🌻Gold Key🌻

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ajarkan aku caranya melebur dalam gelap tanpa rasa takut, merengkuh rasa takut tanpa perlu surut, dan berani kembali melangkah tanpa takut terjatuh.

***
Hidden Paradise by Galuch Fema

Happy reading, jangan lupa vote

Seorang perempuan duduk di atas batu besar. Wajah diarahkan ke depan, memandang pada fokus yang tidak jelas. Fisiknya berada di tempat ini, tetapi pikiran tertuju pada sosok lain di sana. Udara menjelang sore sedikit menghangatkan jiwa yang sedang rapuh. Perlahan angin bertiup sedikit  kencang, membuat rerumputan bergerak ke sana ke mari. Perempuan itu tidak bergerak menuju tempat yang lebih hangat karena tempat itu sudah nyaman.

Sebuah tepukan pelan membuat Astari sedikit berjingkat karena kaget. Seutas senyum dari laki-laki tubuh menjulang tinggi. Entah mengapa senyum dengan lesung pipi itu mengingatkan pada sosok yang sedang ia hindari.

"Hai," balas Astari mencoba tersenyum. Ia sedikit menggeser posisi duduknya agar tidak terlalu dekat dengan orang yang baru datang.

"Melamun saja," tegur Syam yang notabene rekan Astari di tempat ini.

Astari membalas dengan deheman lirih.  Ia pura-pura sibuk menata ujung jilbab yang terbang karena angin.

"Lagi ada masalah?" tanya Syam sekali lagi. Siapa saja yang biasanya melihat perempuan yang riang dan aktif seketika sering melamun dan menyendiri seperti sekarang.

Astari bukan menjawab malah balik bertanya, "Sepertinya?"

Syam tertawa terbahak-bahak. Tangan merapikan ujung poni yang ikut bergerak dan menutupi kedua mata hitamnya.

"Sepertinya iya."

Syam dan Astari tersenyum kemudian tergelak dalam tawa. Keduanya memang lumayan dekat. Berhubung Astari ditempatkan di admin bagian kandang, mau tidak mau banyak teman laki-laki.

Keduanya menatap pada satu titik di depan. Syam memulai berbicara, "Hidup itu penuh perjuangan. Untuk menggapainya tidak selalu mudah. Tidak sedikit orang yang terhambat dan menyerah ketika menemui rintangan saat menggapai mimpi mereka. Saat berada di titik yang terindah, semua akan bergantung pada kita sendiri. Apakah kita akan langsung menyerah atau tetap melanjutkan perjuangan?"

Astari termenung. Ada benarnya juga yang dikatakan oleh Syam. Sebelumnya ia begitu cuek dengan apa yang ia hadapi.

" Kadang kala terlalu banyak yang dipikirkan sebelum kita bertindak, sering kali  kita larut dalam hal-hal tidak jelas. Padahal jika melewatinya tidak seburuk yang dipikirkan sebelumnya."

Astari bergeming. Ia menyesal karena selalu mengelak saat Satria akan menjelaskan sesuatu.

"Satu lagi yang perlu diingat. Perjuangan itu tidak membuat orang lebih kuat, melainkan perihal kita memaknai tujuan hidup," imbuh Syam menyemangati sahabatnya.

Astari mengangguk. Ia paham apa yang akan ia lakukan selanjutnya. "Rasa-rasanya aku seperti dinasihati oleh bapak-bapak," sindir Astari yang kemudian diikuti gelak tawa dari keduanya.

Sementara itu, ada sosok lain yang menuruni mobil. Laki-laki itu berjalan sedikit terseok memeluk senja yang hampir tenggelam. Kedua mata fokus tertuju pada dua orang di sana. Mata menyipit untuk memperjelas sosok perempuan di sana. Berharap yang ia lihat adalah sosok yang bukan ia cari.

Namun, Satria salah. Perempuan itu adalah Astari. Sosok yang memilih pergi. Lagi-lagi hati Satria merasa terpukul hebat. Astari selalu saja bisa tersenyum lepas saat bersama laki-laki lain. Pertama Raka, sekarang entah siapa. Berada di tempat ini bukanlah hal yang sulit bagi Satria. Ia sangat paham jika Astari memiliki dua tempat untuk bekerja.

"Tari?" panggil Satria yang sudah berada di belakang perempuan itu. Jika diukur mungkin hanya berjarak sekitar berjarak lima meter.

Astari menghentikan tawanya. Ia seperti mendengarkan suara seseorang yang sangat ia kenal. Sepertinya ini adalah imajinasi saja jika laki-laki itu berada di tempat ini.

"Itu di cari sama seseorang," celetuk Syam menepuk lengan Astari perlahan. Laki-laki itu tidak paham jika sosok pria di belakang mereka adalah suami rekan kerjanya.

Astari menatap belakang. Mata membulat karena  imajinasinya berubah menjadi nyata. Rerumputan lebat di padang ini yang membuat tidak menyadari kehadiran Satria.

"Sa-tria," ucap Astari terbata-bata. Seluruh tubuh mendadak kaku seperti tersengat listrik sangat besar. Perempuan itu bisa melihat ada sorot mata menyimpan kekecewaan di balik manik mata hitam.

Astari berdiri dari tempat duduk, tepatnya agak menjauh dari Syam. Ia lupa akan satu hal. Satria orangnya pencemburu, apalagi sorot mata itu juga tengah mengarah pada rekan kerjanya.

"Dia yang sedang kamu perjuangkan?" bisik Syam hati-hati. Apalagi situasi mendadak tidak nyaman.

Astari menatap Syam sekilas, kemudian mengangguk. Laki-laki di sebelahnya langsung mengepalkan tangan dan mengacungkan ke udara. "Semangat!"

Tinggallah dua orang yang masih memilih bungkam. Namun, derap langkah Satria terus mendekat dan sekarang sejajar dengan Astari. Sebenarnya apa yang menjadi masalah mereka adalah sama. Belum bisa terbuka satu sama lain.

Suara klakson mobil berbunyi. Keduanya tersentak. Lebih-Lebih untuk Astari karena sempat mengira Satria datang sendirian.

"Siapa?" tanya Astari penasaran.

Sebelum Satria menjawab, kaca mobil terbuka menampakkan seorang laki-laki berkaca mata hitam. Sempat mengira yang datang bersama Satria adalah Indah, tetapi ternyata dugaan salah.

"Antoni. Orang suruhan aku."

Astari menyipitkan pupil untuk melihat sosok yang terus memperhatikan mereka berdua. Ia menangkap sesuatu yang sangat ganjil. Jika itu orang suruhan Satria, mengapa teror di rumah tua itu tidak pernah berhenti? Ke mana saja itu orang? Bukankah harusnya menjaga Satria?

"Kapan-kapan nanti aku ceritakan. Tunggu waktu yang tepat," seloroh Satria seperti mengetahui apa yang mengganggu dalam benak Astari.

Satria merengkuh kedua tangan Astari. Mereka saling berhadapan di bawah lembayung sore.

"Tari, satu yang diingat. Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Dania. Aku perlahan melupakan orang itu setelah kamu masuk ke dalam kehidupan aku. Percaya sama aku," pinta Satria.

Perempuan itu menoleh ke samping. Ingin rasanya melepas pegangan tangan tetapi tidak bisa. Rengkuhan hangat itu yang membuat tidak bisa lepas. Astari tersentak kaget. Laki-laki itu sudah tidak lagi dingin.

"Ada misteri yang harus kita pecahkan. Tapi aku tidak bisa berkata sekarang."

Astari semakin tidak paham dengan apa yang dikatakan laki-laki yang wajahnya terlihat sangat panik. Belum suara klakson bertubi-tubi dari arah mobil yang sama membuat Astari menarik kesimpulan jika telah terjadi sesuatu.

"Misteri? Misteri apa lagi? Kenapa semua serba teka-teki seperti ini? Jujur aku sudah lelah dengan teror itu semua," rintih Astari lirih.

Satria menggeleng pelan. Ia sangat iba melihat istrinya. Perempuan yang ia sangka kuat, ternyata bisa menyerah juga. Laki-laki yang identik dengan kaus gelap dan topi langsung menguatkan genggaman tangan.

"Sebentar lagi pasti berhasil. Aku sama Antoni lagi menguak peneror itu."

Astari menggeleng. "Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa hidup lagi di rumah itu."

"Tidak. Kita tidak boleh pergi dari situ," elak Satria merasa tambah panik.

Lebih-Lebih untuk Astari yang wajahnya sudah sangat tegang. Ia masih beruntung malam ini tidak tidur di rumah itu.

"Aku masih punya sedikit uang. Kita bisa menyewa rumah yang sederhana. Setidaknya hidup kita lebih tenang."

Perdebatan sengit terjadi juga. Keduanya mempertahankan keinginan masing-masing. Apalagi untuk Satria yang sudah berjanji untuk tidak meninggalkan rumah itu. Lebih baik ia meregang nyawa di situ daripada harus merelakan rumah peninggalan Eyang untuk orang lain.

"Tidak, Tari. Ada yang harus kita pertahankan di rumah itu. Jangan sampai jatuh pada orang yang salah."

Astari semakin tidak paham arah pembicaraan mereka. "Mak-sud kamu?"

Rengkuhan tangan Satria mengendur dan berpindah pada kedua bahu Astari. "Akan ada saatnya aku cerita semua sama kamu."

Astari melepaskan tangan Satria dengan kasar. "Kenapa harus nanti ada nanti? Kenapa tidak sekarang!"

Emosi perempuan itu memuncak. Ia sudah sangat lelah dengan teka-teki yang membuatnya hampir mati. Niatan mau berdamai sesuai nasihat Syam, berakhir lesap sudah.

"Aku tidak tahu siapa kamu sebenarnya? Aku mengira setelah menikah, hidup kita lebih tenang. Ternyata tidak. Ada banyak sekali yang hadir. Orang yang meneror, Dania, dan tambah satu lagi. Anak kamu."

Astari sengaja menekankan kalimat terakhir untuk memancing emosi Satria. Benar saja, laki-laki di depannya terbelalak hebat. Semburat warna merah terlihat jelas ketika lembayung sore tepat mengenai wajah itu.

"Dia bukan anak aku! Akan segera aku buktikan jika dia bukan darah daging aku."

Astari menggeleng. "Terserah! Aku sudah lelah."

Satria semakin panik, ia lalu menarik Astari ke dalam pelukan. Ia mendekatkan mulut pada telinga Astari kemudian berbisik, " Satu yang harus diingat. Anak itu bukan anak aku. Dania sengaja mempergunakan anak itu sebagai alat. Aku sarankan setelah ini kita harus berhati-hati. Nyawa kita sedang terancam. Ada seseorang sedang mengincar sesuatu di rumah itu. Tepatnya kamar aku. Jika aku mati, aku cuman berpesan jaga rumah itu baik-baik."

Masih dalam keadaan berpelukan, Satria mengambil sesuatu dari saku celananya. "Jaga baik-baik ketiga kunci ini. Mereka mencari apa yang kamu pegang."

Pelukan mengendur. Mulut Astari seketika bungkam karena tidak tahu berkata apa. Satu sisi  sedikit terungkap, tetapi ia tidak tahu apa kelanjutannya.

Satu kecupan hangat di kening membuat Astari sadar. Sosok itu perlahan menghilang di telan pekatnya malam. Sayup-sayup azan magrib mulai terdengar bersamaan sorot lampu mobil yang berjalan menjauhi padang rumput.

Astari merasakan benda logam yang masih berada di tangannya. Ia begitu ketakutan diberi amanah yang begitu berat. Dengan deru jantung yang sudah begitu cepat, pelan-pelan genggaman tangan terbuka dan terlihat tiga kunci yang bukan zamannnya berkilau ketika diterpa cahaya rembulan.

To be continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro