🔆Temu Masa Lalu🔆

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



~Jangan pernah menerima dia kembali, ingatlah bagaimana hancurnya ketika dulu ia pergi~

***
Hidden Paradise  by Galuch Fema


Happy reading jangan lupa vote

Astari lekas membalikkan tubuhnya, enggan melihat pemandangan yang sangat menyakitkan. Apa arti ucapan tadi saat mereka masih bersama, secepat itukah perasaan Satria berubah? Tidak! Ia tidak akan menangis, boleh merasakan sedih atau kecewa, tetapi jangan sampai kalah pada air mata. Itulah prinsip hidup Astari sejak kecil, bisa mendidik dirinya sendiri untuk tidak terlalu menyerah pada air mata.

"Dania. Indah," lirih Astari terus mengulang kata itu. Terasa sangat berat untuk menyebutkan dua nama yang ternyata disinyalir adalah satu orang. Dania Indah Putri-seorang siswi yang menjadi primadona saat di bangku sekolah. Banyak yang tergila-gila pada sosok itu. Bisa jadi Satria-suaminya juga suka pada gadis cantik itu.

Indah cantik dan Satria juga tampan. Pasangan yang sangat cocok dan melengkapi. Mungkin di saat awal pernikahan, mereka berdua bisa saling menutupi kekurangan masing-masing. Namun, tidak untuk roda pernikahan mereka selanjutnya. Ada pihak ketiga yang berhasil membuat Indah melupakan Satria, jelas laki-laki itu memiliki ketampanan di atas rata-rata. Godaan bisa saja datang di saat Indah butuh kasih sayang dari orang lain.

Entah setan apa yang merasuki Indah bisa berbuat seperti itu. Apalagi sejak wajah Satria rusak karena kecelakan, pasti perempuan seperti Indah akan memilih laki-laki lain yang sempurna.

Sekarang setelah Satria kembali normal, ia secara tidak langsung akan merebut apa yang sudah menjadi miliknya.

Selamat Indah, kamu menang. Kamu berhasil membuat Satria bertekuk lutut dan jatuh pada pelukan kamu, lagi.

Astari segera membayar obat sesuai yang tertulis di resep. Sudah ketiga kali panggilan dari petugas apotek ia abaikan karena terlarut dalam emosi yang hanya bisa tertahan di dada.

Perempuan itu sengaja berjalan persis di depan IGD, sengaja ingin membuat kejutan untuk Satria. Ia ingin melihat bagaimana reaksi laki-laki itu. Jantung Astari sudah berdebar sangat kencang. Wajah yang sedari menunduk, menatap lantai rumah sakit, segera ia naikkan perlahan. Hatinya kembali kecewa.

Nihil. Tak ada sepasang manusia yang pernah saling mencintai. Entah mereka pergi ke mana dan Astari tak mau tahu serta enggan mencarinya.


Satria syok setengah mati ketika Dania tiba-tiba memeluk tubuhnya. Ingin rasanya mengempaskan tubuh yang sekarang kurus itu. Namun, isak tangis itu membuat ego dan dendam yang ia bangun setinggi mungkin, akhirnya luluh karena suara kepiluan perempuan itu.

Setelah lima menit berlalu, terpaksa Satria melepas pelukan itu. Ia tak ingin suami Dania memergoki mereka sekarang dalam posisi dekat seperti ini. Apalagi tempat ini tidak pantas untuk bermesraan dan Satria tidak ingin jatuh kembali pada orang yang salah.

Wajah Dania memerah, kelopak mata membengkak dan tanpa riasan sama sekali membuat Satria tak percaya jika kondisi mantannya seperti sekarang. Apakah ini karma karena perempuan ini pernah berkhianat kepadanya?

"Di mana anak itu?" tanya Satria. Sejak mimpi buruk di kamar Astari, ia sangat penasaran dengan anak tersebut.

"Nama anak kita Ryana. Aku sengaja menamai itu karena kesatuan dari nama kita. Satria dan Dania," ucap Dania memberikan senyuman di bibir pucatnya.

Daksa Satria membeku, ibarat dihujani ribuan es yang sangat banyak. Setelah beberapa tahun, ia baru tahu siapa nama anak itu. Padahal orang tuanya sering menyebut nama itu tetapi tak satupun melekat di otaknya.

"Kenapa kamu menyebutkan itu anak kita? Dia bukan anak aku!" tolak Satria sudah berulang kali.

"Lihat saja dulu. Siapa tahu setelah kalian bertemu ada sebuah ikatan batin antara ayah dan anak."

Dania menggandeng lengan Satria sangat dekat, seperti saat perpisahan belum terjadi pada keduanya. Satria merasa tersihir ucapan perempuan itu. Dengan alasan apapun, Satria sama sekali tidak bisa menolak untuk bertemu Ryana.

Satria menatap tubuh kecil lemah, tergolek tak berdaya. Mata terpejam, pipi kurus dan bibir pucat. Satria curiga apakah selama ini anak itu dikasih makan oleh Dania apa tidak? Melihat tubuhnya kurus kering seperti itu, entah kelaparan atau penyakit yang menggerogotinya.

"Ry, bangun, Nak? Ayah kamu datang," lirih Dania di samping telinga putri kecilnya.

Hati Satria bergejolak hebat, ingin rasanya meralat kata-kata yang keluar dari mulut Dania. Namun, mulut tidak bisa bergerak karena rasa iba yang sangat luar biasa pada gadis kecil dengan mata terus terpejam.

Mata Satria berpendar ketika kedua mata mungil itu pelan-pelan terbuka. Mengerjap karena cahaya lampu ruangan ini, kemudian memilih menutup kembali.

Dania terisak sambil mengusap rambut gadis itu yang mulai menipis. Tetes air mata wanita itu membuat Satria lebih menatap jendela kaca. Hatinya menyesal telah menyanggupi pertemuan ini. Ingin rasanya bidadari kecil ini datang dalam mimpi menggunakan gaun berenda warna putih bukan terbujur lemah di rumah sakit seperti ini.

"Di mana suami kamu?" tanya Satria mengusir rasa penasaran sedari tadi. Takut kehadirannya akan menimbulkan perselisihan karena setelah perceraian ia tak pernah melihat Dania bersama laki-laki itu.

"Dia sedang keluar sebentar, membeli sesuatu untuk kebutuhan selama di rumah sakit," balas Dania mengusap air mata di pipi tirusnya.

"Aku pergi saja," ucap Satria spontan dibarengi keterkejutan pada raut wajah Dania.

"Ke-kenapa pergi?"

Ada rasa tak rela jika seseorang yang ia hubungi sedari tadi hanya bertandang sebentar. Ini belum masuk ke pembahasan sangat serius. Tujuan mengajak Satria kemari bukan seperti ini, ada hal lain yang lebih penting.

"Aku tidak pantas berada di tempat ini," balas Satria sambil terus menatap pintu keluar. Entah mengapa hatinya merasakan sesuatu yang tidak enak. Ia seperti merasakan kehadiran Astari di tempat ini.

Tidak. Astari tidak ada di sini. Ia masih terlelap di tempat yang ia sebut surga.

Batin Satria berusaha menenangkan kegelisahan raga yang tidak jelas. Jangan sampai Astari tahu, di mana sekarang ia berpijak. Lebih-Lebih tahu dengan siapa ia bersama.

"Aku butuh kamu," rayu Dania bergelayut manja pada lengan Satria. Mata laki-laki itu tertuju pada tangan Dania, ia mengentakkan tangan tersebut agar terlepas dari tubuhnya.

"Kenapa kamu kasar seperti ini?" celetuk Dania dengan nada manjanya berusaha merajuk dengan suara dibuat-buat agar Satria setidaknya perhatian dengan dirinya.


Satria tersentak, ia tidak pernah berbuat kasar sama perempuan, yang ada malah ia yang selalu disakiti oleh Dania.

"Cepat katakan apa keinginan kamu mengajak aku kemari," paksa Satria karena tidak suka basa-basi. Melihat gelagat Dania yang terus merayunya membuat Satria sangat muak dan ingin secepatnya pergi dari hadapannya.

"Aku butuh uang," ucap Dania tanpa rasa malu. Ia tak peduli jika ucapannya akan membuat Satria memandangnya semakin sangat rendah.

"Bukankah selama ini aku sering transfer ke rekening kamu?" seloroh Satria dengan sedikit kesal. Berapapun jumlah yang ia kirim selalu kurang di mata Dania. Oleh karena itu selama mereka masih bersama, Satria selalu kerja keras mengambil semua proyek di luar jawa. Terlalu sering keluar kota membuat petaka di rumah tangganya terjadi. Dania kepincut dengan sosok laki-laki lain.

"Uang yang kamu kirim hanya cukup untuk biaya skin care aku saja, tidak untuk biaya pengobatan anak kamu."

Satria menahan deru napas yang sudah menyesakkan dadanya. Padahal jumlah yang ia kirim selalu dalam jumlah minimal yang lumayan banyak.

"Berapa lagi yang kamu butuhkan?" tanya Satria mengalah. Ia melakukan ini demi nyawa anak tersebut, bukan untuk Dania. Walaupun cepat atau lambat ia harus memastikan Ryana benar anak kandungnya atau bukan.

Senyum mengembang di bibir Dania, tidak sia-sia mengajak Satria bertemu dengan Ryana. Nominal rupiah sudah melayang di otaknya. Sedangkan bibir seketika kaku hendak menyebutkan jumlah tersebut. Ini diluar dugaannya ketika harus menyebutkan angka-angka tersebut.

"Sepuluh juta cukup?"

Dania mengangguk. Secepat kilat menyambar ucaoan barusan, "Jika nanti kurang, nanti minta lagi."

Satria pura-pura tidak mendengar. Bukankah sudah jadi hobi perempuan itu jika dirinya hendak pergi luar kota, ia selalu ditinggali uang yang banyak dengan alasan untuk melepas kesepian saat ia pergi. Nyatanya, Dania menghabiskan uang itu bersama orang lain.

Satria merogoh ponsel di celananya, mengutak-atik layar dengan cekatan. " Sudah masuk ke rekening kamu."

Senyum mengembang kembali di bibir Dania. Ingin rasanya memeluk laki-laki itu tetapi ia urungkan karena tatapan sepasang mata tajam tengah bersembunyi dari balik jendela dari kamar ini.

"Aku pergi dulu," pamit Satria karena enggan berlama-lama di tempat ini. Masih ada Astari yang tengah menunggunya di sana.

Dania mengangguk, berat melepaskan laki-laki yang pernah ia tinggalkan dan sekarang ia merasakan sendiri akibatnya.

Satria buru-buru menuju pintu, tetapi baru beberapa langkah terdengar suara lirih dan parau memanggilnya.

"Papah!"

Dania kembali bersorak karena si kecil ini pun bangun di saat suasana yang sangat tepat.

☆To be continue☆

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro