🔆Pergi🔆

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Satu hal yang harus diingat adalah  titik tertinggi dari kekecewaan yaitu tidak peduli lagi sama sekali dengan keadaan.

***
Hidden Paradise  by Galuch Fema



Happy reading, jangan lupa vote.

Tubuh Satria berjingkat hebat mendengar suara barusan. Sayup-sayup suara itu masih terdengar ke dalam rongga telinga, padahal gadis kecil itu memanggilnya cukup sekali. Namun, bagi Satria setelah mendengar barusan, sama saja teringat kembali dengan mimpinya. Ia selalu didatangi gadis kecil berpakaian serba putih dengan  sayap di punggungnya. Ia selalu memanggil dengan sebutan sama yang barusan ia dengar.

Dengan langkah yang kaku, laki-laki itu berbalik dan berjalan mendekat ke arah brankar tempat tubuh lemah itu berbaring.

Satria menatap Dania yang sudah berada di tepi brankar, perempuan itu mengusap pelan kepala gadis kecil tadi, menyuruhnya untuk bangun dan membuka mata.

"Bangun sayang? Ayah kamu datang," bujuk seorang ibu pada anaknya yang sudah terpejam cukup lama. Jika pejaman itu hanya tertidur mungkin seorang ibu tidak akan sepanik Dania. Satria hanya mematung melihat tontonan menyedihkan yang membuat hatinya sedikit tersentuh.

Lama mencoba untuk membangunkan, ternyata berakhir sia-sia. Gadis kecil dengan mulut yang terlihat kering itu masih menjaga mimpinya untuk tidak mau terjaga.

"Aku pergi," pamit Satria segera berbalik sebelum  Dania menuntut macam-macam. Apalagi sosok dibalik jendela masih saja menguntit geraknya.

"SA—"

Dania tidak jadi melanjutkan panggilannya karena baru sadar jika ada sosok laki-laki lain yang sedang mengawasinya. Seketika tubuhnya langsung membeku karena kedua mata di sana sudah merah, terbakar amarah. Ia siap menerima risiko. Entah mengapa setelah perjumpaan dengan Satria apalagi  wajah laki-lali itu sudah kembali semula, hati perempuan itu terbesit penyesalan yang begitu hebat.


Satria mempercepat langkah menuju tempat parkir yang terletak di bagian kiri bangunan utama di rumah sakit. Jantungnya seketika seakan berhenti, ketika melihat sepasang mata sendu di depannya. Jarak mereka tak terlalu dekat, tetapi Satria bisa merasakan bagaimana terlukanya perempuan itu.

Keduanya sekarang sejajar, memandang ke depan pada satu fokus pikiran mereka masing-masing. Belum ada yang berani bersuara, hanya lalu lalang pengunjung di rumah sakit ini.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Satria lelah dengan kebungkaman mereka berdua. Harusnya mereka masih mengenyam kebahagian satu sama lain, setelah Satria menunjukan surga tersembunyi kepada Astari.

Astari pura-pura tersenyum meskipun hatinya sangat sakit melihat kedekatan Satria dengan Indah, apalagi pelukan tadi terekam terus menerus dalam ingatan.

"Bukankah seharusnya aku yang bertanya, kenapa Mas ada di sini?"

Wajah Satria seketika memerah. Sindiran barusan sangat menampar pipinya. Ya, iya sangat bersalah. Ia telah meninggalkan Astari seorang diri, sekarang mereka bertemu di tempat yang tak terduga. Wajah Satria langsung berubah syok ketika teringat bagaimana tiba-tiba Dania memeluknya.

Jangan-jangan? Batin Satria terus bertanya-tanya.

"Apa kamu melihatnya?" tebak Satria karena ia sudah menduga pasti Astari melihat saat bersama Dania.

"Aku tidak buta."

Astari mendengkus agak kesal. Apa yang ia ucapkan pastinya bukan jawaban dari pertanyaan Satria. Entah mengapa lidah terasa kelu mengungkapkan kejadian beberapa menit yang lalu sehingga membuat dirinya berat meninggalkan tempat yang menorehkan luka cukup dalam bagi diri Astari.

"Ak—"

"Sudahlah tidak perlu dijelaskan lagi. Semuanya sudah jelas," balas Astari menatap Satria sambil berusaha memberikan senyuman.

"Apa yang kamu duga dan lihat adalah salah besar," tuding Satria berusaha membela diri.

"Ya. Aku salah berada di tempat ini," sesal Astari. Ekor mata menatap ke bawah. Ia menggenggam keresek putih. Untuk mengurangi gejolak hati yang sudah memuncak karena emosi. Ia menyesal menyetujui permintaan Mbak Maya menebus obat-obatan pasca melahirkan.

"Kamu juga salah karena sudah pergi tanpa izin suami."

Astari terperanjat kaget. Ia tidak menyangka Satria akan berkata seperti ini. Apalagi nada bicara barusan sedikit melukai hatinya.

"Maaf jika aku salah. Setidaknya kepergian aku untuk menolong teman. Bukan yang lain." Gantian sekarang Astari kembali menyindir Satria.

Niat hati meminta maaf, tetapi Satria mengurungkannya. Ia tetap tidak suka Astari berkeliaran sendirian. Ada bahaya yang sedang mengancam mereka. Masalah yang dihadapi Satria kembali bertumpuk-tumpuk. Anak Dania dan sekarang ditambah kecurigaan Astari.

"Mari kita pulang," ajak Satria menggenggam tangan Astari menuju mobil yang terparkir di bawah pohon beringin yang rindang.

Baru juga satu langkah, tatapan Satria tertuju pada tangan yang sudah diempaskan oleh Astari karena perempuan itu sudah berjalan lebih dulu di depannya.

"Arghhh!" pekik Satria dengan kesal. Ia mengacak rambut menjadi tidak beraturan. Ditanbah angin bertiup lumayan kencang membuat tatanan rambut semakin berantakan.

Keduanya berjalan berurutan tanpa berbicara atau saling menatap. Masalah pihak ketiga mampu menggoyahkan kepercayaan Astari pada Satria.

Tanpa sepengetahuan mereka, muncul sosok dari balik pohon yang sedari tadi bersembunyi sambil menguping pembicaraan mereka berdua.

"Ini baru seberapa. Lihat aksi selanjutnya. Kehadiran perempuan bernama Astari bisa mengacaukan semuanya. Jika Satria belum bisa dibianasakan, setidaknya nama perempuan itu dulu yang tertulis di batu nisan," bisik orang tersebut tersenyum dengan bengis.


Perjalanan kali ini diwarnai kebisuan. Mata Astari menatap pemandangan di luar. Ia melihat deretan pepohonan yang berdiri kokoh walaupun diterpa angin. Sedangkan, ia sendiri yang sedang diterpa masalah barusan sudah hilang kepercayaan pada suaminya.

Mobil berhenti tepat di halaman rumah mereka yang identik dengan pohon rindang dan menjulang tinggi. Satria belum membuka kunci mobil sehingga Astari terpaksa berdiam diri sambil berpikir keras untuk apa Satria menahannya di sini. Padahal biasanya laki-laki ini tak terlalu betah di lingkungan luar rumahnya.

"Ada sesuatu hal yang ingin aku sampaikan."

Astari menarik napas. Ia kembali teringat sosok Indah. Perempuan itu masih terlihat cantik. Belum pakaian yang menunjang penampilan, pasti banyak yang menarik kesimpulan jika Indah masih single.

"Aku harus pergi," elak Astari. Tangan meraih handle pintu dan mendengkus lirih karena masih terkunci.

"Ada yang harus aku sampaikan!" ucap Satria dengan menaikkan intonasi suaranya. Ia benci situasi seperti ini. Ia tidak mungkin mengulang kembali kehancuran rumah tangga akibat pihak ketiga.

"Maaf. Aku harus pergi. Ada perintah mendadak yang mengharuskan aku ke tempat cabang."

"Kamu tidak bohong, kan? Bukan sengaja menghindar dari masalah ini?"

"Sejak kapan aku jadi pembohong?" tegur Astari pura-pura tertawa. Satria seketika bungkam karena pertanyaan barusan malah menjadi bumerang bagi dirinya.

Mata Satria melirik ke arah Astari yang tengah mengambil ponsel dan menunjukan kepadanya. Sebuah pesan dari atasan istrinya. Satria paham jika Astari adalah petugas di lapangan bagian peternakan sehingga ia bisa ditugaskan secara tiba-tiba.

"Aku antar kamu ke sana." Satria membuka pintu bersiap masuk rumah. Laki-laki itu berjalan di bawah rindangnya pohon-pohon yang berusia cukup lama.

"Tidak perlu. Aku berangkat sendiri saja," tolak Astari.

"Kenapa kamu selalu menolak bantuan aku?" bantah Satria merasa kurang suka dengan Astari sekarang. Ya, sejak kejadian di rumah skait tadi, sikap Astari berubah drastis.

"Aku ingin sendiri dulu. Lagian juga aku terbiasa mandiri, tidak perlu merepotkan orang lain," ucap Astari berjalan lebih lebih cepat, mendahului Satria yang sekarang sudah berhenti di depannya.

"Aku tidak suka kamu seperti ini."

Astari yang sudah di depan pintu kemudian berbalik pada laki-laki di belakangnya. Wajahnya kali ini sangat tegang dan seperti menahan beban, terlihat dari guratan di keningnya.

"Maaf kepergian aku kali ini memang murni tugas dari pekerjaan aku. Sayangnya, kali ini bertepatan dengan masalah kita hari ini," lirih Astari menatap wajah Satria sesaat.

Tidak ada balasan dari seberang, Astari langsung masuk. Mata perempuan itu seketika terbelalak melihat situasi di ruang tamu. Benar-benar sangat berantakan. Kursi banyak yang bergeser, meja pun terguling sehingga vas kaca yang berisi air dan bunga, pecah membasahi lantai. Tirai pun banyak terdapat koyakan di mana-mana.

Astari hanya bisa menghirup napas dalam-dalam. Sia-sia sudah ia membereskan ruangan itu. Apa memang  rumah ini selalu ditakdirkan untuk  tak pernah rapi? Padahal jelas-jelas sebelum berangkat ke rumah sakit, ia mengunci rumah ini rapat-rapat.

'Siapa kamu sebenarnya, Mas? Kenapa selalu saja dikelilingi orang-orang jahat? Apa kamu sendiri yang selama ini jahat, sehingga banyak orang yang membenci dan ingin membunuh kamu?' tanya Astari pada diri sendiri. Jujur ia sudah sangat lelah dengan permainan ini semua karena lambat laun pasti dirinya akan masuk ke dalam sana.

Tubuh Astari berdiri kaku di depan pintu kamarnya. Namun, mata tertuju pada sebuah benda tergeletak di depan pintu kamar Satria. Sesuatu basah, berlumuran berwarna merah dan bau amis menyengat hidung. Untung saja pintu kamar terkunci karena Astari tahu banyak hal yang disembunyikan Satria di sana.

Astari segera masuk ke dalam kamar sambil tergesa-gesa. Tangan ia tekankan di bagian dada karena jantung seakan berlompatan.

"Aku harus segera pergi dari sini. Lama-lama aku bisa gila jika tinggal di sini," ucap Astari berlari menghampiri koper di bawah ranjang. Ia memasukkan beberapa potong baju untuk beberapa hari. Setidaknya hidup lebih tenang.

Ketika keluar kamar, entah mengapa mata kembali tertuju pada benda di depan kamar Satria. Astari memejamkan kedua mata, ia berdoa semoga teror ini tidak akan berlanjut dalam alam mimpinya.

Pandangan tertuju pada sosok laki-laki yang sedang melipat kedua tangan di depan dada, punggung ia sandarkan pada dinding dekat tangga. Bau amis yang sangat menyengat hidung tak membuat laki-laki itu menyingkir.

"Aku pergi," pamit Astari sambil menyeret koper yang sekarang benda itu menarik perhatian Satria.

"Aku antar," pinta Satria sekali lagi.

"Tidak perlu.  Terima kasih. Assalamualaikum."

Astari menyeret koper menuju pintu. Ia menatap kembali ke belakang ketika namanya disebut oleh laki-laki itu.

"Masih ingatkan jalan untuk pulang? Pintu ini tidak akan pernah terkunci dan selalu terbuka untuk kamu," ucap Satria lirih.

Astari tidak membalas satu patah kata pun dan ia memilih tetap pergi. Satria menatap pintu yang sekarang tertutup sambil meredam rasa kecewanya.

※※˙※※˙※※˙※※˙To be continue※※˙※※˙※※˙※※※※

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro