• LIMA BELAS •

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Star High School, New York.

Selain Chloe, kau harus tahu mengenai Jessica. Ya, Jessica North.
Jika kau bertemu dengan Chloe, kau pasti akan bertemu dengan Jessica.
Aku ingin memperkenalkan dia sebagai 'Si Bodoh' kepadamu karena apa yang sudah dia lakukan padaku.

Isa, apakah kau tahu mengapa nilai ujianku menurun belakangan? Ya, itu disebabkan olehnya.
Dia selalu menukar kertas jawaban kami dan mengancam akan memperlakukanku dengan sangat buruk jika aku melaporkannya.
Chloe mungkin mengganggu makan siangku, tapi Jessica merusak masa depanku.
Ayah dan Ibuku begitu kecewa mengetahui nilai-nilai harianku menurun karenanya.
Namun, aku tidak bisa membuktikan bahwa diriku tidak bersalah karena ancaman Jessica.
Jika menjadi aku, mana yang akan kau pilih, Isabella?
Nilai yang bagus tapi hidupmu selalu diganggu atau nilai yang buruk tapi hidupmu baik-baik saja?

Isabella menyesap rokok miliknya dan mengembuskannya perlahan, membiarkan asap keabu-abuan itu bersatu dengan udara dan menghilang begitu saja. Ia kembali membolos di kelas Zach dan lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan merokok di atap. Tanpa tahu, bahwa sejak awal, Bryan sudah berdiri di sisi yang lain;mengamatinya.

Merasa bahwa gadis itu sudah tidak lagi terlihat murung, Bryan pun nekat menghampirinya. Ia segera menarik kursi kosong di sudut atap dan membawanya sampai ke sebelah Isabella. "Kau tidak bosan melihatku di sini?" kata Bryan, seraya duduk di kursinya, di sebelah Isabella. Ia lantas menyunggingkan senyum lebar ketika wajah tanpa ekspresi itu menoleh ke arahnya. "Bukan salahku jika aku terus kemari. Ini tempat kesukaanku sebelum kau datang dan bergabung."

Tidak ingin berdebat, Isabella memilih bungkam dan kembali menatap ke depan. Netra biru lautnya yang redup memerhatikan atap-atap bangunan di sekitarnya dengan gamang, matanya menatap jauh sementara asap rokok terus mengepul dari bibirnya yang tipis. Ia seolah menikmati momen bolosnya tersebut karena bersikap sangat santai.

Hingga akhirnya, Bryan membuka suara, "Soal Alisa ...," suara itu tertahan ketika Isabella tiba-tiba menoleh ke arahnya. Mata mereka bertemu dan Bryan dapat melihat bahwa gadis berwajah dingin di sebelahnya itu terlihat cukup tertarik dengan topik pembicaraan mereka. "Dia sepertinya memang meninggal karena bunuh diri."

"Kenapa kau mengatakan itu?"

"Karena kurasa dia temanmu," sahut Bryan cepat. "Aku tak sengaja mendengarmu menyebut nama Alisa saat kau bertengkar dengan Chloe kemarin. Kupikir hubungan kalian cukup dekat sampai kau melakukan itu padanya."

Isabella mengangkat satu alisnya. "Bagaimana jika dia dibunuh?"

"Rumor buruk tentang Alisa menyebar sejak beberapa minggu sebelumnya. Aku hanya berpikir bahwa gadis itu tidak mungkin bertahan di asrama dan akan segera pindah, siapa sangka dia memilih untuk pergi dan tak kembali lagi?"

Kali ini raut wajah Isabella benar-benar berubah. Ia menekuk dahinya dalam dan mengamati netra hazel milik Bryan lekat. "Rumor tentang Alisa?"

"Ya. Orang-orang mulai berbicara mengenai Alisa yang belakangan suka berhalusinasi. Alisa mulai membicarakan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah terjadi padanya dan murid asrama mulai menganggapnya gila," tukas Bryan menjelaskan.

Yang justru membuat Isabella memekik tak percaya. "Tidak mungkin."

"Kau tidak ada di sini saat semuanya terjadi, bagaimana kau bisa begitu yakin bahwa Alisa adalah korban?"

"Karena Alisa adalah gadis yang kidal. Dia tidak mungkin menggunakan pisau dapur dan menyayat nadi tangannya dengan begitu apik, seperti sedang mengukir karya seni, bukan?" Isabella tak mau kalah. Ia kemudian menjatuhkan sisa puntung rokok dan menggilasnya dengan ujung sepatunya buru-buru. "Aku kemari untuk mencari keadilan. Jangan coba-coba menghalangiku," ujarnya ketus.

Gadis itu kemudian bangkit, hendak pergi dari atap, saat akhirnya Bryan menyerukan namanya. "Isabella!" dan membuat gadis bertubuh ramping itu berbalik ke arahnya. Jarak di antara mereka bisa dikatakan sudah cukup jauh, sehingga Bryan akhirnya harus meninggikan suaranya saat berkata, "Kau harus membuka dirimu agar tahu kebenarannya."

Namun gadis itu hanya mengacungkan jari tengahnya kepada Bryan dan berlalu seolah meninggalkan sampah di belakangnya. Semua ucapan laki-laki itu hanya terdengar seperti omong kosong bagi Isabella. Bagaimana mungkin Alisa berani menghabisi nyawanya sendiri? Dia murid yang sempurna. Kenapa harus meninggalkan segalanya dengan cara yang sia-sia? Itulah yang terbesit di benak Isabella setiap kali kalimat-kalimat yang dilontarkan Bryan menggoyahkan tekadnya.

Kau tidak ada di sini saat semuanya terjadi, bagaimana kau bisa begitu yakin bahwa Alisa adalah korban?

"Lalu jika dia bukan korban, bagaimana Lily bisa mengetahui semuanya?" katanya pada diri sendiri ketika menuruni tangga menuju lantai dasar.

Ya, sejujurnya aku sedikit mengetahui perundungan yang dilakukan oleh Chloe pada Alisa di detik-detik terakhir hidupnya.

Dan saat mencapai anak tangga terakhir, Isabella bertemu dengan Jessica. Gadis berambut pendek itu kemudian mengangkat tangannya, melambai ke arah Isabella dan tersenyum simpul. Wajahnya yang terlihat santai dan tak sedikitpun merasa bersalah membuat Isabella marah. Melihat bagaimana Jessica sama sekali tak menyesal dengan apa yang sudah dilakukannya pada Alisa, membuat Isabella menjadi yakin bahwa Jessica memang tidak bersimpati pada Alisa.

"Kenapa kau diam saja, Isabella?" tanya Jessica.

Sehingga Isabella terkesiap dan mengerjapkan kedua matanya sebanyak dua kali. Ia baru saja tersadar dari lamunannya dan balas tersenyum untuk Jessica. "Kau mau kemana?" tanyanya berbasa basi.

"Aku akan ke lantai dua untuk menemui wali kelas kita. Kalau begitu, aku naik dahulu. Sampai jumpa di kelas, Isa," katanya dengan ramah.

Ketika Jessica melangkah naik, Isabella bersiap melakukan sesuatu untuk gadis itu. Ia mengangkat satu tangannya, hendak menarik tubuh Jessica dan menjatuhkannya ke tangga, jika saja sosok Zach tidak muncul dari puncak tangga dan menyerukan namanya, "Isabella!"

Membuat gadis berwajah es itu terperanjat dan buru-buru menyembunyikan kedua tangan di balik tubuhnya. Jessica menoleh, sementara Zach berjalan menuruni anak tangga dan mendekati Isabella. Zach memergokinya hendak melakukan sesuatu, tetapi pria itu tidak langsung menegurnya. Ia bahkan tersenyum pada Jessica, lalu kepada Isabella bergantian. "Apa kalian akan ke ruanganku?"

"Hanya aku, Paman Troll," ucap Jessica mengoreksi.

"Bagaimana denganmu, Nona Moore?" Suara Zach terdengar dalam ketika menyebut nama belakang Isabella di depan Jessica. Ia jelas berniat melempar pertanyaan bernada sarkastik untuk gadis itu. "Apa kau akan berdiam di sini sementara kau membolos selama kelasku berlangsung?"

Melihat situasi yang mendadak berubah canggung, Jessica pun menginterupsi, "Aku akan menemuimu nanti, Paman Troll. Aku permisi." lalu tubuhnya berbalik, kembali turun dan berlalu meninggalkan Isabella juga Zach di sana. Jessica jelas tidak ingin terlibat masalah hanya karena sedang berada di dekat Isabella dan memilih untuk menghindar.

Sementara itu, Zach masih menatap lurus-lurus manik biru milik Isabella. "Apa yang kau lakukan tadi?"

"Tidak ada."

"Sungguh?" Zach mendengus pendek. "Aku melihatmu hampir menarik tubuhnya jatuh. Apa kau berniat membunuhnya?"

"Kenapa kau peduli?" Isabella berbalik, hendak meninggalkan Zach sampai akhirnya pria itu menggenggam pergelangan tangan sang lawan bicaranya kuat-kuat. Tidak memberi celah untuk Isabella lari. Membuat gadis itu membulatkan matanya dan memandang sang wali kelasnya dengan sinis. "Lepaskan tanganku atau aku akan berteriak."

Wajah Zach maju beberapa senti ke depan, hingga aroma vanilla dari tubuh Isabella langsung masuk ke hidungnya. Ia kemudian berbisik, "Aku akan mengawasimu mulai sekarang."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro