karena melihat wajah Satria yang selalu muram.

"Tidak. Biarkan dia tidur nyenyak tanpa teror," balas Satria lirih.

Sekarang Antoni yang gantian mendengkus kesal karena lelah. "Mau sampai kapan kamu seperti ini?"

Helaan napas dari mulut Satria menandakan laki-laki itu juga sama lelahnya dengan apa yang terjadi. "Sampai ada  bukti yang kuat?"

"Kurang kuat apalagi, sih?" Suara Antoni terdengar lebih ketus.

Suara jangkrik terdengar sayup-sayup sampai ke dalam mobil. Satria mengusap wajahnya yang terasa lengket. Ia melupakan salep untuk luka di wajahnya yang baru Antoni belikan untuknya.

"Sampai sosok itu benar-benar menampakkan diri," tukas Satria dengan malas.

Pintu mobil di samping Satria terbuka. Saat itu angin bertiup dengan kencang. Dedaunan kering di pinggir jalan yang berasal dari pepohonan di depan rumah beterbangan mengikuti pusaran angin. Belum langit yang tadinya cerah, perlahan tertutup awan hitam yang sekarang menutupi sinar rembulan.

Dia pasti akan datangbatin Satria tidak gentar melawan angin yang sudah membuat pepohonan bergerak kian kemari.

"Kamu yakin tidak apa-apa?" tanya Antoni dengan sangat keras karena ia juga merasakan sesuatu yang tidak diduga akan terjadi.

"Aku pasti akan menelepon kamu kalau ada apa-apa. Tetap stand by di layar ponsel kamu!"

Antoni mengangguk pada perintah majikannya. Tangan kanan menjeremba pintu mobil dekat Satria yang masih terbuka. Ia tidak ingin daun-daun kering masuk memenuhi isi mobil.

Satria berjalan terseok memasuki pelataran halaman yang sudah tidak mirip rumah,  melainkan mirip dengan hutan karena pohon pinus itu sudah tumbuh menjulang tinggi seakan ingin berlomba menyentuh langit.

Mata yang sedari tertunduk tiba-tiba terbelalak karena kaget. Ia melihat pintu depan setengah terbuka. Ia semakin bertanya-tanya karena ada pendar cahaya di dalam sana. Bukan lampu, tetapi cahaya api yang berasal dari perapian.

"Siapa yang menyalakan tungku perapian?"

Satria terus bertanya-tanya. Ia semakin mempercepat langkahnya. Astari selama tinggal di sana, sama sekali belum pernah menyalakan perapian. Apalagi sejak kepergok naik lantai dua, perempuan itu lebih berhati-hati dengan apa yang ada di rumah ini.

Tangan menjeremba engsel pintu yang bergerak karena beberapa mur sudah terlepas. Suara derit pintu terbuka sama dengan degup jantung dalam dada.

Satria mendapati suasana hangat ketika sudah berada di dalam. Benar saja, perapian sudah menyala. Aroma bunga melati tercium menusuk penciuman. Bau itu mengingatkan pada sesuatu. Satria menepis jauh-jauh apa yang ada dalam pikirannya.

Mata tidak mendapati siapa pun di sana. Deru jantung semakin menjadi karena laki-laki itu bergerak cepat untuk menemukan siapa yang berani masuk ke dalam rumah ini. Jika peneror itu yang masuk, pastinya semua benda akan berantakan. Namun, tidak dengan sekarang,  semua masih tertata rapi.

Mata kembali terbelalak ketika melihat pintu kamarnya terbuka. Satria tidak bisa bersuara. Tulang yang ada di tubuhnya seakan dilolosi satu per satu.

"Siapa kamu?" pekik Satria dengan lantang. Rasa cemas yang tadi hadir memelesat entah ke mana.

Dalam temaram cahaya perapian muncul sosok yang sedari tadi duduk di kursi goyang tua di pojok ruangan. "Halo, sayang? Kamu sudah pulang?"

Satria mundur beberapa langkah sambil berpegangan sofa. Ia tidak menyangka jika ia akan disambut seperti ini.

"Un-untuk a-apa ka-mu kemari?"

Suara Satria yang gugup membuat sosok yang ada di depan tersenyum penuh kemenangan. Tubuh Satria tertahan dinding, tetapi sosok tersebut tidak ikut berhenti. Ia terus berjalan mendekat, bahkan tubuh mereka saling bersentuhan. Satria memalingkan wajahnya sambil memejam kedua matanya.

"Aku datang karena kangen sama kamu," bisik perempuan itu di depan wajah Satria.

"Pergi!" belungsang laki-laki yang sedang diambang kepanikan luar biasa.

Tawa melengking dari bibir perempuan yang terus menggoda. Aroma melati kembali tercium ketika angin masuk melalui jendela yang bertirai warna gelap.

"Aku tidak akan pergi. Kapan lagi bisa berdua seperti ini?" Lengan putih memeluk pinggang Satria, tak lupa wajah pucat disandarkan pada dada laki-laki itu.

Satria yang sudah sangat panik. Ia memejam mata sekejap kemudian mendorong tubuh yang seenaknya tiba-tiba memeluknya. Tubuh kecil itu akhirnya perlahan terdorong dan mundur beberapa langkah.

"Aku lupa kalau kamu habis pergi. Aku sudah menyiapkan makanan untuk kamu. Cuma aku yang tahu apa kesukaan kamu."

Perempuan berjalan pelan menuju meja makan yang terbuat dari kayu jati. Tudung saji terbuka menampilkan makanan beraneka ragam. Tak lupa dua buah lilin warna putih menambah suasana romantis.

"Mari kita makan," ajak perempuan memakai gaun warna putih. Apa yang dikenakan terlalu panjang membuat kedua kaki tak tampak menyentuh lantai.

"Aku tidak mau!" Satria menolak. Ia tidak habis pikir kenapa dia ada di sini. Harusnya ia menyetujui Antoni agar dirinya tidak berada di sini.

"Kenapa kamu tidak mau makan masakan aku? Apa karena sudah ada orang lain yang sekarang menyiapkan sesuatu untuk kamu?" sindir Dania yang wajahnya sudah berubah kesal

"Ya. Jawaban kamu benar."

Dania terkikik sampai satu titik air mata lolos dari netranya. "Terus sekarang di mana dia?"

Satria terdiam seribu bahasa. Ia tahu akal licik dari perempuan ini.

"Dia pergi, kan? Perempuan macam apa malam-malam pergi keluyuran?  Meninggalkan suaminya kesepian."

Wajah Satria memerah karena tamparan ucapan barusan. Namun, ia berusaha mengontrol emosi agar tidak meledak.

"Kenapa masih mempertahankan perempuan macam dia? Bukankah dulu kamu langsung memutuskan aku saat  ketahuan pergi?" sindir Dania mencoba menyalakan api amarah dalam diri mantan suaminya.

"Dia pergi karena pekerjaan." Satria terpaksa menjawab karena Dania selalu memojokkan Astari.

"Kamu yakin dia beneran kerja? Bukan bersama laki-laki lain?"

Wajah Satria kembali memerah. Dadanya sangat panas. Ibarat gunung api siap memuntahkan api panas. Apalagi ia ingat betul saat Astari bersama laki-laki itu.

"Jaga ucapan kamu!"

Dania terkekeh geli, ia menahan perut yang sakit akibat tertawa. "Di mana Satria yang aku kenal? Satria pencemburu. Satria yang tidak suka melihat pasangannya keluyuran di luar. Satria yang selalu memaksa istrinya selalu di rumah karena merasa telah menyediakan surga yang tidak akan didapati di luar sana? Kenapa sekarang kamu mendadak jadi pengecut seperti ini?"

"Diam!" pekik Satria sekali lagi. Ia berjalan mendekati Dania. Tangan seketika ingin menampar mulut itu. Sayangnya hanya bertahan di udara karena Satria tidak akan melakukan itu. Padahal Dania sudah bersiap menerima amukan itu.

"Tampar saja jika ini membuat kamu lebih lega," tantang Dania dengan berani.

Laki-laki itu terlihat salah tingkah. Kepala ditolehkan ke arah samping. Enggan melihat Dania yang terus menunjukkan pipi meminta untuk ditampar.

Deru napas keduanya masih naik turun. Kejadian ini sama seperti kejadian dua tahun yang lalu saat sebelum perpisahan.

"Pergi dari sini. Anak itu butuh perhatian kamu!" usir Satria secara halus. Emosi perlahan masih bisa dikuasai sebelum mengeluarkan kartu merah yang ia simpan.

Wajah perempuan itu berubah ketika diingatkan kembali pada anak yang belum sadar pasca kemoterapi. Perlahan tubuh luruh dan posisi menjadi duduk di atas lantai yang terasa amat dingin. Kepala ditundukkan membuat sebagian wajah tertutup rambut lurus warna hitam.

Satria pertamanya tidak peduli. Namun, seketika  hati tergugah saat tubuh kurus di depan bergetar dan isak tangis terdengar sampai ke telinga.

"Aku capek. Aku lelah. Dua tahun melihat dia berjuang kemoterapi dan minum obat-obatan. Ibu mana yang tega melihat putrinya sakit seperti dia? Sedangkan ayahnya tidak peduli bahkan tidak pernah memberikan kasih sayang?"

Laki-laki yang memakai jaket gelap hendak menyangkal, tetapi ia abaikan karena Dania sepertinya sedang terpuruk dan tertekan.

"Tuhan, kenapa tidak cabut saja nyawa anak itu!" pekik Dania yang wajahnya yang sudah basah oleh air mata. Perempuan itu sengaja melihat  ke atas,  berharap Tuhan mengabulkan doanya

"Jangan berkata seperti itu!" tegur Satria mulai panik.

"Kenapa aku tidak bisa seperti perempuan lain? Bahagia karena memiliki anak yang normal."

Tangis Dania semakin menjadi. Satria bisa merasakan jika ini bukan sandiwara, melainkan curahan hati perempuan itu. Ia ingat betul bagaimana khawatirnya Dania saat Ryana belum juga membuka mata.

"Kenapa kamu tidak membawa anak kita berobat ke luar negeri? Seharusnya seorang ayah ingin melihat kesembuhan putrinya?" tuduh Dania dengan sengit. Mata menatap tajam ke arah Satria.

"DIA BUKAN ANAKKU!" bentak Satria kasar karena selalu saja diberi tuduhan seperti itu.

"Tidak usah menyangkal. Bagaimana pun juga dia anak kamu!" balas Dania dengan sengit

"Aku punya bukti jika anak itu bukan anak aku."

Mata bulat milik Dania terbelalak kaget. Wajahnya seketika langsung panik. "A-apa buktinya?"

Satria mengeluarkan sesuatu dari balik jaketnya. Satu lembar kertas diserahkan pada Dania. Perempuan itu merebut paksa dari tangan Satria. Benda itu tidak langsung dibaca, tetapi segera dirobek menjadi berkeping-keping. Tangis  Dania semakin pecah.

Satria hanya terdiam. Ia tidak keberatan selembar kertas itu sudah tidak berbentuk. Setidaknya ia sudah membaca dan mengetahui isi surat tersebut.

"Berani-beraninya kamu mengambil tes DNA tanpa sepengetahuan aku!" pekik Dania hilang kesabaran. Ia meraih sebuah pisau yang terletak di atas meja makan. Benda itu diacungkan kepada Satria yang wajahnya sekarang memucat karena tindakan gila perempuan itu.

♡To be continue♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro