🔆Surga Tersembunyi (2)🔆

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tetaplah tinggal walaupun selalu membuat kesal.
Tetaplah ada walaupun tak pandai membuat tawa

***
Hidden Paradise  by Galuch Fema


Happy reading jangan lupa vote

Kepanikan wajah Satria membuat Astari menautkan kedua alisnya. Baru kali ini melihat Satria gelisah berlebihan Belum tangan laki-laki itu tampak buru-buru memasukkan ponsel ke dalam saku membuat benda itu jatuh di atas rerumputan.

Astari menatap benda itu yang layarnya menyala, tampak panggilan dari seseorang. Satria semakin panik dan segera mengambil ponsel.

Yang membuat Astari bingung, kenapa Satria tak mengangkat telepon? Melainkan memasukkan dan membiarkan layar ponsel menyala menampilkan sebuah panggilan.

"Ak-aku mau pergi," jawab Satria dengan gugup dan mengalihkan pandangannya membuat hati Astari semakin bertanya-tanya.

"Pergi? Pergi ke mana?"

Tiba-tiba Satria memberikan senyuman hangat kepada Astari. "Ke sana."

Mata Astari menatap ke suatu tempat yang ditunjukan Satria. Seperti sebuah kandang yang terletak di pojok lahan terbuka di sini.

"Kuda?" tanya Astari sambil menyipitkan kedua matanya untuk mempertajam penglihatan karena objek itu lumayan jauh.

"Iya, ayo kita ke sana," ajak Satria sambil sesekali memberikan senyum hangatnya.

Perasaan Astari sedikit tenang. Apa yang ia takutkan sedari tadi ternyata tak terjadi. Sempat berpikir jika laki-laki itu merahasiakan sesuatu darinya, apalagi gelagatnya sangat mencurigakan.

Tangan Astari sekarang berada di genggaman laki-laki itu. Pelan-pelan  mencuri sosok yang ada di sebelahnya. Baru kali ini ia tampak kagum dengan sosok yang menurutnya memiliki ketampanan di atas rata-rata. Pipi sedikit tembem, kulit putih, dan belahan rambutnya yang hitam. Pantas saja Mbak Maya mengatakan jika Satria lebih mirip orang Korea.

Bagi Astari sendiri ia tidak menginginkan pendamping yang kaya atau tampan. Bisa menerima segala kekurangannya saja itu sudah cukup baginya. Tanpa keberatan jika dirinya bekerja di sebuah instansi yang kadang menyita waktu seharian harus berbaur dengan sapi perah.

"Boleh aku menanyakan sesuatu?" tanya Astari karena masih ada satu pertanyaan yang selama ini terus mengganjal.

"Silakan," balas Satria menatap Astari sambil kembali tersenyum.

Gantian Astari yang membuang tatapan karena senyuman itu membuat peredaran darahnya terhenti. Ia sempat mengikhlaskan menerima takdir jika ia akan mendampingi laki-laki yang menurutnya aneh dan dingin serta memiliki wajah yang kurang sempurna tetapi ternyata Allah malah mengirimkan seorang pangeran seperti di dunia imajinasinya.

"Heh, katanya mau tanya?"

Cubitan kecil di dagu membuat tubuh Astari tersentak kaget seperti terdengar listrik. Ia hampir kehilangan pertanyaan yang akan diajukan karena melamun tentang pangeran yang selalu hadir dalam impiannya.

"Eh, maaf," tutur Astari sambil melepaskan tangan Satria dari dagunya, bisa-bisa tubuhnya membeku karena pesona pangeran di samping.

"Kenapa saat pertama kali bertemu tak berterus terang jika Mas itu calon aku?" tanya Astari gugup dan enggan menatap samping.

"Kapan pertama kali kita ketemu?" canda Satria pura-pura lupa. Padahal ia paham betul, malam itu terus menerus mengamati dari balik kaca helm jika  wajah Astari yang sangat ketakutan.

"Heh, pas waktu itu gak sengaja aku nabrak motor Mas," cicit Astari gemas karena ia paham jika Satria saat ini hanya mengujinya.

Kekeh tawa laki-laki itu menampakan gigi putih yang berjajar rapi. Tanpa sengaja Astari mencubit lengan Satria agar laki-laki itu berhenti tertawa.

"Oke, maaf," balas Satria sambil berusaha mengakhiri tawanya. Ia menatap wajah Astari yang cemberut, terik matahari yang bersinar tak terlalu terang menampakkan wajah putih Astari. Hampir saja tangan hendak menyentuh dagu itu tetapi ia urungkan.

"Saat itu aku marah sama kamu," balas Satria membuat Astari terkejut. Perempuan itu menautkan kedua alisnya. Mengingat kembali peristiwa itu dan mereka belum saling kenal. Entah mengapa Satria bisa marah padanya.

Astari mengubah posisi tubuhnya menjadi berhadapan dengan Satria. Mencoba mencari jawaban dari manik mata hitam Satria. "Marah kenapa?"

"Kenapa saat itu kamu pulang terlambat? Mencoba menghindar supaya pernikahan tak terjadi ? Iya, 'kan?" sindir Satria membuat Astari kaget dan gugup.

"Bu-bukan seperti itu," tutur Astari sambil menggoyangkan  telapak tangannya.

"Terus?" selidik Satria menyuruh Astari duduk di atas batu besar berwarna hitam di pinggir padang rumput. Suasana tak begitu panas tak akan membuat kulit Astari gosong apalagi saat ini memakai baju pendek.

"Jujur boleh tidak?" Astari bertanya hati-hati. Degup jantungnya kembali berdetak cepat. Pasalnya Satria di hadapannya tengah bersimpuh dan memegang kedua lutut Astari, kadang juga tangan selalu merapikan rambut Astari yang sedikit berantakan karena tiupan angin.

"Silakan. Katakan saja. Aku siap."

Astari menarik napas dalam, sorot mata Satria terus mengarahnya seakan memaksa dirinya untuk berterus terang saat ini juga.

"Sempat ragu saat menerima pinangan dari orang yang tidak dikenal bahkan belum pernah bertemu."

Satria kembali tersenyum, tangan mengusap rambut Astari.  "Terus?"

"Aku minta pendapat dari Mbak Maya. Setelah pikir panjang akhirnya aku menerima keinginan Bapak. Saat itu juga orang tua aku tidak mengatakan kalau ada tamu di rumah," cicit Astari pelan.

"Aku kecewa karena kamu tega membiarkan aku menunggu lama. Sengaja berhenti di jalan yang biasa kamu lewati dan kejadian tak terduga malah terjadi sama kita," balas Satria.

Astari terkejut. "Bagaimana mungkin Mas menunggu aku lewat? Kita tidak pernah ketemu? Kok bisa mengenali aku?" Astari sangat penasaran, jangan-jangan Satria mematai selama ini.

"Heh, jangan buruk sangka dulu. Aku lihat foto kamu di ruang tamu." Satria mengacak rambut Astari sehingga wajah Astari langsung berubah kesal.

Mata Astari melihat punggung itu menjauh, mendekati kandang kuda yang tinggal beberapa langkah lagi. Bibir tersenyum, Astari melupakan gambar dirinya di ruang tamu, saat itu gambar diambil ketika pernikahan adiknya.

Daksa terangkat, membuntuti Satria yang sedang mengeluarkan seekor kuda putih dengan tubuh gagah. Mahluk itu tunduk pada majikannya tanpa perlawanan ketika disuruh keluar dari kandang.

"Siapa yang merawat kuda di sini?" tanya Astari yang sudah ikut berdiri tetapi agak jauh karena belum terbiasa berdekatan dengan hewan itu.

"Aku sendiri."

Astari mengangguk berusaha percaya. Bisa jadi kesendirian Satria bisa terobati dengan hewan kesayangannya. Mata terus tertuju pada tangan Satria yang mengelus rambut kuda, sepertinya mereka memiliki ikatan batin yang kuat karena kuda itu terus mendekat ke arah majikannya.

Dalam waktu beberpa detik, Satria sudah berada di punggung kuda itu. Tangan kiri mengarah pada Astari menyuruhnya untuk ikutan naik.

"Ayo?"

Mata terbelalak kaget, selama ini hanya berdekatan dengan sapi kesayangannya bukan kuda. Untuk hewan satu ini, Astari memilih mundur karena tak terbiasa naik kuda.

"Tidak. Aku takut," balas Astari masih mundur dan menjauh.

Tawa kecil dari mulut Satria. "Jinak, kok," ucap Satria masih mengelus kepala kuda yang ia naiki.

"Tidak, aku di pinggir saja," tolak Astari memilih duduk di atas bebatuan, di bawah pohon pinus.

"Oke, aku satu putaran dulu. Setelah itu kamu harus naik kuda sama aku," tutur Satria sembari menarik tali kuda kemudian melesat bersama kuda itu dengan cepat.

Astari yang hendak protes berakhir sia-sia. Satria sudah mengitari padang rumput dengan kecepatan luar biasa. Astari bisa menebak jika Satria sudah mahir menjinakkan dan terampil naik kuda. Apa kabar dengan dirinya? Baru kali ini bersentuhan, dulu pernah naik kuda tapi hanya delman.

"Mana pakai baju begini pula." Astari merutuki baju yang dipakai karena tak menyangka akan seperti ini.

Suara tapak kaki kuda mendekat, itu berarti Astari harus siap-siap. Namun, perempuan itu masih memilih duduk dan enggan berdiri. Lebih asyik mencabuti rumput liar untuk dilempar secara asal.

"Ayo?" pinta Satria yang sudah turun. Terus merayu agar Astari mau walaupun sedari tadi perempuan itu terus menggeleng.

"Aku tidak akan membiarkan kamu sendirian. Nanti aku di belakang kamu." Tangan Satria masih memegang tali agar kuda itu tak terlepas.

"Kenapa sih harus naik kuda?" tanya Astari dengan malas dan perasaan takutnya.

Satria tersenyum. "Beberapa olah raga kesukaan Nabi yaitu memanah, berkuda dan berenang.
Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra yang juga diriwayatkan oleh At-Timirdzi dengan hasan-sahih berikut.

كُلُّ شَىْءٍ لَيْسَ مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ فَهُوَ سَهْوٌ وَلَهْوٌ إِلاَّ أَرْبَعًا مَشْىَ الرَّجُلِ بَيْنَ الْغَرَضَيْنِ وَتَأْدِيبَهُ فَرَسُهُ وَتَعَلُّمَهُ السِّبَاحَةَ وَمُلاَعَبَتَهُ أَهْلَهُ

“Setiap sesuatu selain bagian dari zikir kepada Allah adalah sia-sia dan permainan belaka, kecuali empat hal: latihan memanah, candaan suami kepada istrinya, seorang lelaki yang melatih kudanya, dan mengajarkan renang.”

Astari tersenyum malu mendengar ucapan  suaminya. Kecintaan Satria kepada kuda sampai hafal pada hadits itu.

"Jinak, kan?" tanya Astari meredam rasa takutnya  yang diiringi kembali debaran jantungnya.

Astari mengangguk sambil menyetujui dan bersiap untuk naik. Satria menyipitkan kedua matanya.

"Pegang talinya sebentar. Aku mau mengambil sesuatu dulu," ucap Satria sambil menyerahkan tali kendali pada Astari.

Astari melotot karena pada akhirnya Satria pergi juga.

"Nanti kalau lari gimana?" tanya Astari setengah berteriak karena Satria sudah berlari menjauh ke sebuah pohon besar.

"Kamu kejar dong," balas Satria disertai tawa membuat Astari semakin kesal. Tangan seketika dingin karena tali yang dipegang terus bergerak-gerak mengingat hewan tersebut tak mau diam bahkan maju beberapa langkah membuat Astari ikut berjalan mengikuti kuda itu.

"Ke mana sih itu orang? Lama banget," rutuk Astari begitu paniknya karena kuda itu terus berjalan.

Dari kejauhan Satria mengulum senyum karena wajah dan tubuh Astari yang tampak panik. Ia  sengaja meninggalkan perempuan itu sendiri memegang tali kendali kuda.

(Foto pendukung)

♡To be continue♡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro