🔆Pergi🔆

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seerat apapun digenggam jika bukan takdir pasti tetap saja akan pergi.

***
Hidden Paradise  by Galuch Fema



Happy reading jangan lupa vote

Satria menahan senyum dari jauh, sesuatu sudah berada di tangannya. Ia sengaja menghindar agar Astari bisa lebih mengenal dengan kuda kesayangannya. Namun, wajah Astari yang panik membuat kuda itu tidak nyaman dan memilih berjalan pelan, untung tidak lari.

Perasaan lega tercetak di wajah Astari ketika melihat Satria datang. " Mas dari mana saja?"

"Ini." Satria mengacungkan sebuah jaket yang terlipat rapi.

"Ini kudanya?" Astari menyerahkan tali kuda tetapi Satria enggan meraihnya.

"Lepas saja. Tidak akan lari, sudah jinak kok. Kalau pun lari juga hanya di area ini, tidak akan pergi ke mana-mana," ucap Satria santai tetapi pada akhirnya hanya ditanggapi Astari yang memasang wajah kesal.

'Coba bilang dari pertama,' batin Astari dongkol. Tali kuda yang sedari tadi dipegang erat akhirnya ia lepaskan dengan kasar. Benar saja, kuda itu tidak lari malah sengaja mendekat ke arah Satria.

Astari berbalik menuju pintu kamar Satria yang terlihat jauh. Hatinya sangat kesal karena dikerjai oleh suaminya. Andai Satria tahu bagaimana paniknya ia berhadapan dengan kuda tadi.

Rengkuhan tangan di pergelangan Astari membuat tubuh perempuan itu terhenti dan berbalik. Sebuah senyum sangat manis tercetak di bibir Satria.

"Mau ke mana?"

"Pulang," balas Astari datar. Satria belum melepaskan pergelangan tangannya.

"Belajar naik kuda dulu!"

Belum juga menjawab untuk protes, laki-laki itu mendekat dan berhadapan dengan Astari. Sebuah jaket lumayan besar diikatkan ke pinggang Astari menutup baju bagian bawah sampai lutut.

"Kok?" protes Astari tak paham melihat jaket milik Satria sudah menempel di tubuhnya tetapi melingkar dan menutupi sampai dengkul.

"Tak apa, pakailah."

Satria berjalan menuju kuda, mengelus rambut pada leher hewan tersebut dan menyuruh Astari untuk segera mendekat.

"Aku balik lagi ke rumah saja," elak Astari bersiap pergi tetapi lagi-lagi pergelangan tangan dicekal Satria. Laki-laki itu hanya memegang lembut tak menyakiti istrinya.

"Naiklah dari pijakan sebelah kiri."

"Yakin tidak apa-apa? Tidak menyakiti kuda ini?" Astari masih ketakutan. Tangan mencoba mengelus sesuai perintah Satria sebagai perkenalan dengan hewan itu. Ia berdoa agar tak terjadi sesuatu yang buruk.

Astari pelan-pelan berusaha naik, percobaan pertama gagal. Hampir saja terjatuh jika tak ditolong Satria. Sialnya saat posisi jatuh, Satria menangkap dan menggendong membuat tangan Astari melingkar di leher suaminya. Untung saja Satria segera menurunkannya.

"Sekali lagi," pinta Satria.

Deru jantung bersamaan peluh bercucuran, ternyata menunggang kuda tak segampang yang  ia lihat di tv.

Astari kembali mencoba dan usaha yang keempat berhasil, ia sudah di atas kuda tetapi wajahnya sangat panik. Apalagi kuda tersebut sudah berjalan pelan.

"Aku takut," lirih Astari sambil mencengkeram erat tali itu.

"Good job. Sebentar."

Bersamaan selesai ucapan itu, tubuh Satria dengan sigap menaiki kuda itu dan duduk di belakang Astari. Mengambil alih tali kuda biar ia yang mengarahkan ke mana kuda itu harus melangkah.

Astari belum bisa nyaman, pertama ia sangat takut jatuh. Kedua ia juga tak nyaman dengan Satria karena harus sedekat ini.

"Santai saja," bisik Satria bisa merasakan jika tubuh Astari kaku saat berada di atas kuda.

Perempuan itu hanya bisa menghela napas berusaha menetralisir detak jantung.

"Kuda ini lumayan jinak walaupun berasal dari Sumba."

Astari pura-pura mengerti, walaupun hati kecilnya tak paham jenis kuda. Lebih hapal sapi perah di tempat kerjanya.

Seperempat jam di atas kuda, pelan-pelan Astari mulai tenang dan menikmati pemandangan yang serba hijau di depan mata. Sekarang ia paham kenapa Satria menyuruh memakai jaket, pasti tak ingin sebagian tubuhnya tersingkap.

Keduanya sekarang berada di sebuah pohon lumayan besar dengan dahan yang bercabang. Usia pohon sepertinya lumayan tua karena batang besar dan kokoh. Astari turun dari kuda dibantu Satria karena pendaratan tak mulus dan berakhir pada pelukan Satria lagi.

"Kita ke sana," ajak Satria meraih tangan Astari dan menyuruhnya untuk lari kecil.

Berada di kaki gunung dengan udara dingin, belum ditambah hujan yang datang tiba-tiba seperti sekarang membuat mereka berdua mencari tempat berteduh.

Astari tak menyangka di atas pohon itu terdapat sebuah rumah pohon seperti dalam cerita dongeng.

"Kita ke atas," ajak Satria yang sudah menaiki anak tangga bambu. Mau tak mau Astari mengikuti dari pada basah kuyup oleh hujan.

Sebuah ruangan berukuran kecil tapi cukup untuk mereka berdua. Lantai kayu beralas karpet tak begitu tebal. Atap jerami membuat air tetesan dari daun tidak akan membasahi mereka. Kadang semilir bayu yang masuk di sela-sela dedaunan seperti menusuk tulang mereka.

Astari takjub menatap hujan pertama kali di tempat ini. Ada rasa senang menyusup hati kecilnya. Ia menatap ke belakang, melihat Satria yang tengah memeluk tubuhnya sendiri. Baju yang dikenakan sedikit basah. Astari segera melepas jaket dan menyerahkan pada laki-laki itu.

"Pakai saja, Mas. Daripada sakit."

Satria menerima jaket itu dan membentangkan jaket itu ke udara kemudian memakaikan ke tubuh Astari. Perempuan itu mematung tak percaya.

"Biar saja aku yang sakit, kamu jangan," lanjut Satria sambil mengaitkan kancing jaket agar lebih tertutup karena udara di sini sangat dingin.

Ada perasaan haru bercampur bahagia mendengar kata barusan. "Kenapa aku tidak boleh sakit?" pancing Astari menutupi rona merah di pipinya.

Satria terkekeh geli mendengar kepolosan perempuan satu ini. Jangan-jangan saat ia meminta haknya, dia tidak peka dan harus diajari terlebih dahulu.

"Aku tidak bisa mengerjakan tugas-tugas kamu di depan layar monitor. Kalau aku sakit kan sudah biasa apa-apa sendiri," jawab Satria lirih membuat Astari mematung. Ia baru sadar selama ini Satria hidup sendiri, bagaimana ia mencari makan? Apalagi kaki saat itu harus ditopang dengan tongkat.

'Benar-benar laki-laki tangguh,' batin Astari.

Pemandangan rintik hujan membasahi padang rumput, ditambah kabut kembali mulai turun membuat pemandangan yang tadi indah melesap berganti putih.

"Istirahatlah. Sepertinya hujan masih belum reda."

Astari menatap belakang dan mendapati Satria sudah terlentang dan berusaha memejamkam kedua matanya.

Perempuan berjaket yang awalnya enggan menyetujui ucapan Satria terpaksa ikut berbaring karena udara sejuk membuat kedua matanya berat meminta untuk diistirahatkan.

Satria mengubah posisi tidurnya menjadi miring, menatap perempuan yang sepertinya sudah terlelap merajut mimpi.

'Ana uhibbuki fillah', batin Satria dengan senyum manis tersungging di bibirnya.

Satria kembali memejamkan matanya tetapi benda di sakunya terus menganggu. Mau tak mau dengan terpaksa mengambil benda itu. Setelah membaca pesan di sana, tubuh Satria seketika langsung terduduk. Mata kembali membaca tiap huruf pada pesan masuk barusan, siapa tahu ia salah baca.

Satria bergegas bangkit. Sebelum menuruni anak tangga kayu, ia kembali menatap belakang. Bibir ia gigit sekerasnya untuk mengurangi rasa sakit di hatinya karena harus meninggalkan Astari.

Sinar matahari menyusup ke celah-celah dedaunan membuat mata yang tadi terpejam terasa silau. Astari mengucek kedua mata dan baru tersadar ia tidur di udara terbuka seperti ini. Setelah beberapa detik baru sadar jika Satria sudah tak ada di sampingnya.

Perempuan itu segera menuruni tangga kecil, mata terus mencari sosok laki-laki yang membawanya ke tempat ini. Sayangnya Astari tak menemukan Satria. Suara kuda membuatnya kaget. Hewan itu masih berada di bawah rumah pohon ini.

Astari memendam rasa kecewa karena Satria pergi begitu saja. Ia berjalan lunglai menapaki rerumputan sambil terus merutuki ke mana laki-laki itu pergi. Kuda itu pun ikut berjalan di belakang, Astari membiarkan saja. Jika ia tetap menaiki kuda itu, tak ada yang akan menolongnya saat terjatuh karena tak bisa menggapai punggung kuda yang tinggi.

Sebuah kertas dengan catatan tak rapi tertempel di pintu kamar Astari. Perempuan itu hanya membaca sekilas dan membuangnya asal ke atas lantai.



Sebuah catatan resep obat yang sedari tadi dipegang oleh perempuan berhijab warna moka ternyata tak laku di setiap apotek. Sepertinya ia harus kembali ke rumah sakit itu, bisa jadi obat itu hanya di apotek rumah sakit itu.

Bau obat-obatan dan tenaga medis berpakaian putih mendominasi tempat ini. Apotek yang tak begitu besar berseberangan dengan sebuah ruangan IGD.

Kertas yang berada di tangan terlepas begitu saja saat netra mendapati seorang laki-laki yang ia cari tengah berada di pelukan seorang perempuan yang sedang menangis terisak.

"Pantas saja aku tak boleh pergi. Ternyata alasannya seperti ini," gumam Astari menahan kecewa bercampur kesal.

Mata kembali memerah karena mendapati perempuan yang memeluk Satria tak lain adalah Indah - teman semasa putih abu-abu.

To be continue

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro